• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.3. Definisi Operasional

1. Tingkat pendidikan, merupakan lamanya atau banyaknya pendidikan laki-laki dan perempuan dalam satu rumahtangga yang meliputi pendidikan formal, yakni yang ditempuh di bangku sekolah yang ditamatkan.

2. Jenis pekerjaan menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan selama survei, terlepas dari industri atau status dalam pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan diklasifikasikan menjadi: PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI, petani milik, petani penggarap, buruh tani, pedagang, pemilik warung, buruh angkut dan petani pemilik dan penggarap,

3. Status pekerjaan berkenaan dengan status dalam mendirikan/ membuat usaha atau melakukan suatu pekerjaan yang diklasifikasikan dalam:

Berusaha sendiri, berusaha dengan tenaga kerja keluarga, berusaha dengan tenaga kerja upahan, karyawan/ buruh, pekerja keluarga dan berusaha dengan tenaga kerja keluarga dan upahan.

4. Tingkat Akses atas kepemilikan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani, laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria melalui pembelian, pewarisan dan hibah, yang dibedakan ke dalam milik suami, milik isteri, dan gono-gini. Tingkat akses dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu.

5. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria adalah partisipasi anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan sumberdaya agraria yang dimilikinya (pewarisan, hibah

orangtua dan yang dibelinya sendiri) untuk membeli dan menjual. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria dikatakan tinggi, jika pengambilan keputusan atas sumberdaya agraria sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang memiliki. Dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama.

6. Tingkat Akses atas penguasaan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak yang dibedakan ke dalam sistem sewa, gadai, bagi hasil, gadai akad dan atau lainnya sesuai temuan di lapangan. Tingkat akses atas penguasaan lahan dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak.

7. Tingkat Kontrol atas penguasaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk menyewa, menyakap/bagi hasil, untuk gadai akad, menggarap lahan pemerintah. Tingkat kontrol atas penguasaan lahan dikatakan tinggi, jika sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang menguasai, dan dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah individu pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama.

8. Tingkat Kontribusi Waktu dalam pengelolaan lahan adalah curahan waktu (jam kerja dan hari kerja) anggota rumahtangga petani, laki-laki dan

perempuan dalam pengelolaan usahatani mencakup proses produksi dan pasca panen, sesuai temuan di lapangan.

9. Tingkat Kontrol dalam pengelolaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk mengambil keputusan dalam aktivitas pengelolaan lahan usahatani yang mencakup proses produksi dan pasca panen. Tingkat kontrol dalam pengelolaan lahan dikatakan tinggi jika dilakukan oleh suami dan istri setara, rendah jika suami atau istri saja, dan sedang jika suami dan istri tapi salah satu diantaranya dominan.

10. Tingkat Akses terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah peluang yang diperoleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan rumahtangga. Diketahui dari ikut tidaknya individu mengonsumsi pangan dan menikmati hasil jumlah dalam nilai rupiah .

11. Tingkat Kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk mengambil keputusan dalam pemanfaatan hasil produksi dan hasil penjualan produksi untuk kebutuhan pribadi maupun rumahtangga.

12. Pola pemilikan sumberdaya agraria adalah kombinasi dari beragam bentuk kepemilikan lahan pada rumahtangga petani, yang dibedakan ke dalam : kombinasi semua bentuk kepemilikan (kombinasi tiga bentuk milik: S-I-G; kombinasi dua bentuk kepemilikan: S-I, S-G, I-S-I-G; dan salah satu bentuk kepemilikan saja S,I,G).

13. Derajat pengakuan tokoh masyarakat adalah bagaimanakah para tokoh masyarakat mengakui adanya kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh individu laki-laki dan perempuan. Derajat pengakuan dikatakan tinggi jika tokoh masyarakat mengakui adanya kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki dan perempuan secara setara. Derajat pengakuan dikatakan rendah jika tokoh masyarakat hanya mengakui kepemilikan oleh laki-laki saja atau hanya perempuan saja.

14. Pencatatan kepemilikan letter C adalah pencatatan kepemilikan bukti-bukti bahwa anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan memiliki sumberdaya agraria melalui letter C.

15. Bukti SPPT adalah bukti kepemilikan sumberdaya agraria melalui pembayaran pajak yang dilakukan pemiliknya.

16. Proses pengolahan sumberdaya agraria adalah bagaimana sumberdaya agraria dikelola, yakni dengan cara dimanfaatkan sebagai lahan bercocok tanam (lahan kering, lahan basah), berternak (kolam, peternakan), lahan industri, dan lainnya sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan.

17. Pola penguasaan sumberdaya agraria adalah kombinasi dari beragam bentuk penguasaan lahan pada rumahtangga petani, dibedakan ke dalam:

kombinasi semua bentuk penguasaan, kombinasi tiga bentuk kekuasaan, dua bentuk kekuasaan dan satu bentuk kekuasaan saja.

18. Kepemilikan benda berharga merupakan jumlah benda-benda berharga yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani yang menggambarkan karakteristik rumahtangga.

BAB III METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.

Metode penelitian yang digunakan berupa (a) full enumeration survey, yaitu mewawancarai seluruh rumahtangga yang ada dalam suatu dukuh/kampung, atau dalam desa yang bersangkutan sehingga data yang disajikan merupakan gambaran lengkap dari ’dukuh penelitian’ (Wiradi, 1984).; (b) Survei pada rumahtangga kasus yang dipilih sesuai dengan tingkat stratifikasi yang ditentukan dari jumlah lahan yang dikuasainya. Wawancara mendalam (indepth interview) maupun diskusi kelompok terarah (FGD) dilakukan untuk mengumpulkan data berkenaan sistem kekerabatan, khususnya aspek budaya dan adat masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai (values) gender baik pada tingkat keluarga maupun dalam masyarakat. Wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan untuk mengetahui pengakuan desa atas kepemilikan lahan oleh laki-laki dan perempuan.

Pengumpulan data yang dilakukan dengan full enumeration survey dan survei rumahtangga kasus menggunakan kuesioner terstruktur yang mencakup kuesioner-kuesioner profil rumahtangga, usahatani pendapatan rumahtangga dan akses kontrol anggota rumahtangga atas kepemilikan sumberdaya agraria, penguasaan sumberdaya agraria dan manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Adapun kuesioner profil rumahtangga, usahatani dan pendapatan rumahtangga diadopsi dari penelitian Riset Unggulan Terpadu (RUT), Mugniesyah dkk (2001-2003).

Data yang akan digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data yang berkaitan dengan variabel bebas (independent variable) dan tidak bebas (dependent variable) yang tertera dalam bagan kerangka

pemikiran. Data primer juga mencakup informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.

Full enumeration survey, sebagai salah satu alat untuk mengumpulkan

data primer, dilakukan setelah melakukan seleksi dusun dan kampung. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran realita karakteristik rumahtangga pengelola sumberdaya agraria dari aspek demografi, kepemilikan dan penguasaan lahan, benda berharga lainnya yang berhubungan dengan pertanian, menyangkut akses terhadap beragam kelembagaan formal maupun informal serta hal-hal yang berhubungan dengan kondisi perumahan mereka. Kondisi sosial ekonomi ini penting untuk digali guna memperoleh gambaran bagaimanakah kondisi gender dalam rumahtangga petani

Teknik diskusi kelompok terarah dan pertemuan kelompok menjadi bagian integral dalam mengenali berbagai hal yang berhubungan dengan praktek-praktek usahatani yang telah dikembangkan, serta menjadi alat untuk menggali sistem nilai serta derajat pengakuan tokoh masyarakat atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh laki-laki dan perempuan.

Data sekunder yang dikumpulkan mencakup data, dokumen-dokumen, hasil dokumentasi serta laporan-laporan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder mencakup semua data yang mendukung penelitian ini, baik data yang diperoleh dari pemerintah maupun dari kelembagaan setempat, baik lembaga pemerintahan dan NGO setempat

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan bahwa sebagian dari wilayah Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Wilayah tersebut berada pada daerah dengan latar belakang budaya Sunda yang Bilateral dengan asumsi baik laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap penguasaan dan kepemilikan lahan.

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga kampung di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yaitu Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit. Pada desa tersebut dipilih satu Dusun yang memiliki pola penguasaan lahan yang beragam, yakni Dusun Pandan Arum dan setelahnya dipilih 3 Kampung yang menjadi sampel penelitian. Adapun pemilihan Dusun dan Kampung dilakukan secara purpossive, selain sesuai dengan tujuan juga mencakup desa yang memiliki potensi pertanian yang berbeda.

3.3. Penentuan Sampel dan Responden

Populasi penelitian ini adalah masyarakat di Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit yang berlokasi di Dusun Pandan Arum, Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat. Analisis yang digunakan mencakup individu dan rumahtangga. Unit analisis individu digunakan untuk memperoleh informasi, khususnya yang menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap dan tindakan dalam pengelolaan lahan. Unit analisis rumahtangga digunakan untuk menganalisis/mempelajari dinamika intra dan inter rumahtangga petani yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

Adapun rumahtangga sampel pada penelitian ini adalah seluruh rumahtangga pertanian yang ada di tiga Kampung tersebut.

Pemilihan rumahtangga sampel dilakukan secara acak terstratifikasi (stratified random sampling) berdasar stratifikasi penguasaan lahan (luas, sedang, sederhana dan Tunakisma/landless). Masing-masing pada tiga tingkatan stratum diambil secara purpossive sebanyak 10 rumahtangga. Responden terdiri dari anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan usia produktif. Selain responden, akan dipilih aparat desa, dan tokoh masyarakat baik laki-laki dan perempuan sebagai informan dalam penelitian ini.

Dari hasil pencacahan lengkap (full enumeration survey) diketahui jumlah rumahtangga yakni berturut turut sebayak 30 rumahtangga di kampung Sukagalih, 39 rumahtangga di Cisalimar, dan 31 rumahtangga di Pasir Masigit.

Lebih lanjut, dari hasil sensus rumahtangga tersebut diperoleh gambaran stratifikasi rumahtangga, seperti pada Gambar 1. yang dirumuskan dari FGD yang dilakukan pada tiga kampung, yakni sebagai berikut:

1. Stratum A, yang selanjutnya akan disebut dengan Stratum Atas adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan luas dengan jumlah penguasaan lahan 5000 m2 - >20.000 m2.

2. Stratum B, yang selanjutnya disebut sebagai Stratum Menengah adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sedang dengan jumlah penguasaan lahan 2000 m2 – 5000 m2.

3. Stratum C, yang selanjutnya disebut sebagai Stratum Bawah adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sederhana dengan jumlah penguasaan lahan < 2000 m2.

4. Stratum D, yang selanjutnya disebut dengan Tunakisma adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani tidak berlahan (landless), yakni para petani yang tidak mempunyai lahan milik maupun lahan garapan.

Adapun komposisi responden yang di survei dari tiga kampung menurut tingkat stratifikasinya adalah sebagai berikut:

1. Kampung Sukagalih, dari 30 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam delapan rumahtangga (26.67 persen) stratum atas (A), delapan rumahtangga (26,67 persen) stratum menengah (B), sebelas rumahtangga (36,67 persen) stratum bawah (C), dan tiga rumahtangga (10,00 persen) Tunakisma pada stratum D.

2. Kampung Cisalimar, dari 39 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam sembilan rumahtangga (23.08 persen) stratum atas (A), tujuh rumahtangga (17,95 persen) stratum menengah (B), 20 rumahtangga (51,28 persen) stratum bawah (C), dan tiga rumahtangga (7,69 persen) Tunakisma pada stratum D.

3. Kampung Pasir Masigit, dari 31 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam tiga rumahtangga (9.68 persen) stratum atas (A), sembilan rumahtangga (29,03 persen) stratum menengah (B), sepuluh rumahtangga (32,26 persen) stratum bawah (C), dan sembilan rumahtangga (29,03 persen) Tunakisma pada stratum D.

Setelah memperoleh gambaran stratifikasi rumahtangga, selanjutnya dilakukan pemilihan sampel rumahtangga untuk mendapat gambaran hubungan relasi gender dalam rumahtangga petani. Kegiatan survei ini berhubungan dengan

pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. Adapun jumlah sampel rumahtangga, berturut turut sebanyak 12 rumahtangga di kampung Sukagalih, 11 rumahtangga di Kampung Cisalimar dan 8 rumahtangga di Pasir Masigit.

3.4. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan melalui full enumeration survey maupun survei rumahtangga kasus diolah dengan menggunakan Micro-Exel dan program SPSS untuk kemudian dianalisis kedalam tabulasi frekuensi sesuai dengan penelitian ini dengan mengacu pada konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Data kualitatif yang diperoleh berupa transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumentasi foto, dokumen pribadi, memo, dan catatan-catatan resmi lainnya dianalisis dengan mereduksi data, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data, sehingga sesuai dengan kebutuhan data untuk mendukung data-data kuantitiatif. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitataif kemudian disinergiskan sehingga dapat saling melengkapi jawaban penelitian.

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Secara administratif, Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan Desa Cihamerang, di sebelah Selatan, Desa Kabandungan, di sebelah Timur Desa Ciasmara Kabupaten Bogor di sebelah Utara dan Kabubaten Bogor di sebelah Barat.

Gambar 3. Peta Lokasi Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan , Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Desa Cipeuteuy terletak 35 kilometer dari Kabupaten Sukabumi dan 1,5 kilometer dari Kota Kecamatan. Lokasinya yang cukup jauh dapat ditempuh dengan menggunakan colt atau bus jurusan Sukabumi–Bogor hingga terminal Parung Kuda. Setelahnya hanya colt khusus menuju Desa Cipeuteuy-lah yang akan mengantarkan hingga terminal Desa Cipeuteuy yang letaknya hanya 100 meter dari Balai Desa Cipeuteuy.

Desa Cipeuteuy membentuk desa tersendiri setelah terpisah dari Desa Kabandungan yang mengalami pemekaran pada tahun 1980 menjadi Desa Kabandungan dan Desa Cipeuteuy yang terdiri dari 28 RT dan 4 RW. Desa Cipeuteuy melakukan pemekaran kembali pada tahun 2006 menjadi 5 RW dengan tujuh RT pada masing-masing RW. Adapun pembagian wilayah menurut penamaan secara lokal dikenal dengan wilayah Kampung dan Dusun, dimana wilayah kampung merupakan bagian dari dusun itu sendiri. Diketahui bahwa Desa Cipeuteuy terdiri dari 5 dusun dan 18 kampung, yakni Dusun Cipeuteuy 1 yang terdiri dari Kampung Arendah, Babakan dan Parigi 1. Adapun Dusun Cipeuteuy 2 yang hanya terdiri dari kampung Cipeuteuy, Dusun Cisarua terdiri dari Kampung Babakan dan Cisarua, Leuwiwaluh dengan Kampung Leuwiwaluh, Kampung Sawah, Kebon Genep, Gunung Leutik, Dramaga dan Cilodor serta Dusun Pandan Arum yang terdiri dari Kampung Pasir Majlis, Pasir Badak, Cisalimar, Pandan Arum, Pasir Masigit dan Sukagalih. Selanjutnya diketahui bahwa RT 1A, 1B, 2, 3, 4 masuk kedalam Kampung.Arendah, RT 5 dan RT 10B pada Kampung Babakan, RT 9 pada Parigi dan tujuh RT yakni 6A, 6B, 7A, 7B, 8A, 8B, 10A pada Kampung Cipeuteuy. Kemudian RT 11, 12, 13, 14, 15A, 15B berada pada Kampung Cisarua, RT 16, 17 pada Kampung Leuwiwaluh, dan RT 18, 19, 20, 21,

28, 22, 23, 24, 25, 26, 27 masing-masing berturut-turut berada pada Kampung Sawah, Kampung Kebon Genep, Kampung Gunung Leutik, Dramaga, Cilodor Pasir Majlis, Pasir Badak, Cisalimar 2, Pandan Arum, Pasir Masigit, dan Sukagalih.

Bentang wilayah Desa Cipeuteuy berupa dataran tinggi berbukit dengan ketinggian 750-900 meter dibawah permukaan air laut (mdpl) dengan curah hujan rata-rata sebesar 2.600 mm3/tahun dan suhu rata-rata harian 360 Celcius. Terletak di sekitar kawasan hutan, Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah 3.746,5 hektar termasuk juga lahan berstatus terlantar seluas 32 hektar (0,85 persen) dengan pemanfaatan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan lahan terbesar diperuntukkan pada Hutan Produksi yang juga difungsikan sebagai hutan lindung seluas 2.000 hektar (53,38 persen) yang diikuti oleh ladang/tegalan seluas 1.077 hektar (28,75 persen) dan sawah irigasi setengah teknis seluas 545 hektar (14,55 persen). Selanjutnya, seluas 115 hektar (3,07 persen) dimanfaatkan sebagai Hutan Konversi, sedangkan sisanya seluas lima hektar (0,13 persen) dari total luas wilayah desa dimanfaatkan sebagai pemukiman dan seluas 2 hektar (0,05 persen) menjadi kas desa.

Meskipun tidak tercantum dalam tabel pemanfaatan lahan, namun total luasan tersebut sudah termasuk perkebunan seluas 616 hektar atau 16,44 persen dari luas total yang terbagi menjadi perkebunan rakyat seluas 30 hektar (0,80 persen) dan perkebunan swasta sebanyak 586 hektar (15,64 persen). Selain itu pemanfaatan lainnya adalah berupa tanah bengkok, bangunan umum dan jalan yang secara berturut-turut memiliki luas lima hektar (0,13 persen), 1,5 hektar (0,04 persen) dan 0,08 persen (tiga hektar). Meskipun tidak tertera di dalam Data

Monografi Desa, namun menurut hasil wawancara, 583 hektar lahan yang berada di Desa Cipeuteuy merupakan lahan ber-status quo yang sebelumnya merupakan perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta, milik Toyib Hadiwijaya yang dibuka pada tahun 1971 dan telah habis masa HGU-nya pada tahun 2002. Sebelum masa HGU PT. Intan Hepta habis, pada tahun 1996 masyarakat telah terlebih dahulu menggarap lahan tersebut.

Tabel 1. Luas Wilayah Desa Cipeuteuy Menurut Penggunaannya Tahun 2004 (dalam hektar)

Penggunaan Lahan Luas Persen

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 2.115 56,45

Ladang/Tegalan 1.077 28,75

Sawah Irigasi Setengah Teknis 545 14,55

Pemukiman 5 0,13

Lapangan 3 0,07

Kas Desa 2 0,05

Total 3.747 100,00

Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006

Sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah Hutan eks Perhutani.

Hutan Produksi (2000 hektar) dan Hutan Konvesi (115 hektar) yang merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang beririsan langsung dengan Desa Cipeuteuy seluas 2115 hektar atau 56,42 persen dari total luas wilayah Desa Cipeuteuy, sedangkan seluas 10 hektar dari Hutan tersebut atau 0,26 persen dari total luas desa merupakan Hutan yang pengusahaannya dimiliki oleh rakyat. Dengan demikian lebih dari setengah wilayah Desa Cipeuteuy merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan ini merupakan perluasan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada tahun 2006 yang sebagian besar kondisinya berupa garapan tumpang sari eks Perhutani.

Meskipun telah ada penetapan zona lindung dan zona pemanfaatan, namun demikian selama ini tidak ada nota kesepakatan yang jelas mengenai batas Desa dengan Taman Nasional, sehingga belum ada batasan wilayah yang jelas antara wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan Desa Cipeuteuy.

Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada awalnya merupakan wilayah Perhutani yang dialihkan berdasarkan Surat Keputusan No 175 Tahun 2003 yang berisi penetapan kawasan Perhutani sekitar 73.000 hektar sepanjang Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak untuk dialihkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wacana pengalih-kelolaan hutan tersebut sesungguhnya sudah dimulai dari tahun 2003, namun baru terealisasikan pada tahun 2006.

Alasan pengalihan tersebut, salah satunya adalah untuk menyelamatkan hutan yang ketika dikelola oleh Perhutani mengalami banyak kerusakan. Aparat desa mengungkapkan bahwa timbul kekhawatiran dari masyarakat ketika hutan dikelola oleh Perum Perhutani karena selama pengelolaan dilakukan oleh Perhutani, banyak pohon yang ditebang baik secara legal maupun ilegal tanpa dilakukan peremajaan atau penanaman kembali. Hal ini menyebabkan hutan perbatasan yang menghubungkan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak menjadi gundul yang kemudian akan berakibat terputusnya jalur satwa endemik yang ada di kawasan tersebut. Satwa endemik seperti macan tutul yang ada di wilayah Salak akan mengalami kesulitan untuk melintas ke Halimun dikarenakan hutan tersebut telah gundul. Dengan demikian, tujuan lain diturunkannya Surat Keputusan tersebut adalah untuk menyelamatkan species endemik yang ada di Taman Nasional Gunung Halimun–Salak, seperti macan tutul.

Berdasarkan Tabel 1, luas sawah dan ladang merupakan jumlah pemanfaatan lahan terbesar kedua setelah hutan, yakni seluas 1.622 hektar, berarti 43,29 persen dari total wilayah desa merupakan lahan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy menggantungkan hidupnya pada pengelolaan sawah dan ladang. Menurut hasil wawancara dan observasi, masyarakat desa Cipeuteuy yang dengan intensif bertani adalah masyarakat Dusun Pandan Arum (RT 05) yang memiliki keragaman penguasaan lahan, dimana selain menggarap lahan milik, mereka pun menggarap lahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan lahan status-quo eks HGU PT. Intan Hepta.

4.2. Keadaan Umum Penduduk

Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy pada tahun 2006 tercatat sebanyak 6.352 jiwa yang terdiri dari 3.236 jiwa (50,94 persen) laki-laki dan 3.116 jiwa (49,06 persen) perempuan. Jumlah tersebut berasal dari 1.608 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata sebanyak 3-4 orang jumlah anggota keluarga pada tiap KK-nya. Adapun komposisi penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 2.

Menurut jenis kelaminnya, jelas terlihat bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih tinggi dari jumlah penduduk perempuan berturut-turut baik pada usia anak-anak, produktif, hingga usia lanjut. Data pada monografi Desa Cipeuteuy, menerangkan bahwa menurut desa, golongan penduduk usia produktif berkisar antara 15-55 tahun, sedangkan usia <15 tahun termasuk dalam usia muda dan >55 tahun merupakan usia Lansia.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006

Golongan Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total

0-1 1.02 0,98 2,00

2 1,18 1,15 2,33

3-5 4,80 4,63 9,43

6 1,43 1,37 2,80

7-12 5,78 5,56 11,34

13-15 3,15 3,01 6,16

16-18 3,09 2,96 6,05

19-35 9,90 9,60 19,51

36-49 12,19 11,73 23,91

50-55 4,80 4,61 9,41

55+ 3,61 3,46 7,07

Total (Persen) 50,94 49,06 100,00

Total (Jumlah) 3.236 3.116 6.352

Sumber: Data Monografi Desa 2006

Berdasarkan data jumlah angkatan kerja pada monografi desa, yang selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3, jumlah penduduk angkatan kerja tercatat sebanyak 3.880 jiwa atau 61,08 persen dari jumlah penduduk seluruhnya yaitu 6.352 jiwa sedangkan sisanya sebanyak 2.472 jiwa (38,91 persen) merupakan anak-anak dan penduduk bukan usia kerja. Dengan demikian, jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif (15-55 tahun) lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk di usia anak-anak, dan usia lanjut.

Menurut data potensi desa, penduduk yang termasuk ke dalam usia kerja berkisar dari umur 15 hingga 55 tahun, meskipun di lapangan ditemukan penduduk yang menurut desa masuk dalam usia lanjut, namun masih dapat melakukan kegiatan usahatani.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja Tahun 2006.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja Tahun 2006.