1
RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA
NEGLASARI, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN
BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT
DIAN EKOWATI
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis penulis yang berjudul “Relasi Gender
Dan Fertilitas Di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat”, adalah karya penulis sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
3
ABSTRACT
DIAN EKOWATI. GENDER RELATION AND FERTILITY IN NEGLASARI VILLAGE, JASINGA SUB-DISTRICT, BOGOR REGENCY, WEST JAVA PROVINCE. Fertility is not merely a biological or demographical issue. Since it is embedded to social relation of human being, it is closely related to their desire and values. Seeing fertility beyond numbers will be useful to explore the desire of each actor, how do they relate to each other and with the community, values and other sociological and psychological aspect embedded in the activity. This research tries to explore the way the relation between gender and fertility work, especially since there is no generic theory has been built on the ground of this subject. The research employed qualitative method to explore and gain understanding on how the women relate to other actor. Taking advantage from previous researches, the framework is built on Mason and Smith (2003) women autonomy aspect, desired fertility and Bongaarts (1982) proximate determinant concept. Proximate determinants are employed to link the gap between social-economic and biological variables, as there is an undeniable fact that fertility is the result of a biological activity. Result of the research shows that although the value in the community as a traditional Islamic community suggests high number of fertility, women in this study area to some extent able to manage their control over fertility. The control is operated through desired fertility and the proximate determinants, i.e. using of contraception and postponing age of marriage which are affected by women autonomy and power aspects as proposed by Mason and Smith (2003). The referred women autonomy and power aspects are women’s economic decision-making power, their family size decision-making power, their physical freedom of movement, community-level gender attitude measures, and their space in household decision-making. The conclusion of study shows that in the area studied, using of contraception is more likely to affect actual fertility than postponing age of marriage.
4
RINGKASAN
Dian Ekowati. Relasi Gender dan Fertilitas di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dengan bimbingan; Ekawati Sri Wahyuni dan Said Rusli.
Fertilitas atau kelahiran anak pada manusia bukanlah sebuah isu yang hanya menarik untuk dikaji dari sudut pandang biologi ataupun demografi. Keterlekatannya pada manusia yang memiliki relasi sosial dan nilai-nilai membuat isu ini juga menarik untuk dikaji dari sisi sosiologi, psikologi dan antropologi. Dalam sebuah keluarga, keputusan atas fertilitas mencerminkan relasi kuasa antar aktor yang berada di dalam keluarga dan nilai-nilai yang mereka anut yang merupakan cerminan dari interaksi dengan nilai-nilai yang berlaku di tataran komunitas. Penelitian ini akan mencoba menggali hubungan antara relasi gender dan fertilitas. Relasi gender dalam keluarga menggambarkan bagaimana akses dan kontrol suami dan istri pada setiap keputusan keluarga. Sementara fertilitas yang dirujuk di sini adalah actual fertility yang berarti jumlah anak hidup yang pernah dilahirkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana cara relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan, yakni: 1. Mengkaji karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa studi, 2. Mengkaji kondisi fertilitas di desa studi, dan 3. Menjelaskan bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas di desa studi. Lokasi penelitian yang dipilih adalah sebuah komunitas desa yang kental dengan atmosfer Islam konservatif. Komunitas tersebut sengaja dipilih karena Islam konservatif dikenal memiliki ajaran yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki melalui doktrinnya yang melekatkan perempuan hanya pada fungsi domestik dan reproduksi. Doktrin ini juga dibarengi dengan nilai-nilai dalam Islam konservatif yang menyarankan anak dalam jumlah sebanyak mungkin.
5
Metode penelitian yang dipilih adalah kualitatif dalam upaya menggali nilai dan makna yang bekerja dalam proses pengambilan keputusan pengambilan anak pada sebuah komunitas Islam konservatif. Metode ini juga bermanfaat untuk menggali bagaimana perempuan, di mana fungsi fertilitas terlekat, berelasi dengan aktor lainnya dalam keluarga dan dengan struktur yang lebih luas.
Penelitian ini menemukan bahwa meskipun nilai-nilai di level komunitas menyarankan anak dalam jumlah yang banyak, tetapi variasi otonomi dan kuasa perempuan di desa studi menghasilkan actual fertility yang berbeda antar individu responden. Di desa studi, hal ini bekerja dengan cara berikut, semakin tinggi aspek otonomi dan kuasa perempuan (terutama aspek kebebasan dalam bergerak), semakin rendah desired fertilitynya. Lalu di antara perempuan dengan desired fertility rendah tersebut, perempuan-perempuan dengan otonomi dan kuasa yang tinggi akan lebih leluasa mengambil keputusan atas pengunaan kontrasepsi sehingga actual fertilitynya semakin rendah.
6
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
7
RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA
NEGLASARI, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN
BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT
DIAN EKOWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
8
Terima Kasih Kepada Dr. Ir. Saharudin, M.Si,
9 Judul Tesis : Relasi Gender dan Fertilitas di Desa Neglasari, Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Nama : Dian Ekowati
NRP : I353080091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS. Ir. Said Rusli, MA.
Ketua Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
11
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayahnya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, penulis bersyukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan belajar di Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyesaikan tanggung jawab akademik ini.
Dengan penuh rasa tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, penulis ingin mengucapakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di lingkungan Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para keluarga dan sahabat yang telah secara langsung maupun tidak telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tesis ini, mereka adalah;
1. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS., dan Ir. Said Rusli, MA., selaku Pembimbing Tesis. Terimakasih atas bimbingan, motivasi dan kesabaran luar biasa yang dilimpahkan kepada penulis dalam proses panjang penulisan tesis ini. Kesempatan memperoleh bimbingan langsung dari beliau berdua adalah kesempatan belajar yang luar biasa bagi penulis.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan, Msc. Agr., selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Studi, yang selalu memberi motivasi dan memacu penulis untuk menyelesaikan studi di Mayor Sosiologi Pedesaan.
3. Dr. Ir. Saharudin MSi., selaku dosen Penguji Luar Komisi. Terima kasih telah begitu murah hati dalam meluangkan waktu, memberi masukan, kritikan dan motivasi kepada penulis sehingga memacu penulis untuk memperbaiki tesis ini lebih jauh.
4. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2008: Gentini, Eko Cahyono, Usep Setiawan, Aldi Basir, Nendah Kurnisari, Favor A. Bacin, dan Nurul Hayat yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Penulis akan selalu merindukan waktu kebersamaan bersama semua anggota keluarga kecil ini, semoga tali kekeluargaan ini tidak terputus begitu saja.
5. Staff administrasi: Mbak Anggra, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta staff Departemen Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang telah sangat membantu proses panjang administrasi. Tanpa kebaikan hati beliau-beliau, tidak mungkin penulis sampai ke titik ini.
12
Juga kepada rekan-rekan Mbak Laksmi, Mas Shohib, Bang Oji, Dewi, Yusuf, Chindra, Uswatun, Yeni, Nunik, Didi, Saluang, dan Fera yang selalu mendukung dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk terus belajar.
7. Persembahan khusus penulis sampaikan untuk masyarakat Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang telah menerima penulis dengan tangan terbuka dan memungkinkan penulis untuk belajar dalam komunitas mereka. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Sadawiyah, Ibu Rihana, Bapak Lurah, Ibu Sri, Bapak Juhdi dan warga desa lain yang tidak dapat penulis sampaikan satu persatu, terimakasih atas kemurahan hati Ibu-ibu dan Bapak-bapak.
8. Akhirnya, tesis ini penulis persembahkan untuk orang tua penulis di Wonogiri; Ibu Tuti Trihatmi dan Bapak Edris yang selalu mempercayai, memberikan kesempatan, doa dan dukungan bagi penulis untuk mencapai setiap mimpi penulis. Juga kepada kedua orang tua penulis di Subang; Ibu Ani Rochaeni dan Bapak Didi Achmadi yang selalu mengirimkan doa kepada penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan dan kebahagiaan bagi mereka berempat. Tesis ini juga penulis persembahkan untuk adik-adik penulis: Ismi, Taufiq, Andina, dan Uci yang selalu memberikan doa dan dukungan demi kemudahan proses penulisan tesis ini.
Secara khusus, penulis hendak menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada pasangan hidup dan suami penulis; Yusuf Rahadian yang selalu memberikan kepercayaan, dukungan, kesabaran, dan semangat bagi penulis untuk menggapai setiap mimpi dan menjadi manusia yang bermanfaat.
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan di bidang sosial demografi. Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan berkah, hidayah dan rejeki kepada kita semua. Amin.
Bogor, April 2012
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Desa Manjung di Kecamatan/ Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 8 Mei 1983 dan merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Edris dan Ibu Tuti Trihatmi. Penulis menempuh pendidikan dasar di desa yang sama dan melanjutkan pendidikan menengah di Kecamatan Wonogiri, yakni Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Wonogiri dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Wonogiri. Penulis lulus dari SMAN 1 Wonogiri pada tahun 2001.
Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada jenjang Strata 1 melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis lulus dari jenjang Strata 1 pada tahun 2006. Setelah lulus, penulis bergiat di Sajogyo Institute sebagai peneliti sampai saat ini. Dalam upaya pembelajaran mengenai sosiologi pedesaan lebih dalam dan inspirasi dari Bapak Sajogyo, pada tahun 2008, penulis memutuskan melanjutkan studi di jenjang Strata 2 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan kursus pendek mengenai metode penelitian di bidang agraria dan pengembangan pedesaan di Institute of Social Science, Den Haag.
14
2.1. Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga ...
2.2. Relasi Gender dan Fertilitas ...
2.3. Proximate Determinant Fertilitas ... 2.4. Kerangka Pemikiran ...
2.5. Hipotesis Pengarah ...
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian ...
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...
3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data ...
3.4. Teknik Analisis Data ...
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Pendahuluan ...
4.2. Provinsi Jawa Barat ...
4.2.1. Konteks Geografis dan Administratif ...
15
4.2.3. Konteks Sosial Budaya ...
4.3. Desa Neglasari ...
4.3.1. Konteks Geografis dan Administratif ...
4.3.2. Fasilitas Umum ...
4.3.3. Konteks Sosial Budaya...
4.3.4. Konteks Sosial Ekonomi ...
4.3.5. Gejala Tekanan Penduduk ...
V. FERTILITAS DI DESA STUDI
5.1. Pendahuluan ...
5.2. Konteks Demografis ...
5.3. Gambaran Fertilitas di Desa Studi ...
5.4. Usia Kawin ...
5.5. Penggunaan Kontrasepsi ……… ... 5.6. Nilai Fertilitas bagi Perempuan dan Lelaki ...
5.7. Nilai Anak ...
5.8. Desired Fertility...... 5.9. Ikhtisar ...
VI. RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA STUDI
6.1. Pendahuluan ...
6.2. Relasi Gender dalam Pola Perkawinan ...
6.3. Aspek Otonomi dan Kuasa Perempuan ...
6.3.1. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Ekonomi Rumah Tangga ...
6.3.2. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Ekonomi Rumah Tangga dan Fertilitas Aktual ………... 6.3.3. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
tentang Ukuran Keluarga ...
6.3.4. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
tentang Ukuran Keluarga dan Fertilitas Aktual ………...
16
6.3.6. Kebebasan dalam Bergerak dan Fertilitas Aktual ...
6.3.7. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh
Individu ...
6.3.8. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh
Individu dan Fertilitas Aktual...
6.3.9. Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan
Keputusan ...
6.3.10.Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan
Keputusan dan Fertilitas Aktual...
6.3.11.Relasi Gender dan Lapisan Sosial ...
6.4. Ikhtisar ...
VII. PENUTUP
7.1. Pendahuluan...
7.2. Kesimpulan ...
7.3. Saran ……...
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
78
80
87
91
94
95
96
99
101
17
Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, Tahun 2007 dan 2008
Empat Pola Perkawinan
Indikator Demografi Provinsi Jawa Barat Tahun 1971-2010
Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Jawa Barat, Tahun 2008
Tingkat Pengangguran Terbuka Pemuda Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah, Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Pulau Jawa, Nasional, Tahun 2007
Kategori Pelapisan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Neglasari
Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Desa Neglasari, Tahun 2008 dan 2011
Sebaran Usia Penduduk Desa Neglasari, Tahun 2011
Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Neglasari, Tahun 2011
Fertilitas Responden Desa Neglasari, Tahun 2011
Angka Bayi Lahir Desa Neglasari, Tahun 2009-2011
18
Dalam Lampiran Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Angka Fertilitas Total (AFT) Menurut Pulau di Indonesia Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1991, 1994, 1998, 1999, dan 2007
Angka Fertilitas Total menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1991, 1994, 1998, 1999, dan 2007
Usia Rata-rata Perempuan Saat Pertama Kawin untuk Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Tahun 1994, 1997, 2002 dan 2003.
Indikator Demografi terkait Fertilitas dan Relasi Gender Provinsi Jawa Barat/Pulau Jawa/Indonesia, Tahun 1971-2007
Penggunaan Kontrasepsi pada Responden Perempuan dan Jumlah Anak yang Dilahirkan, Responden Usia 30-59 Tahun, Tahun 2011
4
5
6
30
19
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Kerangka Fikir Penelitian Relasi Gender-Fertilitas
Peta Administratif Jawa Barat
Indikator Demografi terkait Fertilitas dan Relasi Gender Provinsi Jawa Barat/ Pulau Jawa/ Indonesia, tahun 1971-2007
17
29
20
DAFTAR LAMPIRAN
21
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak dalam sebuah keluarga bukanlah sekedar hasil sebuah kegiatan
biologis, tetapi melampaui itu, anak adalah hasil sebuah proses yang kompleks.
Kompleksnya proses yang terjadi tercermin dari proses pengambilan keputusan
mengenai anak dalam keluarga yang melibatkan keinginan-keinginan, motivasi
dan relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya. Kekompleksan dimensi dalam
kelahiran anak ini telah pula menarik para ahli tidak hanya dari kalangan
demografi, tetapi juga telah menarik perhatian ahli dari latar belakang sosiologi,
ekonomi, psikologi dan antropologi (Robinson dan Harbinson, 1983).
Kelahiran seorang anak dimulai dengan sebuah proses di dalam keluarga
yakni diambilnya keputusan untuk memiliki anak.1 Keputusan ini sendiri merupakan hasil dari sebuah diskusi atau tanpa diskusi; keputusan tanpa diskusi
terjadi karena salah satu pihak (suami atau istri) merasa bahwa apapun yang ia
putuskan adalah sama dan pasti disetujui oleh pihak lain (suami atau istri).
Keputusan tanpa diskusi dapat pula mencerminkan adanya dominasi dari satu
pihak (suami atau istri) kepada pihak lain (suami atau istri). Selanjutnya, proses di
dalam keluarga untuk menuju kelahiran anak adalah aktivitas biologis yang
memungkinkan istri untuk hamil. Selain proses di dalam keluarga, kelahiran
seorang anak juga mencakup proses di luar keluarga, di mana kelembagaan
komunitas, agama, adat, budaya, dan pemerintah memiliki pengaruh.2 Kelembagaan-kelembagaan di luar keluarga ini mempengaruhi nilai-nilai di dalam
keluarga terkait anak.
1
Hal ini merujuk pada kondisi yang umum ditemukan di budaya Indonesia, di mana anak berada dalam wilayah keputusan keluarga yang utamanya terdiri atas suami dan istri, bukan oleh pasangan yang tidak menikah dan tidak membentuk keluarga.
2
22
Keputusan dalam keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan disebut
dengan istilah desired fertility3. Sebagaimana disinggung dalam paragraf sebelumnya, desired fertility tidak semata-mata ditentukan oleh motivasi dan keinginan aktor-aktor yang berada di dalam keluarga, melainkan juga dipengaruhi
oleh kelembagaan-kelembagaan di luar keluarga yang mempengaruhi jumlah
anak, nilai anak dan norma-norma mengenai pembatasan kelahiran. Setelah
desired fertility diputuskan, proses yang selanjutnya terjadi adalah apakah hal tersebut dapat diakomodasi oleh kelembagaan KB (Keluarga Berencana) yang
memberikan pelayanan kontrasepsi untuk pembatasan kelahiran dan kesehatan
reproduksi. Semakin mudah dan murah akses keluarga terhadap sarana dan
prasarana kontrasepsi maka akan semakin mungkin jumlah anak yang dilahirkan
(actual fertility) mendekati jumlah anak yang diinginkan (desired fertility). Sebaliknya, jika akses keluarga terhadap sarana dan prasarana kontrasepsi
semakin sulit dan mahal, maka jumlah anak yang dilahirkan (actual fertility) akan semakin mendekati jumlah anak potensial dan jumlah anak lahir yang tidak
diinginkan (direncanakan) pun akan semakin semakin besar (Easterlin, 1975).
Studi mengenai desired fertility penting, mengingat bahwa Pritchett (1994) dalam Aggarwal (2006) menemukan bahwa 90 persen perbedaan actual fertility antar negara dapat diterangkan dengan desired fertility. Desired fertility adalah hasil keputusan atas jumlah anak dalam keluarga. Sebagaimana
keputusan-keputusan dalam keluarga yang lain, keputusan-keputusan ini melalui sebuah proses yang
mencerminkan hubungan antar anggota keluarga; terutama hubungan antara suami
dan istri, yang memperoleh pengaruh dari luar keluarga. Hubungan antar suami
istri tercermin dalam relasi gender dalam keluarga yang merupakan konstruksi
dari nilai-nilai dan norma sosial budaya pada level komunitas. Secara umum
ditemukan bahwa saat perbedaan peran gender antar perempuan dan laki-laki
semakin sedikit, perempuan memperoleh status dan kuasa di dalam masyarakat
dan mulai memiliki kontrol atas aspek reproduksinya (Riley, 1997). Lebih lanjut,
Riley (1997) menyebutkan bahwa saat perempuan memiliki otonomi lebih besar,
3
23
kesehatan ibu dan anak semakin meningkat, fertilitas dan kematian anak menurun
dan pertumbuhan penduduk akan lebih lambat.
Otonomi perempuan sebagai variabel untuk mengukur relasi gender, adalah
hal yang kompleks. Kompleksnya hal ini tercermin dari berbagai penelitian yang
memaknai otonomi atau status perempuan dengan cara yang berbeda. Beberapa
penelitian melihat otonomi perempuan dari kualitas individual, beberapa
contohnya adalah Hakim et al. (2003); Kabir, et al. (tidak ada tahun); dan Mahmoudian (2005). Hakim et al. (2003) memaknai otonomi perempuan dari 2 aspek yakni mobilitas dan pengambilan keputusan domestik. Kabir et al. (tidak ada tahun) memaknai status perempuan dari pendidikan perempuan, pekerjaan
perempuan dan perannya dalam diskusi keluarga berencana. Sementara
Mahmoudian (2005) memaknai status perempuan melalui pendidikannya.
Mason dan Smith (2003) mengkritik cara melekatkan status perempuan
hanya pada kualitas individual sebagaimana dilakukan para peneliti tersebut dan
menyarankan untuk melihat otonomi dan kekuasaan perempuan di dalam rumah
tangga juga dari konteks sosial budaya di level komunitas. Kritikan ini didasarkan
pada temuannya di 5 negara di Asia (India, Malaysia, Pakistan, Thailand dan
Filipina) yang menyimpulkan bahwa otonomi perempuan di level individu
berkorelasi lemah dengan variabel-variabel terkait fertilitas. Meskipun demikian,
menurutnya, perbedaan level sosial ekonomi antar individu perlu mendapatkan
perhatian. Mason dan Smith (1999) menyebutkan bahwa dalam sistem sosial
budaya di mana komunitas mendorong seklusi dan domestifikasi perempuan,
maka situasi sosial ekonomi yang lebih rendah akan memperbesar otonomi
perempuan. Namun, dalam sistem sosial budaya yang mendorong inklusi dan
kebebasan perempuan, maka situasi sosial ekonomi keluarga yang rendah akan
memperendah otonomi perempuan.
Indonesia, negara tempat penelitian ini dilakukan, pernah mengalami
penurunan actual fertility yang signifikan. Namun, hal tersebut dilakukan melalui sebuah mekanisme yang tidak melibatkan keluarga dan kelembagaan komunitas di
sekitarnya, tetapi semata-mata oleh sebuah lembaga pemerintah negara yang
24
warga negara untuk melakukan pembatasan jumlah anak dan menyediakan sarana
untuk melakukan hal ini. Program ini berhasil menurunkan jumlah anak secara
signifikan4.
Tabel 1 Lampiran menunjukkan bahwa AFT pada tahun 1971 adalah 6, lalu
terus mengalami penurunan menjadi 5 (tahun 1980), 4 (tahun 1985) dan 3 (tahun
1990). Angka tersebut kemudian berhenti pada kisaran 2,6 pada tahun 1998
sampai tahun 2007. Akhir 1970-an sampai awal 1990-an adalah masa di mana
pemerintah Orde Baru gencar mencanangkan gerakan KB. Masa itu adalah masa
keemasan kesuksesan program KB dalam menurunkan angka kelahiran, tetapi
cerita-cerita pemaksaan penggunaan alat pembatasan kelahiran pada akseptor
telah merusak keberhasilan itu. Pemaksaan penggunaan kontrasepsi pada masa itu
juga menunjukkan bahwa keinginan atas jumlah anak yang sedikit berada di pihak
pemerintah, bukan di pihak keluarga, dan bahwa perempuan tidak memiliki hak
atas keputusan tersebut.
Saat pemerintahan Orde Baru berakhir, kelembagaan KB yang didirikan
oleh pemerintah Orde Baru juga mengalami kemunduran yang signifikan seiring
dengan perubahan kebijakan dan era otonomi daerah (pada tahun 1999) yang
memungkinkan setiap pemerintah daerah menentukan sendiri prioritas
kegiatannya (Permana, 2009). Selain itu, BKKBN menyatakan bahwa sebab
utama keberhasilan pelembagaan KB pada Orde Baru adalah karena dukungan
dana yang besar dari donor luar negeri yakni World Bank, hal yang tidak lagi
diperoleh setelah era 1990-an berakhir (Permana, 2009 dan Munir, 2012).
Berdasarkan wilayahnya, Tabel 1 Lampiran menunjukkan bahwa Pulau Bali dan
Pulau Jawa memiliki AFT5 terendah (peringkat pertama dan kedua) dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, yakni 2,1 dan 2,25 pada tahun 2007. Sementara itu
di tahun yang sama (2007) Pulau Maluku dan Pulau Nusa Tenggara memiliki
AFT tertinggi yakni 3,55 dan 3,50.
4
Program Keluarga Berencana (KB) diinisiasi oleh pemerintah Orde Baru pada akhir tahun 1970-an, data dari BKKBN menunjukkan bahwa presentase peserta KB di Indonesia pada tahun 1970 kurang lebih adalah 5persen lalu meningkat menjadi 26persen, 48persen dan 57persen pada tahun 1980, 1987, 1997 secara berurutan. Angka ini tidak lagi mengalami peningkatan signifikan setelah program KB mengalamai stagnasi di masa reformasi.
5
25
Lebih lanjut, data pada Tabel 2 Lampiran menunjukkan bahwa pada tahun
2007, Provinsi Banten dan Jawa Barat memiliki AFT yang jauh lebih tinggi
dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, yakni berada di angka yang
sama: 2,6, sementara AFT rata-rata Pulau Jawa pada tahun yang sama (2007)
adalah 2,25. Angka 2,6 yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat dan Provinsi
Banten menyamai AFT rata-rata nasional tahun yang sama (2007) yakni 2,6.
Sebelum Provinsi Banten memisahkan diri dari wilayah Jawa Barat pada tahun
2000, Provinsi Jawa Barat selalu menjadi provinsi dengan AFT tertinggi di Pulau
Jawa sejak tahun 1971. Setelah pemisahan Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat
dan Provinsi Banten bersama-sama menjadi 2 provinsi di Pulau Jawa dengan AFT
tertinggi. Kesenjangan AFT antara Provinsi Jawa Barat dengan provinsi-provinsi
lain di Pulau Jawa yang cukup besar menjadikan provinsi ini menarik untuk dikaji
lebih jauh.
Penulis menampilkan data lain yang secara sekilas menggambarkan kondisi
Provinsi Jawa Barat terkait dengan isu kemiskinan, relasi gender dan fertilitas
pada Tabel 1. Merujuk pada Tabel 1 Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka
mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, tahun 2007 dan 2008, menarik
untuk diperhatikan bahwa angka partisipasi sekolah perempuan usia sekolah,
pengguna kontrasepsi dan angka kehadiran penolong persalinan terlatih saat
persalinan di Provinsi Jawa Barat lebih rendah dari rata-rata nasional. Padahal
Provinsi Jawa Barat adalah provinsi yang relatif dekat dengan ibu kota negara;
Jakarta. Rendahnya persentase pengguna kontrasepsi dapat disebabkan oleh
beberapa hal; tidak ingin melakukan pembatasan kelahiran (desired fertility tinggi) atau tingginya biaya kontrasepsi (Easterlin, 1975).
Sementara itu, rendahnya angka kehadiran penolong persalinan selain
dikarenakan oleh faktor sosial ekonomi, dikarenakan pula oleh faktor budaya.
Temuan Hartiningsih dan Pambudy (2010) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat menunjukkan adanya kematian ibu saat persalinan karena budaya setempat
yang menyatakan bahwa keputusan pertolongan persalinan ada di tangan suami
atau ayah mertua, sementara kedua laki-laki tersebut tidak ada di lokasi saat hari
26
Tabel 1 Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, tahun 2007 dan 2008
Data dan Informasi Kemiskinan 2007, BPS dalam BPS, 2009b
2
Susenas 2008 dalam Bappenas, tidak ada tahun. 3
, 4 dan 5 SDKI 2007 6
Data dan Informasi Kemiskinan 2007, BPS dalam BPS, 2009b
Hal lain yang dapat dicermati adalah data usia kawin pada Tabel 3 Lampiran
yang menunjukkan secara berurutan usia kawin perempuan Jawa Barat pada tahun
1994, 1997, 2002 dan 2003 adalah 17,0; 17,4; 17,8; dan 18,8. Dibandingkan
dengan usia kawin pada provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa pada tahun yang
sama, usia kawin yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat berada di golongan
terendah bersama Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten. Usia kawin Provinsi
Jawa Barat pada tahun 2007 (18,8) juga lebih rendah dari rata-rata nasional (19,8)
(IDHS 2007). Rendahnya usia kawin perempuan Sunda dapat menjadi alasan atas
tingginya AFT, selain itu rendahnya usia kawin tersebut dalam batas tertentu
mencerminkan rendahnya ruang partisipasi perempuan di ruang publik dan
membatasi pilihan mereka. Rendahnya ruang partisipasi perempuan di ruang
publik konsisten dengan data partisipasi sekolah untuk perempuan usia 13-18
tahun di Provinsi Jawa Barat yang lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional
yang mencakup seluruh provinsi di Indonesia.
Kondisi fertilitas secara umum di Indonesia dan sebarannya di tiap wilayah,
proses-proses dalam keluarga dan di luar keluarga yang dilalui untuk
menghasilkan fertilitas tersebut, mendorong untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh relasi gender dalam keluarga terhadap fertilitas yang
27
bukanlah sebuah konsep yang sudah baku, penelitian ini berupaya menelusuri
sejauh mana variabel relasi gender yang diperkirakan mempunyai pengaruh dalam
fertilitas sebuah keluarga.
1.2. Rumusan Masalah
Pentingnya memperhatikan perempuan dalam isu fertilitas telah dicatat oleh
seorang pengamat dari Inggris (dalam Easterlin, 1975) meski tidak secara eksplisit
merujuk pada relasi gender. Ia mencatat bahwa pada tahun 1890-an, umumnya
seorang ibu kelas pekerja akan menikah pada umur belasan atau awal 20, lalu
mengalami sepuluh kehamilan, membutuhkan waktu sebanyak 15 tahun dalam
hidupnya untuk hamil dan mengurus bayi. Lalu pada 85 tahun berikutnya (1975)
seorang ibu dari kelas yang sama akan mengalami kehamilan yang jauh lebih
sedikit sehingga hanya membutuhkan 4 tahun dalam hidupnya untuk hamil dan
mengurus bayi. Penurunan yang luar biasa hanya dalam waktu 2 generasi
menunjukkan peningkatan kebebasan perempuan yang revolusioner dalam
kegiatan reproduksinya.
Hubungan antara relasi gender dan fertilitas adalah hal yang ditelusuri lebih
jauh dalam penelitian ini. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai indikator relasi gender yang memiliki pengaruh terhadap fertilitas.
Penelitian ini dilakukan pada sebuah komunitas desa dengan konteks Islam
konservatif.6 Data dan temuan di komunitas dan negara yang mayoritas penduduknya muslim konservatif menunjukkan bahwa perempuan memiliki
otonomi yang relatif terbatas (Mason et al. 1998 dalam Mason dan Smith, 1999). Data lain (United Nations Statistics Division, 2011) juga menunjukkan bahwa
6
28
angka pertumbuhan penduduk di negara-negara muslim lebih tinggi dibandingkan
pada negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan penganut muslim.
Sejalan dengan hal tersebut, Mason et al. (1998), dalam Mason dan Smith (1999) menyebutkan bahwa di mana perempuan memiliki gerak yang terbatas,
maka akses terhadap kontrasepsi juga terbatas. Fenomena ini dapat dipahami
dengan melihat doktrin-doktrin dalam Islam konservatif. Salah satu doktrin Islam
konservatif yang terpenting adalah mengenai stereotype yang melekatkan
perempuan hanya di ranah domestik, kritik terhadap pembatasan peran perempuan
di ranah publik seringkali diartikan sebagai penyerangan terhadap agama Islam
(Basya, 2003). Pandangan ini seringpula dibarengi dengan pandangan bahwa
dalam agama Islam, lelaki adalah lebih berharga dibandingkan perempuan, dan
perempuan seolah-olah kemudian menjadi manusia kelas 2 (Nataprawira dan
Pribadi, 2003).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat diharapkan bahwa di sebuah
komunitas tradisional yang kental dengan budaya Islam konservatif yang patriarki
maka para perempuannya akan memiliki otonomi dan kebebasan yang terbatas
serta fertilitas yang tinggi. Sebagaimana dibahas sebelumnya, dapat diketahui
bahwa situasi perempuan Provinsi Jawa Barat relatif kurang menguntungkan
dibandingkan dengan situasi perempuan di provinsi-provinsi lain. Hal ini dapat
dilihat dari rendahnya partisipasi sekolah, AFT, persentase pertolongan kelahiran,
persentase pengguna kontrasepsi dan usia kawin, serta tingginya AKB (Angka
Kematian Bayi).
Desa Neglasari, tempat penelitian ini dilakukan, adalah sebuah desa di
Provinsi Jawa Barat dengan konteks Islam konservatifnya yang masih sangat
terasa. Di desa ini terdapat 9 pesantren tradisional7 dengan masing-masing 1 kiai sebagai pemimpin pesantren yang menjadi tokoh informal yang masih
berpengaruh di desa meski sudah mengalami penurunan pengaruh dari generasi ke
7
29
generasi. Kuatnya pengaruh ini antara lain dipengaruhi oleh banyaknya santri
yang berada di pesantren yang dapat dimobilisasi oleh kiai8. Sejalan dengan kegiatan pesantren oleh para santri, kegiatan pengajian adalah kegiatan rutin yang
dilakukan oleh sebagian besar warga. Studi di desa ini kemudian menjadi menarik
karena dalam lingkungan yang kental dengan konteks Islam konservatif dan
budaya Sunda yang patriarki, para perempuan di desa ini kemudian memiliki
kesadaran mengenai pentingnya pembatasan kelahiran, dan lalu mampu
beradaptasi dalam lingkup relasi gendernya untuk mempengaruhi fertilitas
mereka.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi fertilitas di desa studi?
2. Bagaimana karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa
studi?
3. Bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas di desa
studi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Mengkaji kondisi fertilitas di desa studi.
2. Mengkaji karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa studi.
3. Menjelaskan bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi
fertilitas di desa studi.
8
30 1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan,
terutama di bidang ilmu kependudukan dan sosiologi, khususnya studi di wilayah
gender. Penelitian mengenai fertilitas memang bukanlah hal yang baru; tetapi
sejauh ini penelitian-penelitian yang dilakukan belum menemukan teori yang tetap
mengenai keterhubungan kedua variabel; relasi gender dan fertilitas. Penelitian ini
diharapkan akan memperkaya khasanah ilmu dalam bidang penelitian ini.
Pengkayaan ini terutama karena masih jarangnya penelitian yang menghubungkan
kedua variabel dengan menggunakan metode kualitatif untuk mengkaji lebih
dalam bagaimana variabel relasi gender bekerja mempengaruhi fertilitas.
Saat ini, kebijakan yang bersifat koersif untuk melakukan pembatasan
kelahiran sudah tidak ada sehingga kontrol atas jumlah anak tidak lagi berada di
tangan pemerintah, keingintahuan kemudian muncul mengenai ke manakah
kontrol tersebut kemudian berada. Pengetahuan tentang hal ini berguna untuk
mengkaji sejauh mana perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya. Pengetahuan
tentang hal ini dapat dimanfaatkan untuk pemilihan strategi dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak yang saat ini sedang digalakkan oleh
31
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga
Relasi gender di dalam keluarga menggambarkan bagaimana akses dan
kontrol suami dan istri dalam setiap keputusan keluarga. Relasi gender dalam
keluarga dapat dilihat dari sifat hubungan antara istri dan suami sebagaimana
disampaikan oleh Scanzoni dan Scanzoni (1981) dalam Suleeman (2004) yang
menyebutkan bahwa terdapat empat macam pola perkawinan yakni owner property, head complement, senior junior partner dan equal partner. Secara singkat, perbedaan dari keempat pola perkawinan tersebut disampaikan pada
Tabel 2.
Keputusan untuk memiliki anak dan jumlahnya, sebagaimana
keputusan-keputusan lain dalam rumah tangga adalah hasil dari sebuah proses pengambilan
keputusan antar anggota keluarga, dan dipengaruhi oleh pihak di luar keluarga.
Galvin dan Bromel (2000) dalam Jrank (tidak ada tahun) mendefinisikan
pengambilan keputusan sebagai sebuah proses di mana sebuah keluarga
menentukan pilihan, melakukan penilaian atas pilihan dan menghasilkan
keputusan yang akan menjadi acuan atas perilaku anggota keluarga. Proses
pengambilan keputusan di dalam keluarga adalah sebuah aktivitas komunikasi
yang bersandar pada pengekspresian makna. Aktivitas komunikasi tersebut dapat
merupakan aktivitas yang eksplisit (para anggota keluarga duduk bersama dan
mendiskusikan keputusan yang akan diambil) atau implisit (saat anggota keluarga
menentukan pilihan berdasarkan keputusan sebelumnya dan
pertimbangan-pertimbangan lain yang mungkin tidak terucap). Proses pengambilan keputusan
dalam keluarga dapat menjadi sebuah proses yang penuh dengan ketegangan, atau
proses yang sangat menyenangkan atau suatu proses yang suasananya berada di
antara kedua suasana tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan, keluarga
dapat memecahkan perbedaan antar anggotanya (Galvin dan Brommel, 2000
dalam Jrank, tidak ada tahun). Lebih lanjut, Atkinson dan Stephen (1990) dalam
Jrank (tidak ada tahun)menemukan bahwa proses pengambilan keputusan dalam
33
keluarga dan nilai-nilai tersebut akan menjadi bagian dari dasar asumsi anggota
keluarga untuk mengkoordinasikan tindakan mereka masing-masing di masa
depan”. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dalam keluarga menjangkau berbagai tujuan dan aktivitas keluarga. Pudjiwati Sajogyo (1983) telah pula
membuat mengidentifikasi lima pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Kelima pola tersebut adalah pengambilan keputusan oleh istri atau suami sendiri,
bersama setara, dan atau bersama dengan suami atau istri dominan.
Dikaitkan dengan analisis gender, pengambilan keputusan dalam sebuah
rumah tangga, adalah merupakan pencerminan dari relasi antar anggota rumah
tangga, dengan penekanan pada relasi antar suami dan istri. Secara umum dapat
dikatakan bahwa keputusan tersebut adalah cerminan dari keputusan suami atau
atau keputusan istri, atau konsensus suami dan istri. Meski, seringkali ditemukan
bahwa relasi suami – istri dalam pengambilan keputusan adalah bersifat asimetris (Savitri, 2007). Setiap keputusan akan mempengaruhi seluruh anggota rumah
tangga, baik yang merupakan anggota keluarga inti maupun yang bukan anggota
keluarga inti.
Savitri (2007) menemukan bahwa pengambilan keputusan dalam rumah
tangga adalah bagian dari strategi rumah tangga, dan keputusan dibuat dengan
34
tangga yang lain harus menerima keputusan tersebut dan melaksanakannya.
Individu-individu harus mengalahkan kepentingan pribadinya demi tujuan yang
lebih besar (Wolf dalam Visanathan et al., 1997 dalam Savitri, 2007); otonomi personal ditekan di bawah kepentingan keluarga (Fernandez–Kelly, 1982 dalam Savitri, 2007). Karena hanya sedikit rumah tangga yang ditemukan bekerja di
bawah suasana demokratis, maka strategi rumah tangga seringkali melibatkan
relasi kekuasaan, dominasi dan subordinasi (Wolf dalam Visanathan et al. 1997 dalam Savitri, 2007).
Mengenai hubungan antara norma sosial budaya komunitas, faktor sosial
ekonomi dan relasi gender dalam keluarga, terdapat semacam spekulasi bahwa
jika sistem sosial-budaya menyarankan seklusi dan domestifikasi pada perempuan
(sebagaimana ditemukan dalam komunitas patriarki); keluarga dengan kondisi
sosial ekonomi yang lebih rendah akan memiliki relasi gender yang lebih setara,
vice versa (Mason dan Smith, 1999). Ini sejalan dengan temuan Hull (1975) di
sebuah desa di Jawa Tengah. Terlihat dalam pernyataan tersebut bahwa selain
variabel sosial ekonomi, norma-norma gender di level komunitas memiliki
kemampuan untuk membentuk relasi antara laki-laki dan perempuan dalam
sebuah keluarga.
2.2. Relasi Gender dan Fertilitas
Penelitian-penelitian untuk menghubungkan antara variabel gender dan
fertilitas telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, beberapa di antaranya adalah
Akmam, 2002; Kabir et al.; tidak ada tahun; Hakim et al., 2003; dan Mason dan Smith, 1999. Akmam (2002) menemukan bahwa di Bangladesh, pendidikan
perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fertilitas. Umumnya
pendidikan bekerja mempengaruhi fertilitas melalui keinginan atas jumlah anak,
jumlah anak yang dimiliki dan biaya kontrasepsi. Lebih lanjut, Akmam (2002)
mengemukakan bahwa pengaruh terbesar dari pendidikan muncul saat level
pendidikan perempuan adalah di level menengah; sementara sedikit pendidikan
dasar sepertinya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap fertilitas. Dalam
35
pendidikan menengah tersebut, semakin tinggi pendidikan perempuan akan
mengurangi angka kelahiran.
Kabir et al. (tidak ada tahun) dalam penelitiannya menggunakan data Survey Demografi dan Kesehatan Bangladesh 1999-2000 menemukan bahwa
terdapat 3 indikator dalam status perempuan yakni; pendidikan, pekerjaan dan
diskusi perencanaan keluarga yang memiliki pengaruh penting dalam
meningkatkan penggunaan kontrasepsi dan penurunan fertilitas. Hakim et al. (2003) dengan menggunakan data Survey Fertilitas dan Keluarga Berencana
Pakistan Tahun 1996-1997 menyimpulkan bahwa terdapat 3 indikator utama
otonomi perempuan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan
kontrasepsi, yakni; mobilitas, pengambilan keputusan mengenai perawatan anak
dan pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa semakin tinggi kontrol perempuan dalam pengambilan
keputusan mengenai pembelian makanan memiliki pengaruh paling signifikan
dalam menurunkan angka kelahiran dibanding indikator yang lain.
Temuan Hakim et al. (2003) mengenai indikator otonomi perempuan sejalan dengan usulan Mason dan Smith (2003). Dalam tulisannya, Mason dan
Smith mengusulkan 5 aspek khusus dalam pemberdayaan domestik yang digali
untuk meneliti fertilitas:
1. Kuasa perempuan dalam pembuatan keputusan ekonomi – apakah mereka berpartisipasi dalam keputusan-keputusan ekonomi yang besar
dalam keluarga dan apakah mereka memiliki kebebasan dalam
membuat keputusan ekonomi yang lebih kecil tanpa harus bertanya ke
anggota keluarga yang lain?
2. Kuasa perempuan dalam pembuatan keputusan terkait ukuran
keluarga – apakah mereka berpartisipasi atau ikut mengontrol keputusan mengenai jumlah anak yang ingin dimiliki?
3. Kebebasan perempuan untuk melakukan mobilitas fisik – dapatkah mereka mengunjungi tempat-tempat misalnya pasar lokal, layanan
kesehatan atau taman di luar desa tanpa harus bertanya terlebih dahulu
36
4. Kontrol suami terhadap istri melalui intimidasi dan paksaan – apakah mereka takut untuk tidak setuju dengan pendapat suami karena
khawatir suami akan marah, dan apakah suami pernah memukul
mereka?
5. Selain keempat aspek tersebut, Mason dan Smith (2003) juga
mengusulkan aspek kelima dalam menelusuri hubungan relasi gender
dan fertilitas, yakni sikap gender di level komunitas yang dipahami
oleh individu. Hal ini penting karena bagaimanapun, karakteristik
perempuan yang tinggal dalam sebuah komunitas, setidaknya sebagian
adalah produk dari sistem gender komunitas.
2.3. Proximate determinant Fertilitas
Relasi gender adalah variabel sosial budaya, sementara fertilitas hanya dapat
dihasilkan melalui sebuah proses biologis. Oleh karena itu, upaya untuk
menghubungkan langsung variabel gender dengan fertilitas seringkali menemukan
inkonsistensi. Bongaarts (1978) menyebutkan bahwa cara ini bermasalah dalam
aplikasinya; karena sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua
variabel dalam setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas ini
dimungkinkan karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara
gender adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara
langsung melainkan harus melalui variabel antara.
Untuk mengatasi hal ini, Bongaarts (1978) telah mengusulkan variabel
antara (proximate determinant) fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui mana variabel sosial ekonomi, budaya dan
lingkungan mempengaruhi fertilitas. Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal
yang dilontarkan oleh Davis dan Blake pada tahun 1956 yang mengusulkan 11
variabel. Bongaarts pada awalnya mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada
kesimpulannya terhadap data nasional beberapa negara maju dan berkembang
dengan metode kuantitatif, Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah,
kontrasepsi, aborsi yang disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang
37
Beberapa penelitian kemudian mencoba menggali fenomena fertilitas
dengan memanfaatkan proximate determinant yang ditawarkan Bongaarts (Baschieri dan Hinde, 2007; Guengant, tidak ada tahun; Moses dan Kayizzi,
2007). Ketiganya melakukan penelitian dalam konteks makro dan menemukan
bahwa proximate determinant Bongaart dapat menjelaskan penurunan atau kenaikan fertilitas dengan baik.
2.4. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi pustaka di atas, dirumuskan sebuah kerangka penelitian
untuk menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya yakni
sebagai disampaikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Relasi Gender – Fertilitas
Fertilitas sebagai salah satu perhatian dalam ilmu kependudukan adalah
sebuah fenomena biologis yang menarik karena keterlekatannya pada manusia
yang memiliki relasi sosial. Berbeda dengan fertilitas pada makhluk lain yakni
hewan atau tumbuhan, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk
melakukan rekayasa fertilitas sesuai dengan keinginanannya; berdasarkan latar
38
Dalam mengkaji fertilitas, melihat relasi gender menjadi penting karena
keterlekatan fungsi fertilitas pada perempuan. Penelitian terdahulu telah mengkaji
gender dari berbagai aspek, misalnya dari pendidikan perempuan, selisih usia
antara suami dan istri, partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Namun, sampai
saat ini belum ada aspek-aspek relasi gender yang disepakati secara umum
memiliki pengaruh terhadap fertilitas. Dalam penelitian ini, peneliti merujuk ke
Mason dan Smith (2003) untuk mengukur relasi gender melalui otonomi dan
kuasa perempuan. Aspek otonomi dan kuasa perempuan dalam lima hal yakni; 1)
Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga, 2) Kuasa
perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran keluarga 3) Kebebasan
dalam bergerak, 4) Kontrol koersif interpersonal dan 5) Sikap gender di level
komunitas yang dipahami oleh individu (Mason dan Smith, 2003).
Mason dan Smith (1999) telah menguji aspek otonomi perempuan secara
kuantitatif dengan menggunakan data survey 56 komunitas pada lima negara Asia,
yakni Pakistan (Punjab), India (Uttar Pradesh dan Tamil Nadu), Malaysia,
Thailand dan Filipina9. Mereka menemukan bahwa terdapat pola hubungan yang cukup konsisten di level makro bahwa pada komunitas-komunitas di mana
perempuan memiliki kekuasaan pengambilan keputusan lebih besar dan
kebebasan bergerak, mereka memiliki actual fertility yang lebih rendah, keinginan yang lebih rendah untuk menambah anak, dan penggunaan kontrasepsi yang lebih
tinggi. Temuan Mason dan Smith (1999) ini sejalan dengan temuan Hakim et al. (2003) di Pakistan. Hakim et al. (2003) menemukan bahwa di Pakistan, indikator otonomi perempuan sebagaimana yang digunakan oleh Mason dan Smith (1999)
berkorelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi. Lebih lanjut, Hakim et al. (2003) menemukan bahwa aspek otonomi perempuan yang terkuat pengaruhnya
terhadap penggunaan kontrasepsi adalah pengambilan keputusan ekonomi rumah
tangga dalam hal pembelian makanan.
Baik Mason dan Smith (1999) maupun Hakim et al. (2003) setuju bahwa bagaimana cara otonomi perempuan mempengaruhi fertilitas belum dapat
9
39
dipastikan. Hakim et al. (2003) menyatakan bahwa kepastian ini belum dapat ditemukan karena penelitian kualitatif yang menggali mengenai hubungan antara
kedua variabel ini belum dilakukan. Penelitian kualitatif diperlukan untuk
mengetahui makna di balik otonomi dan kuasa perempuan yang akhirnya dapat
mempengaruhi actual fertilitynya. Pada komunitas-komunitas yang berbeda, akan terdapat norma-norma komunitas yang mengatur relasi gender secara berbeda.
Meski demikian, keunikan antar individu dalam sebuah komunitas
memungkinkan adanya variasi relasi gender antar individu-individu di dalamnya.
Pada kerangka penelitian tersebut, kemudian aspek otonomi dan kuasa
perempuan melalui 2 jalan sebelum akhirnya mempengaruhi actual fertility. Pertama, aspek otonomi dan kuasa perempuan terlebih dahulu mempengaruhi
desired fertility perempuan. Lalu di antara para perempuan yang kemudian menginginkan jumlah anak yang sedikit tersebut, akan ada upaya pembatasan
jumlah anak melalui proximate determinant yakni aborsi dan penggunaan kontrasepsi. Aborsi dan penggunaan kontrasepsi ini pada akhirnya akan
mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan. Kedua, aspek otonomi dan kuasa perempuan langsung mempengaruhi proximate determinant yakni usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan. Usia kawin dan
infekundabilitas setelah melahirkan kemudian akan mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan.
Temuan-temuan di atas berupaya menghubungkan variabel relasi gender
dengan fertilitas melalui variabel lain, yakni penggunaan kontrasepsi (Mason dan
Smith, 1999 dan Hakim, 2003), dan jumlah anak yang dilahirkan, keinginan untuk
memiliki anak lagi (Mason dan Smith, 1999). Upaya ini sesuai dengan saran
Bongaarts (1978) menyebutkan bahwa cara menghubungkan variabel relasi
gender dan fertilitas secara langsung akan bermasalah dalam aplikasinya; karena
sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua variabel dalam
setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas tersebut dimungkinkan
karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara kemiskinan
adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara langsung
40
Bongaarts (1978) lalu mengusulkan variabel antara (proximate determinant) fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui
mana variabel sosial ekonomi, budaya dan lingkungan mempengaruhi fertilitas.
Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal yang dilontarkan oleh Davis dan Blake
pada tahun 1956 yang mengusulkan 11 variabel. Bongaarts (1978) pada awalnya
mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada kesimpulannya terhadap data
nasional beberapa negara maju dan berkembang dengan metode kuantitatif,
Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah, kontrasepsi, aborsi yang
disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang menjadi proximate determinant utama. Keempat proximate determinant yang diusulkan Bongaarts (1978) inilah yang dimanfaatkan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk menjadi variabel
antara relasi gender dan actual fertility.
2.5. Hipotesis Pengarah
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan kerangka
penelitian yang disampaikan sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut:
1. Semakin tinggi otonomi dan kuasa perempuan, semakin rendah desired fertilitynya, semakin tinggi aborsi dan pemakaian kontrasepsi sehingga actual fertility akan semakin rendah.
2. Semakin tinggi otonomi dan kuasa perempuan, semakin tinggi usia
41
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memanfaatkan penggunaan metode kualitatif. Dalam ilmu
kependudukan, metode kuantitatif dengan survey telah banyak digunakan, hal ini
dikarenakan oleh sifatnya yang banyak bergerak di aras makro. Namun demikian,
akhir-akhir ini metode kualitatif telah pula banyak dimanfaatkan dalam disiplin
ilmu ini. Randall dan Koppenhaver (2004) menyebutkan bahwa alasan utama
diversifikasi metode ini adalah untuk meningkatkan pemahaman atas perilaku dan
fenomena dalam kependudukan, alasan lain adalah untuk meningkatkan kualitas
data survey, untuk mengumpulkan data mengenai aktivitas ilegal atau
sembunyi-sembunyi atau untuk mengumpulkan data dari sub-grup tertentu, misalnya orang
tua yang sulit disurvey.
Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa pendekatan ini terutama telah
banyak digunakan untuk studi-studi mengenai persepsi, kegelisahan, dan sikap
mengenai suatu subyek, misal fertilitas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi,
penyakit yang menular secara seksual –Sexually Transmitted Diseases (STD) dan penurunan kekebalan tubuh akibat virus – Human Immuno defficiency Virus (HIV). Penggunaan pendekatan kualitatif dalam isu-isu tersebut terutama
dikarenakan pengambilan keputusan tentang kegiatan reproduktif memiliki
implikasi kebijakan yang penting dan karena itu memerlukan pemahaman yang
mendalam. Selain itu, isu-isu tersebut adalah isu sensitif yang terkait perilaku
seksual, yang tidak akan mudah digali melalui survey (Randall dan Koppenhaver,
2004).
Kebutuhan untuk lebih memahami isu-isu sensitif ini dapat dijawab oleh
penelitian kualitatif yang memiliki 6 asumsi: 1) Lebih memperhatikan proses
dibandingkan hasil, 2) Memperhatikan arti-bagaimana orang memaknai
kehidupan, pengalaman dan struktur dunianya, 3) Instrumen utama untuk
pengumpulan data dan analisis adalah si peneliti itu sendiri, 4) Melibatkan
penelitian lapang, di mana si peneliti secara langsung mengunjungi orang-orang
42
mengamati perilaku tineliti dalam setting alaminya, 5) Bersifat deskriptif di mana
peneliti tertarik pada proses, pemaknaan, dan pemahaman yang diperoleh melalui
kata dan gambar, 6) Prosesnya adalah induktif di mana peneliti membangun
abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori dari detail (Merriam, 1988 dalam Creswell,
1994).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.
Desa ini adalah desa yang terletak di ujung barat Kabupaten Bogor, berbatasan
dengan Kabupaten Lebak dan digolongkan sebagai salah satu desa miskin di
Kabupaten Bogor. Ciri lain dari desa ini adalah aksesnya yang relatif sulit ke luar
desa karena wilayahnya tidak terjangkau oleh kendaraan umum. Sebagian besar
penduduk memiliki kegiatan di bidang pertanian, meski tidak selalu dianggap
sebagai mata pencaharian utama; hasil pertanian di Desa Neglasari sebatas untuk
konsumsi pribadi atau dijual dalam lingkup desa atau desa tetangga saja. Sebagian
penduduk Desa Neglasari bekerja di luar desa, baik di Kota Tangerang atau
Jakarta sebagai buruh pabrik, karyawan toko dan bengkel, dan asisten rumah
tangga.
Ciri sosial budaya yang unik ditemukan di Neglasari adalah lekatnya budaya
santri di desa ini. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar, terdapat pesantren
tradisional di Neglasari yang sudah berdiri sejak tahun 1945, sementara Desa
Neglasari yang merupakan hasil pemekaran baru berdiri secara administratif pada
sekitar tahun 1980-an. Hal ini menjadikan keberadaan tokoh agama sebagai tokoh
informal yang disegani di kalangan penduduk desa.
Penelitian di lapangan dilakukan dengan tinggal di lapangan selama 3-5 hari
untuk beberapa periode pada waktu antara Bulan Juni - November 2011. Total
kunjungan lapangan adalah kurang lebih total 3 minggu. Penulisan laporan
dilakukan sementara dan setelah dari lapangan dan selesai pada Bulan November
2011. Sebelum melakukan penelitian di lapangan, peneliti telah lebih dahulu
43 3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Penelitian ini
didahului dengan pengumpulan data sekunder mengenai desa studi, lalu
melakukan kunjungan awal untuk memperkenalkan diri sekaligus mengumpulkan
informasi awal mengenai desa studi dan menggali keberadaan data sekunder di
desa. Data sekunder lain yang digali antara lain adalah berasal dari data Badan
Pusat Statistik (BPS), data dari Indonesia Demographic and Health Survey
(IDHS), media massa dan penelusuran internet.
Tahap berikutnya adalah menggali data primer dengan melakukan observasi
berperan serta, wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Peneliti memilih
untuk melakukan observasi berperan serta dalam kegiatan sosial ekonomi
responden, selain untuk membangun rapport juga untuk memperoleh pandangan orang dalam emic atas persepsi, nilai-nilai dan makna yang terbangun di dalam isu yang diteliti.
Pemilihan responden dilakukan dengan pertimbangan demi mencapai tujuan
penelitian, yakni demi memperoleh karakteristik relasi gender yang berbeda dan
perbedaan fertilitas. Responden yang dipilih adalah pasangan-pasangan dengan
usia perempuan antara 45-59 tahun, sudah menikah dan memiliki anak kandung.
Pertimbangan pemilihan responden dengan rentang usia 45-59 tahun adalah:
1. Pada umur tersebut, para perempuan sudah menyelesaikan masa
reproduksinya, sehingga fertilitas antar responden dapat diperbandingkan.
2. Dengan usia tersebut, responden mengalami proses program Keluarga
Berencana yang diinisiasi oleh pemerintah pada tahun 1969/1970, sejak
gencar-gencarnya sampai mengalami kelemahan saat otonomi daerah.
3. Responden sudah mengalami berbagai kondisi relasi gender dalam
pernikahan mereka.
Aspek kehati-hatian untuk memilah responden perempuan yang sudah
mengalami pernikahan lebih dari 1 kali juga diterapkan, untuk menghindari
kerancuan dalam analisis data relasi gender dan jumlah anak. Responden yang
44
diwawancara demi memperoleh gambaran relasi gender yang dipersepsikan oleh
masing-masing pihak demi ketebalan informasi.
Selain responden, wawancara juga dilakukan terhadap informan yang dipilih
dengan teknik bola salju untuk memperoleh pemahaman atas isu tertentu yang
memerlukan pemahaman di aras komunitas; misalnya nilai-nilai budaya yang
dianut mengenai relasi suami istri, jumlah anak, dan nilai anak. Selain responden
dari golongan umur 45-59 tahun, dilaksanakan pula wawancara pada responden
dan informan dari pasangan yang lebih muda, yakni di bawah 45 tahun. Tujuan
dari hal ini adalah sebagai perbandingan informasi dan pengkayaan data. Data
yang diperoleh dari responden dan informan yang lebih muda juga bermanfaat
untuk mengetahui kecenderungan perbedaan dan perubahan relasi gender dan
fertilitas antar generasi di desa studi.
Pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan
panduan wawancara. Panduan wawancara bersifat mengarahkan pertanyaan yang
diajukan demi upaya mencapai tujuan penelitian. Panduan wawancara
dilampirkan pada Lampiran 1.
Upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai data yang dibutuhkan
dimulai dengan melakukan permohonan izin secara informal kepada kepala desa.
Sebelum melakukan penelitian untuk kepentingan tesis S2, peneliti telah
melakukan penelitian singkat mengenai sebuah program pemberdayaan
perempuan di lokasi penelitian, sehingga pertemuan dengan kepala desa sudah
terlebih dahulu dilakukan. Karena itulah, permohonan secara formal sengaja tidak
dipilih untuk dilakukan untuk menghindari kecanggungan.
Dalam kunjungan tersebut peneliti juga bertemu dengan Sa seorang
perempuan penduduk desa yang peneliti temui selama penelitian sebelumnya.
Selanjutnya, Sa menjadi pendamping dan informan di lapangan yang sangat
penting bagi peneliti. Waktu tempuh dari tempat tinggal peneliti ke lokasi
penelitian adalah 1,5 sampai 3 jam, dengan waktu tersebut, sebenarnya peneliti
dapat melakukan penelitian tanpa menginap. Namun strategi menginap dipilih
karena peneliti dapat lebih terlibat dalam obrolan informal ibu-ibu setiap pagi dan
45
isu yang dibicarakan merupakan isu sensitif dan tineliti merasa lebih nyaman
memberikan informasi dalam situasi informal. Hal ini pernah disebutkan oleh
Randal dan Koppenhaver (2004) bahwa responden akan sulit untuk menjawab
secara jujur pertanyaan sensitif terkait seksualitas jika suasana bersifat publik dan
jawaban ditulis secara formal dalam kuesioner. Dalam upaya menghindari
ketidaknyamanan ini pulalah, penggunaan kertas pertanyaan dan menuliskan
jawaban langsung di depan responden dihindari oleh peneliti. Untuk menghindari
kerancuan data, setiap selesai melakukan 1 wawancara dengan 1 kelompok
responden atau 1 individu responden, peneliti langsung pulang dan menuliskan
kembali hasil wawancara dalam buku catatan.
3.4. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh melalui wawancara, diskusi dan observasi telah dipilah
dan dianalisis sejak di lapangan. Pemilahan data dilakukan dengan pencocokan
antara data yang diperoleh yang telah dicatat dalam catatan harian dengan data
yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian. Setelah dipilah, analisis mulai
dilakukan sesuai kerangka pemikiran yang telah dibuat. Analisis akan menemukan
apakah hasil penelitian sesuai dengan hipotesis atau tidak, dengan gambaran yang
47
IV.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Pendahuluan
Bab ini akan menyajikan gambaran umum lokasi penelitian, dari konteks
propinsi kemudian menyajikan gambaran desa penelitian secara lebih mendalam.
Informasi yang disajikan secara mendalam terutama adalah informasi yang
berkaitan dengan isu penelitian yang sedang dibahas, yakni fertilitas dan gender.
Konteks propinsi disajikan karena Propinsi Jawa Barat memiliki karakter budaya
yang unik dalam lingkup satu propinsi, yakni budaya Sunda.
4.2. Propinsi Jawa Barat
4.2.1. Konteks Geografis dan Administratif
Menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2012) nama Provinsi jawa Barat
muncul pertamakali dalam staatblad 1924 Nomor 378 tanggal 14 Agustus 1926 berdasarkan penetapan Pemerintah Hindia Belanda. Setelah deklarasi
kemerdekaan, pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) menetapkan untuk membagi kembali Daerah Negara Republik
Indonesia menjadi delapan provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Jawa
Barat. Pembentukan Provinsi Jawa Barat ini lalu ditetapkan kembali oleh
Undang-undang Nomor 11 tahun 1950. Tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi Provinsi Jawa Barat adalah tanggal penetapan PPKI; tanggal 19 Agustus,
penetapan ini disahkan dengan Peraturan Daerah No 26 Tahun 2010. (Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a)
Propinsi Jawa Barat terletak di Pulau Jawa bagian barat, dengan posisi
lintang adalah 5,50’ –7,50’ Lintang Selatan dan 104,48’ – 108,48’ Bujur Timur.
Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta di sebelah
utara, dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, dengan Samudera Indonesia
di sebelah selatan dan dengan Provinsi Banten di sebelah barat. (Pemerintah