• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPERKUAT LANDASAN PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN Dalam rangka memperkuat landasan bagi pembangunan ekonomi jangka panjang

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN

E. MEMPERKUAT LANDASAN PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN Dalam rangka memperkuat landasan bagi pembangunan ekonomi jangka panjang

tersebut kebijakan-kebijakan pokok yang perlu ditempuh antara lain adalah penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan UKMK, pengembangan ketenagakerjaan, penguatan institusi pasar, pengembangan industri berdasarkan keunggulan komparatif, pengembangan pertanian dan ketahanan pangan, peningkatan penguasaan dan penerapan teknologi, peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara, dan peningkatan efektivitas pengelolaan utang pemerintah.

1. Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dengan dalih apapun. Untuk itu penanggulangan kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sesuai dengan prinsip keadilan, penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu upaya strategis dalam mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan keterpurukan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lain yang mempunyai potensi lebih tinggi. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, persatuan dan keadilan. Oleh sebab itu, penanggulangan kemiskinan perlu dijadikan sebagai komitmen nasional yang harus dilakukan secara sistematis, lintas bidang, sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

a. Masalah dan Tantangan

Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus menerus, dan kemiskinan sementara (transient poverty). Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) kondisi sosial-budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian terutama penduduk yang tinggal di daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil dan kemampuan serta keterbatasn kemampuan penduduk untuk melakukan perpindahan dalam rangka peningkatan taraf hidup; dan (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya (1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi; (2) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan; dan (3) bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Selama tiga dekade, berbagai program pembangunan telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta pada tahun 1996. Upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan prasarana, dan pendampingan.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini perlu dipahami secara hati-hati karena perbedaan ukuran garis kemiskinan yang digunakan. Jumlah penduduk yang meningkat tersebut terutama disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Dalam kondisi krisis, kenaikan harga-harga yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan nominal menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke atas sehingga penduduk yang semula tidak termasuk miskin menjadi miskin.

Masalah kemiskinan pasca krisis tersebut ditandai dengan menurunnya pendapatan masyarakat sebagai akibat dari pengurangan jam kerja dan peningkatan jumlah pengangguran. Penurunan pendapatan masyarakat tersebut ternyata membawa dampak ganda terhadap pergeseran pola

kehidupan keluarga, seperti pergeseran pekerjaan dari sektor formal ke sektor informal, penurunan porsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan, serta peningkatan keresahan sosial baik di tingkat keluarga maupun masyarakat. Permasalahan tersebut memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kemungkinan merosotnya mutu generasi di masa mendatang. Dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan akibat krisis tersebut telah dilaksanakan program jaring pengaman sosial (JPS) yang dirancang khusus untuk mengatasi dampak negatif krisis.

Sejalan dengan membaiknya perekonomian yang diikuti oleh penurunan harga-harga dan meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai hasil transfer pendapatan dari program JPS, jumlah penduduk miskin secara bertahap mengalami penurunan menjadi 37,5 juta jiwa (18,2 persen dari jumlah penduduk) pada Agustus 1999, yaitu 12,4 juta jiwa di daerah perkotaan dan 25,1 juta jiwa di daerah perdesaan.

Tantangan utama yang perlu diatasi dalam jangka pendek adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin tersebut melalui pendekatan kemanusiaan yang menekankan pemenuhan kebutuhan dasar, pendekatan kesejahteraan melalui peningkatan dan pengembangan usaha ekonomi produktif, serta penyediaan jaminan sosial dan perlindungan. Selain itu, perlu pula dilakukan penanggulangan kemiskinan secara komprehensif dan terpadu yang melibatkan semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun masyarakat miskin sendiri agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.

b. Strategi Kebijakan

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi sehingga memerlukan strategi penanggulangan yang komprehensif. Karena itu, kedua strategi penanggulangan tersebut di atas, perlu didukung oleh kebijakan makro dan lintas sektoral yang dibahas pada bab-bab lainnya, meliputi antara lain:

(1). Kebijakan menjaga stabilitas politik dan keamanan. Kebijakan penanggulangan kemiskinan akan berjalan baik dan efektif apabila ada suasana tenteram dan stabil.

(2). Kebijakan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Strategi kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dilakukan semaksimal mungkin untuk menjangkau mayoritas penduduk miskin (pro-poor growth) terutama melalui kegiatan yang dapat membuka sebanyak mungkin kesempatan kerja, kesempatan usaha dan kesempatan untuk berpindah ke tempat yang lebih baik bagi kelompok miskin. Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus dilaksanakan tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan karena beban terbesar dari

kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup baik di perkotaan maupun perdesaan akan jatuh pada penduduk miskin.

(3). Kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk. Penanggulangan kemiskinan hanya akan dapat berjalan efektif apabila pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan. Oleh sebab itu, strategi kebijakan keluarga berencana yang diarahkan secara tepat dan efektif kepada mereka yang berpenghasilan rendah dan keluarga miskin sejahtera adalah salah satu faktor kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.

(4). Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kesehatan fisik dan tingkat pendidikan yang memadai merupakan modal dasar bagi kemandirian penduduk dalam menolong diri mereka sendiri. Prioritas tinggi harus diberikan kepada anak-anak dari keluarga miskin agar dapat memotong proses pewarisan kemiskinan antargenerasi.

(5). Kebijakan untuk meningkatkan akses usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) terhadap sumber pembiayaan, teknologi dan pasar. Pengembangan UKMK akan berdampak pada meningkatnya pendapatan penduduk miskin, yang memang sebagian besar bekerja di sektor ini.

(6). Kebijakan pembangunan perdesaan. Pembangunan perdesaan perlu mendapatkan prioritas dalam pembangunan nasional, karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di perdesaan. Selain akan mengurangi jumlah penduduk miskin di perdesaan, pembangunan perdesaan akan mengurangi tekanan terhadap perpindahan penduduk ke perkotaan.

Berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi, yaitu mendelegasikan proses pengambilan keputusan, tanggung jawab dan kewenangan sedekat mungkin dengan kelompok sasaran. Pemerintah daerah berperan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan di daerahnya dan secara umum bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan kebijakan di daerahnya. Keterlibatan pemerintah pusat terletak pada pengembangan sistem informasi yang didasarkan pada data dasar yang lengkap, akurat, dan mutakhir mengenai kondisi penduduk miskin.

c. Program Pembangunan

Program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara lintas sektoral dan komprehensif. Tiga program penanggulangan kemiskinan pada bab ini merupakan program yang secara langsung diarahkan pada penduduk miskin. Program-program lainnya yang bersifat penunjang tersebar di beberapa bab lainnya.

(1). Penyediaan Kebutuhan Pokok untuk Keluarga Miskin

Program ini bertujuan untuk membantu penyediaan bahan pokok pangan, dan pelayanan dasar di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin secara merata dan harga yang terjangkau. Sasaran program ini adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi keluarga miskin secara terus-menerus dan harga yang terjangkau, tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga miskin, dan tersedianya perumahan bagi keluarga miskin. Kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan dalam wadah Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Kegiatan prioritas yang dilakukan adalah (1) penyediaan dan pencadangan bahan pokok secara terus-menerus; (2) pengendalian harga bahan pokok; (3) penyediaan pelayanan dasar terutama kesehatan dan pendidikan; (4) perluasan jaringan pelayanan dalam penyediaan kebutuhan pokok; dan (5) perbaikan lingkungan perumahan termasuk air bersih.

(2). Pengembangan Sistem Jaminan Sosial

Program ini bertujuan untuk memberikan dukungan dan mendorong terselenggaranya sistem jaminan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sasaran program ini adalah terselenggaranya jaminan sosial yang memberikan perlindungan masa depan bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin, keluarga dan kelompok masyarakat yang terkena musibah bencana alam, dan keluarga dan kelompok masyarakat yang menderita akibat perubahan sosial-ekonomi, kecelakaan, dan korban kejahatan. Kegiatan prioritas yang dilakukan adalah: (1) pengembangan sistem jaminan sosial yang efektif sesuai dengan budaya masyarakat; (2) pemantapan sistem jaminan sosial yang sudah berkembang di masyarakat; dan (3) peningkatan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sistem jaminan sosial.

(3). Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin

Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha-usaha ekonomi produktif. Sasaran dari program ini adalah terselenggaranya pendidikan dan latihan keterampilan usaha, berkembangnya perilaku keluarga miskin yang berorientasi pada usaha produktif, dan terwujudnya usaha produktif yang menguntungkan dan berkelanjutan bagi keluarga miskin.

Kegiatan prioritas yang akan dilakukan adalah (1) pengembangan pendidikan dan latihan keterampilan usaha; (2) pendampingan melalui bimbingan dan konsultasi; (3) penciptaan jaringan kerja sama dan kemitraan usaha yang didukung oleh organisasi masyarakat setempat, pemerintah daerah, swasta, dan perguruan tinggi; (4) penyediaan kemudahan akses terhadap sumber-sumberdaya; dan (5) penyediaan prasarana dan sarana usaha bagi keluarga miskin.

2. Pemberdayaan Pengusaha Kecil, Menengah, dan Koperasi

Keberadaan pengusaha kecil dan menengah, termasuk yang berskala usaha mikro, serta koperasi (PKMK) yang tersebar di berbagai daerah merupakan wujud dari kehidupan ekonomi bagian terbesar rakyat sehingga merupakan unsur utama sistem ekonomi kerakyatan. Tumbuh dan berkembangannya PKMK dalam perekonomian nasional menjadi wujud dari terselenggaranya ekonomi kerakyatan. Karena itu pemberdayaan PKMK merupakan prioritas dan sangat vital dalam mempercepat pembangunan daerah, meningkatkan daya saing, serta memperkokoh ketahanan ekonomi nasional.

a.

Masalah dan Tantangan

Selama ini, dalam kenyataannya PKMK yang bergerak hampir di semua sektor ekonomi dan berlokasi di seluruh daerah, khususnya usaha berskala kecil, berada dalam keadaan tertinggal dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang lain. Menurut kajian BPS, dengan jumlah sekitar 36,8 juta unit usaha (99,9 persen), usaha kecil dan menengah

memberikan kontribusi dalam pembentukan PDB sebesar 58,2 persen pada tahun 1998.

Permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan PKMK ada yang bersifat struktural yang pemecahannya memerlukan jangka waktu yang lebih panjang dan ada pula yang bersifat mendesak yang terkait dengan krisis yang dihadapi dewasa ini. Masalah mendesak tersebut adalah menurunnya daya beli konsumen, sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan PKMK, dan langkanya sumber dana untuk mendukung operasional produksi. Bagi PKMK di beberapa sektor merosotnya nilai tukar rupiah menyulitkan pengadaan bahan baku yang masih diimpor. Dampak krisis ekonomi pada dunia perbankan relatif kurang berpengaruh bagi PKMK karena akses PKMK terhadap perbankan memang terbatas. Modal yang diperlukan untuk mengembangkan usaha PKMK lebih banyak mengandalkan pada hasil usaha yang diperoleh. Keterbatasan modal tersebut juga merupakan masalah struktural.

Masalah struktural berikutnya adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang tercermin dari kurang berkembangnya kewirausahaan dan rendahnya profesionalisme PKM serta lemahnya kewirakoperasian para anggota dan pengelola koperasi. Selanjutnya adalah keterbatasan jumlah lembaga penyedia jasa yang melayani PKMK terhadap informasi, teknologi, modal, dan pasar menjadi hambatan utama PKMK untuk meningkatkan volume usaha, produktivitas, dan daya saingnya.

Selain itu masih ditemukan adanya mekanisme pasar yang distortif termasuk regulasi dan retribusi yang dasar hukumnya kurang kuat dan proses perizinan yang kurang transparan serta lemahnya koordinasi antar badan/lembaga yang mengembangkan program pembinaan PKMK. Keadaan demikian menyebabkan PKMK menanggung beban biaya transaksi yang sangat besar.

Sementara itu tantangan yang dihadapi adalah menerapkan dan menegakkan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk mewujudkan iklim yang kondusif yang dapat menjamin kepastian dan kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku ekonomi. Tantangan lainnya adalah globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan pesatnya mobilisasi dana investasi yang menuntut percepatan peningkatan kemampuan dan daya saing PKMK.

b.

Strategi Kebijakan

Strategi kebijakan pemberdayaan PKMK mencakup tiga strategi pokok. Strategi kebijakan pertama ditujukan untuk memungkinkan terbukanya kesempatan berusaha seluas-luasnya serta kepastian usaha sebagai prasyarat utama untuk menjamin berkembangnya PKMK. Stategi kebijakan ini mencakup:

(1). Sejalan dengan kebijakan moneter yang mendukung stabilitas suku bunga pinjaman yang wajar dan dapat dijangkau oleh PKMK, terutama pengusaha mikro; dilaksanakan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan sektoral; penyederhanaan perizinan, peraturan daerah dan retribusi; serta peningkatan upaya penegakan hukum.

(2). Pemberian sistem insentif pajak dan kemudahan untuk menumbuhkembangkan sistem dan jaringan lembaga pendukung PKMK yang lebih meluas di daerah, seperti lembaga keuangan/ pembiayaan yang mandiri dan mengakar di masyarakat (LKM), lembaga penjaminan dana, dan lembaga profesional sebagai

(3). Peningkatan kemampuan aparat dan menyederhanakan birokrasi pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan fungsi sebagai fasilitator sejalan dengan pelimpahan kewenangan daerah dalam melaksanakan kebijakan dan program pemberdayaan PKMK.

Strategi kebijakan kedua ditujukan untuk memperluas akses kepada sumberdaya produktif agar PKMK semakin mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka, potensi sumberdaya alam lokal yang dimiliki serta meningkatkan skala usahanya. Strategi kebijakan ini mencakup:

(1). Peningkatan kemampuan lembaga layanan pengembangan usaha, teknologi dan informasi bagi PKMK di tingkat lokal serta penciptaan sistem jaringannya melalui penguatan manajemen atau pendampingan kepada lembaga layanan tersebut secara partisipatif dan kompetitif.

(2). Peningkatan kualitas jasa layanan LKM serta lembaga keuangan sekunder di tingkat lokal melalui dukungan: (a) perlindungan status badan hukum, kemudahan perizinan serta penyediaan sistem insentif; (b) penguatan manajemen serta permodalan dan penjaminan secara partisipatif, kompetitif, dan adil dengan memilih lembaga yang potensial, kuat dan menjanjikan berdasarkan kinerja masa lalunya; (c) pengembangan sistem penilaian kredit PKMK yang didukung oleh jaringan sistem informasi antar LKM sehingga dapat menghilangkan persyaratan agunan dan memudahkan akses kredit; dan (d) pembentukan sistem jaringan antar LKM agar terjalin kerjasama dan tercipta sistem peminjaman antar LKM.

(3). Mendorong berkembangnya lembaga-lembaga pelatihan khusus bagi PKM, koperasi dan anggota koperasi sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat peningkatan kualitas SDM. Lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga yang dikelola oleh dunia usaha serta masyarakat. Sistem insentif perlu diberikan pada tahap awal bersamaan dengan upaya perkuatan antara lain melalui pelatihan dan permagangan pengelola dan instruktur; pembinaan manajemen; sertifikasi program pelatihan dan akreditasi; dan pengembangan jaringan kerjasama antar lembaga pelatihan. Sejalan dengan itu perlu dilakukan reorientasi dan restrukturisasi lembaga pendukung usaha milik pemerintah menjadi lembaga mandiri.

Strategi kebijakan ketiga ditujukan untuk mengembangkan PKMK yang mempunyai keunggulan kompetitif, terutama yang berbasis teknologi. Srategi ini meliputi:

(1). Peningkatan kualitas pengusaha kecil dan menengah menjadi wirausaha yang mampu memanfaatkan potensi, keterampilan atau keahliannya untuk berkreasi, berinovasi dan menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan budaya berusaha.

(2). Pengembangan lembaga inkubator bisnis dan teknologi yang selain dapat berfungsi untuk mendukung pengembangan usaha PKMK juga merupakan sarana untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis teknologi. Hal ini disertai dengan pengembangan modal ventura dan penyediaan pinjaman berjangka panjang; sistem insentif untuk kemitraan usaha PKMK dengan investor asing untuk produk unggulan berorientasi ekspor; dan dukungan penelitian dan pengembangan teknologi dalam pengembangan teknologi proses dan produk UKMK.

(3). Pengembangan jaringan produksi dan distribusi PKMK melalui pengembangan usaha kelompok, jaringan antar PKMK dan antar

kelompok PKMK melalui wadah koperasi dengan mengembangkan keterkaitan usaha melalui integrasi vertikal dan horizontal, maupun jaringan antara PKMK dan usaha besar melalui kemitraan usaha.

(4). Perkuatan organisasi dan kemampuan manajemen PKM melalui wadah koperasi untuk meningkatkan skala usaha yang ekonomis dan meningkatkan efisiensi secara bersama, antara lain dengan implantasi tenaga ahli/ manajemen serta penerapan manajemen partisipatif dan manajemen mutu terpadu.

(5). Pengembangan teknologi informasi dan membentuk jaringan kerjasama lembaga-lembaga layanan dan pendukung PKMK sehingga tercipta spektrum kerjasama layanan sarana dan profesi/keahlian yang paripurna disertai pelatihan dan permagangan bagi para pengelolanya.

c.

Program Pembangunan

Dalam kerangka strategi kebijakan dalam lima tahun mendatang, program-program pembangunan nasional yang penting adalah sebagai berikut.

(1). Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha

Program ini bertujuan menciptakan iklim usaha yang kondusif serta memperluas dan memperkuat peran dan fungsi lembaga-lembaga pendukung yang penting untuk meningkatkan akses PKMK kepada sumberdaya produktif, terutama pelaku usaha yang masih tertinggal. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya akses PKMK terhadap kesempatan usaha, modal dan sumberdaya produktif serta berkembangnya jaringan produksi.

Program ini antara lain mencakup penyempurnaan segala peraturan dan ketentuan yang menghambat kesempatan dan kegiatan usaha PKMK serta mengurangi biaya transaksi yang timbul; dan perkuatan lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha PKMK, seperti sistem dan jaringan lembaga keuangan, pengembangan sumberdaya manusia, jasa pengembangan teknologi dan informasi serta sistem dan jaringan produksi dan distribusi.

(2). Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif

Program ini ditujukan untuk mengembangkan sikap dan semangat kewira-usahaan serta meningkatkan kemampuan/keterampilan pengusaha kecil dan menengah yang dijiwai semangat kooperatif. Sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya PKMK yang berjiwa wirausaha dan koperatif, profesional, beretika usaha, serta berkeunggulan kompetitif.

Program ini mencakup antara lain pengembangan kewirausahaan dan kewirakoperasian serta pengembangan usaha PKMK dalam aspek keterampilan dan pengetahuan mengenai modal, pasar, manajemen usaha, teknologi, dan informasi. Hal tersebut ditempuh melalui pelatihan perencanaan dan strategi pengembangan usaha, etika berusaha dan profesi, pelatihan kepada pengurus atau pengelola dan anggota koperasi untuk berusaha secara kooperatif, serta pelatihan motivator koperasi untuk meningkatkan partisipasi aktif anggota; serta perkuatan dan pengembangan lembaga inkubator teknologi dan bisnis berdasarkan prinsip kemandirian; serta pengembangan disain, proses, mutu produk, dan teknologi informasi bagi jaringan usaha.

3. Pengembangan Ketenagakerjaan

a.

Masalah dan Tantangan

Perkembangan ketenagakerjaan tidak terlepas dari perkembangan perekonomian nasional. Krisis moneter yang melanda perekonomian nasional telah menimbulkan dampak negatif, antara lain meningkatnya secara tajam angka pengangguran, baik pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran. Secara garis besar permasalahan ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, jumlah penganggur yang makin meningkat dan meluas. Kedua, kualitas tenaga kerja yang ada belum memadai. Ketiga, belum terpenuhinya hak dan perlindungan tenaga kerja.

Jumlah penganggur terbuka meningkat dan jumlah setengah penganggur meningkat pesat dalam masa krisis ini. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pengangguran terbuka banyak terdapat di daerah perkotaan, dan setengah pengangguran banyak berada di perdesaan. Banyak tenaga kerja yang berpindah ke wilayah perkotaan dan mempengaruhi tingkat mobilitas angkatan kerja dari desa ke kota. Karena lapangan kerja formal terbatas, lapangan usaha informal dan usaha keluarga merupakan jalan keluar sementara dan menjadikan angkatan kerja sektor informal meningkat.

Kualitas angkatan kerja yang dicerminkan melalui tingkat pendidikan pekerja belum menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Angkatan kerja yang berpendidikan rendah, masih cukup besar. Di sisi lain, terdapat ketidakseimbangan antara angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, membawa permasalahan tersendiri. Banyak jenis keahlian tertentu yang dibutuhkan pasar kerja, tidak dapat dipenuhi oleh angkatan kerja yang ada. Sementara itu, tenaga berpendidikan tinggi, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, banyak yang menganggur.

Dari segi perlindungan tenaga kerja, masalah yang dihadapi berkaitan dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan pekerja dalam memahami peraturan, dan hak-hak serta kewajibannya sebagai pekerja. Serikat pekerja, Lembaga Bipartit dan Tripartit, belum mampu berfungsi dengan baik untuk menampung dan mengupayakan aspirasi pekerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan perlindungannya. Ini menimbulkan banyaknya aksi mogok oleh pekerja yang pada akhirnya akan merugikan pekerja dan pengusaha serta masyarakat luas.

Keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri, mendorong keinginan angkatan kerja untuk bekerja di luar negeri. Terutama dengan semakin terbukanya pasar global termasuk mobilitas tenaga kerjanya. Keterbatasan keterampilan, menyebabkan tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri (TKI) bekerja pada lapangan usaha tidak formal.