• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA STUD

6.3. Aspek Otonomi dan Kuasa Perempuan

6.3.1. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Di lokasi penelitian, para responden perempuan mengakui bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan ekonomi dalam rumah tangga. Hal ini berlaku untuk responden yang bekerja dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga, maupun yang tidak. Para responden yang diwawancara, baik yang bekerja maupun tidak umumnya mengatakan bahwa untuk alat-alat rumah tangga mereka menyampaikan kebutuhan tersebut kepada suami. Setelah itu, mereka berdua akan mendiskusikan dan mengambil keputusan bersama, disesuaikan dengan kondisi keuangan rumah tangga. Maksud disesuaikan dengan kondisi rumah tangga adalah bahwa pada beberapa rumah tangga, seorang istri memungkinkan untuk mengusulkan pengadaan mesin cuci atau lemari es, sementara di rumah tangga lain tidak. Saat rumah tangga kemudian memiliki pendapatan lebih, uang tersebut dapat dialokasikan bagi kebutuhan yang diusulkan istri tersebut.

Sementara untuk kebutuhan pribadi perempuan, para responden istri pada umumnya tidak merasa perlu untuk meminta izin sang suami. Sebagian responden mengatakan bahwa ia sering dibelikan kebutuhan pribadi seperti pakaian dan kosmetik oleh suaminya yang bekerja di luar desa, misalnya Ciamis, Tangerang dan Jakarta. Di lokasi penelitian, para istri umumnya membeli barang-barang termasuk pakaian dengan cara mencicil. Umumnya periode mencicil adalah setiap minggu dengan lama cicilan sebanyak 1-3 bulan. Mereka mencicil kepada para pedagang keliling, baik yang asli dari desa maupun yang bukan penduduk asli.

Keputusan atas pangan keluarga adalah wilayah keputusan terbesar yang

dimiliki oleh para perempuan. Para suami menyebutnya dengan “urusan istri”. Hal

91

tetapi di sisi lain, mereka memiliki wilayah ini karena suami cenderung

menganggapnya sebagai urusan “tabu” bagi lelaki untuk turut campur. Anggapan

atas tabu yang membawa ke arah seolah-olah tidak peduli ini sering membawa dampak negatif bagi perempuan, bahwa mereka harus berjuang sendiri dengan memanfaatkan sumber yang ada atau mencari pinjaman untuk memperoleh bahan makanan bagi keluarga.

Bagi perempuan di lokasi penelitian, memasak bukanlah terbatas sebagai pekerjaan domestik. Bahan pangan seringkali diperoleh dengan cara membeli atau dengan memetik di kebun sendiri sebagai hasil mereka bercocok tanam. Mencari kayu bakar sebagai sumber energi yang digunakan untuk memasak seringkali adalah hasil bekerja di ruang publik. Seorang responden menyebutkan bahwa ia harus pergi ke desa sebelah yang sudah berbeda provinsi untuk memperoleh kayu bakar, tanpa jaminan bahwa ia akan pulang dengan dapat membawa kayu bakar dalam jumlah yang cukup. Responden lain menyebutkan bahwa ia saat ini sering memulung botol dan cangkir plastik air mineral di wilayah desa dan sekitarnya sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah yang dibutuhkan untuk menyalakan kayu.

Keputusan anggaran mengenai anak menurut para responden adalah keputusan istri dan suami. Namun, kontrol terbesar tetap di tangan istri. Hal ini dapat dilihat pada istri-istri yang tidak tinggal bersama suaminya karena suami bekerja di luar desa dan hanya pulang sekali dalam seminggu. Pada kasus seperti ini, istri memiliki kuasa untuk mengeluarkan uang demi kepentingan sang anak. Salah satu contoh adalah Ibu I yang mencari pinjaman untuk kepentingan kegiatan ekstrakurikuler anak. Anggaran yang dikeluarkan tanpa persetujuan suami tersebut relatif besar, yakni sebanyak Rp 30.000; bandingkan dengan pengeluaran untuk berbelanja yang kurang lebih Rp 10.000 setiap harinya.

Merujuk pada 5 pola pengambilan keputusan Sajogyo (1983), maka dapat disimpulkan bahwa di desa studi, keputusan ekonomi rumah tangga sehari-hari adalah keputusan istri sendiri. Sementara untuk kebutuhan rumah tangga yang relatif besar seperti peralatan rumah tangga, hal tersebut umumnya adalah keputusan bersama dengan suami dominan dan pada beberapa kasus merupakan keputusan setara suami dan istri.

92 6.3.2. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi Rumah

Tangga dan Fertilitas Aktual

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa perempuan-perempuan dengan kontrol yang lebih besar terhadap keputusan ekonomi rumah tangga berpengaruh pada kemampuannya untuk mengalokasikan anggaran bagi pembelian alat kontrasepsi. Namun sebagaimana disampaikan di atas bahwa tidak semua perempuan dengan kontrol ekonomi setara memiliki desired fertility yang sedikit, maka tidak semua pula menginginkan pembatasan kelahiran. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa saat perempuan dengan kontrol ekonomi setara menginginkan pembatasan kelahiran, maka ia dapat mengambil keputusan untuk mengalokasikan anggaran bagi biaya kontrasepsi. Sementara perempuan tanpa atau sedikit kontrol terhadap keputusan ekonomi, meskipun ia menginginkan pembatasan kelahiran, ia akan sulit mengakses kontrasepsi.

Namun, ada pula faktor lain yang harus diingat, terdapat responden yang memiliki kontrol ekonomi setara (Ibu J, 47 tahun), tetapi situasi ekonomi rumah tangganya terlalu miskin, sehingga meski ia yang memutuskan pengeluaran rumah tangga, ia tidak mampu mengalokasikan untuk pembelian kontrasepsi. Walaupun saat itu dia merasa membutuhkan karena ia sempat merasa anaknya sudah terlalu banyak, saat ia memiliki anak kedelapan. Responden tersebut menyatakan bahwa saat ada uang yang tersisa, dan itu sangat jarang terjadi, ia akan mengalokasikan untuk membeli susu bagi cucunya. Dia juga menyatakan bahwa meskipun jumlah anak adalah keputusan Tuhan, dia tidak menginginkan anak perempuannya memiliki anak sebanyak yang dia miliki (9 orang hidup) karena dia sendiri merasakan betapa repotnya mengurus anak sebanyak itu dan dia juga mengkhawatirkan masa depan setiap cucunya yang lahir.

6.3.3. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan tentang Ukuran Keluarga

Berdasarkan dari usia responden, para ibu di Desa Neglasari yang berusia di atas 40 tahun (atau sudah bercucu) umumnya akan mengatakan bahwa jumlah anak tidak direncanakan, melainkan keputusan Tuhan. Sementara ibu yang berusia

93

di bawah 40 tahun (atau belum bercucu) mengatakan bahwa menurut mereka jumlah anak ideal adalah 2 sampai atau 4 orang.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, peneliti mendapat kesan bahwa sedikitnya keterlibatan lelaki dalam merawat anak saat lahir sampai usia kanak- kanak membuat mereka sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan jika sang istri memutuskan menggunakan kontrasepsi atau tidak, setelah mereka memiliki setidaknya 3 atau 4 orang anak hidup, dengan kombinasi jenis kelamin yang lengkap. Seorang responden melaporkan bahwa suaminya mulai mempermasalahkan penggunaan kontrasepsi setelah ia mengalami alergi dengan implan yang ditanam di lengannya. Meski demikian, terdapat pula beberapa responden yang mengaku bahwa ia baru diizinkan suami untuk menggunakan kontrasepsi setelah memiliki anak yang relatif banyak (lebih dari 6 orang). Sebagian responden yang lain mengaku bahwa jika ia ingin, sebenarnya tidak masalah baginya untuk melakukan pembatasan kelahiran, baik dengan kontrasepsi modern atau cara tradisional, tetapi memang mereka sendiri yang tidak pernah menginginkan pembatasan kelahiran.

Wawancara juga menunjukkan bahwa tidak ada pihak lain di dalam keluarga yang mencampuri urusan jumlah anak, hal tersebut hanyalah menjadi urusan suami dan istri. Orangtua dari istri atau suami sama sekali tidak turut campur dalam hal ini. Kutipan wawancara seorang responden saat ditanya mengenai keinginannya untuk jumlah anak bagi setiap anaknya adalah sebagai berikut.

“Kalau boleh saran, saya sebenarnya ingin anak saya punya anak paling

banyak empat, saya sendiri sudah kerasa susahnya punya anak banyak. Tapi soal ini urusan dia sama suaminya, kami tidak pernah ngomong-

ngomong.” (Ibu J, 47 tahun)

Kutipan lain memperkuat pernyataan ini dan menunjukkan bahwa mertua dan orangtua responden sama sekali tidak turut campur dalam keputusan mengenai jumlah anak.

94

“Jumlah anak adalah urusan Tuhan, orangtua saya dan mertua tidak

pernah nanya-nanya soal ini. Pas mau pakai KB, saya juga ngomongnya ke

suami, bukan ke orangtua”. (Ibu A, 45 tahun)

Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan mengenai jumlah anak dalam keluarga adalah keputusan antara istri dan suami, dan jarang dipengaruhi oleh orangtua. Saat ini, pandangan yang saklek mengenai jumlah anak ideal di dalam komunitas tidak ditemukan sehingga keputusan anak adalah hasil dari relasi antara istri dan suami di dalam keluarga.

6.3.4.Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan tentang Ukuran Keluarga dan Fertilitas Aktual

Para perempuan responden yang sudah menyelesaikan masa reproduksinya memang memiliki anak yang relatif banyak (rata-rata 6,73 anak lahir per responden), hal ini disebabkan oleh dua hal yang berbeda. Pertama karena suami tidak mengizinkan istri menggunakan kontrasepsi dan kedua karena keputusan istri sendiri untuk menginginkan anak banyak dan tidak ingin menggunakan kontrasepsi. Meski sama-sama menghasilkan jumlah anak yang relatif banyak, kedua hal tersebut sangat berbeda dari sudut pandang relasi gender. Pada kasus yang pertama, dapat diartikan bahwa istri memiliki kuasa yang rendah dalam pengambilan keputusan keluarga, sementara pada kasus yang kedua, istri memiliki kuasa yang tinggi dalam pengambilan keputusan ukuran keluarga.

Hal yang berbeda ditemukan pada pasangan yang lebih muda yang memiliki desired fertility yang cukup jelas dan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan anak yang dimiliki oleh orangtuanya. Pada pasangan dengan desired fertility yang jelas ini, kuasa perempuan yang lebih banyak pada pengambilan keputusan mengenai ukuran keluarga akan membawa kepada actual fertility yang lebih sedikit.

Kuasa perempuan dalam keputusan ukuran keluarga akan berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Seorang perempuan yang memiliki kuasa dalam keputusan keluarga, akan mampu mengutarakan ide mengenai desired fertilitynya dan kemudian mampu untuk melakukan pembatasan kelahiran di saat ia merasa sudah memerlukannya. Sementara seorang perempuan tanpa kuasa dalam

95

keputusan ukuran keluarga hanya akan menuruti keinginan suami tentang jumlah anak. Si perempuan ini juga tidak mampu untuk menegosiasikan penggunaan kontrasepsi dengan suami sehingga pada beberapa kasus ditemukan perempuan- perempuan dengan actual fertility yang tinggi karena tidak diizinkan oleh sang suami untuk menggunakan kontrasepsi karena suami menginginkan anak banyak.

Dokumen terkait