4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.3 Keamanan/Kepastian Tenurial (tenure security) Menurut Perseps
5.3.4 Keamanan/Kepastian Tenurial Menurut Masyarakat Transmigrasi
Lahan Usaha II.
Lahan usaha II merupakan lahan yang diberikan kepada tiap kepala keluarga masyarakat transmigrasi seluas 1 Ha. Pada tahun 1993 Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Halmahera Tengah sudah menerbitkan sertifikat hak milik
terhadap lahan usaha II bagi masyarakat transmigrasi di desa Lembah Asri Pembagian lahan usaha II digunakan sistem undian sesuai dengan nomor lahan yang terpilih oleh kepala keluarga transmigrasi, sehingga posisi lokasi lahan usaha II jelas dan diketahui masing-masing masyarakat transmigrasi.
Pada kenyataannya sebagian lahan usaha II (seluas 94 Ha) tidak dapat diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat transmigrasi, akan tetapi lahan usaha II tersebut diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Pada tahun 1993-1994 lahan usaha II tersebut sebagiannya sudah diolah oleh masyarakat transmigrasi sebagai upaya tindak lanjut dari pembagian lahan usaha II. Pajak dibayarkan oleh masyarakat transmigrasi pada tahun 1994 sebagai kewajiban atas diterbitkannya sertifikat hak milik pada lahan usaha II, akan tetapi oleh petugas pemungut pajak sesudah tahun 1995 tidak ditagih dengan dalil lahan masih dalam sengketa. Situasi konflik atas lahan usaha II tergambarkan pada hasil wawancara diantaranya: 1) Ancaman dari masyarakat lokal agar masyarakat trasnmigrasi tidak mengolah lahan usaha II dengan alasan areal itu merupakan tanah adat; 2) Ada upaya masyarakat transmigrasi untuk mengembalikan lahan usaha II melalui pengaduan kepada Pemerintah Daerah dan BPN; 3) Tanggapan masyarakat lokal atas upaya tersebut adalah siap mempertahankan klaim tersebut dengan segala resiko; 4) Harapan masyarakat lokal dan masyarakat transmigrasi adalah, Pemerintah menyelesaikan sengketa ini dengan menggantikan lahan usaha II yang disengketakan dengan lahan yang lain untuk masyarakat transmigrasi.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lokasi penelitian bahwa, lahan usaha II yang secara fakta dikuasai oleh masyarakat lokal membuat masyarakat transmigrasi yang memegang sertifikat hak milik atas lahan tersebut tidak dapat berbuat banyak. Serifikat hak milik yang dipegang masyarakat transmigarsi secara fakta tidak memiliki kekuatan dan makna apa-apa menghadapi klaim masyarakat lokal. Perlawanan yang dilakukan masyarakat transmigrasi sebatas mengadukan permasalahan ini kepada pihak Kecamatan, Dinas Transmigrasi, Badan Pertanahan Nasional, DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, bahkan pada beberapa kesempatan disampaikan kepada beberapa Bupati dengan periode kepemimpinan yang berbeda. Sampai dengan penelitian ini berakhir, masyarakat lokal masih menguasai dan mengelolah lahan usaha II, dan
masyarakat transmigrasi melalui perangkat desa Lembah Asri tetap memperjuangkan penyelesaian sengketa ini walau sudah 18 tahun berjalan.
5.3.4.2 Makna dan Tindakan Keamanan /Kepastian Tenurial
Bagi masyarakat transmigrasi keamanan/kepastian tenurial adalah adanya sertifikat hak milik atas tanah sebagai bukti klaim atas penguasaan tanah dan SDA. Pembentukan persepsi tersebut didukung beberapa hal: 1) pelaksanaan program transmigrasi oleh pemerintah, dimana seluruh lahan yang diberikan oleh pemerintah disertakan dengan bukti kepemilikan hak berupa sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional, seperti lahan pekarangan seluas 0,25 Ha, lahan usaha I seluas 0,75 Ha dan lahan usaha II seluas 1 Ha. 2) Terbentuknya pengetahuan masyarakat transmigrasi mengenai hak milik tanah yang dibuktikan dengan sertifikat hak milik sebagaimana yang terjadi pada penguasaan tanah di tempat asal mereka yakni pulau Jawa. 3) Pembekalan berupa pengetahuan terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat transmigrasi yang dilakukan oleh Departemen Transmigrasi sebelum menempatkan mereka di lokasi.
Kenyataan membuktikan bahwa apa yang dipersepsikan oleh masyarakat transmigrasi bahwa keamanan/kepastian tenurial dijamin dengan adanya sertifikat tidak sepenuhnya bisa menjadi fakta. Lahan usaha II yang sudah ada sertifikat hak milik tidak bisa dikuasai oleh pemegang sertifikatnya, bahkan lahan tersebut dikuasai oleh masyarakat lokal dan diolah sampai saat ini dengan produksi kelapa, kakao, pala dan tanaman bulanan seperti ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran dan lainnya. Kondisi ini mengkonfirmasikan bahwa keamanan/kepastian tenurial muncul dari hasil negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang ada dalam masyarakat yang punya nilai yang selalu berubah seperti halnya juga tarik menarik kekuasaan yang selalu berubah-ubah dalam masyarakat itu ( Ellsworth 2002).
Belum adanya penyelesaian sengketa klaim antara masyarakat transmigrasi dengan masyarakat lokal terkait lahan usaha II, mengakibatkan penguasaan tanah dan SDA tersebut dikuasai oleh masyarkat lokal. Dari hasil wawancara, masyarakat lokal lebih menggunakan kekuatan penekan untuk mempertahankan klaim, mulai dari faktor sejarah, kependudukan, adat, bahkan sampai kepada
ancaman. Pada saat yang sama masyarakat transmigrasi lebih memilih tidak melakukan perlawanan secara langsung dan cenderung membiarkan masyarakat lokal melakukan pengolahan lahan tersebut, hal ini sejalan dengan Ellsworth (2002) bahwa menurut pendekatan institusional, kemampuan memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakan atau mempertahankan klaim adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting, dari fakta bahwa seseorang memegang sertifikat.
Pada tahun 1994 dengan masuknya perusahaan PT Sumalindo dengan ijin pemanfaatan kayu (IPK), akses jalan menuju lahan usaha II terbuka, sehingga masyarakat lokal memanfatkan keadaan ini untuk mengolah lahan ini dengan menanami kelapa sebagai bukti klaim. Kondisi ini menyebabkan lahan usaha II tadinya kurang menarik untuk dikelola karena masih dalam bentuk hutan, tetapi setelah kayunya diambil dan lahannya dibersihkan oleh PT. Sumalindo, maka lahan usaha II berubah menjadi lahan yang secara ekonomi mempunyai nilai yang berarti dengan kondisi ada akses jalan dan lahan siap tanam. Perubahan nilai ekonomi lahan usaha II yang tadinya hutan belantara menjadi lahan yang mempunyai akses jalan dan siap ditanami mendorong masyarakat lokal lebih kuat mempertahankan klaim atas tanah SDA yang sudah dikuasai, hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan intitusioanal dalam memahami keamanan/kepastian tenurial, sebagaimana diungkapkan Ellsworth (2002), pemikiran institusionalis mengamati bagaimana perubahan kondisi ekonomi berdampak pada hak-hak properti. Suatu sumber daya yang awalnya tidak bernilai tiba-tiba berubah jadi punya nilai jual tinggi yang diakibatkan dari input teknologi atau pengaruh pasar dapat mendorong klaim dari berbagai pihak yang merasa memiliki sumber daya tersebut.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat transmigrasi sampai saat ini tidak mengelola dan menguasai lahan usaha II yang sudah diterbitkan sertifikat hak milik atas nama mereka. Dengan kondisi seperti itu , masyarakat transmigrasi tidak bisa melakukan tindakan-tindakan sesuai makna keamanan/kepastian tenurial dengan adanya sertifikat hak milik, yakni : 1) Mengusai secara turun temurun, 2) memanfaatkan untuk tanah pertanian, 3) dapat mengalihkan, 4) menjadi jaminan kredit di bank.
Untuk dapat memahami situasi terkait dengan makna dan tindakan keamanan/kepastian tenurial masyarakat transmigrasi atas lahan usaha II dalam wilayah KPHP GS dapat digambarkan dengan sebuah matrik seperti terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Matrik makna dan tindakan keamanan/kepastian tenurial transmigrasi dalam wilayah KPHP GS
Makna Tindakan
Ya
Tidak
Sumber: diolah dari data primer
Matrik di atas memberi gambaran bahwa ada ketidak konsistenan antara persepsi makna dan tindakan dari masyarakat transmigrasi dikaitkan dengan makna dan tindakan keamanan, kepastian tenurial (tenure security) atas lahan usaha II. Beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi yakni: 1) Klaim masyarakat lokal atas lahan yang sama (lahan usaha II) dengan menggunakan penekanan adat, penduduk asli, sejarah, bahkan ancaman fisik. 2) Masyarakat transmigrasi memilih mengadukan permasalahan ini ke pemerintah untuk diselesaikan walau sengekta ini sudah berlangsung selama 18 tahun dan sampai saat ini belum ada kejelasan penyelesaian. 3). Masyarakat transmigrasi memilih alternatif lain dengan mengelola lahan “R” (lahan kelebihan dari hasil pengukuran
tanah oleh Departemen Transmigrasi yang belum disertifikat tetapi masuk dalam wilayah transmigrasi). Lahan tersebut diolah untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari masyarakat transmigrasi sebagai pengganti lahan usaha II.
5.4 Identifikasi Tipologi Masalah Sosial Terkait Tenurial Dalam Wilayah KPHP GS
Dari uraian terkait dengan kepentingan parapihak, penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak yang dimulai dengan sejarah penguasaan, aturan-aturan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, bukti-bukti penguasaan tanah dan SDA yang keseluruhannya terletak dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa tentunya
berpoteni menimbulkan konflik parapihak. Selain itu pembentukan wilayah KPHP Gunung Sinopa diperhadapkan dengan proses penataan ruang Kabupaten Halmahera Tengah, akibat dari perintah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Realitas tersebut memberikan gambaran bahwa ada persoalan sosial dalam wilayah KPHP GS dalam proses pembangunan dan pengembangan KPHP ke depan. Kartodihardjo et al. (2011) menguraikan bahwa berdasarkan fakta yang dialami beberapa KPH baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa diidentifikasi ada 4 (empat) tipologi masalah sosial dalam wilayah KPH, yakni: 1) Konflik tenurial berat; masalah ini dicirikan oleh adanya alas hak yang kuat dari masyarakat, baik secara hukum adat mupun secara hukum positif. Masalah keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran masayarakat beraktifitas dalam kawasan hutan. 2) Konflik tenurial ringan; masalah ini dicirkan dengan oleh adanya penguasaan lahan yang dapat dibuktikan kelemahan atas haknya. 3)Masalah akses terhadap sumberdaya hutan; masalah ini dicirikan dengan adanya pemanfaatan sumber daya hutan tanpa adanya klaim penguasaan lahan dalam kawasan hutan 4). Masalah aktivitas haram ; masalah ini dicirkan dengan penguasaan lahan dan atau akses terhadap sumber daya hutan yang tidak memiliki alas hak dan bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap parapihak yang ada dalam wilayah KPHP GS secara sosial budaya sudah terdapat klaim penguasaan atas tanah dan sumber daya alam yang cukup panjang akar sejarahnya, sudah memiliki alas hak yang diakui institusi lokal dan institusi formal. Klaim penguasaan tanah dan SDA oleh parapihak dalam wilayah KPHP GS jauh sebelum adanya penunjukan kawasan hutan dan perairan Maluku, sesuai SK Menhut Nomor 415/Kpts-II/1999, jauh sebelum penetapan wilayah KPHP GS berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.337/Menhut-II/2010.
Berdasarkan hasil analisis sekumpulan hak (Bundle of rights) parapihak dalam wilayah KPHP GS, dapat dipetakan sebagai berikut: 1) PEMDA dan Masyarakat Lokal berposisi sebagai Pemilik (owner) atas klaim penguasaan tanah dan SDA; 2) Masyarakat Transmigrasi berposisi sebagai pengunjung yang
diijinkan (authorized entrant) atas klaim lahan usaha II dalam wilayah KPHP GS karena secara fakta masyarakat transmigrasi hanya memiliki hak akses, 3) masyarakat transmigrasi berposisi sebagai pengelola tetap (proprietor) atas klaim lahan R yang berada dalam wilayah KPHP GS, kondisi faktual ini semakin menambah masalah sosial yang mengarah pada konflik tenurial berat. Posisi masing-masing pihak terkait dengan sekumpulan hak yang melekat pada dirinya berdampak pada masalah ekonomi, politik dan kehidupan sehari-hari parapihak. Persepsi parapihak terkait dengan kepastian/keamanan tenurial (Tenure secuirity) terhadap tanah dan SDA yang diklaim dalam wilayah KPHP GS membawa masalah tersendiri dalam pembangunan KPH. Untuk mengamankan dan memastikan klaim atas tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS parapihak mengambil tindakan sesuai yang dipersepsikan sehingga ada konsistensi antara makan dan tindakan terkait keamanan/kepastian tenurial. Tindakan nyata di lapangan mulai dari membuat tanda penguasaan (tanaman kelapa), memobilisasi kekuatan penekan baik secara politik, adat, sampai kekuatan fisik. Keadaan seperti ini mencirikan adanya persoalan sosial dan jika dikaitkan dengan tenurial maka dapat dikategorikan konflik tenurial berat.
Berdasarkan uraian di atas, maka tipologi masalah sosial di dalam wilayah KPHP GS dapat diidentifikasi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP GS Tipologi Masalah Sosial Alas Hak klaim Tanah Ketergantu- ngan hidup pada klaim tanah Bukti Sejarah Keterlanjuran dalam kawasan hutan Konflik Tenurial Berat
Kuat Tinggi Ada Terlanjur