• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja terhadap keterikatan kerja maupun organizational trust terhadap keterikatan sebelumnya telah banyak dilakukan. Baik penelitian di Indonesia maupun di luar negeri. Penelitian Kurniawati (2018) tentang Pengaruh Quality Of Work Life terhadap Work Engagement dan Organizational Citizenship Behaviour pada Perusahaan Elektronik di Surabaya bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas kehidupan kerja dengan keterikatan kerja (work engagement) dan organizational citizenship behaviour pada 77 karyawan perusahaan elektronik di Surabaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa quality of work life memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterikatan kerja. Maka dari itu semakin baik kualitas kehidupan kerja dalam perusahaan akan meningkatkan keterikatan kerja.

Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja yang dilakukan oleh Ali Alqarni (2016) mengenai “Quality of Work Life as a Predictor of Work Engagement among the Teaching Faculty at King Abdulaziz University” menemukan bahwa kualitas kehidupan kerja berkorelasi secara positif dengan keterikatan kerja tenaga pengajar di King Abdulaziz University. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kanten dan Sadullah (2012) berjudul An Empirical Research on Relationship Quality of Work Life and Work Engagement pada karyawan perusahaan marbel di Turki,

menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kehidupan kerja dan keterikatan kerja.

Kemudian, terdapat beberapa penelitian mengenai organizational trust yang sudah dilakukan. Hough, Green, dan Plumle (2016) melakukan penelitian dengan judul Impact Ethics and Organizational Trust on Employee Engagement pada 375 karyawan dan manajer. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara organizational trust dengan keterikatan karyawan. Selanjutnya, penelitian Linking organizational trust with employee engagement: the role of psychological empowerment oleh Ugwu, Onyishi, dan Rodriguez-Sanchez (2014) yang dilakukan pada 715 karyawan bank dan pabrik farmasi di Nigeria. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepercayaan pada organisasi atau organizational trust dengan keterikatan kerja karyawan.

Kemudian. penelitian mengenai Pengaruh Organizational Trust dan Job Satisfaction Terhadap Employee Engagement Pada Karyawan PT. Bangun Wisma Sejahtera pada 47 karyawan swasta oleh Lienardo dan Setiawan (2017), menunjukkan hasil bahwa organizational trust berpengaruh secara positif dan signifikan pada keterikatan karyawan. Sejalan dengan penelitian Yulianti (2016) berjudul Procedural Justice, Organizational Trust, Organizational Identification, dan pengaruhnya pada Employee Engagement yang mengambil sample dari karyawan perusahaan industri di Surabaya menyatakan bahwa trust memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterikatan karyawan.

1. Keaslian Topik

Berdasarkan uraian di atas, mengenai keaslian topik variabel-variabel yang dipilih peneliti sudah terdapat penelitian sebelumnya. Adapun pada penelitian ini keterikatan kerja dijadikan sebagai variabel tergantung, kemudian kualitas kehidupan kerja dan organizational trust dijadikan variabel prediktor. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai dua variabel prediktor yang mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.

2. Keaslian Teori

Pada penelitian ini teori work engagement yang akan digunakan oleh peneliti adalah teori milik Schaufeli dan Bakker (2004) kondisi pikiran yang positif dan memuaskan yang terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan absorbsi. Pada teori kualitas kehidupan kerja dalam penelitian ini menggunakan teori yang dikemukan oleh Van Laar dan Easton (2012) yaitu sebuah sistem yang diciptakan organisasi guna meningkat kepuasan karyawan, kemudian hal tersebut digunakan dalam intervensi perencanaan, pemantauan dan penilaian efek perubahan organisasi. Kemudian, teori organizational trust atau kepercayaan pada organisasi peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh Cummings dan Bromiley (1995), dimana mereka menjelaskan organizational trust merupakan keyakinan individu maupun keyakinan umum sebuah kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya.

3. Keaslian Alat Ukur

Pada penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan skala psikologis sebagai alat ukurnya. Sehingga, terdapat tiga alat ukur yang akan digunakan yaitu skala kualitas kehidupan kerja, skala organizational trust, dan skala keterikatan kerja. Alat ukur kualitas kehidupan kerja yang peneliti gunakan adalah modifikasi dari skala Work-Related Quality of Life (A Measure of Quality of Working Life) yang disusun berdasarkan aspek yang dikemukan oleh Van Laar dan Easton (2012) sebanyak 24 aitem. Kemudian alat ukur organizational trust yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari skala Organizational Trust Inventory – Short Form (OTI-SF) yang disusun oleh Cummings dan Brommiley (1995) berdasarkan aspek-aspek kepercayan organisasi yang terdiri dari 12 aitem. Keterikatan kerja sendiri akan diukur menggunakan skala milik Schaufeli dan Bakker (2004) yaitu skala Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang memuat 17 aitem.

4. Keaslian Responden Penelitian

Responden yang terlibat dalam penelitian ini merupakan karyawan yang bekerja di sektor perbankan di Indonesia. Subjek penelitian tersebut berbeda dengan subjek yang pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, sehingga terdapat perbedaan subjek yang akan diteliti.

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan Kerja

Keterikatan kerja pertama kali diteliti oleh Khan (1990) menjelaskan

“pemanfaatan anggota organisasi” dimana individu akan menggunakan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, serta emosional selama menjalankan peran pekerjaan mereka. Morrison dan Phelps (1999) menjelaskan keterikatan kerja sebagai motivasi dasar intrinsik karyawan yang dapat meningkatkan perilaku kerja proaktif dalam dirinya.

Maslach and Leiter (Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker, 2002) mengasumsikan keterikatan dapat dikarakteristikan dengan energi, keterlibatan, dan efikasi dalam bekerja. Hal yang senada di jelaskan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002) bahwa keteriktan kerja merupakan emosi yang positif mengenai pekerjaan yang diindikasikan dnegan semangat, dedikasi, dan penghayatan. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai kondisi pikiran yang positif dan memuaskan yang terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan absorbsi. Saks (2006) menjelaskan keterikatan pada karyawan adalah seberapa besar karyawan bersungguh-sungguh menghayati peran pekerjaannya. Penelitian terkini yang dilakukan

oleh Anitha (2014) mendeskripsikan keterikatan kerja karyawan sebagai level komitmen yang berdampak pada organisasi dan nilai-nilainya.

Berbeda dengan workaholic dimana kedua aktivitas tersebut menggunakan usaha keras dalam bekerja. Menurut Van Wijhye (Bakker, Shimazu, Demerouti, Shimada, & Kawakami, 2014) workaholic tidak memiliki afektif atau perasaan yang positif mengenai pekerjaaan yang dilakukan dan keterikatan kerja tidak memiliki unsur kompulsif seperti workaholic. Kemudian, workaholic memiliki dampak negatif bagi individu seperti membahayakan kesehatan individu, mengurangi kebahagian individu, dan merusak hubungan interpersonal dan fungsi sosial mereka (Bakker, Shimazu, Demerouti, Shimada, & Kawakami, 2014). Sedangkan keterikatan kerja dapat memberikan dampak positif bagi individu maupun organisasi seperti karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan memiliki kreativitas yang lebih, produktivitas yang lebih dan lebih memiliki kemauan bekerja (Bakker & Demerouti, 2008).

Sehingga berdasarkan uraian teori diatas, dapat disimpulkan keterikatan kerja adalah keadaan saat individu merasa terikat dengan pekerjaannya dimana ia dapat menjalankan pekerjaan baik secara fisik, koginitif, dan emosional dengan positif, senang, tidak merasa terbebani, serta memaksimalkan hasil kerja. Pada penelitian ini keterikatan kerja dalam konteks karyawan perbankan sebagai subjek penelitian adalah ketika karyawan bank mampu sehingga memunculkan perasan yang positif, tidak

merasa terbebani dan merasa senang dengan pekerjaan hingga karyawan terlarut dalam mengerjakan pekerjaannya.

2. Aspek-aspek Keterikatan Kerja

Aspek-aspek keterikatan kerja (work engagement) menurut Schaufeli dan Bakker (2004) diantara lain adalah

a. Semangat (Vigor)

Semangat (vigor) digambarkan sebagai ketahanan mental dan tingkat energi yang tinggi. Semangat dan usaha yang sungguh-sungguh digambarkan dengan kemauan untuk bertahan menghadapi kesulitan dan ketekunan menyelesaikan masalah dalam pekerjaan. Semangat tersebut dapat menumbuhkan tambahan energi yang membantu karyawan mengerjakan tugas pekerjaan tanpa mengeluh dan tidak mudah merasa lelah. Contoh yang dapat menggambarkan aspek ini ialah seorang karyawan selalu bersemangat untuk bekerja sehingga ia datang tepat waktu bahkan datang lebih awal hampir setiap hari.

b. Dedikasi (Dedication)

Dedikasi adalah kondisi dimana individu merasa terlibat secara utuh ketika mengerjakan tugasnya. Dedikasi dikarakteriskan dengan timbulnya antusiasme, bangga, inspiratif, bermakna dan dapat merasakan tantangan. Contohnya

c. Penghayatan (Absorption)

Penghayatan adalah kondisi dimana individu berkonsentrasi secara penuh, serius, dan merasa senang dalam mengerjakan tugas

pekerjaannya. Hal tersebut membuat karyawan tidak merasakan waktu yang berlalu selama bekerja dan sulit untuk lepas dari pekerjaannya.

Misalnya seperti seorang karyawan tidak sadar bahwa waktu istirahat sudah tiba dikarenakan terlalu senang dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja pada karyawan diantaranya adalah:

a) Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)

Pada faktor ini dapat dikarakteristikan dengan segala sesuatu yang terus-menurus membutuhkan usaha baik secara fisik maupun psikologis untuk memenuhi atau mempertahankan aspek fisik, sosial, serta organisasi dari sebuah pekerjaan. Tuntutan kerja meliputi empat faktor yaitu beban kerja yang berlebihan, tuntutan emosional, ketidaksesuaian emosi, dan perubahan terkait organisasi.

b) Sumber Daya Pribadi (Personal Resource)

Sumber daya pribadi juga dapat mempengaruhi keterikatan kerja.

sumber daya pribadi menurut Hobfoll, Johnson, Ennis, dan Jackson (Bakker, 2011) dijelaskan sebagai evaluasi diri yang terkait dengan ketahanan dan merujuk pada perasaan individu akan kemampuan dirinya dalam mengendalikan dan berdampak bagi lingkungan mereka dengan sukses. Individu yang mempunyai tujuan pencapaian diri secara intrinsik akan termotivasi untuk mengejar tujuan mereka serta

mengakibatkan mereka dapat memicu kinerja dan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan memiliki sumber daya pribadi, seperti optimisme, self-efficacy, self-esteem, resiliensi, dan gaya koping yang aktif, yang membantu mereka dalam mengendalikan dan memberi pengaruh pada lingkungan kerja mereka dengan sukses, dan untuk mencapai kesuksesan karier (Bakker &

Demerouti, 2008).

c) Sumber Daya Pekerjaan (Job Resource)

Menurut Schaufeli dan Bakker (Bakker, 2011) sumber daya pekerjaan dapat merujuk pada aspek fisik, sosial, atau organisasi dari sebuah pekerjaan yang secara fungsional untuk mencapai tujuan kerja, mengurangi tuntutan pekerjaan, dan mendorong perkembangan individu.

Demerouti, Nachreimer, Bakker, & Schaufeli (2001) menjelaskan sumber daya pekerjaan (job resource) dapat terdiri dari kontrol kerja, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan variasi tugas, kemudian sumber daya sosial mencakup dukungan dari kolega, keluarga, dan kelompok sebaya. Pendapat lain oleh Bakker, Demerouti, Hakamen, dan Xanthopoulon (2007) mengenai sumber daya pekerjaan dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu pada tingkat organisasi dimisalkan dengan gaji dan peluang berkarir, pada tingkat hubungan interpersonal dan sosial dimisalkan dengan dukungan supervisor dan rekan kerja, lalu pada tingkat pekerjaan di organisasi dimisalkan dengan kejelasan peran

dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, kemudian pada tingkatan tugas dimisalkan dengan umpan balik kinerja dan variasi keterampilan.

Sumber daya pekerjaan juga berperan sebagai motivasi ekstrinsik, karena lingkungan kerja yang saling membantu dapat menumbuhkan keinginan untuk mendedikasikan upaya seseorang untuk tugas pekerjaan. Pada lingkungan seperti itu, kemungkinan tugas akan selesai dengan sukses dan tujuan akan tercapai. Misalnya, rekan kerja yang mendukung dan umpan balik kinerja meningkatkan kemungkinan berhasil dalam mencapai tujuan kerja seseorang (Schaufeli & Bakker, 2004). Schaufeli (2017) juga menyatakan bahwa kepercaya merupakan sumber daya pekerja pada level organisasi. Alzyoud (2018) menyatakan bahwa pentingnya peranan trust sebagai faktor krusial penentu keberhasilan sebuah organisasi. Peningkatan kepercayaan organisasi dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk perilaku dan sikap di tempat kerja ke arah yang lebih positif, seperti keterikatan kerja karyawan maupun komitmen organisasi (Dirks

& Ferrin, 2002).

B. Kualitas Kehidupan Kerja 1. Definisi Kualitas Kehidupan Kerja

Istilah kualitas kehidupan kerja menurut Mayo (Van Laar & Easton, 2012) dalam studinya untuk mengetahui peran lingkungan dalam mempengaruhi kinerja karyawan. Walton (Ristanti & Dihan, 2016)

menjelaskan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sebuah persepsi mengenai suasana di tempat kerja dan sejauh mana pengalaman kerja yang bermanfaat dan memuaskan bagi karyawan. Walton (Zin, 2004) juga menjelaskan bahwa terdapat delapan indikator pada kualitas kehidupan kerja yang terdiri dari imbalan yang adil dan memadai, kondisi lingkungan kerja yang sehat dan aman, kesempatan untuk mengembangkan kemampuan individu, kesempatan untuk berkembangan dan keamanan dalam bekerja, integrase sosial di tempat kerja, relevansi sosial dari kehidupan kerja, keseimbangan antara kehidupan bekerja dan kehidupan pribadi, dan konstitusionalisme di tempat kerja.

Cascio (Hasmalawati, 2018) menjelaskan QWL dari dua cara yaitu dengan melihat kualitas kehidupan kerja sejalan dengan usaha organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi, seperti kebijakan promosi, supervisi atau pengawasan yang demokratif, keterlibatan karyawan dan kondisi kerja yang aman. Kedua, kualitas kehidupan kerja dipandang sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana mereka meraasa aman dan puas terhadap pekerjaannya serta mampu tumbuh dan berkembangan sebagi manusia.

Maka dari itu secara singkat Cascio (Hasmalawati, 2018) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi karyawan akan kondisi kesejahteraan fisik dan mental di tempat kerja. Selanjutnya, Inda (Kurniawati, 2018) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan kerja merupakan tingkat sejauh mana organisasi memenuhi kebutuhan

anggotanya melalui pengalaman mereka dalam organisasi dan kepuasan dalam pekerjaan mereka

Menurut Van Laar dan Easton (2012) menjelaskan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sebuah sistem yang dibuat oleh organisasi untuk meningkat kepuasan karyawan, kemudian hal tersebut digunakan dalam intervensi perencanaan, pemantauan dan penilaian efek perubahan organisasi. Kanten dan Sadullah (2012) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai pertimbangan atas urgensi dan cita-cita karyawan yang berkaitan dengan kondisi kerja, remunerasi, peluang pengembangan karir, keseimbangan peran work-family, keselamatan kerja dan interaksi sosial di tempat kerja, serta relativitas sosial pekerjaan karyawan itu sendiri.

Berdasarkan penjabaran definisi kualitas kehidupan kerja di atas, dapat disimpulkan bahwa meski terdapat beberapa perbedaan dalam indikator atau dimensi penyusun kualitas kehidupan kerja, namun secara garis besar dapat disimpulkan kualitas kehidupan kerja adalah usaha yang dibangun organisasi demi terciptanya kesejahteraan karyawan melalui lingkungan kerjannya sesuai dengan tujuan organisasi serta dapat memberikan dampak positif bagi produktivitas kerja karyawan maupun organisasi. Pada penelitian ini menggunakan teori dari Van Laar dan Easton (2012) karena dinilai sudah mencakup aspek-aspek kualitas kehidupan kerja yang akan diteliti pada penelitian ini.

2. Aspek-aspek Kualitas Kehidupan Kerja

Pada penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek kualitas kehidupan kerja yang dijabarkan oleh Van Laar dan Easton (2012) yang terdiri dari enam aspek. Aspek-aspek yang dimaksud tersebut diantara lain:

a. General Well-being (Kesejahteraan Umum)

Pada aspek general well-being atau kesejahteraan umum ini mengukur sejauh mana individu merasa baik maupun puas terhadap kehidupannya secara keseluruhan. Kesejahteraan umum pada aspek ini berhubungan dengan kebahagiaan dan kepuasan dengan kehidupan individu secara keseluruhan. Aspek kesejahteraan umum mencakup kesejahteraan psikologis dan kesehatan fisik individu secara umum (Van Laar & Easton, 2012).

b. Home-work Interface (Hubungan Rumah dan Pekerjaan)

Pada aspek home-work interface atau hubungan rumah dan pekerjaan ini mengukur sejauh mana organisasi memahami serta memberikan dukungan kepada karyawan terkait dengan masalah yang terjadi antara kehidupan pekerjaannya dan kehidupan di rumah. Ketika karyawan bekerja pada sebuah organisasi, tidak menjadi alasan atau penghalang karyawan tersebut untuk dapat melakukan aktivitas lainnya di luar urusan pekerjaan. Misalnya, karyawan tersebut turut menjadi anggota masyarakat atau komunitas. Sehingga aspek ini dapat dikatakan sebagai sebuah hubungan antara pekerjaan dan kehidupan di rumah.

c. Job and Career Satisfaction (Kepuasan Kerja)

Pada aspek job and career satisfaction atau kepuasan kerja ini mengukur seberapa jauh kepuasan individu terhadap pekerjaan pada segala aspek dalam pekerjaan tersebut atau sejauh mana tempat kerja memberikan individu hal-hal terbaik di tempat kerja. Spector (Van Laar

& Easton, 2012) juga mendefinisikan kepuasan kerja adalah bagaimana perasaan individu mengenai pekerjaan mereka dan berbagai aspek pekerjaan mereka. Sejauh mana individu menyukai atau tidak menyukai pekerjaan mereka. Van Laar dan Easton (2012) mencontohkan hal-hal yang dapat membuat karyawan merasa baik atau puas pada pekerjaannya, yakni seperti pencapai pengembangan pribadi, pencapaian tujuan kerja, promosi jabatan dan pengakuan di tempat kerja.

d. Control at Work (Kontrol Kerja)

Pada aspek control at work atau kontrol kerja ini mengukur seberapa jauh individu merasa dirinya terlibat dalam pengambilan keputusan yang dapat memberikan pengaruh pada organisasi. Sejalan dengan konstitusionalisme dikemukan oleh Walton (Zin, 2004) yang merupakan salah satu indikator kualitas kehidupan kerja, dimana karyawan merasa memiliki kebebasan berbicara dan menyuarakan pendapatnya diperhatikan oleh organisasi dengan penuh tanggung jawab dalam menjalakan pekerjaannya. Misalnya seperti saat apel pagi sebelum menjalankan operasional organisasi karyawan diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat, strategi, dan saran yang berhubungan dengan aktivitas pekerjaannya.

e. Working Conditions (Kondisi Kerja)

Pada aspek working conditions atau kondisi kerja ini mengukur sejauh mana kepuasan individu terkait dengan kondisi lingkungan tempat kerjanya. Kondisi kerja pada aspek ini berhubungan dengan lingkungan kerja secara yang memuaskan serta dapat menunjang aktivitas pekerjaan sehingga berjalan dengan lancar. Pada aspek ini mengarah kepada persepsi karyawan akan bagaimana organisasi menyediakan kondisi lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan mendukung aktivitas pekerjaan. Walton (Zin, 2004) menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang kondusif diperlukan sehingga karyawan terhindar dari bahaya maupun tetap menjaga daya tahan karyawan saat bekerja. Maka dari itu lingkungan kerja fisik, jam kerja, jam istirahat maupun cuti perlu diperhatikan agar kinerja karyawan tidak mengalami penurunan performa kerja.

f. Stress at Work (Stres Kerja)

Pada aspek stress at work atau stres kerja ini mengukur sejauh mana tekanan dan stress yang dirasakan individu di tempat kerja. Stres kerja menurut The Health and Safety Executive (Van Laar & Easton, 2012) adalah respon fisik maupun emosional yang disebabkan karena karyawan tidak dapat menyesuaikan diri dengan sumber daya, kemampuan dan kebutuhan dengan tekanan yang tersedia.

Berdasarkan aspek-aspek kualitas kehidupan kerja yang telah dijelaskan di atas oleh Van Laar dan Easton (2012) dapat disimpulkan bahwa general

well-being (kesejahteraan umum), home-work interface (hubungan rumah dan pekerjaan), job career satisfaction (kepuasan kerja), control at work (kontrol kerja), working conditions (kondisi kerja), dan stress at work (stres kerja) merupakan aspek-aspek yang membentuk kualitas kehidupan kerja seorang karyawan.

C. Organizational Trust 1. Definisi Organizational Trust

Trust atau kepercayaan pada organisasi seperti yang didefinisikan oleh Cummings dan Bromiley (1995) adalah keyakinan individu maupun keyakinan umum sebuah kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Mayer, Davis dan Schoorman (1995) mendefinisikan kepercayaan merupakan kesedian satu pihak dalam menerima tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain tersebut akan melakukan tindakan yang penting baginya, terlepas dari kemampuan individu tersebut untuk memantau maupun mengontrol apa yang akan dilakukan oleh pihak lain tersebut.

Yilmaz dan Altinkurt (2012) menjelaskan bahwa kepercayaan pada organisasi mengacu pada persepsi individu karyawan mengenai dukungan yang diberikan oleh organisasi dan memercayai para atasan di organisasi akan selalu mengatakan kebenaran serta menepati janji mereka.

Berdasarkan pemaparan definisi terkait kepercayaan pada organisasi, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan organisasi atau organizational trust

merupakan keryakinan dan kepercayaan individu yang secara penuh kepada organisasi serta semua aspek maupun elemen yang terdapat di dalamnya, untuk berbuat jujur dan terbuka dalam setiap kegiatan maupun kebijakan yang dilakukan. Pengertian organizational trust oleh Cumming dan Bromiley (1995) dipilih dalam penelitian ini karena dirasa cukup menggambarkan kepercayaan karyawan terhadap organisasi.

2. Aspek-aspek Organizational Trust

Terdapat beberapa tokoh yang menjabarkan aspek-aspek yang menyusun organizational trust Cummings dan Bromiley (1995) menjelaskan kepercayaan kepada organisasi memiliki tiga dimensi, ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Effort (Upaya)

Upaya dalam aspek ini adalah berupaya bertindak sesuai dengan komitmen. Karyawan yang mencerminkan aspek ini adalah ketika karyawan akan menerima semua kebijakan dan keputusan yang ditentukan oleh organiasi terutama yang memiliki hubungan dengan dirinya, karena karyawan tersebut yakin akan setiap keputusan maupun kebijakan yang dilakukan organisasi merupakan bentuk upaya untuk kebaikan dirinya.

b. Honestly (Kejujuran)

Kejujuran dalam aspek ini adalah jujur dalam bernegosiasi mengenai apapun termasuk bernegosiasi yang mendahului sebuah komitmen. Misalkan karyawan yang mencerminkan aspek ini ketika

karyawan tersebut menerima gaji, ia tidak akan terus menanyakan mengenai apa saja yang diperhitunkan dalam menetukan besaran gaji miliknya.

c. Opportunities (Keuntungan)

Keuntungan dalam aspek ini adalah anggota organisasi yang terlibat tidak akan mengambil keuntungan secara berlebihan dalam berneogosiasi maupun dari orang lain. Bahkan, apabila terdapat kesempatan untuk melakukannya, individu atau kelompok tidak berusaha mengambil keuntungan berlebih tersebut. Misalkan seorang karyawan yang mencerminkan aspek ini ketika karyawan tersebut tidak akan mencoba memperhitungkan pendapatan rekan kerja maupun atasannya karena karyawan tersebut telah percaya bahwa keuntungan yang didapat oleh masing-masing karyawan sudah sesuai dan proposional.

Berdasarkan aspek-aspek kepercayaan pada organisasi organizational trust yang dikemukakan oleh Cummings dan Bromiley (1995) yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepercayaan pada organisasi (organizational trust) pada penelitian ini terdiri dari upaya (effort), kejujuran (honestly), dan keuntungan (opportunities).

D. Hubungan antara Kualitas Kehidupan Kerja dan Organizational Trust dengan Keterikatan Kerja

Karyawan yang merasakan kualitas kehidupan kerja dan terpenuhinya kebutuhan karyawan oleh organisasi diindikasikan akan lebih terikat dengan pekerjaannya di organisasi. Kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu pendorong meningkatnya keterikatan kerja dalam organisasi. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Karyawan yang merasakan kualitas kehidupan kerja dan terpenuhinya kebutuhan karyawan oleh organisasi diindikasikan akan lebih terikat dengan pekerjaannya di organisasi. Kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu pendorong meningkatnya keterikatan kerja dalam organisasi. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Dokumen terkait