• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KETAHANAN BUDAYA

B. KEADAAN DAN MASALAH

1. Laju Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk

Permasalahan kesejahteraan rakyat di Indonesia tidak terlepas dari beban jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Pada awal tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 208,2 juta orang yang terdiri dari laki-laki 103,6 juta dan perempuan 104,6 juta orang. Berdasarkan kelompok umur, sekitar 29,8 persen berusia muda di bawah 15 tahun, sekitar 62,7 persen merupakan kelompok penduduk usia produktif dengan kisaran umur 15-59 tahun, dan sekitar 7,5 persen yang berusia 60 tahun lebih. Sekitar 44,58 persen di antara kelompok usia produktif tersebut adalah pemuda yaitu kelompok penduduk usia 15-30 tahun. Ditinjau dari kualitasnya, peringkat Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara tetangga. Berdasarkan Human Development Report (HDR) 1999, Indonesia dengan nilai Human Development Index (HDI) sebesar 0,681 menempati urutan ke 105 dari 174 negara yang diukur.

Pembangunan di berbagai bidang yang diselenggarakan selama ini juga belum terlalu mampu mengangkat kualitas perempuan. Hal ini, antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Gender-related Development Index (GDI) Indonesia. GDI mengukur variabel-variabel dalam HDI. Namun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, Nilai GDI Indonesia adalah 0,675 dan berada pada ranking ke 88, jauh tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand (HDR 1999).

Permasalahan lainnya adalah persebaran penduduk yang tidak merata. Lebih dari separuh penduduk Indonesia yaitu sekitar 59 persen berada di Pulau Jawa yang luas wilayahnya hanya sekitar 7 persen dari seluruh luas daratan Indonesia. Sebagai akibatnya kepadatan penduduk Pulau Jawa hampir 1.000 jiwa per km2 dan khusus propinsi DKI Jakarta, kepadatannya mencapai lebih dari 14 ribu jiwa per km2.. Sementara itu, kepadatan penduduk di luar pulau Jawa-Bali kurang dari 100 jiwa per km2, bahkan propinsi Irian Jaya yang memiliki luas 22 persen dari luas daratan Indonesia, kepadatannya hanya 5 jiwa per km2. Timpangnya persebaran dan kurang terarahnya mobilitas penduduk terkait erat dengan tidak seimbangnya persebaran sumberdaya dan hasil pembangunan, baik antarpulau, antarwilayah, antardaerah, maupun antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Penduduk umumnya berpindah ke daerah yang relatif lebih maju seperti Jawa dan daerah perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya. Keadaan ini mengandung potensi kerawanan di daerah perkotaan dan juga mengakibatkan sulitnya pelaksanaan program pembangunan yang lebih merata. Upaya-upaya menyeimbangkan persebaran penduduk di masa lampau antara lain melalui program transmigrasi seringkali kurang didukung oleh kebijaksanaan pembangunan sektor lainnya sehingga persebaran penduduk masih tetap relatif timpang. Penerapan otonomi daerah akan sangat berpengaruh terhadap pola mobilitas penduduk baik antardaerah maupun antarwilayah. Keserasian kepentingan antara hak penduduk untuk berpindah, daya tampung daerah dan kesatuan nasional merupakan isu strategis di masa depan. Sementara itu, perkembangan ekonomi, teknologi dan informasi akan semakin meningkatkan mobilitas penduduk non-permanen. Dengan demikian, persebaran penduduk yang seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta kehidupan yang harmonis antara penduduk setempat dan pendatang perlu untuk segera diwujudkan.

Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi merupakan beban dalam pembangunan nasional. Pada tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk

diperkirakan 1,64 persen. Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah tingkat kelahiran. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 mengungkapkan bahwa tingkat kelahiran yang dicerminkan dari angka fertilitas total (Total Fertility Rate, TFR) masih sangat bervariasi baik antardaerah, antar wilayah dan maupun antar propinsi. Angka TFR di daerah perdesaan (2,98 per perempuan) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (2,40 per perempuan). Ketimpangan tingkat kelahiran ini juga terjadi antar wilayah yaitu di luar Jawa-Bali (3,10-3,20 per perempuan) dengan di Jawa-Bali (2,57 per perempuan). Di samping itu TFR antar propinsi juga bervariasi seperti yang ditemukan dalam SDKI 1997. TFR di propinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Utara sudah di bawah 2,5 per perempuan, sedangkan beberapa propinsi seperti Sumatra Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku masih memiliki TFR diatas 3 per perempuan. Secara nasional TFR sebesar 2,78 per perempuan masih relatif tinggi jika dikaitkan dengan jumlah penduduk tanpa pertambahan di Indonesia.

Tingginya angka kelahiran erat kaitannya dengan usia kawin pertama dan pelembagaan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Secara nasional, median usia kawin pertama adalah 18,6 tahun. Namun demikian, median usia kawin pertama di perdesaan lebih rendah yaitu 17,9 tahun, sedangkan di daerah perkotaan adalah 20,4 tahun. Tingginya angka kelahiran ini juga disebabkan karena sebagian kelompok masyarakat dan keluarga belum menerima dan menghayati norma keluarga kecil sebagai landasan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Sementara itu, hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana (KB) yang merupakan dasar terwujudnya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera belum dipahami oleh sebagian masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997 yang menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur (PUS) yang ingin KB dapat terpenuhi permintaannya dan sekitar 9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Oleh karena itu, penurunan angka kelahiran sebagai bagian utama dari upaya penurunan laju pertumbuhan penduduk harus diupayakan melalui pelembagaan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, peningkatan usia kawin pertama serta pemahaman hak-hak dan kesehatan reproduksi.

Tingginya angka kelahiran dewasa ini juga berkaitan dengan penyelenggaraan program KB yang belum sepenuhnya berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi masyarakat. Hak-hak reproduksi yang dimaksud, sesuai dengan International Conference on Population and Development (ICPD) 1994, pada dasarnya adalah hak PUS untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang kapan, berapa banyak, dan jarak kelahiran anak yang mereka inginkan. Termasuk dalam hal ini adalah hak untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat dan cara-cara untuk mewujudkan keinginan reproduksi mereka. Sedangkan kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Pendekatan program KB yang telah diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi tersebut, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan target akseptor mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) serta pelayanan KB lebih ditujukan untuk mencapai target akseptor KB melebihi perhatian terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB. Pendekatan tersebut

hak reproduksi yang menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM) secara universal. Oleh karena itu, penyelenggaraan program KB yang berkualitas harus diupayakan dalam rangka memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi. Indonesia telah mulai melaksanakan pembangunan yang beorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender. Namun demikian, partisipasi laki-laki dalam ber-KB masih sangat rendah yaitu sekitar 3 persen (SDKI 1997). Hal ini selain dikarenakan keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka di bidang hak-hak dan kesehatan reproduksi. Dengan meningkatnya pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat akan kesetaraan dan keadilan jender, laki-laki dituntut untuk semakin meningkatkan partisipasinya dalam kesehatan reproduksi dan program KB. Selain itu, keterikatan Indonesia untuk melaksanakan kebijakan global yang telah disepakati dalam ICPD 1994 dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), menuntut penyelenggaraan program KB dan kesehatan reproduksi yang lebih berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender. Dengan demikian, peningkatkan partisipasi laki-laki dalam program KB dan kesehatan reproduksi harus dilakukan, dengan senantiasa memperhatikan ajaran agama, norma dan nilai yang dianut masyarakat.

Pelayanan KB yang berkualitas belum sepenuhnya mampu menjangkau seluruh wilayah nusantara. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan petugas dan pendanaan. Peran masyarakat dan pihak di luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh agama, organisasi profesi dan lembaga swadaya dan organisasi masyarakat (LSOM) terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan program KB di beberapa daerah. Sementara itu, kemitraan pemerintah dengan masyarakat dan sektor di luar pemerintah dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Oleh karena itu, penyelenggaraan kesehatan reproduksi dan KB harus diupayakan melalui peningkatan partisipasi sektor non Pemerintah, khususnya LSOM dan swasta.

Persiapan kehidupan berkeluarga dan perilaku reproduksi yang bertanggung jawab bagi generasi mendatang perlu dimulai sejak masa remaja. Namun demikian, sebagian masyarakat, orang tua maupun remaja sendiri belum memahami hak-hak dan kesehatan reproduksi remaja. Masyarakat dan keluarga masih enggan untuk membicarakan masalah reproduksi secara terbuka dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh pemahaman nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang menganggap pembahasan kesehatan reproduksi sebagai hal yang tabu. Di lain pihak, orang tua juga sering merasa tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sehingga tidak mampu membekali pengetahuan bagi anak-anaknya secara benar. Para anak dan remaja juga belum merasa nyaman mendiskusikan permasalahan kesehatan reproduksi secara terbuka dengan para orangtuanya dan lebih menyukai membicarakannya dengan sesama teman. Sementara itu, pusat atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja yang ada saat ini masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil. Semua ini mengakibatkan banyak remaja yang kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan peran remaja, keluarga dan masyarakat dalam kesehatan reproduksi remaja merupakan hal yang penting dan harus segera diwujudkan.

2. Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial

Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan yang tinggi dan persebaran yang timpang disertai dengan kemiskinan penduduk merupakan beban pembangunan. Kecepatan perubahan yang ditimbulkan oleh derasnya arus globalisasi politik, ekonomi dan informasi yang tidak seimbang dengan kesiapan masyarakat berdampak pada makin berkembang dan meluasnya bobot, jumlah dan kompleksitas berbagai permasalahan kesejahteraan sosial seperti; kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunasosialan, pengungsian, kerentanan kelompok-kelompok yang memerlukan perlindungan khusus, masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba. Kondisi ini juga menimbulkan permasalahan yang kompleks seperti kerusuhan sosial, konflik sosial, perlakuan salah dan tindak kekerasan terhadap kelompok rentan termasuk perempuan dan anak. Akumulasi berbagai masalah kesejahteraan sosial dan terbatasnya kemampuan dalam penanggulangan masalah tersebut, mengakibatkan permasalahan di bidang pembangunan kesejahteraan sosial menjadi makin kompleks.

Kemiskinan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai masalah kesejahteraan sosial muncul dalam berbagai bentuk ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar, keterpencilan dan keterasingan, ketergantungan, dan keterbatasan akses pelayanan sosial dasar. Pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin termasuk yang sangat miskin tercatat 37,5 juta jiwa atau 18,17 persen dari jumlah penduduk. Penanganan penduduk miskin, terutama yang sangat miskin, bila tidak dilakukan secara tepat akan berakibat pada munculnya masalah sosial lain seperti keterlantaran dan kecacatan. Oleh karena itu, perhatian yang serius untuk menurunkan jumlah penduduk miskin perlu ditingkatkan agar masalah-masalah kesejahteraan sosial tidak makin meningkat dan meluas.

Masalah kesejahteraan sosial yang terkait dengan kemiskinan adalah keterpencilan dan keterasingan yang dialami oleh sekitar 1,1 juta penduduk Komunitas Adat Terpencil. Komunitas ini secara geografis dan sosial budaya terpencil, dan dikhawatirkan tertinggal dari perubahan sosial yang terjadi di luar komunitasnya. Untuk mengatasi semakin terpencil dan terasingnya kelompok ini diperlukan berbagai usaha pemberdayaan masyarakat agar kualitas hidup mereka dapat lebih meningkat. Sementara itu, masalah keterlantaran yang berhubungan dengan hambatan untuk hidup wajar sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai insan dan sumberdaya manusia yang produktif, paling rawan dialami oleh anak usia balita sampai usia sekolah, perempuan dan lanjut usia. Berdasarkan hasil Susenas 1998, jumlah anak terlantar tercatat sebanyak 3,9 juta yang terdiri dari 1,1 juta balita dan 2,8 juta anak usia 6-18 tahun. Sementara itu jumlah lanjut usia terlantar adalah sekitar 3,5 juta jiwa.

Selanjutnya Susenas 1998 mengungkapkan bahwa 1,6 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk mengalami kecacatan. Masalah yang dihadapi untuk meningkatkan kemandirian dan produktivitas penyandang cacat serta penghormatan atas hak mereka untuk hidup normal meliputi: (1) terbatasnya kesempatan dan kemampuan untuk mengakses pelayanan sosial dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan; (2) belum memadainya jumlah dan kualitas tenaga pelayanan sosial untuk berbagai jenis kecacatan; (3) terbatasnya sarana dan prasarana pelayanan sosial; dan (4) terbatasnya aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat; serta (5) terbatasnya lapangan kerja yang tersedia bagi mereka. Masalah ketunasosialan yang terdiri dari gelandangan dan pengemis serta tuna susila, selain disebabkan oleh kemiskinan juga diakibatkan oleh ketidakmampuan individu untuk hidup dan bekerja sesuai

norma kesusilaan, harkat dan martabat manusia. Masalah ini banyak ditemukan terutama di kota-kota besar.

Masalah pengungsian yang terjadi di berbagai daerah adalah akibat dari kerusuhan dan gejolak sosial. Penanganan pengungsi merupakan beban berat bagi pemerintah dan masyarakat karena pengungsi yang berjumlah sangat banyak dan tersebar di berbagai lokasi perlu terus diupayakan agar tetap dapat terjaga kelangsungan hidupnya. Di samping itu, penempatan kembali pengungsi di lokasi asal maupun baru, penyelesaian masalah sosial psikologis pengungsi dan kecemburuan sosial antara pengungsi dengan penduduk setempat dan penyelesaian masalah keterlantaran anak di lokasi pengungsian merupakan beban yang lebih berat dalam penanganan pengungsi. Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Selain mencakup masalah medis, penderita HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba seringkali mengalami perlakuan diskriminatif dari keluarga maupun lingkungannya. Untuk itu, pelayanan sosial dalam bentuk perlindungan khusus perlu dilakukan agar mereka tetap dapat memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat sesuai harkat dan martabatnya. Kondisi yang sangat memprihatinkan adalah semakin mudanya usia pengguna narkoba yang semula adalah remaja menjadi usia anak sekolah dasar.

Masalah kerentanan yang memerlukan perlindungan khusus terutama dialami oleh anak, perempuan, dan lanjut usia. Perlindungan khusus untuk anak terutama ditujukan bagi anak jalanan, anak yang diperlakukan salah dan pekerja anak yang mengalami eksploitasi seksual untuk tujuan komersial. Anak jalanan sebagai gejala sosial diakibatkan langsung krisis dapat ditemukan di kota-kota besar. Pencacahan anak jalanan yang dilakukan pada tahun 1998 di 12 kota besar mengungkapkan bahwa dari sekitar 40 ribu anak jalanan, 48 persen diantaranya adalah anak-anak yang baru turun ke jalan mulai tahun 1998. Berdasarkan survei terungkap pula bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong utama anak-anak bekerja di jalan setelah terjadinya krisis.

Masalah kesejahteraan sosial yang semakin kompleks dan luas perlu diikuti oleh berfungsinya mekanisme pencegahan dan penanggulangan masalah yang cepat, tepat, dan berkelanjutan dengan cara menggali dan mendayagunakan modal sosial dalam masyarakat. Modal sosial meliputi pranata sosial dan nilai dasar kesejahteraan sosial seperti kepedulian, kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Berfungsinya mekanisme tersebut secara bertahap akan memperkuat masyarakat untuk memiliki ketahanan sosial yang pada prinsipnya merupakan kondisi dinamis untuk secara terus menerus mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Ketahanan sosial untuk menanggulangi masalah kesejahteraan sosial ini belum sepenuhnya terbangun meskipun infrastruktur sosial seperti Tenaga Lembaga Sosial Kemasyarakatan, jumlahnya terus meningkat dan peran aktifnya makin nyata. Pada saat ini terdapat lebih dari 14.000 karang taruna, 4.900 organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat dan 39.000 pekerja sosial masyarakat yang secara aktif melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial. Selanjutnya, intensitas partisipasi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan (LSK) sebagai komponen ketahanan sosial yang terdiri dari organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat dan yayasan sosial menurun sebagai dampak krisis ekonomi. Organisasi sosial yang mengalami permasalahan dalam mempertahankan kelangsungan pelayanannya adalah organisasi sosial yang tergolong dalam tahap berkembang dan belum mandiri. Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah mulai memudarnya nilai dasar kesejahteraan sosial seperti kepedulian,

kebersamaan, gotong royong, tanggung jawab, dan kesetiakawanan sosial sebagai akibat sikap individualisme dan konsumerisme.

Belum berfungsinya mekanisme pencegahan dan penanggulangan masalah kesejahteraan sosial yang dilakukan secara cepat dan tepat oleh masyarakat dapat mendorong permasalahan kesejahteran sosial menjadi semakin besar, luas, dan kompleks dan bahkan dapat mengakibatkan munculnya gejolak-gejolak sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu upaya untuk mencegah meluasnya dan upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut melalui pelaksanaan pelayanan sosial yang lebih merata dan profesional harus dilakukan. Di samping itu upaya untuk menggali dan mendayagunakan modal-modal sosial dalam masyarakat yang didukung oleh pemeliharaan dan penguatan nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial agar sistem kesejahteraan sosial yang telah melembaga dapat diwujudkan.

3. Derajat Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Indikator angka harapan hidup (AHH) waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,1 tahun (Susenas, 1999). Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, seperti Malaysia (72 tahun) dan Thailand (68,8 tahun), maka AHH penduduk Indonesia masih jauh ketinggalan. Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya indikator angka kematian bayi (AKB) di Indonesia. AKB tercatat sebesar 48 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999), sedangkan target konferensi tingkat tinggi (KTT) tentang hak-hak anak sedunia pada tahun 2000 adalah 42 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Namun terdapat perbedaan AKB antar propinsi yang cukup mencolok. Beberapa propinsi telah jauh melampaui target nasional, seperti DI Yogyakarta (18 per 1.000 kelahiran hidup) dan DKI Jakarta (24 per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan beberapa propinsi lainnya masih jauh ketinggalan antara lain Nusa Tenggara Barat (96 per 1.000 kelahiran hidup) dan Sulawesi Tengah (65 per 1.000 kelahiran hidup). Di samping itu kematian neonatal yang memberikan kontribusi cukup besar pada AKB belum mendapat perhatian yang memadai. Indikator angka kematian balita (AKABA) tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999). Sedangkan target KTT Anak pada tahun 2000 adalah 60 per 1.000 kelahiran hidup.

Indikator lain yaitu Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih memprihatinkan. Pada tahun 1995 tercatat 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995). Jika dibandingkan dengan target KTT Anak pada tahun 2000 (213 per 100.000 kelahiran hidup), maka hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Tingginya AKI tersebut erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan kesehatan selama kehamilan. Selain itu faktor usia yang relatif muda dan kemampuan komunikasi dengan masyarakat yang rendah dari bidan, serta keterbatasan dalam kemampuan penyesuaian diri dengan kondisi sosial budaya setempat ikut mempengaruhi pemanfaatan pelayanan bidan. Hal ini tercermin dari masih rendahnya pertolongan persalinan yang dibantu tenaga kesehatan (46 persen), meskipun pelayanan bidan sudah mencakup hampir seluruh desa.

Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu: gizi kurang, kurang vitamin A (KVA), anemia gizi besi, dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY). Walaupun prevalensi gizi kurang pada balita menurun dari 37,5 persen pada tahun 1989 menjadi 26,3 persen pada tahun 1999, tetapi kondisi ini belum mencapai target KTT Anak pada tahun 2000 sebesar 23 persen. Keadaan yang lebih mencemaskan adalah prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3 persen pada tahun 1989 menjadi 8,1 persen pada tahun 1999. Kelompok umur yang paling rawan

propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan antarwilayah, seperti di Aceh tercatat 56,1 persen, Nusa Tenggara Timur 52 persen, dan di DKI hanya 22,1 persen. Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen. Jika dibandingkan dengan sasaran KTT Anak pada tahun 2000 (42 persen), maka penurunan prevalensi anemia gizi besi belum memenuhi target. Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI. Prevalensi GAKY yang diukur dengan Total Goiter Rate (TGR) menunjukkan penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun demikian prevalensi GAKY di beberapa propinsi masih tinggi seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Sulawesi Tenggara berturut-turut sebesar 38,09 persen, 33,30 persen dan 24,87 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena di beberapa propinsi tingkat konsumsi garam beryodium ternyata masih rendah. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu pada masa krisis, KVA pada ibu hamil dan balita cenderung meningkat. Sebagai dampak krisis moneter, pada tahun 1999 tercatat sekitar 8 juta balita menderita gizi kurang, 1,7 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Rendahnya status gizi masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan terutama dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, kemiskinan, pendidikan dan lingkungan serta budaya yang ada di masyarakat. Memburuknya status gizi pada kelompok rentan yaitu wanita usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan bayi baru lahir. Hal ini diperburuk lagi