4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Potensi Konflik Dalam Wilayah KPHP GS
5.1.1.3 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Lokal
Salah satu masyarakat yang mendiami bagian dari wilayah KPHP GS adalah masyarakat desa Loleo yang berasal dari suku Buton (Sulawesi Tenggara). Awal penguasaan tanah dan SDA oleh masyarakat Loleo diperoleh melalui dua cara yakni pemberian kebun kelapa karena Sobat (pertemanan) dan melalui jual beli. Ada beberapa masyarakat desa Loleo sejak tahun 1910 sudah menjalin persahabatan bahkan sudah saling menganggap saudara dengan masyarakat asli desa Sosowomo dan Weda, sehingga jalinan hubungan persahabatan ini sampai pada saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pada orang tertentu kebun beserta isinya diberikan sebagai tanda persaudaraan kepada pendatang. Selain itu sebagian masyarakat asli terutama yang ada di Weda sudah merasa terlalu jauh jaraknya dengan kebun mereka yang ada di pesisir desa Loleo sehingga perlahan-lahan kebun kelapa milik mereka dijual atau ditukarkan dengan barang-barang yang didatangkan oleh pedagang dari daerah Buton dengan menggunakan kapal laut. Sampai dengan saat ini seluruh lahan dan SDA yang ada di sekitar desa Loleo sudah dikuasai oleh masyarakat Loleo.
Pertambahan penduduk desa Loleo yang cepat mengakibatkan kebutuhan lahan di sekitar pesisir pantai sudah tidak mencukupi, pembukaan hutan untuk lahan bercocok tanam menjadi alternatif utama. Pembukaan hutan dengan pohon- pohon berukuran besar untuk dijadikan lahan bercocok tanam pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Buton. Pada saat itu masyarakat asli setempat belum mengenal teknik penebangan kayu dengan diameter besar dan belum mengenal teknik pengolahan kayu bulat menjadi kayu balok, sehingga dengan keahlian menebang kayu besar dan mengolahnya menjadi kayu balok yang dimiliki oleh masyarakat Buton dimanfaatkan untuk beberapa tujuan: 1) membuka
lahan perkebunan; 2) kayu komersial yang diolah untuk diperdagangkan; 3) sarana untuk berinteraksi dengan penduduk asli dengan mengajarkan cara
Luasan pembukaan hutan untuk pembuatan kebun tergantung kemampuan masing-masing individu. Kebun yang telah diolah diberi batas kepemilikan dengan menggunakan batas alam seperti batu besar, alor, sungai, goa dan sesuatu yang menonjol di alam dan tidak hilang dan berubah. Kalau tidak terdapat tanda- tanda alam maka biasanya dibuatkan batas buatan berupa tanaman kelapa kembar
(dua kelapa yang ditanam berhimpitan sebagai pembatas) sebagaimana terlihat pada Gambar 5. BPS (2011) mengeluarkan angka luas penggunan lahan yang diusahakan untuk tanaman kelapa di desa Loleo rata-rata 23 Ha/ KK.
Gambar 5 Batas-batas kepemilikan kebun dengan tanaman kelapa kembar. Untuk menguatkan hak kepemilikan tanah pemukiman di desa Loleo sebagian besar masyarakat sudah mendaftarkan tanahnya ke BPN untuk memperoleh sertifikat hak milik, menurut Zain (Staf BPN Kab Hal-Teng) sebagian besar pemukiman di desa Loleo sudah didaftarkan ke BPN untuk disertifikatkan dan sebagian lagi sudah kami terbitkan sertifikat hak milik. Sertifikat hak milik yang diterbitkan BPN Kabupaten Halmahera Tengah sebagai penguatan hak-hak rakyat atas tanah. Sebagai konsekuensi dari penerbitan sertifikat hak milik tanah adalah kewajiban membayar pajak, dan hal ini pun telah dilaksanakan masyarakat dalam pelunasan pajak sesuai bukti SPPT, sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Sertifikat tanah di Desa Loleo dan bukti pelunasan pajak.
Penguasaan tanah dan SDA yang ada saat ini pada masyarakat desa Loleo secara turun temurun khususnya dalam bentuk kebun, masih dapat dilihat bukti fisiknya dengan umur tanaman kelapa sudah lebih dari 70 tahun sebagaimana tersaji pada Gambar 7. Kondisi tanaman kelapa tersebut tetap dirawat secara turun temurun oleh masyarakat desa Loleo dikarenakan sampai saat ini salah satu sumber penghasilan masyarakat adalah dari produksi kelapa tersebut.
Gambar 7 Bukti klaim penguasaan tanah dengan menggunakan tanaman kelapa oleh masyarakat lokal.
Norma dan aturan yang tidak tertulis dalam masyarakat namun dipatuhi dalam mengatur masyarakat terkait penguasaan lahan dan SDA di desa Loleo
terlihat dari beberapa hal: 1) Sistem Minta Izin; 2) Ritual pembukaan lahan dan; 3) Sanksi-sanksi, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1 Sistem Minta Izin, pembukaan hutan untuk membuat kebun baru harus melalui suatu mekanisme minta izin kepada pemilik kebun atau yang memberi tanda di hutan yang terdahulu. Prosesnya pertama orang yang ingin membuka hutan untuk berkebun harus mencari tahu terlebih dahulu siapa yang sudah berkebun di sekitar lokasi tersebut, atau mencari tahu orang yang sudah memberi tanda di hutan untuk meminta izin berkebun di sebelahnya, Kedua pemilik kebun yang lebih duluan akan mengarahkan di mana yang bersangkutan boleh memulai membuka hutan dan di mana batas-batas kebun awal, Ketiga batas yang telah ditunjukan oleh pemilik kebun yang lebih dahulu dijadikan batas, batas selanjutnya ditentukan oleh kemampuan orang kedua tadi membuka hutan untuk dijadikan kebun, Keempat begitu selanjutnya orang ketiga yang ingin berkebun harus meminta izin ke orang yang kedua tadi apabila ingin menyambung kebun yang telah diolahnya, sehingga tidak ada terjadi tumpang tindih lahan.
2 Ritual pembukaan lahan, kebiasaan masyarakat desa Loleo dalam membuka hutan untuk pembangunan kebun dilakukan dengan ritual pengujian lokasi dengan 2 (dua) cara yakni Pertama: menancapkan kampak pada salah satu pohon yang paling besar di sekitar lokasi hutan yang akan dibuka untuk menjadi kebun. Kemudian dibiarkan selama 2 hari, jika kampak yang ditancapkan tetap berada pada tempatnya, maka itu menjadi pertanda lokasi tersebut cocok untuk dijadikan kebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tempat tersebut aman untuk melakukan aktifitas berkebun dan masyarakat merasa aman untuk bisa membangun gubuk untuk dapat bermalam pada saat- saat tertentu. Sebaliknya apabila kampak terjatuh dari pohon maka pertanda ada penolakan dari alam terhadap seseorang untuk berkebun, dan keamanan dalam berkebun kurang baik sehingga biasanya orang bersangkutan lebih memilih lokasi lain. Kedua: pada lokasi calon kebun digali tanahnya kemudian membenamkan seutas tali yang telah diukur setengah depah sampai ke mulut, kemudian membiarkan selama 1 hari, keesokan harinya tali tersebut diukur kembali setengah depah sampai ke mulut, jika ukuran tali masih seperti semula
menandakan lokasi tersebut cocok untuk dijadikan kebun, tetapi kalau ukurannya berubah maka lokasi tersebut jika diusahakan untuk kebun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga biasanya untuk lokasi seperti ini sebelum diolah menjadi kebun biasanya didoakan terlebih dahulu oleh bapak Imam desa Loleo.
3 Sanksi-sanksi, dengan kebiasaan meminta izin untuk membuka kebun yang berbatasan dengan kebun yang lebih awal, maka hal ini memperkuat pengakuan kepemilikan orang lain dan sekaligus memastikan agar tumpang tindih kebun tidak terjadi, namun dalam berjalannya kehidupan sehari-hari maka serobot menyerbot lahan orang lain kadang terjadi baik yang sengaja maupun yang tidak disengaja, sehingga sanksi yang berlaku di desa Loleo cukup dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, bentuk-bentuk sanksi terkait dengan penyerobotan lalan orang lain yakni: 1) Tukar tenaga; kondisi ini diberlakukan jika tanpa sengaja seseorang terlanjur membersihkan hingga menerobos ke kebun sebelahnya sampai dihentikan oleh pemilik sebenarnya. Maka pemilik yang lahannya diserobot memanggil bersangkutan untuk sama- sama mengukur luasan yang telah dibersihkan untuk ditaksir berapa hari yang digunakan untuk membersihakan luasan tersebut untuk diganti tenaganya oleh pemilik lahan yang diterobos. Pemilik lahan tersebut harus membersihkan kebun dari orang yang menerobos selama hari yang telah disepakati; 2) Mencabut Tanaman; bagi orang yang tidak sengaja menerobos kebun orang lain dan menanam tanaman seperti kelapa, maka yang bersangkutan diwajibkan mencabut seluruh tanaman yang telah ditanam tanpa ada yang tersisa; 3) Ganti rugi dengan uang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5.1.1.4 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Transmigrasi
Masyarakat desa Lembah Asri awalnya adalah Masyarakat transmigrasi yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Melalui program Transmigrasi Nasional pada tahun 1991, masyarakat transmigrasi menempati SP1 Wairoro desa Nusliko Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah yang terdiri dari 254 KK. Setiap kepala keluarga di beri jatah lahan seluas 2 Ha terdiri dari lahan pekarangan seluas 0,25 Ha, lahan usaha I seluas 0,75 Ha dan lahan usaha II