• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWUJUDKAN SUPREMASI HUKUM DAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH A.PENDAHULUAN

Supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Supremasi hukum dimaksudkan bahwa hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat dalam arti luas, sehingga pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktik KKN. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga-kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Prinsip-prinsip pemerintahan yang baik meliputi antara lain: (1) akuntabilitas (accountability) yang diartikan sebagai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya; (2) keterbukaan dan transparansi (opennes and transparancy) dalam arti masyarakat tidak hanya dapat mengakses suatu kebijakan tetapi juga ikut berperan aktif dalam proses perumusannya; (3) ketaatan pada hukum, dalam arti seluruh kegiatan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku dan aturan hukum dilaksanakan secara adil dan konsisten; dan (4) partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan.

Krisis moneter, ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi sejak pertengahan 1997, menunjukkan pelaksanaan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik belum dilaksanakan secara konsisten yang mengakibatkan terjadinya reformasi di berbagai bidang pemerintahan umum dan pembangunan. Berdasarkan kondisi krisis tersebut, prioritas kebijakan pembangunan untuk lima tahun mendatang (2001-2005) ditujukan dalam rangka mewujudkan kembali supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih meliputi langkah-langkah:

(1). Pembenahan kembali peraturan perundang-undangan baik berupa produk kolonial maupun nasional yang memberikan landasan dan memperkuat penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mendukung prinsip-prinsip ekonomi modern tetapi sekaligus mendukung perlindungan daya dukung ekosistem SDA serta mengintegrasikan prinsip-prinsip modern seperti penghargaan HAM, indiskriminasi perlakuan terhadap SARA, peningkatan hak-hak perempuan dan lain sebagainya.

(2). Peningkatan kepastian hukum, penegakan hukum dan HAM serta pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik KKN.

(3). Peningkatan kapasitas SDM penyelenggara negara. (4). Peningkatan kualitas pelayanan publik.

(5). Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik serta pengawasan pelaksanaannya.

(6). Peningkatan pendidikan hukum lanjutan bagi aparat penegak hukum lembaga peradilan.

(7). Pemberdayaan komisi-komisi yang terkait dengan penegakan hukum dalam rangka pemerintahan yang bersih, dengan tetap mencegah adanya tumpang tindih pelaksanaan fungsi dan tugas di antara komisi-komisi tersebut.

Untuk mendukung prioritas kebijakan tersebut, langkah jangka pendek yang terutama perlu ditempuh antara lain:

(1). Meningkatkan penegakan hukum terhadap penuntasan berbagai kasus yang terkait dengan KKN serta berbagai pelanggaran HAM yang selama ini belum dapat diselesaikan secara hukum.

(2). Menginventarisasi dan melakukan penyempurnaan kembali terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dinilai hanya menguntungkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu, khususnya di bidang ekonomi dan yang tidak mendukung upaya-upaya pemberdayaan masyarakat sipil.

(3). Meningkatkan kapasitas SDM penyelenggara negara di pusat dan daerah khususnya untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi yang demokratis sesuai UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

(4). Penyempurnaan kualitas manajemen pelayanan publik, terutama untuk mengantisipasi berbagai tuntutan masyarakat yang semakin meningkat seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi.

(5). Peningkatan partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara.

Dengan demikian perwujudan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih diharapkan dapat menjadi dasar untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan rakyat serta meningkatkan kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat dalam ikatan negara kesatuan yang demokratis.

B. KEADAAN DEWASA INI

Sebagai akibat dari praktik penyelenggaraan negara yang lalu, penegakan supremasi hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal mengalami degradasi. Bermula dari krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia tenyata mengalami krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Krisis kepercayaan tersebut tercermin antara lain dalam berbagai bentuk kekerasan baik yang bersifat vertikal yaitu perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang telah memicu tindakan kekerasan dari pemerintah, maupun konflik horisontal, yaitu perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang telah menimbulkan berbagai konflik kekerasan dari masing-masing kelompok suku bangsa. Hukum yang diharapkan berperan untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang sifatnya vertikal dan horisontal tersebut ternyata tidak memberikan hasil yang optimal.

Salah satu sebab adalah hukum yang seharusnya berperan dalam interaksi sosial yaitu untuk memberikan pedoman kehidupan masyarakat, ternyata dirasakan oleh masyarakat sebagai tidak menjamin keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya. Di samping itu, fungsi dan tugas penyelenggara negara belum sepenuhnya mengutamakan kepentingan rakyat, karena masih banyak dijumpai berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, upaya yang selama ini dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance) baru merupakan retorika. Padahal pemerintahan yang mengutamakan supremasi hukum dan bersih serta bebas dari KKN, merupakan prasyarat perwujudan pemerintahan yang baik (good governance).

Kondisi penyelenggaraan negara yang menyimpang tersebut terlihat pada tindakan otoriterisme dalam penyelenggaraan pemerintahan; kurang taatnya para penyelenggara negara pada rambu-rambu hukum dan peraturan perundang-undangan; tidak adanya transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada

rakyat; dan tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum serta rasa keadilan; serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang rendah. Peranan lembaga peradilan yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita peradilan yang mandiri, bersih, dan profesional juga tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dikarenakan tidak saja oleh besarnya intervensi dari pemerintah dan pengaruh dari pihak atau kelompok lain termasuk para pengacara dan jaksa terhadap keputusan pengadilan, tetapi juga karena kualitas dan profesionalitas hakim yang masih rendah.

Ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan ditandai dengan banyaknya putusan peradilan yang tidak mencerminkan keadilan yang sebenarnya. Merosotnya citra lembaga peradilan ini menimbulkan terjadinya tindakan main hakim sendiri di dalam masyarakat. Untuk itu, upaya yang telah dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan antara dilakukannya penyempurnaan UU No. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dengan dikeluarkannya UU No. 35/1999 tentang penyempurnaan UU No. 14/1970, untuk lebih memberdayakan lembaga peradilan yang lebih mandiri, bersih, dan profesional.

Pelaksanaan desentralisasi yang juga merupakan salah satu tuntutan era reformasi telah dituangkan dalam UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang intinya adalah adanya kewenangan yang besar dari pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sebagai perwujudan otonomi daerah. Selain itu juga dikeluarkan UU No. 25/1999 mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang diharapkan dapat lebih mendukung pemberdayaan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di daerah.

Implikasi dari kedua undang-undang tersebut adalah terjadinya pengurangan peranan pemerintah pusat di daerah dan kewenangan yang lebih besar dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menangani bidang-bidang yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat seperti antara lain di bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota, lingkungan hidup, pertanahan, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Di samping itu, pelaksanaan terhadap desentralisasi menjadi semakin mendesak setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 25/2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang diharapkan dapat semakin memperjelas kewenangan otonomi di tingkat kabupaten/kota.

Dampak lain dengan ditetapkannya otonomi daerah adalah hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah yang semula bersifat hirarki, menjadi hubungan yang lebih bersifat kemitraan dengan prinsip saling menguntungkan. Selain itu, yang juga mendesak untuk dilakukan adalah realokasi PNS di daerah, dengan kenyataan dari jumlah PNS yang seluruhnya berjumlah kurang lebih 4,1 juta orang, sekitar 85 persen atau sekitar 3,5 juta adalah PNS di tingkat pusat, sedangkan 15 persen atau sekitar 0,6 juta merupakan PNS daerah. Demikian juga dari segi pendidikan, jumlah PNS yang berpendidikan tinggi (minimal S-1) yang hanya sekitar 15 persen hampir sebagian besar berada di tingkat pusat, berpendidikan SLTA sekitar 60 persen dan sekitar 25 persen berpendidikan SLTP dan SD.

Walaupun pada pemerintahan sebelumnya telah dikeluarkan TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya UU No. 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN; serta Keppres No. 127/1999 tentang komisi pemeriksa kekayaan penyelenggara negara, namun dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik perlu segera dikeluarkan suatu sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan legitimasi yang kuat dengan sanksi

peranan untuk mencegah tindakan penyalahgunaan dan penyelewengan adalah penerapan kode etik yang belum sepenuhnya dipahami secara mendalam oleh penyelenggara negara dalam pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan.

Berbagai bentuk pengawasan baik yang ditujukan kepada aparatur penyelenggara negara maupun yang dilakukan oleh lembaga legislatif dan masyarakat dalam bentuk pengawasan melekat, pengawasan fungsional, pengawasan legislatif maupun pengawasan masyarakat pada dasarnya telah cukup memadai apabila dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen dengan disertai tindakan administratif maupun tindakan hukum. Namun kenyataan yang dihadapi adalah pelaksanaan masing-masing pengawasan tidak berjalan dengan baik. Penerapan pengawasan melekat yang tidak efektif karena dilakukan oleh pihak yang sama-sama melakukan tindakan penyelewengan atau karena masih adanya perasaan ewuh pakewuh untuk melakukan tindakan disiplin secara tegas. Sedangkan pengawasan fungsional juga tidak efektif, karena masih didapatinya aparat pengawasan fungsional pemerintah yang mempunyai perilaku tidak terpuji dan mental yang baik. Pengawasan legislatif juga sangat dipengaruhi oleh kualitas legislatif secara kelembagaan maupun individu anggota legislatif dengan kenyataan yang dihadapi saat ini adalah ketidakmampuan legislatif mengawasi eksekutif, karena kehidupan partai politik belum sepenuhnya mendukung upaya-upaya pengawasan yang efektif. Demikian juga untuk pengawasan masyarakat yang karena belum kondusifnya pelaksanaan demokrasi yang demokratis tidak memungkinkan masyarakat untuk menjalankan fungsi pengawasan yang efektif.

C. TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

Arahan GBHN 1999 di bidang hukum dan penyelenggara negara pada dasarnya ditujukan untuk meletakkan landasan mewujudkan kembali supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Sebagai bagian dari lima agenda pembangunan, tujuan umum yang ingin dicapai untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah untuk mendukung terlaksananya pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan ekonomi yang berkelanjutan dalam rangka menciptakan kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya bangsa serta meningkatkan kapasitas daerah dan memberdayakan masyarakat dalam ikatan NKRI yang lebih demokratis.

Adapun tujuan yang ingin dicapai untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih melalui Propenas pada lima tahun mendatang (2001-2005) adalah tertatanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung penuntasan berbagai kasus KKN dan pelanggaran HAM serta untuk menunjang berbagai bidang pemerintahan umum dan pembangunan. Tujuan lain adalah meningkatnya kemampuan penyelenggara negara yang lebih profesional, berkualitas, mematuhi kode etik, bersih dan bebas dari KKN serta mempunyai budaya hukum yang tinggi, berimplikasi pada pelayanan publik yang berkualitas dengan di dukung kelembagaan yang lebih terbuka, transparan dan akuntabel. Di samping itu, meningkatnya peran masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu syarat utama untuk mengupayakan terwujudnya supremasi hukum dan