• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN

6.2. Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan

6.2.3. Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu

Seperti yang telah diuraikan di atas, SPPT mulai diberlakukan pada tahun 1992 sebagai pengganti girik dan blangko. Adapun jumlah SPPT yang tercatat di desa berjumlah 1.212 lembar SPPT dengan kepemilikan sebanyak 308 orang.

Setelah dianalisis, dari 308 pemegang SPPT, diperoleh jumlah laki-laki sebanyak 225 orang dan jumlah perempuan sebanyak 83 orang pemegang SPPT.

Adapun masing-masing orang berpeluang memiliki satu hingga sepuluh lembar SPPT. Ditemukan beberapa diantaranya menggunakan nama yang berbeda pada tiap SPPT, hal ini diduga memberikan peluang untuk memiliki lembar-lembar SPPT selanjutnya, sehingga jika menggunakan nama yang berbeda asumsinya pemiliknya adalah orang yang berbeda. Tercatat pada tahun 2007, total pembayaran pokok sebanyak Rp 8.020.561,-.

Untuk SPPT, biasanya digunakan juga nama anak laki-laki sebagai anak pertama, sama halnya dengan pencatatan SPPT, jika anak pertama adalah perempuan, maka tergantung kepada kebijakan keluarga masing-masing.

BAB VII

STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya.

Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum dan tinggal pada bedeng-bedeng yang disediakan.

Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta dan masa masuknya program-program kemasyarakatan. Adapun dinamika tersebut akhirnya akan menciptakan hubungan sosio-agraria antara subjek-subjek agraria yang berkepentingan pada sumberdaya agraria. Hubungan ini selanjutnya akan membentuk struktur agraria pada Desa Cipeuteuy dengan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan atas sumberdaya agraria.

Menurut penuturan salah satu warga Kampung Cisalimar yang paling tua Pada masa Belanda, semua orang yang ada di Desa Cipeuteuy merupakan pekerja perkebunan sebagai buruh perkebunan, kuli kontrak dan pendatang yang memiliki tujuan tertentu, termasuk untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga kebutuhan hidup dan masa depannya sepenuhnya digantungkan kepada perkebunan. Praktis, mereka hanya menjadi organ dan pelengkap dari suatu sistem besar industri perkebunan.

Sebagai buruh perkebunan mereka hanya mengerjakan pekerjaan di perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan, baik untuk pertanian maupun perkebunan, terlebih lagi membuka kawasan hutan. Mereka tinggal pada bedeng-bedeng yang telah disediakan dan mereka telah diberi suplai untukpemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari makanan pokok hingga kebutuhan bambu, kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Pihak perkebunan pun telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kampak.

Pada masa Jepang, masyarakat Cipeuteuy mengalami penderitaan.

Perkebunan teh dirusak dan dibakar dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian, namun hasil pertaniannya banyak diambil oleh Jepang. Pada masa tersebut banyak kampung-kampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai bertambah, sawah-sawah dan pemukiman mulai dibuka.

Selanjutnya pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan eks perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Pada tahun 1958 banyak tanah eks perkebunan Pandan Arum tersebut yang digarap masyarakat diberikan surat Letter C. Kemudian, tahun 1963 dikeluarkan surat keputusan dari agraria mengenai pembebasan tanah untuk garapan masyarakat.

Pada masa perkebunan Intan Hepta, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja seperti halnya yang terjadi pada masa perkebunan Pandan Arum, namun tidak semua anggota masyarakat bekerja disitu, telah banyak yang

memiliki sawah, lahan garapan, dan kebun. Disamping itu telah banyak yang mencari pekerjaan di kota, baik sebagai buruh, atau kuli bangunan, sehingga tidak lagi menggantungkan hidup pada perkebunan. Dengan demikian pola interaksi yang terjadi menjadi lebih bebas, terbuka dan tidak ketergantungan.

Pada tahun 1969, tanah-tanah eks erfpacth yang dikonversi menjadi HGU mulai dibuka kembali. Tahun 1973 terjadi pembebasan lahan yang dilakukan kontraktor pembebasan tanah dari PT. Intan Hepta, meskipun pada tahun 1963 sudah banyak tanah yang diberikan Petok C. Tanah-tanah eks perkebunan Pandan Arum yang sudah digarap masyarakat diberikan ganti rugi sebanyak Rp.7.000,- per hektar. Pada tahun 1975 PT. Intan Hepta yang dimiliki oleh Thoyib Hidayatullah, seorang menteri pertanian pada saat itu melakukan penanaman cengkeh seluas 583 hektar.

Namun demikian, PT. Intan Hepta tidak bertahan lama karena hasil cengkehnya tidak terlalu baik. Perkebunan ini kemudian diterlantarkan dan sempat menjadi sarang babi hutan yang mengganggu perkebunan masyarakat.

Pada akhirnya masyarakat diperkenankan untuk menggarap selebar empat meter dari sisi jalan dan tanaman cengkeh mulai ditebangi pada tahun 1997 Sebagian lahan yang tidak digarap oleh rakyat disubkontrakkan pada pihak lain untuk ditanami pohon yang berumur pendek sambil memanfaatkan sisa waktu HGU yang habis pada tahun 2000

Berkah kebangkrutan PT. Intan Hepta sebelumnya didahului oleh adanya kesempatan untuk melakukan tebangan hutan pada kawasan hutan produksi.

Disamping melakukan tumpangsari mereka juga memperoleh tambahan pendapatan dari pekerjaan perawat tanaman pokok, seperti upah mengolah lahan,

pemupukan dan penyiangan. Masa tersebut merupakan masa yang penuh berkah bagi masyarakat Desa Cipeuteuy, karena mereka mendapatkan lahan garapan yang luas untuk perkebunan dan tumpangsari. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan tumpansari pada lahan kehutanan eks tebangan Perhutani, selain itu, mereka dapat mengelola lahan eks perkebunan Perhutani.

Akan tetapi pada masa itu kelimpahan ini diterima begitu saja tanpa diikuti oleh peningkatan kreatifitas dan daya jual yang tinggi, melainkan mereka selalu mengeluh mengenai modal. Mereka tidak mengupayakan adanya irigasi teknis ataupun menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Mereka hanya menanam tanaman yang ada dan bisa dibiarkan berkembang sendiri tanpa perawatan, seperti singkong, pisang dan sejenisnya. Sehingga pemanfaatan lahan eks perkebunan Intan Hepta yang masing-masing mencapai seluas satu hektar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka.

Meskipun masih diliputi rasa takut, karena terdesak kebutuhan hidup, banyak masyarakat desa dan luar desa memanfaatkan lahan bekas perkebunan Intan Hepta. Pada awalnya, ada yang menggarap secara sembunyi-sembunyi dan perlahan-lahan tetapi akhirnya mereka masuk dan menggarap secara terang-terangan setelah mereka dibiarkan untuk mengelola lahan. Pembukaan lahan inipun juga dilakukan oleh warga desa tetangga yang kemudian menetap, salah satunya dilakukan oleh kelompok tani yang dikoordinir oleh Bapak ‘PI’ yang hingga saat ini bersama dengan kelompok taninya memerjuangkan status lahan eks HGU.

Sudah hampir sepuluh tahun kelompok tani ini berkonflik dengan pemegang kepemilikan HGU lahan perkebunan eks Intan Hepta. Pemilik HGU menginginkan agar ia dapat memperpanjang masa HGU, sedangkan Bapak ‘PI”

dengan kelompoknya berusaha agar HGU tersebut tidak lagi diperpanjang dan warga memperoleh hak garap pada lahan tersebut.

Pada masa masuknya program kemasyarakatan mulai dikembangkan pertanian modern dengan komoditas yang padat modal, seperti tanaman cabai, tomat dan sayuran lainnya yang membutuhkan saprodi lebih banyak seperti mulsa plastik, pupuk kimia dan pestisida. Pada masa ini mulai banyak bantuan yang datang dari pemerintah, lembaga kemasyarakatan, akademisi hingga LSM. Hal ini sangat mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat. Masayarakat menjadi lebih konsumtif, dan cenderung pasif untuk berusaha. Mereka lebih mengharapkan bantuan dari luar. Hal ini dipicu oleh kesalahan pihak luar dalam melakukan pendekatan pada masyarakat. Sebagai contoh, LSM Internasional pernah mengadakan pendampingan, dimana pada setiap pertemuan, masyarakat diberikan uang saku/amplop, sehingga hal ini membentuk pola pikir masyarakat yang memandang bahwa, setiap ada pihak luar yang masuk Desa Cipeuteuy, maka pasti akan ada bantuan atau sumbangan. Selain itu, banyaknya lembaga-lembaga yang menjalankan program di Desa Cipeuteuy juga mempengaruhi pola-pola yang ada di masyarakat. Menurut penuturan dari informan, beberapa program tidak datang dari keinginan warga dan cenderung dipaksakan untuk diarahkan kepada kepentingan lembaga.

Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial.

Adanya hubungan antar kelas ini akan membentuk suatu tatanan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dari dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi, maka Desa Cipeuteuy memiliki tatanan sosial, yakni struktur agraria yang terbagi menjadi tiga tipe penguasaan sumberdaya agraria, yakni tipe kapitalis, sosialis dan tipe populis dengan hubungan sosio agraria seperti pada Gambar 4. Pada tipe kapitalis, sumberdaya agraria dimiliki oleh perusahaan, atau pemilik modal. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan majikan- buruh.yang pada Desa Cipeuteuy subjek agrarianya antara lain PT. Intan Hepta, petani penggarap dan pemerintah desa sebagai pihak yang selama ini menjadi perantara antara dua pihak tersebut.

Gambar 4. Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy

Sumber:Penelusuran Peneliti Pada Desa Cipeuteuy tahun 2007

Pemerintah

Pada tipe sosialisme, sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok, dimana hubungan sosio agraria yang terjadi adalah hubungan ketua –a nggota. Di Desa Cipeuteuy, tipe sosialis dapat ditemui pada lahan yang dikelola kelompok tani secara bersama-sama. Subjek agrarianya antara lain pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), kelompok tani dan pemerintah desa.

Pihak TNGHS menyediakan lahan untuk dikelola dan dimanfaatkan bersama oleh kelompok tani pada Kampung Sukagalih.

Tipe populisme merupakan tipologi yang mendominasi wilayah Cipeuteuy, dimana sumberdaya agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna. Adapun subjek agrarianya antara lain petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan intra subjek agraria yang tercermin dalam hubungan patron-klien.

Selanjutnya, Hubungan yang terjadi antara subjek agraria dengan sumberdaya agraria ditunjukkan dari pengelolaan sumberdaya agraria. Pada Desa Cipeuteuy tidak ditemukan hubungan teknis yang eksploratif. Hampir seluruh pengelolaan sumberdaya agraria dilakukan secara konservatif, dalam artian pengelolaannya memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungannya.

Hal ini salah satunya ditunjukkan dari peran serta masyarakat dalam menjaga hutan

BAB VIII

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

8.1. Pola Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria

Pola Kepemilikan dan Penguasaan merupakan dua hal yang berbeda.

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Wiradi (1984) bahwa “kepemilikan”

menunjuk kepada penguasaan formal sedangkan “penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif”. Kepemilikan dapat dilakukan dengan cara membeli, mewarisi dan hibah, sedangkan penguasaan lebih jauh dalam hal ini diartikan sebagai penguasaan atas sumberdaya agraria yang bukan saja melalui hak milik, namun juga hak garap atau hak pemanfaatan. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan ini akan menciptakan pola-pola kepemilikan dan penguasaan pada masing-masing rumahtangga, dengan pola kepemilikan masing-masing komponen individu di dalamnya.

8.1.1. Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria

Kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya baik laki-laki, maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria sedari dini menjadi pola tersendiri bagi perkembangan keduanya, sehingga sangat dimungkinkan ketika keduanya beranjak dewasa, baik laki-laki dan perempuan akan mengelola lahannya sendiri. Hal ini akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan, termasuk pengambilan keputusan atas lahan yang dimilikinya.

Berdasarkan kelompok diskusi terarah (FGD) yang dilaksanakan pada tiga kampung kasus dengan melibatkan laki-laki dan perempuan di dalamnya,

serta hasil wawancara mendalam telah diketahui adanya pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria. Hal ini berarti baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan sumberdaya agraria yang diperoleh baik dengan cara membeli, mewarisi dan hibah.

Penduduk Desa Cipeuteuy sendiri, seperti telah diuraikan sebelumnya mempunyai tiga cara dalam pewarisan, dimana salah satunya diberikan melalui dua tahapan, yakni sistem pewarisan secara islam dengan pembagian 2:1 dan dilanjutkan dengan pembagian secara merata, tergantung pada kebijakan yang dimiliki keluarga. Dengan demikian peluang laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria, sama besarnya.

Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat sunda yang bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, dimana kepemilikannya dapat berlangsung sebelum individu tersebut menikah melalui proses pembelian maupun hasil dari pemberian dari orang tua berupa warisan/hibah yang ketika mereka menikah-pun, harta tersebut merupakan harta pribadi dan apabila mereka sudah bercerai-pun, mereka akan tetap dapat memilikinya. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya.

Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah

kombinasi satu bentuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gini (S-G), milik istri dan gono-gini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G).

Pada Tabel 17 menunjukkan jumlah rumahtangga survei dengan pola kepemilikan lahan pada masing-masing rumahtangga. Secara umum rumahtangga petani yang tercatat memiliki kepemilikan lahan berjumlah 70 rumahtangga dan sebesar 30 persen dari total rumahtangga yang disurvei tidak memiliki sumberdaya agraria, termasuk 15 persen rumah tangga yang hanya memiliki hak garap.

Pada Tabel 17 diketahui bahwa dari total rumahtangga yang di survey, sebanyak 70 persen RTP yang memiliki sumberdaya agraria dengan pola kepemilikan yang beragam pada tiap stratum dengan 18 persen RTP pada stratum atas, 20 persen pada stratum menengah, dan 32 persen pada stratum bawah.

Adapun jumlah persentase pola kepemilikan yang paling banyak adalah RTP dengan pola kepemilikan individu suami saja, dimana persentase tertinggi ada pada stratum atas yang diikuti kemudian oleh stratum bawah dan menengah.

Persentase selanjutnya ada pada RTP dengan kepemilikan berpola gono-gini, dimana persentase tertinggi pada stratum bawah, kemudian disusul oleh stratum atas dan menengah. Hal ini diduga karena pasangan suami istri pada stratum yang rendah cenderung membeli sumberdaya agraria secara bersama-sama setelah menikah dengan hasil usaha bersama. Untuk rumahtangga yang mempunyai pola

kepemilikan oleh istri saja hanya ditemui pada rumahtangga dengan stratum menengah dan bawah

Selanjutnya pada dua pola kepemilikan, khusus pada kepemilikan dengan kombinasi suami-istri dan suami-gono-gini, persentase lebih besar ada pada RTP stratum atas, menengah dan pada stratum bawah yang terkecil. Pada pola istri -gono-gini hanya ditemui pada stratum menengah, sedangkan untuk tiga bentuk kombinasi dapat dipastikan hanya ditemui pada stratum atas dan menengah.

Tabel 17. Pola Kepemilikan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Tahun 2007 (dalam Persen)

Pola

Kepemilikan Stratum Atas Stratum Menengah

Total (Persen) 25,71 28,57 45,71 100,00

Total (Jumlah) 18 20 32 70

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)

Distribusi sumberdaya agraria menurut pola kepemilikannya ditunjukkan pada pada Tabel 18. Data tersebut menjelaskan bahwa distribusi sumberdaya kepada laki-laki/suami masih lebih banyak daripada RTP yang hanya istrinya saja yang memiliki sumberdaya agraria. Persentase luasan sumberdaya agraria tertinggi selanjutnya terdistribusi pada pola kepemilikan suami,istri dan gono-gini.

Dan persentase luasan terkecil ada pada dua pola kepemilikan yakni kepemilikna istri-gono-gini. Lebih lanjut ditemukan bahwa RTP yang memiliki pola

kepemilikan individu lebih banyak dari RTP yang memiliki pola kepemilikan bersama.

Tabel 18 Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, dan Pola Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are)

Pola

Total (Persen) 70,97 19,48 9,57 100,00

Total (Jumlah) 1501 412 202 2115

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)

Kampung Sukagalih dan Cisalimar memiliki lima pola kepemilikan dimana RTP dengan pola kepemilikan individu masih lebih banyak di RTP dengan pola kepemilkan bersama, pun demikian halnya pada Kampung Pasir Masigit dimana pada kampung tersebut hanya ditemukan empat pola kepemilikan, yakni kepemilikan individu/kombinasi satu bentuk kepemilikan dan dua bentuk kepemilikan dan tidak ada rumahtangga yang memiliki komposisi tiga bentuk kepemilikan.

8.1.2. Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria

Selain lahan milik yang diperoleh dari waris, hibah dan membeli, petani juga memiliki akses terhadap sumberdaya agraria berupa lahan sawah dan kebun dengan cara menggarap, menyewa, gadai dan melakukan sistem bagi hasil yang selanjutnya termasuk dalam penguasaan lahan.

Munculnya pola penguasaan selain lahan milik ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, banyaknya lahan yang telah dijual dan menjadi milik orang-orang di luar kampung, termasuk orang ‘kota’ yang kemudian mengkondisikan para petani untuk kehilangan hak miliknya dan hanya memperoleh hak garap. Selain itu keberadaan lahan status quo eks-HGU PT. Intan Hepta dan kawasan wilayah TNGHS yang memberikan kesempatan seluasnya bagi para petani untuk memanfaatkan lahan menjadi momentum banyaknya petani yang menjadi petani penggarap.

Kebutuhan para petani untuk menggarap lahan membuat mereka melakukan bentuk-bentuk penguasaan yang pada kenyataanya mereka cenderung menguasai banyak lahan dengan pola yang berbeda. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut kemudian menjadi pola-pola penguasan sumberdaya agraria. Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan diluar lahan milik yang yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa dan bagi hasil. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garap- sewa- hibah

Pada disajikan bentuk-bentuk pola penguasaan lahan, dimana setiap tingkatan stratum memiliki keberagaman pola penguasaan. Untuk stratum atas, ART laki-laki dan perempuan mengolah lahan dengan cara menggarap, sebanyak 54,73 persen luas lahan sawah, dan 45,27 persen lahan kebun. Pola penguasaan bagi hasil saja paling sedikit dilakukan, sedangkan persentase luas yang digarap pola garap-bagi hasil masih lebih tinggi pada lahan kebun daripada lahan sawah.

Tabel 19. Pola Penguasaan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy berdasarkan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam are dan persen)

Pola Penguasaan Sawah Kebun Total

Stratum Atas

Milik 54,64 45,05 99,70

Garap 0,08 0,19 0,27

Garap-Bagi Hasil 0,01 0,02 0,03

Total (Persen) 54,73 45,27 100,00

Total (Jumlah) 77.524 64.120 141.644

Stratum Menengah

Milik 54,03 44,70 98,74

Garap 0,14 0,41 0,55

Sewa 0,00 0,06 0,06

Garap-Bagi Hasil 0,02 0,00 0,02

Garap-Sewa-Gadai 0,27 0,37 0,64

Total (Persen) 54,46 45,54 100,00

Total (Jumlah) 22.174 18.541 40.715

Stratum Bawah

Milik 70,93 25,56 96,59

Garap 0,52 1,96 2,47

Sewa 0,02 0,00 0,02

Bagi Hasil 0,04 0,00 0,04

Garap-Bagi Hasil 0,00 0,51 0,51

Sewa- Bagi Hasil 0,07 0,30 0,37

Total (Persen) 71,57 28,43 100,00

Total (Jumlah) 14.159 5.624 19.783

Total

Milik 56,11 43,08 99,20

Garap 0,13 0,41 0,54

Sewa 0,00 0,01 0,01

Bagi Hasil 0,00 0,00 0,01

Garap-Bagi Hasil 0,01 0,07 0,08

Sewa- Bagi Hasil 0,01 0,03 0,04

Garap-Sewa-Gadai 0,05 0,07 0,13

Total (Persen) 56,32 43,67 100,00

Total (Jumlah) 113.857 88.286 202.143

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)

Pada stratum menengah, jumlah lahan yang dioleh dengan kombinasi cara garap-sewa-gadai memiliki persentasi luas lebih tinggi dibandingkan luasan

yang diolah dengan cara garap, sewa dan garap-bagi hasil. Persentase luasan kebun yang dikelola masih lebih banyak daripada luasan sawah pada keempat pola penguasaan yang ditemui pada stratum menengah..

Pada stratum bawah, persentase luasan sumberdaya agraria yang paling tinggi dikuasai dengan sisitem garap yang diikuti oleh kombinasi garap-bagi hasil, sewa-bagi hasil, bagi hasil, dan sistem sewa yang memiliki persentase terendah. Pasa stratum bawah, tidak ada kebun yang diolah dengan sistem sewa dan bagi hasil dan ditemui bahwa tidak ada sawah yang dikuasai dengan sistem kombinasi garap-bagi hasil.

Secara keseluruhan, pola penguasaan yang dimiliki oleh RTP dengan persentase tertinggi adalah satu bentuk pola penguasaan dengan sistem garap, sedangkan persentase terendah dilakukan dengan cara bagi-hasil. Banyaknya RTP yang berpola garap dalam penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi oleh aksesibilitas pengelolaan lahan TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta yang tidak terbatas. Dengan demikian penduduk yang memiliki modal untuk membuka lahan, dapat menggarap lahan tanpa harus menyewa, bagi hasil ataupun kombinasi daripadanya.

Jika dilihat sebarannya, maka penguasaan-non milik lebih luas lahan kebun dibandingkan sawah, hal ini dikarenakan lahan yang dibuka adalah lahan kering. Penguasaan atas lahan pada stratum bawah lebih luas dibandingkan dengan stratum atas, hal ini diduga berhubungan erat karena RTP pada stratum bawah akan cenderung lebih memilih untuk membuka lahan dan menggarapnya daripada membeli lahan, meskipun hal tersebut cenderung kurang aman.

Pada Kampung Sukagalih terdapat tiga pola penguasaan lahan, dimana para petani di Sukagalih menguasai lahan, selain dari hak milik, juga menggarap dengan cara bagi hasil dan kombinasi antara menggarap dan bagi hasil. Pada Kampung Cisalimar ditemukan empat pola penguasaan lahan selain hak milik yang dilakukan dengan cara menggarap, kombinasi antara menggarap dan bagi

Pada Kampung Sukagalih terdapat tiga pola penguasaan lahan, dimana para petani di Sukagalih menguasai lahan, selain dari hak milik, juga menggarap dengan cara bagi hasil dan kombinasi antara menggarap dan bagi hasil. Pada Kampung Cisalimar ditemukan empat pola penguasaan lahan selain hak milik yang dilakukan dengan cara menggarap, kombinasi antara menggarap dan bagi