• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PROFIL RUMAH TANGGA PETANI

5.2. Karakteristik Rumahtangga

5.2.2. Partisipasi Kelembagaan

Pada Tabel 16 disajikan data mengenai kondisi anggota rumahtangga berdasarkan tingkat partisipasi dalam kelembagaan. Pada kelembagaan di lingkungan pemerintahan jumlah anggota rumahtangga perempuan tertinggi ada pada jenis kelembagaan yang berkaitan dengan peran-peran reproduktif seperti PKK, KB dan Posyandu, secara berturut-turut sebanyak satu orang (0,25 persen), 33 orang (8,38 persen) dan 37 orang (9,39 persen) perempuan, meskipun sebanyak 1,52 persen dan 2,03 persen anggota rumahtangga yang melakukan KB dan Posyandu. Lembaga lainnya dalam lingkungan pemerintahan dapat dipastikan anggota rumahtangga petani laki-laki mempunyai jumlah yang lebih tinggi dikarenakan lembaga seperti Linmas, BPD, sangat berkaitan dengan stereotipi gender laki-laki yang maskulin masing-masing sebanyak 1,27 persen dan 0,51 persen.

Demikian halnya dengan kelembagaan taman nasional dimana anggota rumahtangga laki-laki memiliki persentase lebih tinggi sebanyak 3,81 persen.

Anggota rumahtangga laki-laki yang mengikuti kopel sebanyak 0,25 persen, Jamaskor, sedangkan untuk kegiatan Taman Nasional, keduanya memiliki kesenjangan yang sangat kecil sekali yakni 1,02 persen anggota rumahtangga

perempuan dan 1,27 persen anggota rumahtangga petani laki-laki. Yang menarik adalah pada kelembagaan kader konservasi dimana tidak ada angota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi, yang berpartisipasi hanya anggota rumahtangga perempuan sebesar 0,25 persen.

Tabel 16. Kondisi RTP di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Partisipasi dan Jenis Kelamin

Partisipasi Laki-Laki Perempuan Persentase

PKK 0,25 0,25

Kader Konservasi 0,25 0,25

Kelompok Tani 10,15 2,79 12,94 Gotong Royong Masjid 19,54 10,91 30,46

Selamatan 15,99 14,21 30,20

Mengingat lembaga tersebut merekrut anggota dengan pemilihan/penunjukan, maka kedudukan perempuan dalam organisasi di mata

taman nasional telah diperhitungkan. Hal tersebut juga berkaitan dengan peran pemeliharaan yang dilakukan kader konservasi yang notabene juga merupakan sifat-sifat feminis yang dipercayai menjadi sifat-sifat perempuan.

Kesenjangan tingkat partsipasi sangat tinggi pada kelembagaan pertanian. Pada kelompok tani sebannyak 40 orang (10,15 persen) anggota rumahtangga laki-laki tergabung dalam kelompok tani dan hanya 11 orang (2,79 persen) anggota rumahtangga perempuan yang berpartisipasi dalam kelompok tani, demikian halnya yang terjadi ada koperasi dan anggota rumahtangga laki-laki yang mengakses koperasi secara langsung sebesar 15,48 persen dibandingkan dengan anggota rumahtangga perempuan sebanyak 7,11 persen.

Jaring pengaman sosial sangat berkaitan dengan peran perempuan reproduktif yang menurut Mosher (1993) mencakup tugas-tugas menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja termasuk memasak dan menyediakan keperluan rumahtangga.

Dengan demikian sangatlah dimaklumi jika, anggota rumahtangga perempuan yang mengikuti program raskin memiliki persentase lebih tinggi sebanyak 12,69 persen dari 10,91 persen anggota rumahtangga laki-laki yang menebus raskin. Jumlah tersebut kemudian diikuti oleh program kartu sehat masing-masing 3,81 persen anggota rumahtangga perempuan dan 2,54 persen anggota rumahtangga laki-laki dan keduanya memiliki persentase yang sama sebanyak 0,51 persen pada program kartu sehat.

Jumlah anggota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi pada kelembagaan informal masih lebih tinggi dari jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam kelompok informal. Perbedaan kesenjangan yang rendah

terjadi pada kelembagaan pengajian dan arisan yakni sebanyak 91 (23,10 persen) anggota rumahtangga perempuan dan 94 (23,86 persen) anggota rumahtangga laki-laki yang ikut dalam pengajian sedangkan keduanya memiliki jumlah anggota rumahtangga yang sama sebanyak 2,03 persen kelembagaan arisan.

Selanjutnya pada kelembagaan gotong royong jalan, gotong royong masjid, selamatan, kematian dan perbaikan jalan memiliki kesenjangan jumlah anggota rumahtangga laki-laki dan anggota rumahtangga perempuan yang sangat tinggi sebanyak 19,80 persen anggota rumahtangga laki-laki dan 10,41 persen anggota rumahtangga perempuan melakukan gotong royong jalan. Kemudian secara berturut-turut adalah 19,54 persen dan 6,91 persen pada gotong royong masjid, 15,99 persen dan 14,21 persen dalam selamatan 14,97 dan 11,17 dalam kematian dan 17,01 persen anggota rumahtangga laki-laki, 11,42 persen anggota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi dalam perbaikan jalan. Jika dilihat secara keseluruhan, kelembagaan informal dengan tingkat kesenjangan jumlah anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki yang tinggi diduga dipengaruhi oleh cara masing-masing anggota rumahtangga berpartispasi, mengingat pekerjaan gotong royong perbaikan jalan merupakan peranan yang sangat dekat dengan laki-laki yang notabene lebih layak untuk mengerjakan pekerjaan yang cenderung berat membutuhkan banyak tenaga menurut penuturan beberapa orang anggota rumahtangga perempuan bentuk partisipasi mereka dalam gotong royong perbaikan jalan adalah dengan menyediakan konsumsi bagi para pekerja.

Selanjutnya tingkat kesenjangan pada kelembagaan selamatan dan kematian diduga berhubungan dengan sistem nilai yang ada pada masyarakat dimana untuk

acara selamatan dan bantuan kematian merupakan tugas anggota rumahtangga laki-laki dalam kehidupan sosial.

Pada partisipasi politik, baik laki-laki, perempuan ataupun keduanya memiliki partisipasi yang sama sehingga baik untuk anggota rumahtangga perempuan dan anggota rumahtangga laki-laki jika telah memenuhi syarat untuk hak pilih maka tidak ada hal-hal yang menghalanginya untuk memilih menggunakan hak pilihnya baik ditingkat desa maupun tingkat Nasional.

Pada tiga kampung kasus sangatlah sulit untuk menemukan kelembagaan keuangan berikut anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki yang berpartisipasi di dalamnya. Pada Tabel 16 ditemukan hanya sebanyak 2 orang anggota rumahtangga laki-laki yang menabung, masing-masing pada Bank dan keluarga dan sebanyak 13 orang anggota rumahtangga laki-laki dan 12 orang anggota rumahtangga perempuan yang menabung pada lembaga lainnya, yakni anak-anak yang menabung di sekolah dan beberapa anggota yang menabung di Masjid.

BAB VI

SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT

6.1. Sistem Kekerabatan

6.1.1. Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga

Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Pada Desa Cipeuteuy, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan yang berbeda dalam keluarga, sebagaimana halnya tercermin dari pembagian kerja gender dalam keluarga baik pembagian peran di rumah maupun pada kegiatan usahatani.

Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan telah terinternalisasi pada tiap keluarga, dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan.

Anak perempuan dan anak laki-laki sedari dini telah diperkenalkan mengenai pembagian kerja gender, dimana laki-laki ditempatkan pada sektor pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menafkahi keluarga dan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang berkaitan dengan pola pengasuhan dan pekerjaan domestik di rumah. Dengan demikian peran reproduktif sangat melekat pada individu laki-laki sebagaimana halnya peran reproduktif pada ART perempuan.

Menurut hasil dari diskusi kelompok terarah (FGD), mekanisme kerja dalam keluarga yang terbentuk secara umum adalah perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki mencari rumput, mencangkul dan bekerja di sawah. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa dan memasuki usia produktif, maka selain bersekolah ia pun mulai diajarkan pada pola-pola pekerjaan yang berkaitan dengan usahatani sebagai salah satu sektor alternatif sumber nafkah bagi penduduk Desa Cipeuteuy yang tercermin pada tiga kampung kasus.

Pada awalnya anak laki-laki akan diajarkan untuk mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) yang kemudian akan menjadi tugas/pekerjaan rutin yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelum bersiap untuk melakukan praktek-praktek usahatani. Selain ngajukut anak laki-laki juga bertugas untuk mengambil kayu bakar di hutan untuk bahan bakar masak (ngala’ hawu). Kayu yang diambil berasal dari hutan TNGHS, dimana kayu-kayu tersebut bukan merupakan hasil tebangan baru, namun kayu bekas tebangan atau ranting-ranting yang telah jatuh, dengan demikian diperlukan sedikit ketrampilan memilih kayu dan mengemas kayu sedemikian rupa untuk mempermudah dalam memindahkan hasil kayu yang di’panen’. Selain daripada itu, anak laki-laki juga telah diajarkan untuk menyisiri kawasan hutan, sehingga ia tidak akan pernah tersesat saat mencari kayu dan selanjutnya, mengingat tiga kampung kasus tersebut seringkali mendapat kunjungan dari turis, peneliti ataupun pendatang, maka ketrampilan tersebut dapat digunakan untuk memandu mereka menyusuri hutan, seperti yang dilakukan oleh Bapak ‘AH’, yang pernah menemani peneliti dari Jepang mengelilingi TNGHS selama tujuh hari tujuh malam. Anak laki-laki yang telah dapat mandiri dalam

kegiatan ngajukut dan ngala’ hawu dapat membantu meringankan pekerjaan orang tuanya.

Lain halnya dengan perempuan yang sedari dini telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti membantu ibu memasak, menyediakan makanan untuk para pekerja dan membantu orang tua mereka mengasuh adik-adiknya. Namun demikian, anak perempuan juga diperkenalkan pada kegiatan usahatani yang nantinya akan menjadi pekerjaan mereka, baik sebagai pekerja keluarga maupun sebagai buruh tani. Anak perempuan, sepulang dari sekolah mulai diperkenalkan kepada pekerjaan usahatani yang dilakukan oleh ibu mereka, meliputi kegiatan persemaian (ngabungbung), penyiangan (ngarambet), penanaman (tandur) dan proses panen. Pada beberapa rumahtangga petani, ditemukan bahwa kegiatan mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) juga dilakukan oleh anak perempuan.

Pembagian kerja yang terjadi juga turut mendorong perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, dalam hal pendidikan, mayoritas ART menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki memiliki pendidikan yang tinggi lebih besar dari perempuan dikarenakan laki-laki kelak akan menjadi penopang keluarga yang diasumsikan dapat bekerja lebih layak ketika mempunyai status pendidikan yang tinggi. Lain halnya dengan beberapa ART yang melalui wawancara mendalam mengungkapkan bahwa mereka lebih mementingkan pendidikan untuk anak perempuannya. Responden tersebut menyatakan bahwa laki-laki sebagai calon kepala rumahtangga harus memiliki

ketrampilan yang mencukupi sehingga ia dapat berkontribusi dalam pendapatan keluarga, pun dapat membina keluarga sejak dini, sehingga laki-laki lebih diarahkan pada peningkatan kapasistas dalam melakukan praktek-praktek usahatani daripada mengenyam pendidikan tinggi, yang hasilnya pun belum tentu dapat menjamin masa depan sang anak untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Anggapan tersebut muncul, karena anak laki-laki kerabat/tetangga mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya kembali lagi ke kampung mereka dan melakukan kegiatan usahatani dengan alasan sulitnya mencari pekerjaan di kota. RTP yang beranggapan demikian cenderung membina anak laki-lakinya mengelola usahatani dan menyekolahkan anak perempuan mereka, agar meningkatkan status mereka dengan harapan nantinya memperoleh jodoh yang lebih baik. Ketika anak mengenyam pendidikan tinggi maka ia akan bertemu dengan lingkungan yang lebih luas, sehingga akan mempengaruhinya dalam penyeleksian pasangan hidup. Mereka mengharapkan pasangan hidup yang diperoleh anaknya berasal dari luar kampung/desa dengan pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi.

6.1.2. Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan.

Secara tertulis maupun secara adat, penduduk Desa Cipeuteuy tidak memiliki Hukum Adat yang mengatur mengenai kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya, namun ada kebiasaan- kebiasaan yang kemudian melembaga pada masing-masing kampung yang menjadi acuan dalam pengaturan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Dari hasil diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan aparat desa dan

tokoh masyarakat diluar dari tiga kampung kasus, ditemui beberapa asumsi yang mendasari kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya.

Individu laki-laki dan perempuan memperoleh hak atas kepemilikan sumberdaya agraria melalui proses jual beli, hibah dan waris. Kebanyakan kepemilikan lahan oleh perempuan berasal dari hibah dan waris. Sejumlah responden perempuan hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa saat ini mereka hidup bersama suami dengan mengelola sumberdaya agraria milik suami.

Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki lahan, namun dikarenakan lahan yang mereka mereka warisi terletak jauh di tempat tinggal mereka dulu, sehingga mereka harus menjual atau menghibahkannya kepada saudara untuk mengelola lahan tersebut. Selanjutnya responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengelola lahan yang dihibahkan oleh orang tua mereka dan meninggali rumah yang diwariskan kepada mereka. Dalam proses jual beli sumberdaya agraria, keduanya mempunyai hak yang sama untuk dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria. Tidak ada ketentuan khusus pada tingkat desa yang mengatur proses jual beli atas keduanya kecuali peraturan-peraturan secara hukum yang mengatur syarat-syarat jual beli antara pihak penjual dan pembeli secara umum.

Adapun syarat-syarat umum jual beli sumberdaya agraria – dalam hal ini adalah tanah/lahan - telah diatur dalam PS 1320 KUH Perdata dan UUPA dalam UU No 5 th 1960 an PP 24/1997 mengenai jual beli tanah. Adapun syarat umum sah jual beli berinduk pada kesepakatan, dimana subjeknya cakap hukum dan objeknya dalam keadaan tidak bertentangan hukum (tidak dalam status sengketa).

Sedangkan syarat khusus untuk jual beli tanah antara lain : bukti Cash and carry, KTP, KK, surat nikah, sertifikat yang telah di cek BPN, 10 tahun melunasi PBB,

pembayaran pajak transaksi, dan Akta yang di tanda tangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai status hukum yang sama dalam proses jual beli, hanya saja terdapat ketentuan pada penjualan sumberdaya agraria, dimana ketika menjual baik laki-laki maupun perempuan harus didasari atas persetujuan pasangan hidupnya dengan pernyataan tertulis.

Namun hal tersebut tidak berlaku jika masing-masing ingin membeli sumberdaya agraria. Selanjutnya mengenai batasan usia di atur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Baik laki-laki maupun perempuan hanya dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria setelah berumur 21 tahun (> 21 tahun), terkecuali jika kondisi individu belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia dapat melakukan pembelian sendiri dan penjualan atas persetujuan pasangannya.

Jika dalam peraturan hukum jual beli sumberdaya agraria, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tidak demikian pada sistem pewarisan sumberdaya agraria terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perolehan hak atas kepemilikan sumberdaya agraria terlihat jelas pada sistem pewarisan dimana antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memperoleh bagian yang sama satu dengan lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat Desa Cipeuteuy mempunyai sistem kekerabatan Sunda yang Bilateral. Berbeda dengan sistem kekerabatan di daerah Jawa yang patrilineal, dimana garis keturunan yang digunakan adalah garis keturunan ayah, pada sistem kekerabatan sunda, garis keturunannya berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Dengan demikian asumsinya, baik perempuan dan laki-laki memperoleh hak yang sama atas sumberdaya, termasuk sumberdaya agraria. Selain daripada itu, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy merupakan penduduk yang beragama Islam, dimana

dalam agama Islam telah diatur pembagian pewarisan yang jelas atas laki-laki dan perempuan12. Pembagian warisan menurut hukum Islam diatur dalam Q.S. An Nisa ayat 11 (4:11)13 yang menyatakan bahwa “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan...”. Dengan demikian laki-laki memperoleh warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan (2:1).

Ketentuan tersebut didasari oleh kondisi dimana kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah14.

Pada dasarnya, penduduk Desa Cipeuteuy menggunakan ketentuan dari agama Islam (syari’at hukum Islam) dalam pembagian warisannya, yakni dengan perbandingan L:P=1:2. Dengan demikian laki-laki akan memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan. Namun, dari kondisi yang demikianlah, beberapa rumahtangga mengaku masih mempertimbangkan kondisi anak laki-laki dan perempuan serta kebijakan keluarga dalam pembagian warisan.

Ketiga kampung kasus sendiri memiliki perbedaan dalam sistem pewarisan. Menurut keterangan tokoh masyarakat yang berada di kampung

12 Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa (4:7)

13 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan(Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah) ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S. An Nisa (4:11)

14 ...Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...Q.S. An Nisa (4:34)

Sukagalih, proporsi penduduk yang menggunakan syari’at Islam rata-rata hanya 25 persen dibandingkan dengan 75 persen penduduk lainnya yang menggunakan kebijakan keluarganya dan pertimbangan kondisi anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan. Demikian halnya yang terjadi pada kampung Cisalimar, dimana sistem pewarisan dengan syari’at Islam masih dijalankan, namun ada kebijakan pembagian harta dengan alternatif hibah melihat dari kondisi individu laki-laki dan perempuan yang akan diwarisi, seperti pernyataan yang dilontarkan Bapak “AH” selaku kepala Dusun pada saat diskusi kelompok terarah berlangsung yang menyatakan bahwa “Kalo waris disini mah pakai sistem hukum Islam, tapi suka ada kebijakan-kebijakan dalam keluarga. Misalnya laki-laki suka lebih besar atau karena perempuan kasihan cuma dapet sedikit yah dikasih lebih banyak lagi. Itu mah tergantung keluarganya juga”.

Selanjutnya terdapat tiga pandangan dalam kebijakan keluarga mengenai sistem pewarisan, dimana yang pertama, beberapa responden menyepakati bahwa laki-laki memang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak sehingga mereka menjalankan syari’at Islam, dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Seperti pernyataan Ibu ‘AC’ dari kampung Cisalimar yang mengatakan : ”Kan kalo anak laki-laki itu bakalan bawa istri, sedangkan anak perempuan mah nanti dibawa suaminya.”

Hal ini juga selaras dengan pernyataan dari Bapak ‘AD’ yang berujar:

“Sistem disini mah masih menganut pepatah “lalaki di gawe awewe nungguan di bere” yang berarti bahwa laki-laki yang memberi nafkah dan perempuan yang menunggu diberi. Namun ketika dalam FGD terlontar kasus mengenai pembagian warisan kepada anak perempuaan yang telah menikah dengan laki-laki yang

berkecukupan, mereka kembali berkesimpulan bahwa anak perempuan tetap memproleh hak waris, meskipun lebih sedikit dari laki-laki. Pada sistem pewarisan ini stereotipi gender masih mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pembagian warisan.

Lain halnya dengan sistem pembagian waris yang kedua, dimana sistem pewarisan yang berlaku cenderung sama menggunakan cara Islam, yang selebihnya tergantung pada kebijakan keluarga tersebut, namun sistem ini tidak melihat label gender yang disandang individu, misalkan seorang anak perempuan bisa saja ditambah dengan sejumlah hibah sehingga akan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki. Cara lainnya adalah jika terdapat dua orang anak baik itu laki-laki maupun perempuan, dimana anak pertama memiliki penghasilan yang lebih banyak dari anak laki-laki, maka pembagian lebih banyak kepada anak ke dua. Pada sistem pewarisan ini dimungkinkan pembagian kepada anak perempuan akan lebih besar. Hal ini didasari semata-mata oleh rasa sayang orang tua kepada anak perempuannya dan keinginan untuk berbuat adil disamping menjalankan syari’at.

Pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan yang merata antara laki-laki dan perempuan, dan cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Menurut penuturan Bapak ’EN’, selaku aparat desa, pembagian warisan di Desa Cipeuteuy tidak lagi menggunakan syari’ah. Sudah menjadi adat dan budaya bahwa pembagiannya dibagi secara rata. “Da’ laki-laki atanapi perempuan, semuanya anak saya, yah masa mau dibedakan, kalo masih ada ibunya ya dibagi rata dengan ibunya juga, disini mah meskipun ustad juga bagi rata aja lah.” ujarnya kemudian.

Beririsan dengan pernyataan Bapak ’TR’ yang menyatakan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Desa Cipeuteuy beragama Islam, namun dalam pembagian harta warisan yang lebih menonjol adalah adat istiadatnya. Jika dalam agama pembagian warisan diatur yakni 1:2, semisal laki-laki mendapat satu bagian berarti perempuan memperoleh ½ bagian, namun yang terjadi di wilayah ini adalah pembagian secara rata yakni L:P=1:1.

Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun

Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun