• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA STUD

6.3. Aspek Otonomi dan Kuasa Perempuan

6.3.5. Kebebasan dalam Bergerak

Desa Neglasari terletak relatif dekat (4 km) dengan Kota Kecamatan Jasinga di mana fasilitas klinik kesehatan, pasar kecamatan dan sekolah SMA (Sekolah Menengah Atas), tetapi meskipun relatif dekat, aksesibilitas dari desa menuju kota kecamatan tidaklah mudah. Akses penduduk desa ke kota kecamatan akan mudah jika mereka memiliki kendaraan pribadi sendiri. Saat ini sekitar 40 persen penduduk memiliki sepeda motor, dan kurang dari 10 orang yang memiliki mobil. Tidak ada transportasi umum yang melewati Desa Neglasari. Fasilitas jalan di desa juga tidak memiliki jalan umum, jalan yang ada hanyalah jalan desa, para penduduk harus melewati jalan (yang sudah beraspal) selama kurang lebih 2 km untuk mencapai jalan yang dilewati angkutan umum yang menghubungkan antar desa tapi dalam frekuensi yang masih sangat sedikit. Penduduk harus membayar ojeg Rp 6 ribu – Rp 10 ribu untuk sekali jalan menuju kota kecamatan, yang berarti Rp 12 ribu – Rp 20 ribu untuk perjalanan berangkat dan pulang. Dibandingkan dengan upah standar untuk pertanian di desa yakni sekitar Rp 12.500 – Rp 15 ribu bagi buruh perempuan dan Rp 25 ribu untuk buruh laki-laki untuk kerja separuh hari (jarang sekali ada pekerjaan penuh hari di sana), biaya transportasi ini cukup mahal.

Sementara itu, meski secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Bogor, bukanlah hal yang mudah untuk bepergian dari kota Bogor menuju ke desa ini. Beberapa pegiat Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dari Desa Neglasari mengeluhkan lamanya waktu yang mereka butuhkan setiap kali mereka menghadiri undangan di Cibinong, ibu kota Kabupaten Bogor. Demi menghadiri undangan pada pukul 8 pagi di Cibinong, mereka harus berangkat pukul 4 pagi dari Balai Desa. Waktu yang dibutuhkan akan semakin lama (dapat mencapai 5-6

96

jam) jika mereka berangkat setelah jam 6 pagi, karena terdapat beberapa titik kemacetan di antara Kecamatan Jasinga dan Kota Cibinong.

Bukanlah hal yang sulit untuk menemukan para istri yang belum pernah pergi ke kota Bogor. Sebagian besar istri pada usia 40 tahun ke atas (atau yang umumnya sudah bercucu) adalah perempuan yang hampir tidak pernah meninggalkan desa seumur hidupnya, kecuali ke desa-desa tetangga untuk menghadiri hajatan, sementara sebagian besar istri berusia di bawah 40 tahun (atau yang belum bercucu) pernah bekerja di luar desa pada masa mudanya (migrasi sirkuler), tetapi kembali ke desa saat menikah, mengurus anak dan kemudian sangat jarang bepergian. Bekerja di luar desa di sini umumnya adalah ke wilayah Jakarta dan Tangerang yang secara administratif berbeda provinsi, tetapi lebih mudah diakses dibanding Cibinong sebagai ibu kota Kabupaten Bogor.

Bagi seorang perempuan yang telah memiliki anak di Desa Neglasari, bepergian ke luar desa merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Kebutuhan sehari-hari mereka peroleh dari kebun, dari tetangga atau dari warung. Umumnya, jarang sekali terdapat alasan bagi para perempuan ini untuk harus pergi meninggalkan desanya.

Saat penulis melakukan penelitian, di Desa Neglasari sedang terdapat kegiatan Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS). Kegiatan ini melibatkan banyak ibu-ibu dalam berbagai bidang kegiatan; seperti kegiatan Kesehatan, ekonomi mikro, dan pertanian. Masing- masing kegiatan tersebut masih dipecah menjadi beberapa sub kegiatan yang membutuhkan keterlibatan aktif para ibu sebagai indikator kesuksesan program.

Dalam hubungannya dengan kebebasan bergerak para perempuan, diketahui dari pelaksanaan program ini jika tidak semua perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan mengikuti program tersebut. Terdapat suami yang melarang istrinya mengikuti program ini meskipun suami sedang bekerja di luar kota dengan alasan khawatir atas terlantarnya anak-anak, meskipun program hanya dilaksanakan di Balai Desa yang masih berada dalam satu lingkup desa. Menemukan perempuan yang bebas mengambil keputusan untuk pergi

97

menghadiri kegiatan ini di luar desa, misal di kota kecamatan atau kabupaten adalah hal yang lebih sulit lagi. Umumnya, acara di luar desa ini akan dihadiri oleh beberapa orang yang tetap, salah satunya adalah istri kepala desa yang memang aktif mengajar di Kota Tangerang setiap harinya. Tidak berangkatnya ibu yang ditunjuk tidak semata-mata karena alasan dilarang suami, tetapi juga alasan khawatir meninggalkan anak, ada pula yang beralasan ekonomi, tetapi alasan ekonomi ini tidak dapat diterima karena para peserta tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun untuk biaya transportasi dan akomodasi. Istri kepala desa mengakui bahwa jauh lebih sulit untuk meminta seorang ibu mengikuti kegiatan di luar desa dibandingkan meminta suaminya untuk berangkat.

Lebih lanjut, diketahui bahwa pada umumnya tidak berangkatnya para perempuan ke kegiatan-kegiatan ini bukan semata-mata karena jauhnya perjalanan yang ditempuh, tetapi lebih kepada lama waktu kegiatan tersebut. Seorang istri menyebutkan bahwa dia tidak perlu meminta izin pada suaminya untuk bepergian ke pasar yang berada di luar desa jika hanya memakan waktu 2 atau 3 jam, tetapi saat ia ke balai desa yang lokasinya hanya 30 menit dari tempat ia tinggal dari pagi sampai sore, ia perlu meminta izin sebelumnya atau suaminya akan marah. Umumnya responden yang diwawancarai memiliki suami yang bekerja di luar desa.

Seorang responden dengan suami yang tinggal di desa mengatakan bahwa ia memang tidak ingin untuk bepergian meskipun diajak suaminya, alasan kesehatan adalah alasan utama yang ia sampaikan. Suami sang responden yang bekerja di desa mengatakan bahwa ia kerapkali mengajak istrinya untuk bepergian saat ia mendapat acara bepergian gratis dari desa sebagai staf desa tetapi sang istri selalu menolak karena setiap kali bepergian menggunakan mobil, ia mabuk darat. Untuk bepergian di dalam lingkup desa, istri menyatakan bahwa ia tidak perlu minta izin kepada suami karena ia pasti mengizinkan.

Selain dilihat dari situasi yang ada saat ini, kebebasan dalam bergerak dilihat pula pada masa sebelum pernikahan sang responden. Hal ini terutama berguna untuk nantinya memperhitungkan hubungannya dengan usia kawin perempuan. Terdapat kecenderungan bahwa perempuan memiliki kebebasan

98

bergerak saat ini, memiliki pula kebebasan bergerak pada masa lajangnya. Namun, tidak semua perempuan yang saat lajangnya memiliki kebebasan dalam bergerak kemudian masih memilikinya setelah menikah.

Meski demikian, pada satu kasus khusus, terdapat cerita bahwa perempuan dengan kebebasan bergerak yang terbatas saat sebelum menikah, kemudian memiliki kebebasan bergerak setelah menikah. Hal ini disebabkan oleh tanggungjawab ekonomi yang harus ia tanggung setelah menikah saat orangtuanya tiba-tiba mengalami sakit, sementara ada 2 orang adik yang masih ditanggung. Ia dengan ijazah SMAnya mengaktifkan diri ke dalam kegiatan- kegiatan pengajaran honorer dan kegiatan-kegiatan lain di desa sambil kemudian melanjutkan sekolah ke sebuah Universitas Terbuka. Sang suami yang merupakan lulusan SMP dan adalah pilihan orangtua perempuan tersebut tidak melarang karena menyadari pendapatan yang ia peroleh dari berjualan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan keluarga istrinya.

6.3.6.Kebebasan dalam Bergerak dan Fertilitas Aktual

Dalam hubungannya dengan actual fertility, kebebasan dalam bergerak berpengaruh melalui proximate determinant usia kawin dan penggunaan kontrasepsi. Sebagaimana dibahas dalam pembahasan sebelumnya, kebebasan dalam bergerak dipilah menjadi kebebasan dalam bergerak sebelum dan setelah menikah.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa perempuan-perempuan yang memiliki ruang gerak cukup luas sebelum menikah umumnya memiliki usia kawin yang lebih tua sehingga mempengaruhi jumlah anak yang mereka miliki. Umumnya mereka menikah di atas usia 20 tahun. Perempuan-perempuan ini, karena alasan menyelesaikan sekolah atau bekerja di kota lain memiliki kegiatan

lain sehingga tidak serta merta merasa “harus” menikah saat sudah 17 tahun

sebagaimana perempuan lain yang tidak memiliki aktivitas pada usia mudanya. Ketidakharusan ini mungkin juga muncul karena mereka tidak tinggal di desa selama masa sekolah atau masa kerjanya, hanya pulang setiap akhir minggu, sehingga mereka tidak merasakan langsung gunjingan dari warga lain. Wawancara dengan informan menunjukkan hal ini.

99 “Adik saya baru nikah di usia 26 tahun, baru saja nikah kemarin, tapi dia memang tidak tinggal di sini. Kerja di Jakarta, jadi tidak pusing sama omongan orang. Kalau tinggal di sini mungkin sudah gak kuat denger omongan orang. Saya aja yang kakaknya suka risih kalau ada yang nanyain. Sekarang juga habis nikah dia langsung pergi lagi, tinggal di

dekat pasar Ciampea, nemenin suaminya jualan di sana.” (Ibu S, 35 tahun) Selain kebebasan bergerak saat sebelum menikah, kebebasan bergerak juga dilihat pada responden-responden setelah menikah. Jika responden-responden yang relatif bebas bergerak saat ini telah memiliki kebebasan sebelum menikah, cerita yang muncul adalah identik dengan pembahasan di atas. Maka terdapat pembahasan lain bagi responden yang sebelum menikah tidak memiliki kebebasan tetapi kemudian memiliki kebebasan bergerak setelah menikah. Bagi para responden ini, mereka menikah pada usia muda, namun kemudian memiliki ide lain untuk anak-anak yang saat ini mereka miliki. Hal ini nampak pada petikan wawancara berikut.

”Saya sudah ngalamin sendiri Mbak, nikah di usia muda, saya dijodohkan

dan dinikahkan langsung setelah lulus SMA dengan lelaki pilihan orangtua saya. Saya nantinya tidak akan ngelakuin itu ke anak saya, biar dia cari pengalaman hidup dulu sebelum nikah. Saya sekarang memang lebih bebas ke mana-mana dibanding dulu saat masih sama orangtua, tapi tetap beda rasanya kalau ada anak di rumah yang mesti diurus.” (Ibu R, 35 tahun, seorang guru honorer untuk Pendidikan Anak Usia Dini dan SD di desa)

Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa berdasarkan pengalamannya sendiri, dia merasakan bahwa saat ini perempuan seharusnya lebih bebas dalam mengatur keputusan-keputusan dalam kehidupannya, apalagi terkait pernikahan. Apa yang ia nyatakan sebagai pengalaman hidup adalah bersekolah atau bekerja sehingga sang anak mampu memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dia. Upaya

pencarian “pengalaman hidup” ini nantinya akan menjadi penunda usia perkawinan sehingga sang anak nantinya tidak akan menikah pada usia yang terlalu muda.

100

Dalam kaitannya dengan penggunaan kontrasepsi, perempuan yang lebih bebas bergerak lebih mampu mengakses layanan bidan dan puskesmas demi memperoleh informasi dan layanan kontrasepsi. Transfer informasi ini berguna sehingga para perempuan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan terkait desired fertilitynya. Mereka mampu menyebutkan dengan jelas jumlah anak yang mereka inginkan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan dengan kebebasan bergerak memiliki akses untuk melakukan pertukaran informasi dengan pihak-pihak luar, sehingga membentuk pandangan baru bagi mereka setelah melihat situasi luar. Sementara perempuan-perempuan dengan kebebasan bergerak yang terbatas umumnya menyatakan rencana tentang jumlah anak

sebagai “rencana Tuhan”.

Selain itu, dengan kebebasannya dalam bergerak, para perempuan tersebut setelah memutuskan jumlah anak yang diinginkannya akan mampu mengakses layanan kontrasepsi dengan lebih mudah dibandingkan perempuan lain yang memiliki keterbatasan dalam bergerak. Mereka akan lebih mudah untuk mengambil keputusan pergi ke puskesmas untuk mengakses layanan kontrasepsi yang mereka butuhkan. Di desa studi, diketahui bahwa jumlah anak lahir pada perempuan yang bebas bergerak adalah lebih sedikit dibandingkan para perempuan yang pergerakannya lebih terbatas.

6.3.7.Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh Individu.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga umumnya dikerjakan oleh istri. Hal ini terjadi mungkin karena sebagian besar suami tidak tinggal di desa melainkan tinggal di luar desa untuk bekerja dan hanya pulang satu sampai 4 kali dalam sebulan untuk menemui istri dan anak-anaknya. Pengamatan yang dilakukan pada beberapa rumah tangga dengan suami yang tinggal di rumah, pembagian kerja domestik dan publik tidak terlalu ketat. Penulis mendapati sebuah rumah tangga di mana suamilah yang mengurus semua pekerjaan rumah, sementara istri mengurus warungnya yang ramai, warungnya adalah warung paling besar di desa. Pembagian kerja ini bukan karena suami tidak bekerja, tetapi karena pekerjaan suami sebagai penangkap ikan hanya dilakukan

101

beberapa hari dalam seminggu sehingga ia memiliki lebih banyak waktu di rumah. Pengamatan di rumah tangga lain menunjukkan ada seorang ustadz yang sering membantu istrinya memasak, ustadz ini bukanlah asli dari Desa Neglasari. Seorang suami lain yang bekerja di desa sebagai buruh tani dan pekerjaan serabutan lain juga terlihat membantu istri menyapu rumah atau mencuci bajunya sendiri saat mandi.

Dilihat dari asal suami atau istri, secara umum, pembagian kerja yang relatif lebih ketat umumnya ditemukan pada pasangan penduduk asli dan yang tidak tinggal bersama. Sementara pembagian kerja yang relatif longgar ditemukan pada pasangan yang salah satu atau dua-duanya bukan penduduk asli. Dalam relatif ketatnya pembagian kerja pada pasangan penduduk asli, hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa ada kecenderungan pada pasangan penduduk asli untuk memandang bahwa pekerjaan domestik memang sepatutnya dikerjakan oleh istri. Di sisi lain, saat rumah tangga berada dalam situasi ekonomi yang kurang baik, adalah hal yang dianggap wajar bagi istri untuk membantu berkontribusi ke dalam ekonomi rumah tangga melalui pekerjaan memburuh atau mencari kayu. Sebaliknya, saat istri sibuk dan suami memiliki waktu yang relatif longgar, maka suami mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, meski kadang terdapat keengganan.

Pembagian kerja yang tidak begitu ketat ini sesuai dengan apa yang mereka pahami dari ajaran agama mengenai kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga. Berikut adalah petikan pendapat ibu-ibu dalam sebuah diskusi informal dengan peneliti.

Semua urusan rumah tangga sebenarnya adalah tanggung jawab lelaki. Baik kewajiban untuk mencari nafkah, sampai kewajiban memasak, mencuci dan mengurus rumah. Kewajiban istri yang jelas adalah mengandung, melahirkan dan mengurus anak. Namun, jika para istri kemudian saklek melakukan ini dan tidak melakukan apapun untuk

membantu suami, maka kita tidak akan mendapatkan ganjaran (pahala)”.

102

Dalam konsep ini, bukanlah hal yang wajib bagi perempuan untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Hal-hal yang kemudian mereka lakukan sifatnya hanya membantu suami. Hal ini sedikit berbeda dengan pemahaman tentang Islam konservatif yang melekatkan tugas-tugas tersebut pada perempuan sebagai kewajiban sebagaimana disampaikan Basya (2003). Meski sedikit berbeda, hal yang kemudian harus digarisbawahi adalah kesamaan mengenai lingkup perempuan di wilayah domestik.

Pembagian kerja lebih ketat terjadi pada pasangan suami istri yang tidak tinggal bersama. Namun demikian hal ini tidak pula berlaku secara keseluruhan. Meski hanya pulang beberapa kali dalam sebulan, seorang istri menyatakan bahwa suaminya sangat rajin melakukan pekerjaan rumah tangga saat sedang di rumah; istri tersebut adalah penduduk asli desa, sementara suaminya adalah pendatang. Meski pembagian kerja tidak terlalu ketat, umumnya, bagi suami istri yang keduanya penduduk asli, pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh istri. Berikut disampaikan petikan wawancara dengan seorang responden perempuan yang suaminya bukan orang asli Desa Neglasari dan saat ini bekerja di Jakarta sebagai sopir pribadi. Suami hanya pulang sekali dalam dua minggu sampai satu bulan. Di rumah, perempuan tersebut saat ini tinggal dengan 3 orang anaknya.

“Saya gak tahu kalau suami-suami yang lain Teh, tapi suami saya tiap pulang rajin sapu-sapu dan cuci baju sendiri. Saya tiap mau bangun pagi- pagi untuk masak gak dibolehin, disuruh santai-santai saja. Buat makan, tiap dia pulang, biasanya kita beli saja. Tapi lama-lama kan kasihan suami kalau beli terus, lagian saya juga pingin masakin suami sekali-sekali pas

dia di rumah, jadi saya suka maksa biar saya masakin.” (Ibu S, 35 tahun) Dari kalimat tersebut, kita dapat menangkap kesan bahwa sang istri memang tidak wajib melakukan pekerjaan rumah, tetapi hal tersebut di luar wilayah keputusannya. Dia hanya menjalankan keputusan sang suami yang memintanya untuk tidak melakukannya. Hal ini sejalan dengan petikan wawancara berikutnya tentang mobilitas istri.

Suami saya suka marah di telpon jika saya pergi ke balai desa sampai sore sehingga anak-anak tidak ada yang ngurus.” (Ibu S, 35 tahun)

103

Alasan melarang istri untuk pergi demi mengurus anak agak janggal karena saat ini anak-anak dari ibu tersebut sudah relatif besar, ketiga anaknya saat ini bersekolah SMA, SMP dan SD kelas 4.

Pendapat para responden yang diwawancara juga menyatakan bahwa responden yang memiliki pasangan pendatang memiliki pemikiran yang lebih fleksibel mengenai pembagian kerja domestik dibandingkan pasangan penduduk asli. Pada pasangan penduduk asli, responden menyatakan bahwa pekerjaan domestik lebih pantas dilakukan oleh perempuan, lelaki adalah untuk mencari nafkah. Sebagaimana tampak dalam hasil wawancara berikut.

“Lelaki sih memang sudah wajibnya cari makan buat istri dan anak, biar

istri yang urus rumah. Kadang-kadang bapak bantu-bantu kerjaan rumah,

tapi rasanya gak pantes kalau keseringan”(Ibu M, 45 tahun)

Namun, karena kondisi ekonomi yang sulit, maka mereka juga menyatakan bahwa jika memungkinkan, akan lebih baik jika para perempuan juga memiliki kontribusi ke dalam ekonomi rumah tangga.

“Sebenarnya kami juga bosan duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol seperti ini tiap hari Mbak. Apalagi jika anak-anak sudah pada gede (sudah usia sekolah dan tidak perlu diasuh lagi). Ngurus rumah dan masak sudah selesai. Kalau ada kerjaan buat nambah-nambah jajan anak sih mau juga, tapi ngapain? Sawah gak punya, buruh sawah juga tidak ada yang

mburuhin.” (Ibu-ibu saat diskusi informal dengan peneliti)

Sikap gender lain yang menarik adalah pandangan bahwa urusan melahirkan adalah urusan perempuan. Pada masa kelahiran, peran utama untuk membantu urusan sebelum, menjelang dan setelah masa persalinan istri adalah oleh ibu, baik ibu dari istri, atau ibu dari suami. Selain ibu, nenek dan saudara perempuan juga berperan penting, sementara suami hanya mengamati saja. Bukanlah hal yang aneh meski sehari-hari sang istri hidup di rumah mertua, tetapi saat melahirkan dan beberapa minggu setelahnya ia kembali ke rumah ibunya. Atau saat pasangan tersebut sudah tidak tinggal bersama orangtua, maka ibu dari sang istri umumnya akan mendatangi rumah mereka dan membantu sampai ibu yang baru melahirkan bisa kembali mandiri. Peran membantu kelahiran yang dimaksud di sini termasuk

104

mengantarkan ke bidan, mengurus makanan, mencucikan baju dan mengurus bayi. Seorang ibu yang bekerja sebagai petani dengan beberapa cucu mengatakan dalam wawancara.

Semakin banyak cucu, semakin sering saya ninggalin sawah”. (Ibu J, 47 tahun memiliki 9 anak dan 5 orang cucu).

Lekatnya isu fertilitas dengan perempuan dapat dilihat pula pada kasus lain, di mana orangtua perempuan dari sang ibu baru tidak dapat atau tidak mampu mengurus anaknya yang baru saja melahirkan. Pada kasus ini, sang ibu baru akan diurus oleh kakak perempuannya atau adik perempuan orangtuanya. Hal ini sejalan dengan temuan Wahyuni (2000) yang menemukan pada penelitiannya di kalangan migran yang berasal dari Jawa Tengah, bahwa saat para migran tersebut bekerja di luar daerah mereka, tanggungjawab kepengurusan anak berpindah kepada ibu atau adik perempuan istri.

Mengenai pandangan mengenai poligami; meski dilakukan oleh beberapa kiai dan tokoh lain di desa, poligami tetap menjadi pergunjingan para warga ke arah konotasi negatif. Hal ini menunjukkan secara umum ketidaksetujuan warga terhadap poligami dengan alasan karena umumnya poligami dilakukan atas keputusan suami saja tanpa mempertimbangkan pendapat dan perasaan sang istri.

Sikap gender lain yang menarik di kalangan penduduk adalah fleksibilitas mereka dalam memandang setiap ajaran kiai. Ungkapan yang disampaikan oleh seorang lelaki, tokoh pada pemerintahan desa mencerminkan hal tersebut.

Kalau nanya pak kiai sih, ya pasti gak boleh ikut KB; tapi memangnya kalau anak kita banyak, dia yang mau ngasih makan?” (Bapak K, tokoh pemerintahan Desa Neglasari).

Ungkapan yang disampaikan oleh Bapak K ini ditemukan pula pada sebagian responden ibu-ibu saat diskusi informal. Tetapi ibu-ibu tersebut tidak menyatakan dengan segamblang pernyataan Bapak K.

“Ya, mungkin memang membatasi jumlah anak sebaiknya jangan

dilakukan, tetapi kalau anaknya banyak terus terlantar, kita jadi dosa juga kan ya Teh?.” (ungkapan ibu-ibu waktu diskusi informal)

105

Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan yang saat ini diinternalisasi adalah nilai-nilai yang tidak saklek, melainkan nilai-nilai yang diadaptasikan dengan situasi yang ada saat ini. Seorang tokoh perempuan menyatakan pendapatnya mengenai kiai dengan lebih tegas.

“Kemarin saat ada penyuluhan KB dari kecamatan, ada tayangan pakai in

focus ke ibu-ibu. Eh di tengah-tengah (kegiatan), para santri datang ke balai desa dan ngebubarin acara, kata kiainya gak boleh ada tayangan seperti itu di sini. Kalau begini caranya, kapan desa ini mau maju? Sedikit- sedikit dilarang.” (Ibu S, 45 tahun, tokoh penggerak kegiatan perempuan di

Dokumen terkait