• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami skripsi ini, maka penulisan skripsi ini dibuat secara sistematis dan terperinci.

Disusun dalam bab per bab yang berkesinambungan yang terdiri dari lima bab, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari penulisan ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

Bab I yaitu pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang yang menguraikan hal-hal yang melatar belakangi penulisan skripsi ini, perumusan masalah yang menguraikan permasalahan apa yang

41M. Nazir, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm.87.

42Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm.7.

diangkat dalam penulisan skripsi ini, kemudian membahas mengenai tujuan dan manfaat penulisan yang mana agar pembaca mengetahui secara rinci. Tujuan dan manfaat dalam penulisan ini, kemudian adanya keaslian penulisan untuk menghindari adanya karya yang sama dan disertai tanda bukti yang mendukung yaitu surat keterangan dari perpustakaan kampus yang menerangkan belum ada penulisan mengenai skripsi tersebut, dan murni dari hasil pemikiran penulis, tinjauan kepustakaan yang menguraikan pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, pengertian penyertaan melakukan kejahatan, unsur-unsur tindak pidana pembunuhan, batas umur anak dan anak yang berkonflik dengan hukum, metode penelitian yaitu bagaimana cara penulis dalam melaksankan penelitian untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Terakhir adalah sistematika penulisan yaitu gambaran singkat mengenai isi dari skripsi ini.

Bab II yaitu penyertaan melakukan tindak pidana menurut hukum pidana di Indonesia yang di dalamnya dibahas: bentuk penyertaan dan syarat dari delik penyertaan, serta pengaturan penyertaan di luar KUHP.

Dalam Bab III sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut hukum pidana di Indonesia ini berisikan tentang: pengaturan sanksi terhadap anak sebelum lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baik dari KUHP dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta

membahas pengaturan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Bab IV penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang turut serta melakukan pembunuhan dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak dalam Putusan PN No. 5/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp dan Putusan PN No. 6/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp ini membahas mengenai pemidanaan terhadap anak, tujuan pemidanaan, penjatuhan sanksi terhadap anak yang turut serta melakukan pembunuhan dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak, pembunuhan yang dilakukan anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta analisis kasus Putusan PN No.5/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp dan Putusan PN No.6/Pid.Sus-Anak/2017/PN Psp.

Bab V adalah bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang mana membahas mengenai apa yang menjadi kesimpulan dari penulisan skripsi ini serta saran yang berguna untuk berbagai pihak terkait dengan pembahasan di dalam skripsi ini.

BAB II

PENYERTAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Bentuk dan Syarat Delik Penyertaan

Dalam halnya penyertaan atau sering disebut dengan deelneming /strafbaar feit. Diartikan apabila ada suatu tindak pidana tersangkut beberapa atau lebih dari satu orang. Dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum pidana, deelneming ini menurut sifatnya dibagi atas dua bentuk:43

1. Bentuk-bentuk deelneming yang berdiri sendiri

Dalam bentuk ini pertanggung jawabannya pada tiap orang atau dikatakan dengan singkatnya dihargai atau diminta pertanggung jawabannya sendiri-sendiri.

2. Bentuk-bentuk deelneming yang tidak berdiri sendiri

Pertanggung jawaban dari peserta yang digantungkan pada perbuatan yang lainnya. Artinya apabila peserta satu yang melakukan suatu perbuatan dan harus dihukum, maka peserta yang lain juga harus dihukum. Klasifikasi dalam penyertaan dibedakan menjadi:

1. Pembuat (dader), yang terdiri dari mereka yang : a. Melakukan (plegen);

b. Menyuruh melakukan (doen plegen);

c. Turut serta melakukan (medeplegen);

d. Menganjurkan melakukan (uitlokken).

43Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (Balai Lektur Mahasiswa) ditulis tanpa tahun, hlm.1.

2. Pembantu kejahatan (medeplichtige) (Pasal 56). Membantu melakukan pelanggaran (overtreding) tidak dipidana (Pasal 60).44

Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun fisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam perisitwa tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya.45

1. Pembuat yang terdiri dari : a. Yang melakukan perbuatan

Orang yang melakukan (plegen) atau pelaku (pleger) adalah orang yang perbuatannya mencocoki semua unsur rumusan tindak pidana. Mengapa pelaku juga diklasifikasikan sebagai seorang peserta? Karena pada dasarnya pelaku dipandang sebagai salah seorang yang terlibat dalam peristiwa tindak pidana di mana terdapat beberapa orang peserta. Orang yang dianjurkan/dibujuk, adalah pelaku dari tindak pidana yang dianjurkan/dibujuk untuk dilakukan.46

b. Yang menyuruh melakukan (Doen Plegen)

Orang yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen), dalam halnya bentuk menyuruh maksudnya yaitu orang yang disuruh

44Frans Maramis, Loc.Cit, hlm.214.

45Mohammad Ekaputra, Abul Khair, Op.Cit, hlm.39.

46Frans Maramis, Loc.Cit, hlm.215.

melakukan sesuatu tidak 1dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Wirjono Prodjodikoro47 mengatakan bahwa orang yang disuruh itu seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh sipenyuruh, yang mana dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan minus ministra (tangan yang dikuasai) dan penyuru dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).

c. Mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana (medeplegen) Menurut MvT pelaku peserta (medeplegen) adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari salah satu tindak pidana.48 Dalam undang-undang tidak menjelaskan pengertian ikut serta secara defenitif. Syarat yang diperlukan agar dapat dikatakan medeplegen adalah:49

1. Harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta 2. kerja sama dalam tindak pidana harus secara fisik

Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana itu.

d. Menganjurkan melakukan (uitlokken)

47Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1974), hlm.101.

48Mohammad Ekaputra, Abul Khair, Op.Cit, hlm.55.

49Ibid, hlm.59.

Ada perbuatan “uitloken” (menganjurkan, membujuk) apabila si

“uitlokker” (penganjur, pembujuk) menggunakan upaya-upaya yang telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) butir 2 KUHP. Hal ini merupakan pembeda antara bentuk menyuruh melakukan (doen plegen) dan menganjurkan melakukan (uitlokken). Perbedaan antara menyuruh melakukan dengan menganjurkan atau membujuk adalah bahwa:50

1. Dalam menyuruh melakukan, orang yang disuruh tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, sehingga yang dihukum hanyalah sipenyuruh saja sedangkan yang disuruh tidak dikenakan hukuman. Dalam menganjurkan/membujuk, baik yang menganjurkan/membujuk maupun yang dianjurkan/

dibujuk, kedua-duanya dapat dihukum.

2. Perbedaan lain ialah bahwa sipenganjur/pembujuk hanya dapat dihukum apabila ia menggunakan upaya-upaya/cara-cara yang dirincikan dalam dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Cara-cara yang digunakan dalam perbuatan menganjurkan/membujuk, yaitu: 51

1. Memberi atau menjanjikan sesuatu

Apa yang dimaksud dengan “memberi sesuatu” adalah cukup jelas artiannya. Sesuatu yang diberi mencakup uang, barang,

50Frans Maramis, Op.Cit, hlm.218.

51Ibid

dan lainnya yang dapat menggerakkan orang untuk melakukan apa yang dibujukkan tersebut.

2. Menyalahgunakan kekuasan atau martabat.

Menyalahgunakan kejahatan ini dapat terjadi apabila sipembujuk dan yang dibujuk ada hubungan dinas.

3. Kekerasan, ancaman atau penyesatan

Penggunaan kekerasan, ancaman atau penyesatan, haruslah dalam batasan tertentu, sebab jika maka orang akan berada dalam keadaan daya paksa relatif, sehingga yang terjadi ialah bentuk menyuruh melakukan.

4. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan.

Pemberian kesempatan, sarana atau keterangan jika dikenal dalam bentuk membantu melakukan.

2. Pembantuan kejahatan

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada:52

1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedangkan pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

52Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm.

128.

2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Kesempatan adalah memberikan peluang untuk seseseorang melakukan kejahatan. Sarana adalah memberikan alat yang digunakan untuk mempermudah kejahatan itu. Keterangan adalah menyampaikan ucapan-ucapan berupa nasihat kepada orang lain untuk melakukan kejahatan.53

B. Penyertaan di Luar KUHP

Penyertaan atau deelneming, ialah suatu peristiwa pidana yang terdapat lebih dari satu orang pelaku, dalam hal ini penyertaan bukan saja diatur

53R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia,1991)

dalam KUHP tetapi penyertaan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun bentuk-bentuk penyertaan di luar KUHP adalah sebagai berikut:

1. Penyertaaan dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corroptus.

Selanjutnya, disebut bahwa corruption itu berasal pula dari kata corrumpare, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyakan bahasa Erofa, seperti Inggris: corruption, corrupt, Prancis: Corrupratio, dan Belanda corruption (korruptie). Dapat kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia “korupsi”. Di Malaysia dipakai kata resuah yang diambil dari bahasa Arab risywah (suap) yang secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. Semua ulama mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, perbuatan ini termasuk dosa.54

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.55

54Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus: Memahami Delik-Delik di Luar KUHP, (Jakarta, Kencana Pranamedia Grup, 2016), hlm.60.

55Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm.23.

Secara harfiah menurut Sudarto, kata korupsi menunjukkan pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.

Adapun Henry Campbell Black mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau pun untuk orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan hak-hak dari pihak lainnya.56

Salah satu ciri tindak pidana korupsi adalah bahwa kasus korupsi biasanya melibatkan lebih dari satu orang.57 Dalam hal ini, lebih dari satu orang tidak akan terlepas dari yang namanya penyertaan.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum dalam Pasal 15 dan Pasal 16 belas. Dimana dalam Pasal 15 belas UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama

56Ruslan Renggong, Op.Cit, hlm.61.

57Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.15.

bahwa ciri-ciri korupsi adalah antara lain: a. Tindak pidana korupsi biasanya melibatkan lebih dari satu orang. b.Tindak pidana korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang. c.Tindak pidana korupsi biasanya menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Mereka yang terlibat tindak pidana korupsi biasanya juga berusaha menyelubungi perbuatanya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Dalam Pasal 16 dijelaskan bahwa: Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Maksud penyertaan dalam pasal ini adalah orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi dikenakan acaman yang sama dengan orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Sebagaimana ketentuan ini juga berlaku kepada orang yang berada di luar wilayah Indonesia yang membantu melakukan tindak pidana korupsi.

Penyertaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi berbeda dengan penyertaan yang dimaksud dalam KUHP. Di mana di dalam UU ini pembantuan dan permufakatan jahat di pidana sama dengan pelaku tindak pidana korupsi. Dengan kata lain tidak terdapat pengurangan seperti pembantuan di dalam Pasal 57 KUHP.

2. Penyertaan dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat, baik yang berasal dari tanaman maupun bukan, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan kecanduan.58

58Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Dalam perkembangan zaman saat ini Indonesia merupakan wilayah yang dikhawatirkan. Peredaran gelap narkotika telah meraja lelah dan makin meluas di berbagi wilayah Indonesia. Hal ini bukanlah satu orang yang melakukannya melainkan melibatkan lebih dari satu orang.

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa mengenai penyertaan dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tercantum di dalam Pasal 132 (1) yang berbunyi: Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Adapun maksud dari pada pasal tersebut sebagai berikut:

1. Pasal 111 yaitu: menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.

2. Pasal 112 yaitu: memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

3. Pasal 113 yaitu: memproduksi, mengimpor, mengekspor dan menyalurkan Narkotika Golongan I.

4. Pasal 114 yaitu: menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantaraan dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

5. Pasal 115 yaitu: membawa, mengirim, mengangkat, atau mentransito Narkotika Golongan I.

6. Pasal 116 yaitu: menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberi Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain 7. Pasal 117 yaitu: memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan

Narkotika Golongan II.

8. Pasal 118 yaitu: memproduksi, mengimpor, mengekspor dan menyalurkan Narkotika Golongan II.

9. Pasal 119 yaitu: menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantaraan dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan II.

10. Pasal 120 yaitu: membawa, mengirim, mengangkat, atau mentransito Narkotika Golongan II.

11. Pasal 121 yaitu: menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberi Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain.

12. Pasal 122 yaitu: memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III.

13. Pasal 123 yaitu: memproduksi, mengimpor, mengekspor dan menyalurkan Narkotika Golongan III.

14. Pasal 124 yaitu: menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantaraan dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan III.

15. Pasal 125 yaitu: membawa, mengirim, mengangkat, atau mentransito Narkotika Golongan III.

16. Pasal 126 yaitu: menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberi Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain.

17. Pasal 129 Tindak Pidana Narkotika yang perbuatannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) yaitu setiap orang yang tanpa hak melawan hukum:

a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Dalam Pasal 132 ayat (1) jelas penyertaan yang dimaksud adalah perbantuan dan permufakatan jahat. Dalam UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika ini menjelaskan bahwa ancaman hukumannya sama dengan pelaku tindak pidana narkotika lainnya.

3. Penyertaan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Era globalisasi dan kemajuan teknologi yang canggih antara lain menyebabkan hubungan antara negara maupun wilayah menjadi semakin mudah antara lain kemudahan informasi, komunikasi, dan transportasi.

Dengan berbagai kemudahan tersebut maka hubungan antar wilayah maupun antar negara seperti tanpa batas. Potensi membahayakan Negara Republik Indonesia selain dengan ditentukan oleh tekhnologi, komunikasi dan dan transportasi, juga ditentukan oleh Letak Geografis Negara Republik Indonesia yang berada di sepanjang Benua Asia dan Benua Australia serta diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Letak Geografis ini sebenarnya memudahkan Indonesia ikut dalam perdagangan Internasional. Namun hal tersebut dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana kejahatan.59 Kejahatan tersebut antara lain berupa perdagangan gelap narkotika, psikotropika, perjudian, penyuapan, terorisme, perdagangan budak wanita dan anak, pedagangan gelap senjata, penyelundupan, korupsi dan lain sebagainya.

Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan dan menghasilkan dana yang besar. Dana yang dihasilkan dari kejahatan itu tidak langsung dibelanjakan oleh pelaku, tetapi dana itu upayakan dengan

59Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Total Media, 2013), hlm.29.

menyembunyikan atau menyamarkan asal usulnya dengan memasukkan ke dalam sistem keuangan (financial system) terutama ke dalam bank.

Dengan ini akan sulit terlacak karena peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan untuk masalah tertentu, misalnya ketentuan tentang masalah kerahasiaan bank. Usaha menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana dikenal dengan pencucian uang (money laundering).60

Dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian terhadap pencucian uang (money laundering) yang diartikan pencucian uang adalah suatu kegiatan pemindahan uang yang diperoleh secara tidak sah melalui orang atau rekening yang sah sehingga dengan demikian hasilnya tidak terlacak sumber asal uang tersebut.61

Mc. Walters mengartikan pencucian uang adalah suatu kegiatan terkait dengan pemindahan hasil kejahatn dalam rangka untuk menutupi sumbernya yang tidak sah dan mengubahnya menjadi aset yang tidak ternoda oleh sumber asli.62 Tindak Pidana Pencucian Uang erat kaitannya dengan suatu organisasi kejahatan, yang mana adanya kerja sama dalam melakukan kejahatan dan menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan. Dalam hal ini sanagt memungkinkan adanya tindak pidana penyertaan dalam melakukan tindak pidana pencucian uang.

60Ibid

61Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahannya, (Jakarta: Timpani Publishing, 2010), hlm.45.

62Ibid

Penyertaan yang dimaksudkan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tercantum dalam Pasal 10: Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama.

Dalam halnya Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dirincikan sebagai berikut:

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar Negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana yang tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana pencucian

uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang sangatlah berbeda dengan penyertaan yang ditentukan KUHP, yang mana dalam UU ini pembantuan dan permufakatan jahat dipidana sama dengan pelaku tindak pidana pencucian uang dan di dalam KUHP adanya pengurangan pidana dalam halnya pembantuan dan permufakatan jahat.

4. Penyertaan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Adami Chazawi menjelaskan bahwa pornografi berasal dari dua suku kata yaitu pornos dan grafi. Pornos artinya sesuatu yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Bagi setiap orang yang

Adami Chazawi menjelaskan bahwa pornografi berasal dari dua suku kata yaitu pornos dan grafi. Pornos artinya sesuatu yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Bagi setiap orang yang

Dokumen terkait