Konsep dasar dari ekonomi kelembagaan baru (NIE) adalah teori North (1990) menyatakan bahwa ekonomi kelembagaan merupakan faktor kunci dalam pembangunan ekonomi, sebuah hipotesis penting dari teori ini adalah bahwa kelembagaan membentuk perilaku para aktor politik dan ekonomi, namun pada kesempatan lain para aktor termotivasi untuk bereaksi dan mengubah kelembagaan yang tidak lagi melayani kepentingan mereka (Irimie & Essmann 2009).
NIE umumnya terdiri dari tiga teori yang berbeda: 1) teori hak milik 2) teori biaya transaksi, dan 3) principal-agent teori. Mengingat studi ini terkait dengan teori hak kepemilikan secara empiris namun tidak menutup kemungkinan menggunakan teori-teori lain guna memperjelas teori hak kepemilikan pada sumber daya hutan. Teori principal-agent dan teori biaya transaksi dapat
melengkapi dan memperjelas teori hak kepemilikian sumber daya hutan (Ebers & Gotsch 1999, diacu dalam Irimie & Essmann 2009).
Hak kepemilikan (property right) adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya, hak ini merupakan implikasi hubungan antara sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan (Nugroho 2009). Oleh karenanya hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu, sehingga North (1990) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu.
Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:
1 Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud.
2 Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia.
Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya.
3 Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.
4 Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.
Selain persyaratan penegakan hak sebagaimana diuraikan di atas, maka Nugroho (2008) mengungkapkan bahwa syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya. Suatu barang (property) yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik, maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah‐tangankan misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan yang baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable mengindikasikan bahwa apabila suatu barang (walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok ataupun Negara) dapat dimanfaatkan oleh individu/kelompok lain atau siapa saja yang tidak berhak, maka insentif untuk penghematan dan/atau pengelolaan yang baik akan hilang.
Di lain pihak, aset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh entitas pelindung hak‐hak warga. Akan menjadi sia‐sia apabila kepemilikan seseorang/kelompok tidak dihormati oleh orang/kelompok lain.
Kepemilikan sumber daya alam bersifat kompleks (Kartodihardjo & Jhamtani 2006), di satu pihak, ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak(public benefit/cost), di pihak lain sumber daya alam dapat berupa komoditi (private goods) yang hanya dinikmati oleh perorangan . Hanna et al. (1996) membagi bentuk-bentuk hak yang lazim disebut rezim hak terhadap sumber daya alam yang berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa hak individu (private property).
Pengertian dan asumsi dasar terhadap sumber daya alam akan menentukan siapa pemilik, pengguna, pengatur sumber daya, siapa yang mengendalikan akses pihak lain jika sumberdaya rusak, dan siapa yang mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut (White 2004, diacu dalam Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Hal ini menjadi pokok persoalan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana pengertian dan asumsi dasar dari sumberdaya alam belum secara tegas diartikulisikan dan diimplementasikan secara konsisten. Dalam kaitan ini menurut White (2004) diacu dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), kebijakan tenurial bukanlah berkaitan dengan perubahan hubungan antara orang dengan tanah atau sumberdaya, melainkan menyangkut perubahan sosial dan kekuasaan antara sekolompok orang dengan kelompok lain. Dengan demikian pengertian “tenure” adalah hubungan sosial, yaitu berhubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antara komunitas dan hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara.
2.3 Konsep Tenurial
Penggunaan istilah “tenure” sering mencuat tatkala terjadi konflik yang berkepanjangan antara berbagai pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan terhadap lahan atau sumber daya alam. Saling klaim atas hak
mewarnai tuntutan yang sering diikuti dengan aksi-aksi perlawanan. Hingga saat ini semangat masyarakat adat dan pendukungnya untuk mengembalikan hak-hak ulayat, termasuk tuntutan pengembalian hak hutan adat tak pernah kunjung reda. Semua itu bermuara pada masalah land tenure yang sering menjadi “grey area” (Emila dan Suwito 2006).
Menurut Bruce (1998) dalam Review of Tenure Terminology, istilah “tenure” berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa Normandia menghapuskan hak-hak masyarakat atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.
Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan. Land tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai. Sistem “land tenure” adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Sebuah sistem “land tenure” sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhinya (Bruce 1998).
Pengertian tentang land and resource tenure yang umum dipahami oleh para pemerhati masalah-masalah sosial mengacu pada relasi sosial yang ditentukan dalam setiap sistem penguasaan, pemanfaatan, pengelolaan tanah dan sumber alam lainnya, baik yang diakui maupun yang tidak diakui oleh hukum negara yang berlaku. Relasi sosial ini bisa terbentuk diantara individu dalam satu kelompok masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam memahami relasi sosial ini maka terkandung pula di dalamnya berbagai perspektif seperti relasi gender, kelas (baik dari perspektif sosial maupun ekonomi), hubungan antar etnik, budaya dan kelompok umur. (International Conference on Land and Resource Tenure in Changing Indonesia 2004)
Untuk memudahkan pengamatan dan analisis, seringkali masalah tenurial sistem ini dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights ) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis, tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama (Emila dan Suwito 2006). Misalnya pada sebagian dari sistem “kepemilikan” tanah adat, meskipun dikenal hak individu untuk “memiliki” sebidang tanah, namun individu tersebut tidak mempunyai hak untuk mengalihkan tanah tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut campurnya keluarga dan/atau komunitas di mana tanah itu berada. Pohon-pohon tertentu yang berumur panjang misalnya, punya aturan sistem kepemilikan dan pemanfaatan tertentu yang kadang-kadang tidak terkait dengan kepemilikan tanah dimana pohon itu terdapat. Sistem ini bisa berbeda untuk jenis tumbuhan lain yang tumbuh semusim.
Emila dan Suwito (2006) pengertian “bundle of rights ” dalam resource tenure system, memunculkan serangkaian hak tertentu dan pembatasan- pembatasan tertentu atas hak-hak tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, pada setiap tenure system masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen hak yakni:
1 Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subyek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara.
2 Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau makhluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Obyek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat tertentu, dengan obyek lainnya. Untuk obyek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya dapat diberi suatu symbol. Obyek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas
pohon sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah di mana pohon sagu itu berdiri.
3 Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dalam mengamati masalah land and resource tenure, penting pula memperhatikan aspek de jure dan de facto. Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Penguasaan kawasan hutan di Indonesia oleh negara adalah contoh dari kepemilikan de jure ini. Sementara itu istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan diberlakukan oleh masyarakat setempat (Afiff 2005).
Afiff (2005) adanya dua sifat kepemilikan ini memunculkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas tanah ataupun sumber-sumber alam. Mereka yang mendapatkan akes dan menguasai sebidang tanah, hutan, dan sumber-sumber alam lainnya berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk melegitimasi kepemilikannya. Legitimasi lewat cara ini membuat mereka dapat menggunakan aparat-aparat Negara seperti Pengadilan, Tentara, dan Polisi, dan Politisi untuk mempertahankan dan menegakkan klaim mereka bila terjadi sengketa dengan pihak lain, khususnya masyarakat. Sebaliknya mereka yang menguasai tanah dan sumber-sumber alam berdasarkan klaim de facto, seringkali tidak tahu bahwa tanah, hutan, dan sumber-sumber alam mereka secara de jure di klaim oleh Negara.
2.4 Konsep Keamanan Tenurial (Tenure Security)
Lebih jauh mengenai “land tenure” hal yang harus dicermati adalah jaminan keamanan tenure (tenure security). Bruce (1998) menjelaskan, dari satu sisi pemangkuan dinyatakan aman apabila pemerintah atau orang lain tidak dapat mencampuri pemangku lahan dalam hal penguasaan dan pemanfaatan. Sebagai contoh, meskipun waktu sewa lahan sangat singkat, misalnya 1 bulan, namun apabila dalam jangka waktu tersebut penyewa merasa yakin dapat mempertahankan lahan sewanya, maka pemangkuan ini berarti aman. Hal ini berimplikasi pada keyakinan dalam sistem legal dan akan menghilangkan kekhawatiran akan kehilangan hak.
Forest Trends menerangkan, faktor kunci dari jaminan keamanan tenure adalah pengakuan secara legal dan dukungan terhadap hak-hak milik (property rights), adanya sistem arbitrase pengadilan secara independen, mekanisme dan organisasi pengatur kebijakan yang efektif, dan konstituen politik yang mendukung. Berbicara masalah keamanan di banyak negara berkembang dua kelompok sistem tenurial (yang diatur oleh hukum Negara dan yang diatur secara tradisional), dalam kenyataannya kedua-duanya kurang aman. Di satu sisi sistem yang diatur oleh hukum Negara masih sangat lemah dalam operasionalnya. Sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak terdokumentasi dan sering- kali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai (Cromwell 2002).
Safitri (2006), dengan menggunakan pendekatan sosio-legal kepastian tenurial bisa diwujudkan sepanjang beberapa indikator penilai derajat kepastian tenurial digunakan. Indikator dimakasud dapat diadopsi dari elemen-elemen kepastian tenurial (Lindsay 1998) yang dimaksud adalah: (1) kejelasan tentang substansi hak; (2) kepastian hukum atas hak, dalam arti bahwa hak tersebut tidak dapat diambil atau diubah secara sepihak atau tidak adil oleh pihak lain; (3) jangka waktu berlakunya hak yang memungkinkan pemegang hak mendapatkan manfaat; (4) penegakan dan perlindungan hak terhadap pihak lain terutama negara; (5) hak bersifat eksklusif, artinya pemegang hak dapat mengeluarkan dan mengontrol pihak luar yang memanfaatkan tanah dan sumber daya; (6) pemegang hak diakui oleh hukum sebagai badan hukum yang dapat melakukan aktivitas dan
melindungi haknya; (7) aparat pemerintah yang memberikan atau mengakui hak itu mempunyai posisi dan kewenangan yang sah dan tepat. Selanjutnya, ketujuh elemen itu perlu ditambah dengan elemen baru (8) secara nyata masyarakat pemegang hak dapat melaksanakan dan mengambil manfaat dari kegiatan yang sesuai dengan ruang lingkup hak-haknya itu secara aman tanpa gangguan dari pihak lain. Penilaian akan rasa aman kembali bergantung pada persepsi dan konteks.
2.5 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berubahnya sistem politik di Indonesia ternyata tidak dengan serta merta diikuti oleh kemudahan penterjemahan peraturan-peraturan di tingkat pusat ke dalam peraturan-peraturan di tingkat daerah kabupaten (Pudjiastuti 2010). Hal ini terjadi pada peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan saat ini sehingga sering terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persepsi yang telah berkembang mengenai pelaksanaan otonomi daerah maupun bagaimana sumberdaya hutan seharusnya dikelola (Khan et al. 2004).
Peraturan daerah yang disusun tanpa memperhatikan peraturan yang lebih tinggi cenderung menjadi potensi konflik antarlembaga (Pudjiastuti 2010). Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri dalam kenyataanya bahwa terkadang substansi peraturan di tingkat pusat tidak cukup memberi pedoman kepada pemerintah daerah, karena kurangnya sosialiasi peraturan tersebut sehingga pemerintah daerah menerjemahkan peraturan-peraturan pemerintah pusat sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Suasana dilematik ini ternyata terus berlangsung sampai saat ini.
Desentralisasi menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih antara pusat, provinsi dan daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah memang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, termasuk hutan. Masalahnya kewenangan tersebut tidak disertai dengan kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur. Bukti aktual
konflik antarlembaga dalam hal pengelolaan hutan dapat dilihat dari tindakan pemerintah pusat yang mencabut ijin pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan (IPPHH) yang menjadi kewenangan pemrintah daaerah. Konflik antarlembaga dalam hal pengelolaan hutan juga terjadi antara HPH BUMN dengan HPH BUMD. Inhutani merupakan perusahaan yang diberikan hak kontrak swasta sebagai mitra kerja pemerintah sekligus mendapatkan konsesi sebagai BUMN. Dengan adanya desentralisasi, apakah hak kontrak yang disepakati dengan pemerintah pusat apakah bersifat tetap atau dapat dibatalkan (Chalid 2005).
Ngakan et al. (2008), mengingat masih simpang siurnya pemahaman para stakeholder terhadap konsep kesatuan pengelolaan hutan (KPH), maka konsep ini masih perlu dimantapkan, diperjelas dan disosialisasikan secara lebih intensif. Perbedaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 terkait pembentukan wilayah hutan perlu segera diperjelas. Pembagian kewenangan merupakan persoalan krusial yang memerlukan pemecahan yang dapat diterima oleh semua pihak, terutama pembagian kewenangan antar lembaga dalam pembangunan kesatuan pengelolaan hutan.
Potensi konflik antar lembaga dalam kesatuan pengelolaan hutan harus diminimalisasi dan dilakukan strategi yang tepat guna mengatasi potensi konflik tersebut. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Di Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai pembentukan organisasi pengelola KPHL dan KPHP sebagai satuan kerja perangkat daerah tidak menutup kemungkinan menimbulkan potensi konflik antara KPHL atau KPHP dengan lembaga yang selama ini sudah ada dalam urusan kehutanan baik lembaga pemerintah daerah maupum UPTD Kementrian Kehutanan yang ada di daerah.
2.6 Persepsi
Boedojo (1986) mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Persepsi mencakup penafsiran objek, tanda,dan orang dari sudut pengalaman yang
bersangkutan. Menurut Krech (1962), diacu dalam Pujiastuti (2011) persepsi merupakan integrasi dari individu dan rangsangan yang diterimanya. Apa yang dipersepsikan individu dalam suatu saat tertentu tidak hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima, namun dipengaruhi juga oleh apa yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya pengalaman, perasaan, prasangka, keinginan, sikap dan tujuan. Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus dan penterjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisir yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.
Persepsi manusia terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi. Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana individu tersebut mempersepsikan lingkungannya ( Boedojo 1986).
Ada dua jenis lingkungan dalam kaitannya antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya (Boedojo 1986). Pertama adalah lingkungan yang telah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Lingkungan jenis ini cenderung dipertahankan. Kedua adalah lingkungan yang masih asing, dimana manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau sama sekali menghindarinya. Setelah manusia menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil penginderaannya dan timbul akna tentang objek pada diri manusia yang bersangkutan yang dinamakan persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi.