BAB I : PENDAHULUAN
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran penulis sendiri yang berasal dari keresahan masyarakat terhadap maraknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, serta berdasarkan masukan dari berbagi pihak guna melengkapi dan membantu dalam penulisan ini. Penulis memperoleh data dari buku-buku, jurnal, Putusan Pengadilan Negeri dan media elektronik. Jika terdapat karya orang lain penulis akan mencantumkan sumber secara jelas. Setelah mengadakan uji bersih di Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU menyatakan bahwa penulisan tentang Penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku turut serta tindak pidana pembunuhan (Analisis Putusan PN Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp dan Putusan PN Nomor 6/Pid.Sus-5/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp) tidak ada judul yang sama dan belum pernah ditulis oleh penulis lain sebelumnya.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan sebenarnya. Jika dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran maka saya akan bertanggungjawab sepenuhnya.
E. Tinjauan kepustakan
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah strafbaar feit. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak akan kita temui definisi terhadap tindak pidana. Adami Chazawi
telah menerjemahkan istilah Strafbaar Feit, yaitu secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya harus dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang-undang, antara lain KUHP.10
Tindak pidana dalam bahasa Inggris diartikan dengan Crime Act, apabila seseorang melakukan kesalahan belum berarti ia dapat dipidana, tetapi adanya pertanggungjawaban atas perbuatannya yang disebut dengan Criminal Responsibility.11
Tindak Pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Menurut Andi Hamzah tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.12
Moeljatno, tidak menggunakan istilah tindak pidana rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana” kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada 2 (dua) kejadian yang konkret yaitu:13
1. Adanya kejadian tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang; dan
10Adami Chazawi (1), Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.69.
11Sudarto, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.28.
12Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm.16.
13Soeharto R.M, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.29.
2. Adanya orang yang berbuat dan menimbulkan kejadian itu.
Menurut Pompe perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu: “pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.14
Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarangan dan diancam pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). Dalam hal ini sangat perlu diperhatikan mengenai waktu dan tempat terjadinya suatu tindak pidana sebagai syarat mutlak yang harus diperlihatkan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, demi mencapai kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum.15
P.A.F. Lamintang menjelaskan tentang unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:16
14Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.6.
15Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm.161.
16P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.193.
a. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
b. Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa);
2. Maksud pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1);
3. Macam-macam maksud atau oogmerk, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).17
Adapun unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana yaitu:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
17Ibid
2. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.18
Banyak terjadi perbedaan pendapat antara para pakar hukum terhadap isi dari pengertian tindak pidana, sebagian menganut monistis dan sebagian lagi menganut dualistis.
1. Pandangan Monistis
Menurut Simon,19 tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan ini maka untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:20
a. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).
b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum
18Ibid, hlm.175.
19Ibid, hlm.185.
20Tongat (1), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Persefektif Pembaharuan, Cetakan Kedua, (Malang: UMM Press, 2009), hlm.105.
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab 2. Pandangan Dualistis
Menurut Moeljatno,21 perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Maka dari penjelasan tersebut unsur tindak pidana harus memenuhi:
a. Perbuatan manusia
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) KUHP;
c. Bersifat melawan hukum (syarat materil) perbutannya itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau yang tak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan.
Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang
Buku II KUHP membuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk ke dalam kelompok kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku dan perbuatan walaupun ada perkecualian seperti pada Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan, sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Di samping itu banyak mencantumkan unsur-unsur
21Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm.287.
lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu:22
1. Unsur tingkah laku
Pada dasarnya tindak pidana mengatur mengenai tingkah laku, maka harus disebutkan dalam rumusan unsur-unsur dari tindak pidana.
Tingkah laku dalam hukum pidana terdiri dari tingkah laku aktif dan negatif. Tingkah laku aktif adalah suatu tingkah laku yang untuk mewujudkan atau melakukannya diperlakukan gerakan atau bagian tubuh, contohnya mengambil atau memalsukan. Sedangkan tingkah laku negatif yaitu membiarkan atau suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktifitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seorang dalam keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif dan dengan berbuat demikian, seseorang disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya tidak memberikan pertolongan, membiarkan, meninggalkan, tidak segera memberitahukan, tidak datang dan lainnya.
2. Unsur melawan hukum
Dalam halnya sifat melawan hukum yang dimaksud disini adalah bahwa sifat tercela atau terlarang yang tertera di dalam undang-undang atau dalam artian telah ada pengaturan perundang-undangan.
22Adami Chazawi (1), Op.Cit, hlm.85-115.
3. Unsur kesalahan
Mengenai keadaan atau gambaran batin seseorang pada saat memulai perbuatan, yang mana unsur ini melekat pada diri sipelaku dan bersifat subjektif. Dibagi atas dua bagian:
a. Kesengajaan
Menitik beratkan pada kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. Dalam doktrin pidana kesengajaan dikenal dalam berbagai bentuk :
1. Kesengajaan sebagai maksud dan tujuan 2. Kesengajaan sebagai kepastian
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan b. Kelalaian
Kelalaian berupa sikap batin dalam hubungan dengan perbuatan sebenarnya ialah dalam hendak melakukan wujud perbuatan.
Karena tidak mengindahkan atau kurang mengindahkan atau tidak berhati-hati terhadap segala sesuatu.
4. Unsur akibat konstitutif
Unsur akibat konstitutif terdapat pada:
(1) Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana;
(2) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana;
(3) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya perbuatan.
5. Unsur keadaan menyertai
Unsur keadaan menyertai adalah unsur tindak pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.
a. Unsur keadaan yang menyertai mengenai cara melakukan perbuatan artinya bahwa cara ini melekat perbuatan yang menjadi unsur-unsur tindak pidana.
b. Unsur cara untuk dapat dilakukannya perbuatan dalam hal ini bukan berupa cara berbuat, melainkan untuk dapat melakukan perbuatan yang menjadi larangan dalam bentuk pidana. Cara merusak, memotong atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakai jabatan palsu, adalah cara-cara yang harus dilakukan sebelum seseorang itu dapat melakukan perbuatan mengambil objek benda yang dicurinya.
c. Unsur keadaan menyertai mengenai objek tindak pidana ialah semua keadaan yang melekat pada atau mengenai objek tindak pidana, contohnya “milik orang lain” yang melekat pada suatu benda yang menjadi objek pencurian.
d. Keadaan yang menyertai mengenai tempat dilakukannya tindak pidana yaitu mengenai segala keadaan mengenai tempat dilakukannya tindak pidana, misalnya di jalan umum, tempat kediaman, di muka umum, dan sebagainya.
e. Keadaan yang menyertai waktu dilakukannya tindak pidana yaitu berupa syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok tindak pidana. Misalnya pada malam hari, gempa bumi, kebakaran, gunung meletus, yang menjadi unsur pokok tindak pidana misalnya pada masa perang, pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah.
6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana yaitu unsur ini hanya terdapat dalam tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang dapat dituntut pidananya jika ada pengaduaan dari yang berhak mengadu.
7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana yaitu alasan untuk diperberatnya pidana dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana dalam tindak pidana materil.
8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana yaitu unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan, artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya sipembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukum dan patutnya dipidana perbuatan itu digantungkan pada timbulnya unsur ini.
9. Unsur objek hukum tindak pidana yaitu unsur yang diletakkan dibelakang atau sesudah unsur perbuatan itu. Contohnya
menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan, menghilangkan merupakan unsur perbuatan, dan menjadi objek perbuatannya adalah nyawa orang lain.
10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana yaitu dibuat untuk diberlakukan pada semua orang, yang mana dimulai dengan barangsiapa, atau dalam tindak pidana khusus dengan merumuskan
“setiap orang”.
11. Unsur syarat tambahan memperingan pidana yaitu unsur yang diletakkan pada rumusan suatu tindak pidana tertentu yang sebelumnya telah dirumuskan.
2. Pengertian Penyertaan Melakukan Kejahatan dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan
a. Pengertian Penyertaan
Istilah “penyertaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menyertakan atau perbuatan ikut serta (mengikuti). Kata “penyertaan” berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan suatu tindak pidana.23
Penyertaan atau yang disebut dengan deelneming diatur dalam buku kesatu tentang aturan umum, Bab V Pasal 55–62 KUHP. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun fisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing
23 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
Aditama, 2003), hlm.117.
masing, sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya.24
Menurut Van Hamel dalam Moch. Anwar penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri.25
Tindakan yang diancam terhadap pelanggaran undang-undang yang dapat dijatuhkan terhadap mereka yang memberikan bantuan untuk tingkah laku dan anjuran-anjuran, nasihat atau perbuatan.
Nasehat atau penerangan yang diberikan dapat mengakibatkan berbagi hal terhadap korban.
Klasifikasi penyertaan menurut Pasal 55 dan 56 KUHP yaitu:26 1. Pembuat (dader), yang terdiri dari mereka yang:
a. Melakukan (plegen)
b. Menyuruh melakukan (doen plegen) c. Turut serta melakukan (medeplegen) d. Menganjurkan melakukan (uitlokken)
2. Pembantu kejahatan (medeplichtige), membantu melakukan pelanggaran (overtrending).27
24Mohammad Ekaputra, Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, (Medan: USU Press, 2016), hlm.39.
25Ibid
26Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), hlm.214.
27Ibid, hlm.215.
KUHP tidak mengadakan pembedaan dalam beratnya pidana untuk mereka yang diklasifikasikan sebagai pembuat (dader). Hanya untuk pembantu kejahatan (medeplichtige) ditentukan ancaman pidana yang lebih ringan dari pada pembuat, yaitu dikurangi 1/3 (sepertiga) dari maksimum pidana pokok, atau jika diancam pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.28 Menurut Leden Marpaung, menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut
“pembunuhan”.29
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 360 KUHP. Dalam Pasal 338 KUHP tindak pidana yang diatur adalah tindak pidana dalam bentuk pokok yang rumusannya adalah:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun”. Dalam hal di atas ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP yaitu:
28Adami Chazawi (2), Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.55.
29Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm.4.
a. Barangsiapa: yaitu ada orang tertentu yang melakukan b. Dengan sengaja: dalam hukum pidana ada tiga jenis sengaja
1. Sengaja sebagai maksud
2. Sengaja dengan keinsafan pasif
3. Sengaja dengan keinsafan kemungkinan/dolus eventualis c. Menghilangkan nyawa orang lain
Banyak pakar mengatakan menghilangkan nyawa orang lain dengan menggantinya merampas jiwa orang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas nyawa atau jiwa orang lain adalah pembunuhan.30
Wahyu Adnan,31 mengatakan bahwa untuk memenuhi unsur hilangnya nyawa orang lain harus ada perbuatan, yang dapat menghilangkan nyawa orang lain. Yang mana akibat dari perbuatan tersebut tidak terjadi secepat mungkin akan tetapi dapat timbul di kemudian hari.
Pengertian nyawa dimaksud adalah yang menyebabkan kehidupan pada manusia. Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum dikatakan pembunuhan.32 Perbuatan menghilangkan nyawa orang
30Ibid, hlm.23.
31Wahyu Adnan, kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Bandung: Gunung Angkasa, 2007), hlm.45.
32Tongat (2), Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.5.
lain sebagai mana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya wujud dari perbuatan
2. Adanya akibat berupa kematian (orang lain)
3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kematian.33
Adapun jenis-jenis tindak pidana pembunuhan:
a. Pembunuhan biasa merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diatur dalam Pasal 338 KUHP;
b. Pembunuhan yang dikualifikasi atau pembunuhan dengan pemberatan, yakni pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan tindak pidana lain, yang diatur dalam Pasal 339 KUHP;
c. Pembunuhan berencana atau “moord”, yang diatur dalam Pasal 340 KUHP;
d. Pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, diatur dalam Pasal 341, 342, 343, KUHP;
e. Pembunuhan atas permintaan korban atau yang disebut dengan
“euthanasia” yang diatur dalam Pasal 344 KUHP;
f. Mendorong orang lain untuk bunuh diri, mendorong atau memberi sarana untuk bunuh diri, yang diatur dalam Pasal 345 KUHP;
33Ibid
g. Pengguguran atau pembunuhan terhadap kandungan, diatur dalam Pasal 346, 347, 348,349 KUHP.
3. Batasan Usia Anak dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu bangsa.34 Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.35 Batasan usia anak dalam hukum pidana ialah:
a. Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan defenisi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
F. Metode Penelitian
Soejono Soekanto menyatakan penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala
34Nashriana, Op.Cit,hlm.1.
35Wjs. Poerdaminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.38.
hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.36
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut penelitian doktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai suatu bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).37
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dapat berbentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dalam skripsi ini.38 Data sekunder ini diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer adalah:
36Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hlm.43.
37Mukti Fazar ND dan Yulianto Achmad, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2010), hlm.154.
38Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.106.
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
e. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,39 jadi bahan sekunder ini bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan atau buku yang berkaitan dengan turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan.
3. Bahan hukum tersier dari penelitian ini adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu ensiklopedia, majalah, kamus hukum, dan kamus besar bahasa Indonesia.40
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan data kepustakaan (library research) yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
39Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 41.
40Zainuddin Ali, Loc.Cit, hlm.106.
bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diselesaikan dalam penulisan skripsi ini.41
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.42 Dianalisis dengan metode kualitatif, dengan menganalisis data-data diuraikan dengan susunan kalimat-kalimat yang diharapkan dapat menjawab rumusan masalah dan dapat menarik kesimpulan serta dapat memberikan saran.
Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.42 Dianalisis dengan metode kualitatif, dengan menganalisis data-data diuraikan dengan susunan kalimat-kalimat yang diharapkan dapat menjawab rumusan masalah dan dapat menarik kesimpulan serta dapat memberikan saran.