• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Onan Nainggolan Sebelum Tahun 1965

BAB II Onan Nainggolan Sebelum Tahun 1965

2.3 Keadaan Onan Nainggolan Sebelum Tahun 1965

Secara historis Pasar Onan Nainggolan dulunya disebut Onan Pesanggrahan.

Onan Pesanggrahan ini dulunya hanya merupakan tanah kosong yang digunakan masyarakat sebagai tempat pesanggrahan atau tempat pertemuan raja-raja Batak (Raja Bius) dalam melakukan pertemuan penting, kecuali hari Senin karena difungsikan sebagai pasar (onan)7

Onan Pesanggrahan telah ada sejak tahun 1936 dan merupakan tanah milik marga Nainggolan Parhusip. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tugu Nainggolan Parhusip di dekat lokasi pasar untuk menunjukkan kepada masyarakat banyak bahwa

Onan tersebut dibangun di atas tanah marga Nainggolan Parhusip.

. Onan Pesanggrahan terletak di dekat pelabuhan Nainggolan. Tanahnya tidak begitu luas jika dibandingkan dengan lahan kosong di sekitarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar masih percaya bahwa tanah yang dijadikan sebagai Onan Pesanggrahan tersebut tidak angker jika dibandingkan dengan tanah kosong lain di sekitarnya.

Sebelum Onan Nainggolan berdiri tahun 1936 penduduk Nainggolan untuk melakukan pertukaran barang harus ke Desa Silaban Kecamatan Palipi dengan menggunakan transportasi kuda beban atau berjalan kaki. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa kapal mesin masuk ke daerah Samosir pada tahun 1933 oleh

7 A. Deddy Lumban Siantar, Wawancara, di Kampung Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir tanggal 1 Agustus 2013

Pastoran pada masa zending Katolik di Desa Silaban Kecamatan Palipi. Kapal inilah yang digunakan juga oleh Pastoran membantu masyarakat untuk digunakan sebagai pengangkutan manusia dan barang-barang hasil bumi dengan rute penyeberangan sekali atau dua kali seminggu terjadi penyeberangan

Kondisi ini menimbulkan kegelisahan dari beberapa mayarakat sampai mereka menyampaikan aspirasi terhadap Tuan Nagari dan Raja Bius serta Raja Adat supaya satu hati satu pemikiran melihat dan menyetujui sebuah lahan yang dianggap strategis sebagai tempat perkumpulan melakukan barter dan sebagai sarana pengumuman atau undangan dan fasilitas pertemuan8

Asal usul nama Onan Nainggolan yang disebut sampai sekarang ini, mempunyai latar belakang tersendiri. Menurut hasil wawancara dengan Deddy Lumban Siantar bahwa nama Onan Nainggolan ini diambil karena tanah yang dijadikan sebagai lahan perdagangan sekarang ini adalah tanah milik Marga Nainggolan Parhusip. Di samping itu, di daerah yang dijadikan areal dagang kebanyakan bermarga Nainggolan.

.

Dahulu areal ini merupakan tanah kosong yang biasanya digunakan oleh Raja-Raja Adat dalam melakukan pertemuan. Lama kelamaan daerah ini menjadi Onan

Nainggolan yang dijadikan sebagi tempat melakukan aktifitas dagang (masih bersifat barter) masyarakat. Hal ini terjadi atas permintaan masyarakat Nainggolan kepada Raja Adat yang didasari atas kegundahan masyarakat akan jauhnya jarak yang harus ditempuh masyarakat dalam melakukan aktifitas dagang pada masa itu.

8 Wawancara dengan Ajumarar Parhusip di Kampung Sitonggor, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 2 Agustus 2013.

Pada tahun 1936 pedagang masih menjajakan barang dagangannya dalam jumlah yang masih relatif sedikit. Jumlah pedagangnya pun masih sedikit, serta jarak berjualannya juga masih berjauhan antara pedagang yang satu dengan pedagang lainnya. Para pedagang pada masa itu belum ditentukan tempat berjualannya karena belum memiliki aturan yang benar-benar mengikat di antara para pedagang tersebut. Aturan yang berlaku hanya peraturan yang bersifat lisan saja, yang tidak saling merugikan di antara para pedagang9

Para pedagang biasanya menggunakan lahan yang kosong di sekitar Onan

Pesanggrahan sebagai tempat menjajakan barang dagangannya. Dengan kata lain, lapak/lahan mereka tidak menetap. Siapa cepat dia dapat, istilah tersebut menggambarkan pola hidup pedagang pada masa itu. Siapa yang pertama tiba di areal dagang dialah yang akan menempati areal tersebut hanya untuk hari itu saja. Pada hari selanjutnya, areal dagangnya bisa saja berganti ke tempat lain hanya karena terlambat atau telah ditempati oleh pedagang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada peraturan sewa lahan untuk berdagang pada masa itu.

.

Jenis barang dagangan yang diperdagangkan berupa kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sayur-mayur, padi, ubi, ikan, pakaian, attirha (ubi yang direbus dengan daun) dan kebutuhan hidup lainnya. Pada saat itu para pedagang di pasar belum mengenal adanya uang, sehingga proses jual beli dengan uang belum ada pada masa itu. Sistem yang dikenal pada masa itu adalah sistem barter, di mana barang ditukar dengan barang. Cara menghitung sistem barter pada masa itu tidak didasarkan pada

9 Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.

nilai kegunaan dan manfaat barang melainkan berdasarkan kebutuhan masyarakat pada masa itu10

Sebagai contoh si A memiliki 5 tumba beras. Beliau membutuhkan 2 ekor ikan mas sebagai lauk di rumah. Kemudian beliau akan mencari orang yang membutuhkan beras di Onan yang kebetulan membawa ikan mas dan bersedia menukarkannya dengan beras yang dimilikinya. Kebetulan si B memiliki 2 ekor ikan mas yang ingin menukarkan ikan dengan beras. Mereka akan membawa barang dagangannya ke Onan Pesanggrahan. Ketika si A dan si B bertemu maka akan terjadi barter (pertukaran) barang dagangan yang didasarkan atas kebutuhan masing-masing.

.

Pengunjung Onan Pesanggrahan tahun 1936 hanyalah warga dari sekitar daerah Nainggolan. Hal ini disebabkan karena pada masa itu hanya ada satu di daerah Nainggolan. Di sisi lain belum ada angkutan yang memadai untuk masyarakat melakukan aktifitas dagang ke daerah lain. Hal inilah yang menyebabkan pengunjung dan pedagang masih relatif sedikit jumlahnya.

Sekitar tahun 1945 Onan Pesanggrahan tidak lagi digunakan oleh raja-raja Bius dalam melakukan aktivitas rapat atau pertemuan lagi melainkan telah sepenuhnya menjadi pasar. Kemudian satu tahun setelahnya yakni tahun 1946 Onan

Pesanggrahan diganti namaya dengan Onan Nainggolan dan pada tahun itu juga disahkanlah Onan Nainggolan. Dalam upacara pengesahannya dilakukan ritual adat Batak dengan melakukan upacara selama 3 hari 3 malam dengan tujuan agar Onan

10 Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.

Nainggolan tersebut terhindar dari hal-hal mistik dan dapat digunakan semaksimal mungkin oleh masyarakat sekitar sebagai tempat mencari nafkah11

Mengingat kecenderungan jumlah penduduk yang semakin bertambah, karena manusia selalu berusaha merubah lingkungannya untuk memperoleh kebutuhan hidupnya, sehingga tidak jarang mereka selalu merusak lingkungan alam sebagai tempat tinggalnya.

.

12

Seiring dengan kemajuan pada waktu itu, tanah kosong berubah secara perlahan. Sebagian pedagang mulai membuat undung-undung yaitu tenda yang dibangun dengan empat buah bambu sebagai tiang penyangga. Kondisi pedagang masa itu sangat memprihatinkan. Pada saat hujan turun misalnya, pedagang yang menjajakan barang dagangannya langsung di atas tanah yang beralaskan tikar akan sangat merugi dikarenakan kondisi Onan akan menjadi sangat becek. Oleh karena itu pada tahun 1962 petugas pasar membangun undung-undung kepada para pedagang Dengan demikian, dulunya jumlah penduduk yang berada di sekitar pasar masih sangat jarang telah berubah menjadi daerah yang cukup padat. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka yang datang banyak yang menggantungkan mata pencahariannya di pasar tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan rumah di dekat pasar yang memanfaatkan badan pasar sehingga menyebabkan luas pasar semakin menyempit. Untuk menghindari penyempitan tersebut, masyarakat membuat kawat duri di pinggiran pasar yang berguna untuk membuat batasan antara rumah warga dengan pasar.

11

Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.

12 Zoer, aini, Djamuel Irwin, Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal.74

dengan catatan pedagang memberikan uang iuran kepada petugas pasar sebagai sewa lahan dan undung-undung. Selain undung-undung ada pula sebagian bangunan yang dibuat dari papan yang telah dibuat atapnya akan tetapi masih sebagian kecil. Uang iuran yang diberikan pada masa itu tidak dipatok jumlahnya, tergantung kerelaan pedagang untuk memberikan iuran mereka. Jika hasil dagangan berlebih, tidak jarang para pedagang memberikan iuran berlebih. Sebaliknya jika pedagang tidak mendapatka penghasilan yang cukup, mereka tidak memberikan iuran kepada petugas pasar. Uang hasil iuran tersebut selanjutnya akan diberikan sebahagian kepada punguan Marga Parhusip sebagai sewa lahannya dan sebagian lagi akan diserahkan kepada pemerintah dinas pasar setempat13

Pada tahun 1948 masyarakat telah mulai meninggalkan sistem barter dan mulai menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Setiap barang telah ditentukan dengan harga yang diatur oleh pihak pedagang sehingga di pasar terjadi persaingan dalam menentukan harga barang. Istilah yang digunakan pada masa itu adalah sasukku (sasukku = 50sen).

.

14

Pedagang biasanya menentukan harga barang dengan kebutuhan mereka untuk membeli barang lain yang mereka butuhkan dalam tingkat kewajaran harga yang berlaku di pasar. Dalam hal ini pemerintah tidak ikut ambil bagian dalam menentukan harga barang di pasar.

13

Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.

14 Wawancara dengan Op.Dorlan Nainggolan (71 tahun) tanggal 1 Agustus 2013 di desa Nainggolan Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir

Dokumen terkait