• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya impor

Dalam dokumen johan norberg membela kapitalisme global (Halaman 157-167)

Pentingnya impor

LOGIKA di atas menyingkapkan kehampaan sebuah mitos lain tentang perdagangan, yakni bahwa ekspor ke negara lain merupakan hal baik, sedangkan impor dari negara lain hal buruk. Banyak orang masih percaya, seperti halnya ekonom-ekonom “merkantilis” di abad ke- 18, bahwa negara akan tumbuh kuat dengan menjual banyak dan membeli sedikit. Semua pengalaman menunjukkan bahwa hal ini bukanlah situasi yang stabil. Kuota impor yang dirancang untuk mengecualikan produk luar negeri hanya akan mendorong kenaikan harga di Amerika Serikat dengan melindungi produsen-produsen domestik dari tekanan persaingan. Para produsen tersebut kemudian akan memfokuskan diri pada pasar Amerika daripada mengekspor dan menjual barang-barang mereka pada harga dunia yang lebih murah. Merintangi impor, dengan demikian, juga berarti mengurangi ekspor.

Kenyataannya, kita menjadi paling kaya dengan mengekspor produk unggulan terbaik kita, agar dapat mengimpor barang lain yang, jika kita buat sendiri, secara relatif bukan capaian terbaik kita. Pilihan lainnya adalah: kita harus membuat semuanya sendiri dan menanggalkan manfaat spesialisasi. Kita dapat mengumpulkan setumpuk uang dari hasil penjualan, tetapi standar hidup kita tidak akan naik hingga kita menggunakan uang tersebut untuk membeli barang-barang yang tidak akan kita miliki jika tidak kita beli. Salah seorang pencetus pertama teori perdagangan, James Mill, dengan cukup akurat mengatakan, pada 1821, ”Keuntungan yang diperoleh dari pertukaran satu komoditas dengan komoditas lain, muncul, dalam semua kejadian, dari komoditas yang diterima, bukan dari komoditas yang diserahkan.”58) Satu-satunya makna ekspor, dengan

58) James S. Mill, Elements of Poitical Economy, ed. ke-3. (London: Baldwin, Cradock dan Joy, 1826), bab V, bag. 3.

kata lain, adalah membuat kita mampu mendapatkan impor sebagai balasannya.

Muskilnya gagasan bahwa kita harus menghindari impor murah akan menjadi jelas jika kita membayangkan penerapannya di batas- batas non-nasional pada satu negara—misalnya jika Los Angeles diharuskan untuk melarang impor barang dari San Francisco, dengan alasan untuk melindungi pasarnya. Jika impor dipandang sebagai tindakan yang secara ekonomis membahayakan, maka akan masuk akal bagi pemerintah kota atau negara untuk mencegah warga yang ingin membeli barang asal wilayah lain. Berdasarkan logika ini, penduduk Kalifornia akan merugi jika membeli barang dari Texas; Brooklyn akan mendapat untung dengan menolak barang dari Manhattan; dan akan lebih baik bagi tiap keluarga untuk menghasilkan sendiri kebutuhan masing-masing daripada berdagang dengan tetangganya. Pandangan seperti ini jelas akan menimbulkan kerugian yang luar biasa besar bagi kesejahteraan: keluarga yang harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya akan sangat tertekan hanya demi sekadar menyediakan makanan di meja. Saat kita pergi ke toko, kita sebenarnya ”mengimpor” makanan—dapat melakukan hal tersebut dengan mudah adalah suatu keuntungan, bukan kerugian. Kita ”mengekspor” ketika kita pergi bekerja dan menghasilkan barang atau jasa. Sebagian besar kita suka ”mengimpor” dengan begitu murah sehinga dapat ”mengekspor” lebih sedikit.

Perdagangan bukanlah semacam permainan zero-sum, atau kalah-menang, di mana kemenangan bagi satu pihak merupakan kemenangan bagi pihak lain. Justru sebaliknya berlaku: tidak akan terjadi ada pertukaran jika kedua belah pihak merasa tidak akan memeroleh keuntungan. Tolok ukur yang benar-benar menarik bukanlah ”neraca perdagangan” (di mana ”surplus” berarti ekspor kita lebih besar dari impor) melainkan jumlah perdagangan, karena baik

Pentingnya impor 127

ekspor maupun impor sama-sama merupakan keuntungan (gains). Impor sering dikhawatirkan sebagai penyebab potensial pengangguran: jika kita mengimpor mainan dan pakaian murah dari Cina, maka pabrik pakaian dan mainan di sini akan harus dirampingkan. Jika kita melihat hal ini dari perspektif internasionalis, kita mungkin bertanya mengapa lapangan kerja dan penanaman modal lebih penting di Amerika Serikat daripada di negara yang lebih miskin. Bukankah negara-negara tersebut justru lebih membutuhkan pekerjaan daripada AS, sebab mereka tidak dapat memberikan kompensasi bagi kaum pengangguran? Namun, cara pandang demikian juga keliru. Dengan memeroleh barang yang lebih murah dari luar negeri, kita justru menghemat sumber daya kita sendiri di Amerika Serikat, dan dengan begitu kita dapat menanamkan modal di industri dan profesi baru, sehingga penduduk Cina yang mempunyai uang lebih banyak untuk dibelanjakan, dapat membeli peranti lunak dan album Britney Spears dari kita.

”Akan tetapi, tidak ada yang lebih musykil daripada doktrin tentang neraca perdagangan, yang telah dijadikan dasar untuk menegakkan bukan saja pengekangan ini, melainkan juga hampir semua peraturan perdagangan lainnya. Ketika dua pihak saling berdagang, doktrin ini menganggap bahwa jika perdagangan ini seimbang maka tak satu pihak pun diuntungkan atau dirugikan; tetapi jika condong ke salah satu pihak, maka satu pihak lainnya akan merugi dan lainnya mendapat keuntungan. Kedua anggapan ini keliru. Perdagangan yang dipaksa melalui pemberian hadiah dan monopoli mungkin akan merugikan, dan biasanya memang begitu, bagi negara yang menerapkannya, sebagaimana akan saya perlihatkan kelak. Tetapi perdagangan yang berlangsung reguler secara alamiah antara dua belah pihak, tanpa paksaan ataupun pengekangan, akan selalu menguntungkan kedua pihak tersebut, meski nilai keuntungannya tidak selalu setara.

Adam Smith, 177659)

59) Adam Smith, An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (Indianapolis: Liberty Classics, 1981), h. 488-dst..

Di samping itu, kebanyakan pengusaha dan produsen bergantung pada bahan mentah dari para penyalur dan sub-kontraktor di negara lain. Untuk memproduksi telepon seluler, contohnya, perusahaan Swedia Ericsson membutuhkan komponen elektronik dari Asia. Jadi, ketika Uni Eropa menaikkan rintangan tarif terhadap Asia, yang konon alasan resminya adalah untuk melindungi lapangan pekerjaan di Eropa, perusahaan-perusahan di Eropa seperti Ericsson harus membayar biaya ekstra dan ini menurunkan angka penjualan; artinya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak yang mungkin dapat mereka ciptakan dalam kondisi tarif yang berbeda.

Karena itu, politisi-politisi dunia bertindak bodoh saat berkumpul di Seattle atau Qatar untuk merundingkan penurunan tarif dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Para politisi ini menyerukan bahwa mereka akan menyetujui penurunan tarif hanya dengan syarat negara-negara lain juga harus melakukan hal serupa. Tetapi ini amat tidak rasional, sebab setiap negara akan mendapat keuntungan ketika mereka mengurangi tarifnya dan dapat mengimpor barang dengan harga murah, tak peduli apakah negara lain mengikuti jejaknya atau tidak. Kebijakan terbaik adalah perdagangan bebas secara sepihak; dalam hal ini Amerika Serikat melucuti tarif-tarif dan kuota-kuotanya sendiri sekalipun negara lain tetap mempertahankan atau bahkan menaikkan tarif atau kuotanya masing-masing. Mengapa kita mengenakan masyarakat kita tarif dan larangan semata-mata karena negara lain melakukannya terhadap masyarakatnya? Meminjam kiasan dari ekonom Inggris Joan Robinson, bukanlah tindakan pintar jika kita menimbuni pelabuhan kita sendiri dengan batu-batu besar hanya karena tetangga kita memiliki garis pantai yang berbatu sehingga kapal-kapal kita tidak bisa berlabuh. Mengatakan ”Saya tidak akan mengizinkan diri saya sendiri memilih

Pentingnya impor 129

sederetan barang yang baik dan murah jika kamu tidak melakukan hal yang sama” adalah suatu pengorbanan, bukan tindakan balasan yang cerdik.

Kendati demikian, ada beberapa alasan bagus untuk mendukung perundingan perdagangan multilateral antara banyak negara yang berada di bawah naungan WTO. Satu alasannya, perundingan seperti ini dapat lebih mempermudah diterimanya reformasi perdagangan bebas oleh kepentingan-kepentingan terselubung. Jika Amerika Serikat secara sepihak mengurangi tarifnya, pengurangan itu mungkin akan langsung ditolak keras oleh perusahaan dan serikat dagang Amerika yang lebih menyukai tiadanya persaingan. Persaingan tentu saja menguntungkan konsumen; namun, sebagai sebuah kelompok, konsumen umumnya tercecer di berbagai tempat dan tidak tergabung dalam organisasi, sehingga mereka tidak mungkin dapat menyatakan keberatan mereka terhadap tarif. Namun, industri-industri yang menikmati semacam perlindungan monopoli melalui pembatasan perdagangan akan berjuang habis- habisan guna mempertahankan ceruk pasar yang tersaji buat mereka lewat pengenaan tarif. Kesepakatan multilateral dapat menggeser perimbangan kepentingan politik. Ketika sejumlah besar negara mengurangi tarif secara bersamaan, bisnis dan serikat industri ekspor akan mendukung reformasi tersebut atas harapan terbukanya pasar baru. Perundingan dapat lebih memudahkan pengurangan tarif dan membuat negara lain melakukan hal serupa, tetapi tenegosiasi dapat juga menimbulkan banyak kesulitan. Jika politisi bersikap seolah- olah tarif merupakan sesuatu yang menguntungkan, sesuatu yang dapat dibuang hanya jika ada balasannya, para pemberi suara dalam pemilu akan percaya bahwa semua ini benar. Mereka akan mendapat kesan bahwa tarif itu barang jajaan yang baik di tangan politisi, sementara pada kenyataannya dia sesuatu yang berbahaya. Jika tidak

diimbangi dengan penggalangan opini yang kuat untuk menentang tarif dan kuota dan mendukung impor, maka pembicaraan tentang perdagangan mungkin akan memunculkan reaksi proteksionis, seperti diisyaratkan lewat kegagalan perundingan dalam pertemuan WTO Desember 1999 di Seattle.60)

WTO juga menawarkan janji berupa manfaat kedua, yang bahkan lebih besar: pemberlakuan kode aturan yang tidak memihak untuk memastikan penghormatan semua negara terhadap kesepakatan yang dibuat. Norma di sepanjang sejarah adalah bahwa negara kuat bertindak semaunya terhadap negara yang lebih lemah. Banyak negara di dunia ini menginginkan adanya organisasi perdagangan dengan keseragaman aturan terutama guna mencegah, tindakan sepihak Amerika Serikat terhadap mitra-mitra dagangnya. Yang diinginkan Amerika Serikat, di sisi lain, hanyalah kesepakatan yang lemah, bukan organisasi untuk meresolusi sengketa. Melalui WTO, negara-negara anggota sepakat untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perusahaan asing dan tidak memperkenalkan semacam pembatasan perdagangan—paling tidak, yang melampaui pembatasan-pembatasan yang sudah mereka miliki. Dalam rangka mendapatkan keuntungan dari perlindungan inilah negara-negara miskin dunia menyetujui kesepakatan WTO 1995, sedangkan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang—yang biasa melakukan tindakan semaunya—tidak menyetujui kesepakatan tersebut. Sejak itulah negara-negara kuat semacam Amerika Serikat kalah dalam pertikaian di WTO, sesuatu yang tidak akan pernah terjadi di PBB, sebab mereka memiliki hak veto.

60) Tomas Larsson memprediksikan kegagalan pertemuan Seattle persis atau alasan ini dalam bukunya yang amat baik The Race to the Top: The Real Story of Globalization (Washington: Cato Institute, 2001); versi aslinya dalam bahasa Swedia terbit pada 1999 dengan judul Världens klassresa.

Pentingnya impor 131

Keuntungan lain dari WTO adalah bahwa semua anggota bersepakat untuk menganugerahkan ”bangsa yang paling disukai,” yaitu semacam pemberian akses otomatis terhadap pengurangan semua tarif bagi negara lain. Amerika Serikat dan Uni Eropa biasanya saling memangkas tarif tanpa memikirkan kebebasan perdagangan dengan negara-negara lain. Sekarang pengurangan tarif telah diterapkan bagi negara-negara miskin, dengan pengecualian yang disayangkan bagi negara-negara yang terikat perjanjian regional, seperti perjanjian negara-negara Uni Eropa atau Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).

Namun hambatan yang ditimbulkan oleh pengenaan karena tarif yang tidak adil, tidaklah terlalu besar. WTO tidak mempunyai hak khusus untuk melarang pemberlakuan tarif; WTO hanya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mengenakan pembatasan perdagangan sebagai kompensasi. Ini bukan keadaan ideal, karena negara seharusnya secara berkala menghilangkan tarif tanpa menghiraukan apa yang dilakukan negara lain lakukan. Akan lebih baik jika pihak penyebab kerugian diharuskan membayar ganti rugi atau menurunkan tarif lain sebagai kompensasinya. Namun, prosedur yang relatif stabil ini, paling tidak, sudah lebih baik dibandingkan di masa lalu, ketika pertikaian yang tidak perlu dapat pecah menjadi perang dagang berskala penuh. Saat ini, setidaknya negara-negara menjaga kehormatannya masing-masing dengan tidak mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat. Namun, ada beberapa contoh yang dikenal luas dari Uni Eropa ketika mereka berkeras mempertahankan pembatasan perdagangan yang dikutuk oleh WTO. Salah satunya adalah kebijakan diskriminatif selama bertahun-tahun terhadap pisang dan daging olahan dari Amerika Latin. Pemerintah Uni Eropa seolah bertindak menggunakan satu tolok ukur bagi negara maju dan satu tolok ukur lainnya untuk negara berkembang. Dalam jangka

panjang ini akan sangat merusak kredibilitas WTO.

Begitu manfaat impor telah berhasil ditangkap, akan dipahami pula betapa berbahayanya tindakan antidumping. Politisi seringkali berkata bahwa mereka perlu melindungi masyarakat dari ”harga

dumping” yang dikenakan negara lain, yang berarti, misalnya, jika Malaysia menjual kepada kita sepatu murah, yang harganya di bawah ongkos produksi atau lebih rendah dari harga jual di pasar Malaysia, ini dianggap sebagai ”persaingan yang tidak adil.” Produsen Malaysia dalam hal ini melakukan ”dumping,” sesuatu yang mengharuskan kita untuk melindungi diri sendiri. Tetapi, sebagaimana kelakar ekonom Murray Rothbard, ketika seseorang mengatakan bahwa ia menghendaki ”persaingan yang adil,” kamu harus menjaga dompetmu sendiri baik-baik, sebab artinya sebentar lagi dompetmu akan dicopet. Hal ini memang akurat ketika kita berbicara tentang tarif antidumping. Para politisi mencoba “melindungi” kita dari sepatu, televisi, dan bahan makanan yang murah! Pertanyaannya adalah mengapa kita membutuhkan perlindungan dari barang-barang tersebut. Sama sekali tidak ada yang tidak adil ketika produsen-produsen luar negeri melakukan ”dumping.” Mereka mungkin terpaksa berbuat demikian karena ingin membuka pasar baru; tentunya sah-sah saja tujuan ini. Kalau perusahaan baru domestik diizinkan berdiri, mengapa perusahaan asing tidak boleh? Tentunya menerapkan aturan-aturan yang berbeda untuk usaha dalam negeri dan usaha luar negeri berarti menciptakan ketidakadilan yang lebih besar daripada dumping. Bisa jadi pengusaha sepatu Malaysia tersebut menjual barangnya dengan harga lebih tinggi di pasar domestiknya sendiri karena ia mendapatkan keuntungan di sana yang tidak mereka nikmati di sini—keuntungan semacam tembok tarif yang protektif!

Amerika Serikat, yang mengklaim dukungannya terhadap perdagangan bebas, pada kenyataannya merupakan pelanggar

Pentingnya impor 133

terbesar dalam hal pemberlakuan tarif antidumping. Hal ini tidak saja membahayakan sektor-sektor usaha di negara lain, melainkan juga merugikan ekonomi Amerika sendiri sebesar jutaan dolar setiap tahun, akibat harga yang menjadi lebih tinggi dengan tingkat efisiensi lebih rendah. Pengenaan tarif seperti itu berkembang selama dasawarsa yang lalu. Ketika WTO dan kesepakatan internasional menutup pintu gerbang bagi paham proteksionisme, Amerika Serikat dan Uni Eropa menyelundupkannya lewat pintu belakang, melalui tarif-tarif

antidumping mereka.61)

Sekalipun sudah ada peraturan WTO, negara-negara anggotanya pada kenyataannya masih tetap dapat memberlakukan pembatasan perdagangan dalam bentuk subsidi dalam negeri. Industri baja Amerika, contohnya, adalah kelompok yang diuntungkan banyak melalui jaminan pensiun, jaminan pinjaman, pajak khusus dan pengecualian lingkungan, dan dana hibah untuk penelitian dan pengembangan. Secara konservatif, nilai subsidi tersebut diperkirakan sebesar $23 miliar sejak 1975, dan studi lain menunjukkan bahwa nilai totalnya pada tahun 1980-an saja sudah melebihi $30 miliar. Para pembayar pajak di Amerika mempunyai alasan yang lebih dari cukup untuk merasa sebal terhadap penganggaran yang besar untuk kesejahteraan korporasi ini, sebab selain merupakan penghamburan uang pajak, hal tersebut menciptakan perusahaan-perusahaan yang tidak kompetitif dan, sebagai akibatnya, menghabiskan sumber daya secara tidak efisien. Namun, konsumen luar negeri, alih-alih mengajukan tuntutan atas ”perlindungan” terhadap tindakan yang ”tidak adil” ini, seharusnya berterimakasih (meski sedikit bingung) bahwa Amerika Serikat memilih untuk menanggung produksi baja

61) Brink Lindsey dan Daniel Ikenson, “Antidumping 101: The Devilish Details of ‘Unfair Trade’ Law,” Cato Trade Policy Analysis no. 20, 2002, http://www. freetrade.org/pubs/pas/tpa-020es.html.

murah untuk mereka. Pembayar pajak Amerika pada kenyataannya menyubsidi Swedia dalam mengonsumsi baja dan sejumlah produk lainnya. Dengan kata lain, kita seharusnya menganggap keputusan pemerintah asing untuk mensubsidi industri ekspornya, bukan sebagai ancaman, tetapi semacam hadiah yang salah arah.62)

62) Daniel Ikenson, “Steel Trap: How Subsidies and Protectionism Weaken the U.S. Steel Industry,” Cato Trade Briefing Paper no. 14, 2002, http://www.freetrade. org/pubs/briefs/tbp-014es.html.

Dalam dokumen johan norberg membela kapitalisme global (Halaman 157-167)