• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keajaiban” Asia Timur

Dalam dokumen johan norberg membela kapitalisme global (Halaman 132-138)

AGAR dapat mengukur dampak politik terhadap pembangunan, mungkin dapat mencerahkan jika kita membandingkan benua-benua yang menampilkan kontras yang mencolok dalam sejarah pasca perang: yaitu ”keajaiban” pertumbuhan Asia Timur dan catatan jejak bencana di Afrika. Zambia pada 1960 hampir sekaya Korea Selatan. Sekarang Korea Selatan kurang-lebih 20 kali lebih kaya dari Zambia, dan mempunyai standar hidup yang dapat dibandingkan dengan Portugal. Penduduk Taiwan dulu lebih miskin daripada penduduk Kongo. Sekarang mereka sekaya penduduk Spanyol, sementara Kongo sendiri hampir tidak berubah. Bagaimana dapat terjadi perubahan yang begitu baik di Asia dan begitu buruk di Afrika?

Pada akhir Perang Dunia Kedua perekonomian Jepang luluh lantak dan negara-negara yang sebelumnya diduduki Jepang terpuruk dalam kemelaratan, kelaparan dan kesengsaraan. Dunia menduga negara- negara ini akan hancur oleh korupsi, kejahatan, dan perang gerilya. Tetapi sejak 1960-an ”perekonomian ajaib” negara-negara Asia Timur ini mengalami pertumbuhan antara 5 sampai 7 persen per tahun, dan pendapatan mereka naik dua kali lipat setiap dekade. Tabungan, investasi, dan ekspor--semuanya sangat mengesankan, dan negara- negara ini dengan cepat menjadi negara-negara industri. Negara yang dulu dijajah, seperti Singapura dan Hong Kong, sekarang sama sejahteranya dengan mantan penjajahnya.

Di hampir semua negara ini, yang kadang disebut ”Macan- Macan Asia,” proses pembangunan mempertahankan atau bahkan meningkatkan kesetaraan ekonomi—tanpa adanya kebijakan redistribusi yang signifikan. Kemiskinan telah turun dengan pesat. Di Indonesia, proporsi penduduk yang benar-benar hidup dalam kemiskinan absolut menurun dari 58 persen menjadi 15 persen, dan

“Keajaiban” Asia Timur 101

di Malaysia dari 37 persen menjadi 5 persen. Antara 1960-1990, rerata harapan hidup di negara-negara Asia Timur meningkat dari 56 tahun menjadi 71 tahun. Seiring dengan pertumbuhan muncullah demokratisasi di negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan sekarang juga Indonesia.

Negara-negara ini telah membuktikan bahwa sangat mungkin bagi negara berkembang untuk menjadi negara-negara industri dan berkembang. Mereka juga menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi hanya di ekonomi kapitalistik yang terbuka, bukan di ekonomi komando yang tertutup. Akhir-akhir ini banyak ekonom menunjukkan bahwa ekonomi-ekonomi ajaib ini menerapkan banyak kontrol pemerintah; ini menyiratkan bahwa ekonom-ekonom tersebut memiliki contoh- kontra yang menyanggah klaim bahwa hanya liberalisme sematalah yang membawa kemajuan. Butir pertama dalam pernyataan mereka benar. Negara-negara pertama yang berhasil berkembang di wilayah tersebut—Jepang, Korea Selatan, dan Thailand—menggerakkan perekonomiannya dengan intervensi pemerintah yang besar, meskipun di “keajaiban-keajaiban” berikut—Indonesia, Malaysia, dan Thailand—perekonomian digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang lebih sedikit. Di kelompok pertama, pemerintah mengatur investasi, perbankan, menanamkan modal pada dan melindungi industri-industri pilihan dan memegang kendali penuh atas amunisi intervensinya. Namun tidak ada yang unik dengan hal ini: negara berkembang di semua benua melakukan hal yang sama. Bank Dunia, dalam evaluasinya tentang ekonomi-ekonomi ajaib tersebut, mengamati:

Ekonomi-ekonomi lain melakukan intervensi-intervensi serupa tanpa hasil dan secara rata-rata mereka menjadi semakin intervensif.51)

51) World Bank, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy (New York: Oxford University Press/World Bank, 1993), h. 6. Lihat juga Gunnarsson dan Rojas.

Yang membedakan “macan-macan Asia” dengan negara berkembang lain adalah bahwa mereka berkomitmen sendiri untuk menegakkan dan melindungi hak kepemilikan, menciptakan aturan hukum yang melindungi perusahaan dan persaingan, dan menerapkan kebijakan-kebijakan keuangan yang stabil serta inflasi yang rendah. Mereka melaksanakan pendidikan universal, menghasilkan masyarakat terampil yang mampu membangun bangsa mereka. Karena pemerintahan ini berkonsentrasi pada pendidikan dasar, dan menyerahkan pendidikan tinggi kepada pasar swasta, institusi- institusi pendidikan tinggi disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi.

Pemerintahan di Asia Timur memperkenalkan reformasi yang meniadakan hak lama para elit akan tanah dan keistimewaan yang dulu pernah mereka miliki. Reformasi memungkinkan semua orang untuk mengambil bagian dalam perekonomian. Petani sekarang relatif dapat dengan bebas menentukan surplus pangan, menabung dan menanamkan modal sesuai keinginan, yang membuat mereka berkepentingan dengan pertanian yang lebih efisien. Panen yang meningkat mengamankan kebutuhan negara akan pangan sambil menyiapkan tenaga kerja untuk industri, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan barang industri karena pendapatan pedesaan juga meningkat. “Macan-macan” ini lebih tertarik menciptakan lapangan kerja daripada menetapkan harga minimum dan mengatur pasar tenaga kerja. Ini menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, dan gaji pun kemudian meningkat seiring produktivitas. Oleh sebab gaji dapat diturunkan dalam resesi (karena barang yang dibeli dengan gaji tersebut juga lebih murah), banyak dari negara-negara ini yang berhasil mengatasi krisis dengan lebih baik dan dengan pengangguran yang lebih rendah dibandingkan negara lain.

“Keajaiban” Asia Timur 103

peraturan, lisensi, dan izin usaha. Negara-negara Asia Timur, sebaliknya, telah terkenal akan kebebasan dalam mendirikan usaha. Warganegara yang mempunyai gagasan dapat memulai usaha dengan syarat birokratis minimal dan bekerja bebas tanpa kontrol dan regulasi harga yang rinci. Hong Kong melaju paling jauh dalam arah tersebut. Orang di sana dapat memulai usaha dan kemudian baru melaporkannya kepada pejabat terkait untuk mendapatkan izin. Ini teramat penting, tidak saja untuk membuka lahan bagi inisiatif melainkan juga untuk menyediakan obat penawar yang efektif terhadap korupsi yang biasanya banyak terjadi di balik prosedur perizinan.

Walaupun banyak negara Asia Timur telah mengarahkan kredit pajak dan subsidinya ke sektor swasta, mereka lebih sedikit terpengaruh oleh kronisme dan nepotisme, kelompok kepentingan, atau godaan untuk mengejar mega proyek ’mercu suar’ yang pesolek tetapi tidak produktif jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain. Akan tetapi, mereka memumpunkan perhatian mereka pada capaian produktif yang tulen serta tuntutan pasar. Harga-harga telah lebih ditentukan pasar dibandingkan dengan yang terjadi di negara berkembang lain. Negara-negara ini tidak menerapkan pengendalian harga dan tidak menyimpangkan harga pasar dunia, sehingga investasi telah berlangsung di tempat-tempat yang paling menjanjikan keberhasilan ini. Dengan absennya distorsi, arus investasi pun mengalir ke sektor-sektor tertentu di mana negara yang bersangkutan memiliki keuntungan komparatif, relatif terhadap negara lain.

Banyak dari mereka yang terlibat dalam perdebatan menuntut agar pemerintah mengintervensi dan mengatur investasi guna memperlambat laju pertumbuhan dan melindungi usaha yang ada. Inilah persisnya yang tidak dilakukan pemerintah-pemerintah Asia

tersebut, yang memandang kemampuan-bertahan dalam persaingan internasional sebagai hal yang paling menentukan keberhasilan usaha. Pemerintah Jepang membiarkan bangkrut korporasi-korporasi yang tidak cukup memiliki potensi keuntungan, dan Korea Selatan amat tidak sentimentil dengan menutup firma-firma yang tidak dapat berproduksi untuk pasar terbuka. Ketiadaan rasa sentimentil juga telah diterapkan oleh pemerintah-pemerintah itu sendiri. Ketika subsidi dan belanja telah mengancam stabilitas ekonomi, mereka segera menurunkan komitmen, dan karenanya terhindar dari krisis anggaran dan inflasi.

Di atas segala hal lain, negara-negara ini sangat bersungguh- sungguh mengintegrasikan diri dengan ekonomi internasional. Mereka termasuk kelompok negara di dunia yang perekonomiannya paling berorientasi ekspor, dan kebanyakan mereka membuka diri bagi penanaman modal asing. Semakin besar pangsa PDB berasal dari perniagaan, semakin cepat tumbuhnya perekonomian. Sebagian besar mereka memang masih mengenakan tarif impor, tetapi hal serupa juga ditempuh negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Negara-negara Asia timur berbeda karena mereka telah menerapkan kebijakan intervensif dalam tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain; mereka juga lebih dini dalam mencabutnya. Pada waktu negara-negara lain tengah sibuk mengejar kemandirian dan menghindari perdagangan, negara- negara Asia Timur memilih memantapkan internasionalisasi mereka. Pada 1960-an mereka mulai menggalakkan ekspor, antara lain dengan menghilangkan syarat-syarat perizinan dan membebaskan eksportir dan pemasoknya dari pajak impor. Tarif yang dikenakan untuk barang modal, rendah. Berdasarkan indeks keterbukaan yang disusun oleh 2 ekonom Harvard, Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, negara-negara Asia Timur merupakan negara-negara berkembang

“Keajaiban” Asia Timur 105

pertama yang membuka perekonomian mereka dengan mengurangi tarif, menghapuskan kuota, membebaskan ekspor, dan menderegulasi bursa asing. Perekonomian Taiwan, Thailand, dan Malaysia paling tidak sudah ”dibuka” sejak 1963, Jepang sejak 1964, Korea Selatan sejak 1968, dan Indonesia sejak 1970. Hong Kong telah berusaha mengejar kebijakan perdagangan yang lebih bebas dibandingkan negara-negara lain di dunia.52) Revolusi semacam ini tidak terjadi

di Amerika Latin hingga permulaan 1990-an dan belum terjadi di sebagian besar bagian Afrika.

Akan mencerahkan jika kita membandingkan negara-negara Asia Timur ini dengan para tetangga mereka yang secara kultural dan demografis mirip tetapi menerapkan kebijakan yang cukup berlawanan. Korea Utara dan Myanmar tidak memberikan kesempatan kepada pasar, dan lebih memilih kebijakan ultra-proteksionis dengan ekonomi yang terkontrol ketat. Mereka benar-benar tertinggal dari perbaikan ekonomi regional, terperangkap di dalam kemiskinan dan kemelaratan, dan sekarang diperintah oleh ketidaktatoran yang tidak manusiawi. Sebaliknya, jauh dari situasi yang menunjukkan pengaturan dan pengendalian oleh negara, keajaiban di Asia Timur menunjukkan bahwa ekonomi yang terbuka dengan perusahaan yang dibiarkan bebas merupakan syarat mutlak, conditio sine qua non, bagi pembangunan.

52) Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, “Economic Reform and the Process of Global Integration,“ Brookings Papers on Economic Activity, no. 1, 1995, h. 26-32, 72- 95.

Dalam dokumen johan norberg membela kapitalisme global (Halaman 132-138)