• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

4.3 Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah

Hasil inventarisasi keberadaan sasi yang dilakukan pada 61 desa di Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku, dan Pulau Seram diperlihatkan pada Lampiran 7. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 61 desa yang

diinventarisir ternyata pelaksanaan sasi adalah di atas 50 % yaitu terdiri dari sasi darat terdapat pada 45 desa, sasi darat dan laut terdapat pada 16 desa (Tabel 11).

Tabel 11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku

No Variabel Jumlah (Desa) Proporsi (%) 1 Bentuk Sasi : Sasi Darat

Sasi Darat + Sasi Laut

45 16

74 26 2a Ketersediaan Aturan Perikanan :

Ada Aturan Tidak Ada Aturan

48 13 79 21 2b Bentuk Aturan : Tertulis Tidak Tertulis 21 27 44 56

Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi pergantian rezim pemerintahan desa namun sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat masih tetap ada sampai saat ini. Keberadaan sasi laut ini tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat desa setempat. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata, sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. Sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua desa adat melaksanakan sasi. Dari 53 desa adat yang di teliti ternyata 8 desa adat di antaranya tidak melaksanakan sasi baik sasi darat maupun sasi laut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa di sebagian desa-desa adat telah hilang tradisi sasi dalam masyarakat adat. Hilangnya sasi pada desa-desa adat antara lain disebabkan antara lain karena perubahan struktur pemerintahan desa akibat pemberlakuan UU No.5 Tahun 1979 dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan desa. Hal ini seperti dikatakan oleh Nikijuluw (2002) Novaczek et al. (2001) dan Kissya (2000)

bahwa perubahan struktur pemerintahan desa menyebabkan lemahnya pelaksana- an sasi di pedesaan Maluku. Keberadaan sasi pada desa-desa adat adalah karena kemauan dan itikad Raja atau kepala desa untuk mempertahankan tradisi sasi sebagai bagian dari adat dan ditunjang dengan pengetahuannya dalam pengelolaan dan pemanfaaatan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat.

Keberadaan dan pelaksanaan sasi baik sasi darat maupun sasi laut terbanyak terdapat di Pulau Saparua, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Adapun lokasi desa sasi laut diperlihatkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Lokasi desa sasi laut

No Desa Pulau Kecamatan Kabupaten/Kota 1 Paperu Saparua Saparua Maluku Tengah 2 Ihamahu Saparua Saparua Maluku Tengah 3 Itawaka Saparua Saparua Maluku Tengah 4 Noloth Saparua Saparua Maluku Tengah 5 Ouw Saparua Saparua Maluku Tengah 6 Ulath Saparua Saparua Maluku Tengah 7 Sirisori Islam Saparua Saparua Maluku Tengah 8 Ameth Nusalaut Nusalaut Maluku Tengah 9 Sameth Haruku Haruku Maluku Tengah 10 Pelauw Haruku Haruku Maluku Tengah 11 Hulaliu Haruku Haruku Maluku Tengah 12 Haruku Haruku Haruku Maluku Tengah 13 Makariki Seram Amahai Maluku Tengah 14 Rutong Ambon Baguala Kota Ambon 15 Tengah-Tengah Ambon Salahutu Kota Ambon 16 Tulehu Ambon Salahutu Kota Ambon

Hasil ini menunjukkan bahwa desa-desa di Pulau Saparua masih kuat mempertahankan dan melestarikan nilai serta tradisi budaya sasi. Hal ini disebabkan karena desa-desa di Pulau Saparua adalah merupakan desa adat dan mayoritas masyarakat yang mendiami desa tersebut adalah masyarakat adat. Oleh

kan dan dilestarikan. Hal ini sesuai dengan Ginting (1998) yang menyatakan bahwa sasi, ondoafi dan sejenisnya berada dalam satu pulau kecil, tergantung dari karakteristik klan, atau suku yang mendominasi desa tersebut.

Di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di Pulau Saparua ada dua sistem penyelenggaraan sasi yaitu (1) sasi negeri (sasi adat) dan sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem penyelenggaraan tersebut adalah pada penyelenggara kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggaraan sistem sasi negeri adalah Kewang dan Raja sedangkan penyelengaraan sasi gereja adalah pihak gereja dan pemerintah desa. Di Pulau Saparua dan Pulau Ambon, sasi gereja ditujukan kepada sasi buah-buahan milik pribadi sedangkan sasi negeri ditujukan pada sumber-sumber alam yang menjadi milik komunal seperti sasi laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap kedua sistem penyelenggaraan sasi ini maka umumnya penyelengaraan sasi darat adalah sasi gereja yaitu pihak gereja (Pendeta dan Majelis Jemaat) dan pemerintahan desa. Sedangkan penyelengaraan sasi laut adalah sasi negeri yaitu Kewang dan Raja. Sasi gereja adalah merupakan salah satu wujud perubahan sistem penyelenggaraan sasi karena tidak berfungsinya Kewang secara baik.

Hasil inventarisasi sasi laut, menunjukkan adanya perkembangan sasi yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Hasil ini dapat dibandingkan dengan hasil inventarisasi sasi yang dilakukan oleh Novaczek et al. (2001) pada tahun 1997. Dilaporkan bahwa pada tahun 1997 di Pulau Nusalaut yang terdiri dari tujuh desa tidak ada pelaksanaan sasi laut. Namun sekarang, salah satu negeri di Pulau Nusalaut yaitu Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah telah memberlakukan sasi laut sesuai dengan Surat Keputusan Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah No.1 Tahun 2005 tentang sasi adat bagi siput lola dan teripang. Begitupun juga terjadi di Negeri Halaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Tidak ada sasi laut pada tahun 1997, tetapi sekarang dilaksanakan sasi laut sejak diberlakukannya Surat Kepu- tusan Raja Negeri Hulaliu No.140/02/XII/ 2003 tentang Pengangkatan Kepala Kewang, Wakil, Bendahara dan Anggota Kewang pada Tanggal 28 Desember 2003. Perkembangan selanjutnya adalah pada Tanggal 4 Oktober 2005 telah dilakukan pelantikan lembaga-lembaga adat yaitu Kepala Soa, Saniri Negeri dan

Kewang di Negeri Nalahia Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia

Gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan sasi pada rezim otonomi daerah diperkirakan akan semakin bertambah pelaksanaannya dengan diaktifkan kembali Kewang sebagai lembaga pelaksana pengelolaan sumberdaya alam.

Berdasarkan hasil wawancara pada desa-desa sasi, maka jenis sumberdaya darat yang disasi adalah: kelapa, cengkeh, pala, coklat, nenas, jeruk, sagu. Se- dangkan sumberdaya laut yang disasi adalah: karang, batu hitam, pasir, teripang, lola, caping-caping, ikan hias, bakau, ikan lompa, make dan jenis-jenis ikan lain di sekitar pesisir pantai. Jenis sumberdaya yang disasikan ini, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai harga untuk beberapa jenis sumberdaya perikanan yang di sasi di pasar Kota Ambon. Adapun harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan, diperlihatkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan , di pasar Kota Ambon, tahun 2005

Sumberdaya Perikanan

Nama Ilmiah Ukuran (cm)

Harga Pedagang Pengumpul (kg) Siput Lola Trochus niloticus 4 – 4.9 Rp. 5 000 Siput Lola Trochus niloticus 5 – 5.9 Rp. 20 000 Siput Lola Trochus niloticus > 6 Rp. 43 000 Teripang Pasir Holothuroidea scabra 40 Rp. 600 000 Teripang Susu Holothuroidea nobilis 35 Rp. 250 000 Teripang Nenas Thelenota ananas 35 Rp. 200 000 Caping-caping Pinctada margaritifera 20 Rp. 15 000 Rumput Laut Euchema sp 25 Rp. 5 000

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai harga sumberdaya perikanan tertinggi adalah teripang dan terendah adalah rumput laut dan siput lola ukuran kecil. Hal ini berindikasi bahwa apabila pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat melalui sasi dapat dilaksanakan secara baik maka tentu dapat meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pelaksanaan sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasikan dalam model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini di masyarakat pedesaan. Menurut Kusumastanto (2003) dalam otonomi daerah, otonomi termasuk di wilayah laut merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkat- kan kesejahteraan masyarakat daerah dan memiliki wawasan yang jelas me- ngenai perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun dari ke- semuanya itu diperlukan adanya perombakkan yang mendasar dalam rezim open acces atas sumberdaya perikanan dan pengaturan property right dimana hak atas sumberdaya perikanan seharusnya dikembalikan kepada masyarakat karena sumberdaya tersebut dijadikan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka. Untuk itu maka pemerintah perlu segera memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan mempersiapkan

kebijakan yang mendorong kemandirian masyarakat dimana secara ekonomi politik mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right. Per- syaratan ini akan menekan pemerintah daerah mematuhi tugas dan kewajibannya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial budaya dan ekonomi guna mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumberdaya perikanan. Berdasarkan hal tersebut maka untuk pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui sasi di pedesaan Maluku di rezim otonomi daerah ini maka diperlukan adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dengan bercermin dari kegagalan dan keberhasilan sistem tersebut sebagai suatu pranata sosial yang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Satria et al. (2002) pranata sosial yang mencerminkan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan kekuatan daerah, untuk itu dalam desentralisasi daerah tidak perlu lagi menyusun formula pengelolaan sumberdaya perikanan sebaliknya daerah hanya melengkapi formula dalam merekonstruksi modal sejarah tersebut menjadi modal sosial yang riil sehingga menjadi sesuatu yang kontributif dalam mempercepat implementasi UU Pemerintahan Daerah. Dengan demikian maka pelaksanaan sasi perlu men- dapat perhatian pemerintah daerah Maluku sehingga dapat di pakai sebagai model pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat Selanjutnya model ini dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Maluku sebagai salah satu bentuk dalam penerapan pelaksanaan pembagunan perikanan berbasis masyarakat di otonomi daerah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan gerakan mengkampanyekan sasi sebagai wujud sosialisasi kepada masyarakat luas yang intinya adalah memberikan informasi tentang pentingnya pelaksanaan sasi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesa- an. Dampak dari gerakan kampanye sasi adalah adanya perubahan secara kognitif, afektif dan psikomotorik dalam masyarakat pedesaan terutama “generasi baru” sehingga menjadi sadar, mengerti, memahami dan mau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan sasi secara berkelanjutan.

peraturan secara tertulis dan tidak tertulis. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar desa memiliki peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun kebanyakan dari peraturan tersebut tidak tertulis tetapi merupakan kesepakatan musyawarah desa dan selanjutnya di- informasikan oleh pemerintah desa ke masyarakat melalui pemberitahuan desa atau melalui pertemuan-pertemuan kelompok di desa. Jenis peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis, diperlihatkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis di pedesaan Maluku, tahun 2005

Jenis peraturan

• Pembersihan pantai untuk hari-hari besar

• Larangan pengambilan karang, batu, pasir laut dan galian C

• Larangan untuk menebang pohon bakau

• Larangan untuk membuang sampah dan limbah ke pantai dan sungai

• Larangan membom dan meracuni ikan

• Larangan untuk bekerja di daerah bakau

• Larangan untuk menarik jaring redi di dekat pantai

• Menjaga kawanan ikan

• Larangan untuk tambat perahu sembarangan tempat

• Operasi purse seine harus 1 mil dari pantai

• Menjaga pantai dari abrasi

• Larangan untuk mencemarkan laut

• Larangan pengeringan pantai

• Larangan untuk membuang jaring di dekat pelabuhan

Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis memiliki konsekuensi tertentu, dimana tidak semua masyarakat mengetahui dan memahami peraturan tersebut secara baik terutama penduduk pendatang. Akibatnya terjadi banyak ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang

telah ada pada masyarakat lokal di tingkat desa perlu dilembagakan dalam suatu aturan formal yang mengikat sehingga dapat menjadi pedoman serta arah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku.

Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis umumnya ada pada desa-desa yang aktif melaksanakan sasi laut, seperti terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

berbasis masyarakat secara tertulis pada desa sasi laut, tahun 2005

No Variabel Aturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

1 Tujuan • Meningkatkan pendapatan desa

• Melindungi sumberdaya kelautan dan perikanan

• Mencegah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh orang luar

2 Jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang disasi

• Lola, Batu laga, Caping-caping, Teripang, Bakau, Karang, Kawanan ikan, Ikan hias, Batu kerikil, Pasir, Batu hitam besar.

3 Larangan • Menyelam mengambil Lola dan Teripang.

• Menangkap ikan dengan jaring di laut atau pada waktu air surut, bagi masyarakat di luar desa.

• Mengambil dan menangkap ikan hias di laut atau di air surut

• Menangkap ikan dengan bahan peledak (bom), obat bore dan yang dapat merusakkan biota laut. Ketentuan ini berlaku bagi anggota masyarakat desa maupun yang bukan.

• Setelah buka sasi maka kesempatan diberikan untuk mengambil hasil hanya 1 minggu.

• Setiap anak negeri diberi kesempatan untuk mengambil hasil dengan ketentuan memiliki surat ijin dari Raja dengan pengawasan

Kewang, senilai Rp.5000,- per lembar surat ijin dan berlaku hanya satu hari.

• Tidak dibenarkan mengambil Lola dengan ukuran di bawah 6 cm,

• Menangkap ikan dengan menggunakan pukat Karoro

• Mengambil pasir pantai tanpa izin pemilik dusun di pesisir pantai

Tabel tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan sasi diatur tentang tujuan sasi, jenis alat tangkap yang dipergunakan, jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilindungi, pelarangan penggunaan bom dan bahan beracun lainnya yang dapat merusakkan sumberdaya kelautan dan perikanan dan lingkungannya serta pengaturan terhadap larangan bagi warga masyarakat dari luar untuk memanfaatkan sumber daya perikanan secara sembarangan.

Selain itu, dibuat aturan tentang sanksi bagi masyarakat yang melanggar peraturan sasi, seperti terlihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis tentang sanksi di desa sasi laut, tahun 2005

Sanksi Jenis pelanggaran

Masyarakat Aparat Desa /Kewang Pengambilan Lola Rp. 25 000/buah Rp. 50 000/buah Pengambilan Batu laga Rp. 50 000/buah Rp. 100 000/buah Pengambilan Caping-caping Rp. 10 000/buah Rp. 20 000/buah Pengambilan Teripang Rp. 10 000/buah Rp. 20 000/buah Batu kerikil, pasir dan batu

hitam besar

Rp. 50 000 Rp. 100 000

Peraturan sasi pada beberapa desa/negeri di atas di buat oleh Kewang serta mendapat persetujuan Raja dan dikirim tembusannya kepada Bupati, Camat dan kepolisian sektor (Polsek) setempat. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjalin suatu kerjasama dalam bentuk manajemen pengelolaan perikanan antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah yang disebut ko-manajemen. Ko- manajemen perikanan adalah pembagian atau pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Defenisi ko-manajemen ini menyiratkan bahwa kerjasama antar pemerintah dan masyarakat merupakan inti ko-manajemen. Menurut Nikijuluw, (2002) ko-manajemen perikanan terdiri dari beberapa bentuk pola kemitraan serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara masyarakat dan

pemerintah. Berdasarkan derajat tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki maka terbentuk suatu hirarki rentang ko-manajemen. Menurut Pomeroy and Berkes (1997) yang dikutip Nikijuluw (2002) terdapat 10 bentuk ko-manajemen yaitu :

(1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan manajemen

(2) Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi (5) Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi

(6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra

(9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah

(10) Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

Berdasarkan bentuk ko-manajemen ini maka pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku dapat digolongkan sebagai bentuk ko-manajemen pada tingkatan ketiga yaitu masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama. Walaupun begitu, dengan adanya kesadaran dari masyarakat lokal untuk membuat peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan embrio terjadinya penerapan ko- manajemen ke arah yang diharapkan. Bentuk ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang sejajar yang bekerja sama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut Pomeroy and Williams (1994) yang dikutip oleh Zamani dan Darmawan (2001) bahwa penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu wilayah, maka ko- manajemen hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan

dalam mengelola sumberdayanya. Salah satu cara adalah mempersiapkan kebijakan yang mendorong kemandirian masyarakat (Kusumastanto, 2003), diantaranya adalah peningkatan kapasitas lembaga-lembaga lokal sebagai pengelola sumberdaya perikanan melalui pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat terutama nelayan secara khusus dan pemangku kepentingan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Adapun kondisi kegiatan pelatihan masyarakat pedesaan Maluku berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah tahun 2003 terlihat pada Gambar 8. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi kegiatan pembinaan dan pelatihan di bidang perikanan masih tergolong rendah dibandingkan dengan tanaman pangan dan kesehatan.

Gambar 8 Kondisi kegiatan pelatihan di Maluku Tengah, 2003

Untuk itu maka kegiatan-kegiatan pelatihan di bidang perikanan perlu untuk ditingkatkan dan dilakukan secara baik, terus menerus dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan perubahan pengetahuan, sikap mental masyarakat yang dapat mendorong timbulnya partisipasi aktif masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan lainnya terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku secara lebih baik

0 5 10 15 20 25 30 35 Perikanan Pertanian Tanaman Pangan

Perkebunan Kehutanan Koperasi Kesehatan

Bidang

Persen

ta

4.4 Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap