• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)

Dalam dokumen Bab.1 Gambaran Umum Wilayah (Halaman 49-58)

Rencana Pola Ruang Kabupaten Bintan

4.5. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)

Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP 60/2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya ikan yang pada akhirnya tentu saja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup konservasi ekosistem, jenis dan genetik ikan. Penetapan Kawasan konservasi perairan (KKP) merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Secara detil mengenai tata cara pencadangan kawasan konservasi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.

Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No.02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Keberadaan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut memberikan peluang menjalankan yang seluas-luasnya bagi Pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat 3). Walau masih ada pembatasan urusan yang menjadi urusan pusat, telah jelas di dalam

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 50 UU ini bahwa kewenangan daerah, khususnya Kabupaten/kota begitu luas, sehingga seolah - olah berhak mengatur diri sendiri. Lebih khusus mengenai wilayah laut, pasal 18 ayat 4 UU 32/2004 secara gamblang menyatakan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sungguh luar biasa peran yang dapat diambil daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya yang terpenting adalah pelibatan masyarakat secara luas sehingga prospek pengelolaan kolaboratif antar institusi di pusat maupun daerah menjadi lebih terbuka.

Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi perairan laut daerah yang lebih dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai kawasan konservasi laut (KKL). Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Komitmen Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan yang Berkelanjutan

Melalui forum internasional pada pertemuan para pihak Convention on Biological

Diversity (COP CBD), bulan Maret 2006 di Brasil, pemerintah Indonesia melalui Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono telah berkomitmen untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan seluas 10 juta hektar pada tahun 2010. Komitmen ini

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 51 ditindaklanjuti dan berlanjut hingga tercapainya 20 juta hektar pada tahun 2020. Tujuan akhirnya jelas, upaya konservasi perairan tidak cukup berhenti pada target luasan kawasan konservasi, namun secara konsisten berupaya mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif bagi kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas SDM, kelembagaan dan pendanaan yang berkelanjutan. Komitmen membangun kawasan konservasi perairan oleh Pemerintah Indonesia, secara konsisten dibuktikan dengan peran aktif Indonesia dalam inisiasi, kolaborasi dan kerjasama konservasi di tingkat regional dan internasional. misalnya dalam kerjasama SSME (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion), BSSE (Bismarck Solomon Seas Ecoregion) dan CTI

(Coral Triangle Initiative).

Kerjasama Internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

Flauna and Flora), Ramsar dan CBD. Pengembangan kerjasama dan langkah strategis

skala regional maupun internasional tersebut terus ditindaklanjuti dengan peran aktif dan langkah nyata untuk mendukung pelaksanaan konservasi perairan di Indonesia serta berkontribusi positif terhadap penyelesaian masalah lingkungan dunia. Ditingkat lokal, pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan pengembangan jejaring pengelolaan antar kawasan konservasi merupakan keniscayaan yang perlu terus ditingkatkan. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan.

Data direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah

luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut +5,4 juta hektar. Luasan 8,1 juta hektar tersebut terdiri dari sebuah taman nasional perairan laut sawu seluas 3,5 juta hektar dan 35 lokasi kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang luasnya mencapai 4,6 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Program-program konservasi yang dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan perikanan melalui Direktorat Konservasi dan taman Nasional Laut, antara lain dilaksanakan melalui: (1) Konservasi Ekosistem; (2) Konservasi Jenis dan Genetik; (3) Pembinaan dan Penguatan SDM; (4) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman;

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 52 serta (5) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional. Program-program tersebut, dilakukan untuk tujuan, yaitu: (1) Mengembangkan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis dan genetik. (2) Mendorong penguatan fungsi otoritas pengelola Konservasi Sumberdaya Ikan. Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus.

Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar k awasan konservasi meningkat 40 persen. Kawasan konservasi yang telah ada sangat diharapkan mampu mendukung perikanan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, namun selain itu pengembangan dan perluasan kawasan konservasi sebagai upaya pencapaian luasan kawasan efektif tetap terus dikembangkan. Idealnya persentase ekosistem habitat sumberdaya ikan beserta perairan disekitarnya yang perlu dikonservasi mencapai 10-30 persen luas perairan Indonesia.

Sampai 2014, diharapkan telah dicadangkan sebanyak 5 persen wilayah perairan, atau sekitar 15,5 juta hektar. Menilik luasan kawasan yang telah ada, maka target sampai 2014 (RPJM II) adalah sekitar 2 juta hektar kawasan konservasi perairan yang baru. Untuk itu, kegiatan fasilitasi pemantapan KKP dilakukan pada calon KKP laut dan calon KKP di perairan daratan. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas calon kawasan konservasi yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi potensinya, mensosialisasikan calon kawasan konservasi kepada masyarakat serta menggalang masukan terhadap rencana pencadangan kawasan konservasi perairan. Keluaran yang diharapkan adalah draft SK Bupati/walikota tentang pencadangan kawasan konservasi perairan, yang selanjutnya dapat direkomendasikan untuk ditetapkan pencadangannya. Selain itu, kegiatan pemantapan calon kawasan konservasi juga dilakukan untuk penyiapan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Anambas, dimaksudkan untuk menindaklanjuti hasil studi yang telah dilakukan tahun 2006 serta mengidentifikasi perkembangan informasi calon KKPN tersebut yang kemudian ditindaklanjuti bekerjasama dengan LKPPN Pekan baru untuk mewujudkan pencadangan KKPN Anambas yang diharapkan dapat ditetapkan pencadangannya pada tahun 2010. Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan selanjutnya dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Jadi, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 53 pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Ditingkat pusat, KKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan di Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau bahkan dalam pengelolaan keuangannya dapat ditingkatkan dengan menggunakan pola pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional dan memenuhi syarat-syarat pengelolaan BLUD.

Jejaring pengelolaan kawasan konservasi perairan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengembangkan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan guna mewujudkan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut yang mampu Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut agar Fungsinya Lestari dan Manfaatnya Berkelanjutan. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Konservasi perairan laut tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga bersifat memayungi berbagai kegiatan pengelolaan pada ekosistem-ekosistem penting oleh berbagai pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut tersebut juga mengakomodasi isu-isu penting yang memiliki dampak secara internasional. Semua ini dimaksudkan agar para pemangku kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, terutama di daerah, memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan pengelolaan sesuai kekhasan ekosistem-ekosistem di daerahnya dengan tetap mengacu pada kepentingan nasional maupun internasional. Strategi nasional dan rencana aksi terdiri dari Sepuluh kelompok strategi, antara lain: (1) Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Data serta Pemutakhiran data; (2) Peningkatan Peran Stakeholders; (3) Pengembangan Kebijakan, Hukum, dan Peningkatan Pentaatannya; (4) Penguatan Kelembagaan; (5) Pendidikan dan Peningkatan Kepedulian Mengenai KKP; (6) Peningkatan Kerjasama dan Jaringan Internasional; (7) Pembiayaan Pengelolaan KKP; (8) Pemanfaatan Secara Arif dan Bijaksana; (9) Restorasi dan Rehabilitasi Eksosistem; dan (10) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Sepuluh strategi ini telah dijabarkan dalam program aksi dan kegiatan, termasuk tolok ukur untuk menilai keberhasilan penerapannya.

Mengelola secara efektif kawasan konservasi perairan dalam praktek bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Upaya kerjasama dan jejaring pengelolaan KKP terus menerus dilakukan untuk menumbuhkan pengelolaan efektif di kawasan kawasan konservasi baik yang dilakukan secara lokal, nasional, regional maupun internasional, misalnya: pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang yang diinisiasi Coremap II (mengintegrasikan pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL) tingkat desa dalam sebuah pengelolaan KKLD di Kabupaten). Contoh lainnya adalah: pengelolaan di 6 lokasi KKP Raja Ampat, inisiasi pengelolaan di ekoregion sunda kecil, inisiasi

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 54 pengelolaan seascape Kepala Burung, kerjasama pengelolaan di ekoregion laut Bismark Solomon (BSSE), kerjasama pengelolaan KKP di wilayah Sulu Sulawesi Marine

Eco-region (SSME), dan juga inisiasi kerjasama lintas negara dalam pengelolaan di segitiga

karang yang dilakukan oleh 6 negara, yaitu CTI-CFF, Coral Triangle Initiative for coral reef,

fisheries and food security. Melalui berbagai upaya kerjasama dan jejaring pengelolaan yang

dijalin tersebut, semoga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat pada akhirnya dapat terwujud. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa berkisar 4,6 juta hektar kawasan konservasi perairan (laut) daerah yang tersebar di 36 Kabupaten/Kota telah dicadangkan melalui ketetapan kepala daerah (Bupati/Walikota).

Upaya melestarikan, merehabilitasi dan mengelola terumbu karang dalam program COREMAP II, diantaranya melalui komponen kebijakan dan pengembangan MMA/MCA telah memfalisitasi pencadangan kawasan konservasi laut daerah. Khususnya di wilayah Indonesia Barat, terdapat 8 (delapan) kawasan konservasi perairan laut daerah di Kabupaten/Kota yaitu: Natuna, Batam, Bintan, Lingga, Kepulauan Mentawai, Tapanuli Tengah, Nias dan Nias Selatan.

Tabel. 4.4 Kondisi Ekosistem Keseluruhan di Kabupaten Bintan

No. Ekosistem Luas (Ha) Kondisi Baik (%)

1. Lamun 2,918.36 58,01

2. Mangrove 8,895.87 58,01

3. Terumbu Karang 9,085.33 5801

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Tahun 2012

Ketetapan Hukum berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bintan No. 261/VIII/2007, 23 Agustus 2007 dengan luas keseluruhan 472,905 ha diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan dan parwisata bahari.

Kawasan Konservasi Laut Daerah (Gunung Kijang dan Bintan Timur)

Luas : 116,000 ha Letak Geografis :

1003’00” LU / 104034’48” BT 1003’00” LU / 104056’30” BT 0038’24” LU / 104056’30” BT 0038’24” LU / 104034’48” BT 0048’48” LU / 104034’

Tabel.4.5. Kondisi Ekosistem di Lokasi KKLD Gunung Kijang dan Bintan Timur di Kabupaten Bintan

No. Ekosistem Luas (Ha) Kondisi Baik (%)

1. Lamun - -

2. Mangrove 6107.00 -

3. Terumbu Karang 1.811,26 16,93* - 32,05 **

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Tahun 2012 Keterangan : *) P. Mapur 16,93% ; **) Gunung. Kijang

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 55

Kawasan Konservasi Laut Daerah Tambelan

Kecamatan Tambelan (Pulau Benua, Pulau Ibul, Teluk Birah, Sengkabuk) ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Penyu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bintan No. 58/II/2009 Tanggal 16 Februari 2009.

Luas : 116,000 ha Letak Geografis :

10 21’00” LU / 107044’00” BT 00050’00” LU / 107059’00” BT 00 25’00” LU / 106048’00” BT 10000’00” LU / 106021’00” BT

Tabel. 4.6. Kondisi Ekosistem di Lokasi KKLD Tambelan di Kabupaten Bintan

No. Ekosistem Luas (Ha) Kondisi Baik (%)

1. Lamun - -

2. Mangrove 3.544.8 -

3. Terumbu Karang 3,126,2 47,3

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan

Ibukota Kecamatan Tambelan berada di Desa Kampung Kukup. Sementara lima desa yang terdapat di Kecamatan Tambelan, jaraknya berdekatan sehingga waktu tempuh dari desa terjauh ke ibukota kecamatan sekitar 15 menit melalui jalur darat, dan jalur laut untuk Desa Pulau Pinang dan Desa Pulau Mentebung. Tambelan beriklim tropis dengan suhu rata-rata 290C-300C, dimana suhu minimum 28,920C dan suhu maksimum 30,260C. Karena berada diantara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, maka pengaruh lautan sangat berperan besar dalam kehidupan. Selain itu, karena daerah ini berada di sekitar khatulistiwa sehingga Tambelan dipengaruhi oleh angin equator. Kondisi arus perairan Tambelan sangat dipengaruhi oleh keadaan topografi Pulau Tambelan, dengan arah arus mengikuti bentuk pulau menuju arah selatan dan utara dengan kecepatan arus antara 500-1.000 mm/detik. Suhu permukaan berkisar antara 9,16-30,260C dengan rata-rata suhu 290C (CRITC-LIPI, 2006). Sementara salinitas rata-rata perairan Pulau Tambelan sekitar 33,06 ppt, dengan kondisi pH berkisar antara 8,17-8,45.

Ekosistem mangrove yang dapat ditemukan dihampir seluruh wilayah Kecamatan Tambelan dengan luasan hutan mangrove sekitar 3.544,8 Km2 dan ketebalan hutan mangrove berkisar antara 5 meter–500 meter. Spesies ekosistem mangrove yang dapat ditemukan diantaranya adalah Rhizopora mucronata, Bruguiera gymnorhiza, Soneratia alba,

Rhizopora stylosa, Xylocarpus mluccensis, Rhizopora apiculata, Lumnitzera littorea, Heritiera litoralis, Ceriops tagal, dan Excoecaria agallocha.

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 57 Gugusan terumbu karang di Tambelan merupakan terumbu karang tepi (fringing

reefs) dan taka (gosong), dengan rataan berkisar 31.261,8 km2. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 181 jenis karang batu yang termasuk ke dalam 18 suku. Sementara itu, tutupan karang hidup berkisar 10%-90% dengan rata-rata 47,39% sehingga diperkirakan luasan karang hidup mencapai 14.815 km2. Jenis ikan karang yang ditemukan di perairan ini antara lain Pomacentrus moluccensis, Lutjanus decussates,

Amblyglyphidodon curacao, Chaetodon octofaciatus, Paraglyphidodon nigrosis, Abudefduf sexfaciatus, Thalassoma lunare. Selain itu, megabenthos yang ditemukan yaitu Acanthaster planci, Diadema setosum, dan kima. Pendekatan konservasi dalam menetapkan wilayah

perairan Kepulauan Tambelan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah adalah didasarkan tingginya keanekaragaman potensi terumbu karang, namun dihadapkan pada rentannya terhadap penggunaan alat peledak dari nelayan luar daerah.

P R O F I L

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BINTAN 2011

Hal. 58

Bab.5

Potensi Sumberdaya Kelautan dan

Dalam dokumen Bab.1 Gambaran Umum Wilayah (Halaman 49-58)

Dokumen terkait