• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWUJUDKAN SUPREMASI HUKUM 1.Masalah dan Tantangan

Adapun sasaran untuk mewujudkan kembali supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah terciptanya peran lembaga

D. MEWUJUDKAN SUPREMASI HUKUM 1.Masalah dan Tantangan

Supremasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik disebabkan antara lain karena adanya kehendak politik dari pemerintahan yang lalu untuk menjadikan hukum yang berkeadilan dalam posisi yang paling tinggi. Pada kenyataannya hukum telah dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan memperjuangkan kepentingan elite politik, keluarga, serta para kroni.

Dampak negatif lainnya adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat pada pemerintahan yang lalu pada umumnya tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan rakyat banyak. Peraturan perundang-undangan yang tidak aspiratif disebabkan karena masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk ikut berperan serta secara aktif dalam proses pembentukannya. Demikian juga pengadilan yang diharapkan sebagai benteng terakhir bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan ternyata tidak berhasil menunjukkan kinerjanya sebagai institusi penegak hukum yang mandiri, bersih, dan profesional.

Kondisi melemahnya supremasi hukum juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum lainnya seperti, kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang belum menunjukkan sikap yang profesional dan memiliki integritas. Sebagai bagian dari supremasi hukum, maka secara kelembagaan posisi kepolisian dan kejaksaan yang belum mandiri menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan indiskriminatif.

Masih terhambatnya upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap juga disebabkan oleh masih banyak peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Demikian juga kemampuan eksekutif dan legislatif yang sangat terbatas untuk menampung dinamika perubahan dalam masyarakat yang semakin kompleks menyebabkan produk peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan dinamika perubahan yang terjadi. Pengadilan yang diharapkan mampu melahirkan putusan-putusan (yurisprudensi) yang inovatif dan menutupi kekosongan peraturan perundang-undangan ternyata belum dilakukan secara optimal, karena kurangnya kemampuan dan keberanian hakim menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum.

Program legislasi nasional (Prolegnas) yang merupakan wadah untuk menampung berbagai kepentingan sektoral dari instansi/lembaga mempunyai peranan yang sangat penting untuk mememenuhi kebutuhan pengaturan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, lemahnya koordinasi dalam pelaksanaan Prolegnas antarintansi/lembaga pemerintahan, menyebabkan masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan tidak saling mengisi satu sama lain. Untuk itu, tantangan mendesak yang perlu dilakukan adalah meningkatkan peran Prolegnas serta mengantisipasi amandemen terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 yang secara mendasar telah mengubah kewenangan dalam pembuatan kepada DPR sebagai lembaga legislatif. Tantangan lain adalah menetapkan mekanisme kerja yang baik antara pemerintah dengan DPR sebagai dampak tidak dilakukannya perubahan terhadap Pasal 5 ayat (2) yang masih tetap memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan PP sebagai pelaksanaan UU yang sedikit banyak akan menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk mengimplementasikan pelaksanaan UU, jika dalam awal proses penyusunan RUU tidak dilibatkan secara aktif.

Dalam hubungannya dengan kegiatan di bidang ekonomi, lingkungan, pertanahan, kehutanan, perkebunan dan lain sebagainya, peraturan perundang-undangan yang ada dirasakan belum cukup responsif, sehingga sering menghambat kemajuan pembangunan. Tantangan yang dihadapi dalam hal ini diantaranya adalah perubahan peraturan perundang-undangan yang masih bersifat sentralistik, menghilangkan intervensi pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan dalam berbagai bidang kegiatan pembangunan, peninjauan dan pemantauan terhadap otonomi daerah, penataan kelembagaan serta penegakan hukum secara konsisten terhadap berbagai pihak termasuk lembaga extra judicial.

Adanya kekerasan horisontal dan kekerasan vertikal pada dasarnya disebabkan belum membudayanya nilai-nilai budaya dan kepatuhan terhadap hukum juga merupakan salah satu sebab lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan timbulnya berbagai tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan penyelewengan di lingkungan pemerintahan. Demikian juga kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan baik sebelum maupun sesudah ditetapkan baik kepada masyarakat umum maupun kepada penyelenggara negara untuk menciptakan persamaan persepsi, seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat dengan penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum. Tantangan yang dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman dan penyadaran baik kepada para penyelenggara negara maupun masyarakat terhadap pentingnya menyeimbangkan antara hak-hak dan kewajibannya.

Di era globalisasi yang sudah tidak mampu mencegah masuknya berbagai informasi, maka belum dioptimalkannya pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang pelaksanaan reformasi hukum telah menimbulkan dampak di dalam perilaku masyarakat yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa. Belum tersedianya peraturan perundang-undangan untuk mencegah masuknya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia seperti internet dan jaringan komunikasi internasionalnya (cyber law), menjadi tantangan yang harus secepatnya diantisipasi melalui penguatan tidak saja di bidang peraturan perundang-undangan namun juga kelembagaannya. Di samping itu, belum optimalnya sistem jaringan dan dokumentasi serta informasi hukum baik di lingkungan biro-biro hukum di lingkungan pemerintahan maupun lembaga peradilan juga merupakan kendala dalam mendukung penyebaran informasi yang cepat, tepat, akurat, dan transparan.

2. Strategi Kebijakan

Untuk dapat mencapai tujuan dan sasaran tersebut, strategi kebijakan yang harus dilakukan adalah menempatkan hukum pada tingkat yang paling tinggi, sehingga tidak boleh lagi menjadi subordinasi dari bidang-bidang pembangunan khususnya ekonomi dan politik. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana terjadi pada masa lalu. Pembangunan hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum termasuk penegakan hukum harus diberikan tempat yang strategis sebagai instrumen utama yang akan mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hukum juga harus bersifat netral dalam menyelesaikan potensi konflik dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam diantara instansi/lembaga pemerintahan harus dihindari. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat baik di

tingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintahan yang bersih (clean governance) serta pemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparency), penyingkapan kinerja yang dicapai (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara secara nyata (political will) merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen. Di samping itu perlunya koordinasi yang baik antara institusi pemerintah dengan Komisi Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, perguruan tinggi serta LSM untuk menyusun langkah-langkah pembenahan reformasi hukum sangat diperlukan untuk menyusun suatu bentuk rancangan besar (grand design) reformasi hukum. Adapun strategi kebijakan yang ditempuh meliputi:

a.Penyempurnaan dan Pembaharuan Perundang-undangan dan Pengembangan Budaya Hukum

Strategi kebijakan ini mewadahi 3 (tiga) arah kebijakan GBHN yang menjadi cakupan dalam strategi ini, yaitu (1) penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu tanpa mengabaikan hukum agama dan hukum adat, penyempurnaan dan pembaharuan produk-produk hukum kolonial yang diskriminatif, menghapuskan ketidakadilan jender meliputi setiap bidang penyelenggaraan pembangunan dan penyesuaian produk peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan reformasi; (2) melakukan ratifikasi konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan HAM, dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas; dan (3) mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam rangka supremasi hukum dan tegaknya negara yang berdasarkan atas hukum. Langkah pertama dari strategi ini adalah memantapkan peran Prolegnas melalui penetapan prioritas peraturan perundang-undangan yang memberi landasan dan memperkuat upaya-upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), terutama yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas dan upaya untuk menjaga kelestarian daya dukung ekosistem SDA dan fungsi lingkungan hidup serta perlindungan masyarakat setempat; dan penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan reformasi dan dinamika perubahan masyarakat. Sehubungan dengan dilakukannya amandemen Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, penetapan mekanisme koordinasi antara pemerintah dan DPR untuk penyusunan UU maupun peraturan pelaksanaannya merupakan upaya yang perlu ditempuh, sehingga sinkronisasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dapat tetap berjalan secara optimal dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Langkah kedua sebagaimana diarahkan dalam GBHN adalah melakukan ratifikasi yang terkait dengan penghormatan HAM termasuk peningkatan terhadap hak-hak perempuan. Langkah lain adalah melakukan ratifikasi yang mendesak, prioritas dan penting yaitu ratifikasi berbagai konvensi dan kesepakatan internasional di bidang ekonomi yang mendukung upaya pemulihan ekonomi.

Langkah ketiga adalah melakukan upaya-upaya penyadaran hukum yang lebih bersifat dua arah. Langkah penyadaran hukum yang pada masa lalu dilakukan dengan penyuluhan hukum ternyata lebih banyak pada pemaksaan

kewajiban yang harus dipatuhi oleh masyarakat dan penyelenggara negara dan mengabaikan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dan penyelenggara negara. Sesuai dengan tuntutan reformasi yang lebih memberdayakan masyarakat, maka penyadaran hukum tidak hanya pada kewajiban tetapi juga hak serta upaya pemahaman melalui sosialiasi berbagai materi hukum dan perundang-undangan merupakan langkah yang ditempuh dalam lima tahun mendatang. Kerjasama antara instansi baik di pusat dan daerah dengan masyarakat dan LSM dalam rangka penyadaran hukum perlu terus diupayakan yang materinya disesuaikan dengan perkembangan pembangunan yang ada.

b. Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya

Kebijakan untuk melakukan pembenahan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya merupakan strategi yang terkait erat untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih. Keterkaitan yang erat antara produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan pelaksanaan tugas dan fungsi aparat pengadilan dan aparat penegak hukum, menuntut pemahaman dan pendalaman berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi bidang tugasnya masing-masing termasuk berbagai penyempurnaannya. Karena perbaikan peraturan perundang-undangan tidak akan berarti apabila lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya tidak dapat mengimplementasikannya secara konsisten dan konsekuen.

Pembenahan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan, PPNS merupakan suatu proses yang membutuhkan perencanaan yang terarah dan terpadu, realistis dan sekaligus mencerminkan prioritas dan aspirasi kebutuhan masyarakat. Pembenahan kelembagaan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya ditujukan untuk mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya Mahkamah Agung (MA), lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, tidak memihak (imparsial), transparan, kompeten, memiliki akuntabilitas, partisipatif, cepat ,dan mudah diakses.

Pembenahan terhadap lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya juga harus didukung oleh peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum yang diarahkan untuk lebih profesional, memiliki integritas, kepribadian, dan moral yang tinggi. Untuk menciptakan aparat hukum yang memiliki integritas, kemampuan tinggi serta profesional di bidangnya, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan sistem perekrutan, terutama perekrutan bagi hakim dan hakim agung, promosi, pendidikan, pelatihan, serta sistem pengawasan.

Peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum, juga perlu terus ditingkatkan dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menciptakan aparat penegak hukum yang berintegritas dan berkualitas.

Hal-hal di atas perlu pula didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang dimaksudkan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum sehigga hukum benar-benar dapat berperannya sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta berfungsi sebagai pengayom masyarakat dan memberikan keadilan bagi masyarakat. Semakin tidak adanya batas-batas antarnegara dan untuk mendukung efektifitas peranserta masyarakat dalam pembentukan kebijakan dan pengawasan, maka peningkatan sarana dan prasarana di bidang teknologi informatika untuk mendukung terwujudnya sistem jaringan dan dokumentasi hukum dan putusan pengadilan yang cepat, tepat dan akurat juga perlu menjadi perhatian utama.

c. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kondisi penegakan hukum dan HAM saat ini masih sangat memprihatinkan harus segera dibenahi dengan menghilangkan segala bentuk tindakan otoriterisme dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kasus KKN yang sampai sekarang belum dapat ditindaklanjuti secara hukum. Selain itu juga perlu meningkatkan ketaatan para penyelenggara negara termasuk aparatur hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik, jujur, adil, dan profesional (good governance) serta dalam mematuhi rambu-rambu hukum dan peraturan perundang-undangan.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas perlu disosialisasikan kepada aparatur penyelenggara negara sebagai kewajiban yang melekat dalam setiap pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan. Penegakan hukum yang konsisten sekaligus memberikan perlindungan dan kepastian hukum, rasa aman, serta keadilan perlu diwujudkan sebagai upaya mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Pemberdayaan lembaga peradilan agar benar-benar independen atau bebas dari intervensi pemerintah serta pengaruh dari pihak lain perlu terus diupayakan dan diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada peradilan. Demikian juga koordinasi antara lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan perlu semakin ditingkatkan dan dimantapkan, sehingga sentralisme kepentingan dari masing-masing lembaga dapat dihindari. Lembaga independen yang diharapkan dapat membantu upaya penegakan hukum khususnya pemberantasan KKN dan HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemeriksa Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Komisi Ombudsman Nasional yang diharapkan mampu secara obyektif menilai kualitas pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan, serta melakukan penilaian dan pengawasan terhadap berbagai potensi KKN di dalam birokrasi pemerintahan sendiri. Untuk itu, upaya memperkuat komisi-komisi tersebut melalui penguatan mandat dan kewenangan, serta penetapan pola rekrutmen keanggotaan agar pemilihan keanggotaannya didasarkan pada integritas dan kualitas dengan tetap mencegah agar tidak terjadi duplikasi fungsi dan peran antara komisi-komisi tersebut.

Komisi Ombudsman Nasional melalui UU perlu dilakukan dengan memperluas kewenangan sampai pada tingkat penyelidikan. Dengan semakin ditingkatkannya kedudukan Komisi Ombudsman, maka diharapkan peran pengawasan terhadap kinerja aparatur penyelenggara negara menjadi semakin efektif dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Selain itu, dalam rangka transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggara tugas aparatur penegak hukum dan lembaga peradilan, maka pemberian informasi yang terbuka dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan kasus KKN perlu lebih ditingkatkan dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi tidak saja melalui media cetak dan media elektronik lainnya, tetapi juga langsung kepada lembaga pelaksana seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian dengan pembatasan-pembatasan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian ketertutupan terhadap infomasi dalam penanganan kasus atau perkara-perkara yang selama ini terjadi tidak akan terjadi lagi.

3. Program-program Pembangunan

Program-program pembangunan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan supremasi hukum dalam lima tahun mendatang terutama difokuskan untuk

mendukung proses tercapainya penegakan hukum, penuntasan kasus KKN, dan pelanggaran HAM, meningkatkan peran lembaga peradilan, serta pembaharuan hukum yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

a. Program Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Untuk mendukung proses penyusunan dan pembentukan perundang-undangan yang aspiratif, kegiatan yang dilakukan meliputi:

(1). Menyusun wadah hukum bagi proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mampu mengakomodir aspirasi masyarakat luas. Prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan ini berlaku bagi DPR maupun pemerintah sebagai konsekuensi adanya amandemen terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945.

(2). Menyusun peraturan perundang-undangan yang mendukung sistem perwakilan yang efektif, independensi peradilan, birokrasi yang profesional, bersih, dan responsif, desentralisasi yang demokratis, dan masyarakat sipil yang kokoh sebagai landasan untuk memperkuat upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

Untuk mewujudkan sistem perwakilan yang efektif diperlukan suatu sistem pemilu, sistem kepartaian, serta susunan dan kedudukan lembaga perwakilan seperti MPR, DPR, dan DPRD yang menjamin penyelenggaraan kehidupan politik yang efisien, efektif, serta berorientasi pada aspirasi masyarakat. Upaya mewujudkan independensi peradilan dilakukan terutama melalui pembenahan berbagai tingkat peradilan, terutama MA, dan pembenahan terhadap aparat penegak hukum lainnya melalui perubahan pasal-pasal konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang terkait. Upaya untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang profesional, bersih, dan responsif dilakukan antara lain melalui pembaharuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberdayaan pengawasan internal maupun eksternal dan pengembangan sistem pengambilan keputusan di dalam pemerintah sehingga menjadi terbuka dan transparan.

Adapun pembaharuan peraturan perundang-undangan yang mendukung desentralisasi yang demokratis terutama ditujukan pada upaya harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi yang demokratis. Pengembangan peraturan perundang-undangan yang mendukung sistem perwakilan yang efektif dan peguatan masyarakat sipil di daerah juga sangat terkait dengan upaya mewujudkan desentralisasi yang demokratis. Pembaharuan peraturan perundang-undangan yang mendukung penguatan masyarakat sipil diprioritaskan pada penyediaan akses publik untuk mengawasi perilaku pejabat publik dalam konteks pengambilan keputusan publik, penyediaaan akses masyarakat atas informasi, hak publik untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, dan hak publik untuk mengajukan keberatan apabila hak mereka diabaikan dan masukan masyarakat tidak dipertimbangankan secara memadai.

Selain itu upaya untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas dan perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup serta perlindungan masyarakat setempat dilakukan melalui penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan. Karena SDA dijadikan modal utama bagi pemulihan ekonomi Indonesia yang mengarah pada kebijakan yang bersifat eksploitatif, maka kebijakan-kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi juga harus dibarengi dengan upaya-upaya nyata untuk melindungi daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup serta perlindungan terhadap masyarakat setempat.

Kegiatan lain adalah peratifikasian berbagai konvensi internasional khususnya yang berkaitan dengan HAM terutama yang terkait dengan perlindungan dan peningkatan hak-hak perempuan; menyempurnakan dan meningkatkan kembali peran Prolegnas; mengkaji dan menyempurnakan semua produk hukum yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta tidak sejalan lagi dengan jiwa dan perkembangan masyarakat Indonesia yang sifatnya umum dan mendasar serta yang menyangkut hajat hidup orang banyak; peningkatan koordinasi dan kerjasama dalam pengembangan dan pemanfaatan penelitian hukum antarberbagai instansi baik di pusat maupun di daerah, kalangan akademis, lembaga pengkajian dan penelitian hukum, organisasi profesi hukum dan menampung masukan-masukan dari organisasi kemasyarakatan, serta LSM lainnya, penyusunan naskah akademik peraturan perundang-undangan yang dikhususkan pada permasalahan kemasyarakatan yang berinteraksi dengan hukum serta masalah-masalah hukum regional dan internasional yang diperkirakan terjadi dalam 5 (lima) tahun mendatang; penyelenggaraan pertemuan ilmiah hukum yang membahas hasil pengkajian serta penelitian hukum terkini yang hasilnya dituangkan dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan. Di samping itu, kegiatan forum kerjasama internasional bidang hukum, penyelenggaraan forum koordinasi, integrasi, sinkronisasi bidang hukum juga akan dilakukan seefisien dan seefektif mungkin.

b. Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya

Program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya dilaksanakan dengan tetap berpegang pada asas peradilan yang bebas, mandiri, dan tidak memihak (imparsial) transparan, memiliki akuntabilitas, kompeten (berkualitas), cepat, sederhana dan dengan biaya terjangkau (mudah diakses) bagi seluruh masyarakat pencari keadilan. Guna mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya MA, lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, perlu dilakukan perubahan terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Peranserta DPR terhadap kepolisian dan kejaksaan, baik dalam hal pengangkatan pimpinan maupun pengawasan, perlu dilakukan. Khusus bagi kepolisian, perlu dipercepat upaya pemisahan kepolisian dari TNI. Upaya untuk memandirikan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lain, perlu diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pertangungjawaban yang baik. Selain itu, dalam menunjang terciptanya sistem peradilan yang terpadu, perlu dilakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak hukum, khususnya antara PPNS dan kepolisian, antara kepolisian dan kejaksaan dan antara hakim dan pejabat peradilan administratif. Sinkronisasi ini menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang aparat penegak hukum yang selama ini terjadi sehingga merugikan upaya penegakan hukum dan masyarakat pencari keadilan. Keberadaan profesi advokat, pengacara atau penasehat hukum dalam pembentukan sistem peradilan yang terpadu, perlu direalisasi melalui pembentukan UU yang mengatur mengenai profesi tersebut

Untuk meningkatkan kualitas dan integritas aparat penegak hukum melalui perbaikan sistem perekrutan, promosi, pendidikan, pelatihan, sistem pengawasan, serta peningkatan kesejahteraan, perlu dilakukan melalui beberapa hal, yaitu:

(1). Menciptakan sistem rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekrutmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi dan partisipasi.

(2). Optimalisasi standar kode etik profesi hukum di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya serta asosiasi profesi