• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL , 2009-2010 (y-o-y, persen)

NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, 2010 - 2011

2.4 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal

2.4.1 Kebijakan Fiskal 2005-2009

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah salah satu instrumen Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terkait dengan perannya dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian. Peran tersebut dijabarkan ke dalam 3 fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan antara lain dengan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilitas perekonomian. Dalam hal perekonomian nasional, Pemerintah berkewajiban menyelenggarakannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan amanat UUD 1945 Amendemen keempat pasal 33.

Sejak dilaksanakannya rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pertama tahun 2005, Pemerintah senantiasa berupaya menjalankan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro growth), mengurangi pengangguran (pro job), dan mengentaskan kemiskinan (pro poor). Tiga pilar pembangunan tersebut menjadi strategi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan fiskal yang mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Stabilitas ekonomi makro diupayakan di antaranya melalui pengendalian tingkat inflasi, nilai tukar yang stabil, suku bunga yang relatif rendah, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Upaya untuk mencapai kesinambungan fiskal ditempuh melalui optimalisasi pendapatan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, pengelolaan defisit anggaran melalui pembiayaan yang manageable, serta penurunan rasio utang secara bertahap. Secara garis besar ringkasan APBN periode 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel II.8.

Realisasi APBN periode 2005-2009 sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, baik dari dalam maupun luar negeri. Pengaruh dari dalam negeri di antaranya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi hingga tahun 2008 dan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 2009. Sedangkan dari luar negeri, faktor yang sangat berpengaruh adalah krisis energi yang disebabkan oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia di akhir tahun 2007 hingga awal tahun 2008. Selain itu, di saat kondisi perekonomian dunia masih belum

pulih sepenuhnya, di akhir tahun 2008 ekonomi dunia kembali mengalami tekanan akibat terjadinya krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan krisis keuangan global, terutama bagi negara-negara maju. Meskipun demikian, negara-negara berkembang, seperti Indonesia juga merasakan imbas krisis tersebut. Volume ekspor negara berkembang ke negara maju mengalami penurunan, begitu pula dengan aktivitas investasi mengalami kelesuan. Hal tersebut menyebabkan turunnya produktifitas yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya perusahaan yang melakukan rasionalisasi, hingga tidak sedikit yang menghentikan kegiatan usahanya. Krisis energi yang mengakibatkan melonjaknya harga minyak dunia sangat mempengaruhi perekonomian dalam negeri, sehingga Pemerintah perlu melakukan penyesuaian terhadap asumsi makro. Akibat perubahan asumsi makro tersebut, pemerintah mengajukan Rancangan Perubahan APBN relatif lebih cepat pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan beberapa pos belanja negara, terutama subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik. Beberapa parameter yang mendorong terjadinya lonjakan anggaran belanja subsidi, antara lain: (1) kenaikan harga minyak mentah; (2) peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat; dan (3) lebih rendahnya jumlah konversi minyak tanah ke LPG dari yang direncanakan. Namun peningkatan belanja tersebut dikompensasi dengan meningkatnya pendapatan negara terutama dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas dan PNBP sumber daya alam migas. Di samping itu, terdapat pula beberapa pos yang mendapat windfall, diantaranya penerimaan dari laba BUMN dan bea keluar CPO. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap harga jual BBM di dalam negeri pada tahun 2008.

Sementara itu, dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang disebabkan krisis subprime mortgage, Pemerintah telah menempuh kebijakan countercyclical berupa pemberian stimulus fiskal pada tahun 2009, baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanja melalui insentif perpajakan, kebijakan untuk penguatan sektor riil dan dukungan

2005 2006 2007 2008 2009

A. Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,7

I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1

1. Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9

Tax Ratio (% thd PDB) 12,7 12,3 12,4 13,3 11,9

2. PNBP 146,9 226,9 215,1 320,6 227,1

II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,6

B. Belanja Negara 509,6 667,1 757,6 985,7 937,3

I. Belanja Pemerintah Pusat 359,2 440,0 504,6 693.4 628,8

II. Transfer ke Daerah 150,5 226,2 253,3 292,4 308,5

C. Surplus/(Defisit) Anggaran (14,4) (29,1) (49,8) (4,1) (88,6)

% thd PDB (0,5) (0,9) (1,3) (0,1) (1,6)

D. Pembiayaan 8,9 29,4 42,5 84,1 112,5

I. Pembiayaan Dalam Negeri 19,1 56,0 66,3 97,3 128,1

II. Pembiayaan Luar Negeri (10,3) (26,6) (23,9) (13,2) (15,5)

Sumber : Kementerian Keuangan

Tabel II.8

PERKEMBANGAN REALISASI APBN 2005-2009

(triliun rupiah)

Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011

II-49 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

infrastruktur. Program stimulus fiskal tersebut ditujukan untuk: (a) memelihara daya beli masyarakat; (b) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha dalam menghadapi krisis global; serta (c) meningkatkan daya serap tenaga kerja dan mengurangi PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Kebijakan countercyclical tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan tingkat defisit agar tidak melampaui batas defisit kumulatif 3 persen dari PDB, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam periode 2005-2009, defisit APBN dapat dijaga pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2007, defisit APBN mencapai Rp49,8 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB. Sedangkan pada tahun 2008, defisit APBN mengalami penurunan menjadi Rp4,1 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB. Penurunan defisit anggaran dalam tahun 2008 terutama disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L), serta terjadinya lonjakan penerimaan perpajakan yang realisasinya mencapai 13,3 persen terhadap PDB. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88,6 triliun atau 1,58 persen dari PDB. Di sisi kebijakan fiskal, Pemerintah berupaya untuk terus memacu peningkatan pendapatan negara

yang masih belum optimal, serta berupaya memantapkan basis perpajakan yang lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi pendapatan negara mulai dari tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Kinerja yang cukup baik terjadi pada tahun 2008, dimana realisasi pendapatan negara dan hibah meningkat 38,6 persen atau naik Rp273,8 triliun. Sementara itu, realisasi pendapatan negara dan hibah pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 13,5 persen

menjadi Rp848,7 triliun. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh penurunan realisasi penerimaan perpajakan dan PNBP, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia.

Sumber penerimaan terbesar dari pendapatan negara dan hibah berasal dari penerimaan perpajakan. Pada tahun 2009, kontribusi penerimaan perpajakan tersebut mencapai 73,0 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontribusinya pada tahun 2008 yang hanya sebesar 67,1 persen. Namun , secara nominal penerimaan perpajakan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5,9 persen.

Penurunan penerimaan perpajakan dalam tahun 2009 terutama berasal dari penurunan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar 48,6 persen. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor sebesar 9,7 persen dan 15 persen akibat krisis keuangan global. Di samping itu, krisis keuangan global juga sejalan dengan penurunan harga minyak di pasar internasional, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan penerimaan PPh migas sebesar 43,1 persen. Sebaliknya, penerimaan perpajakan nonmigas tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 4,4 persen. Peningkatan tersebut didukung oleh kebijakan reformasi administrasi perpajakan, langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan. Realisasi PNBP dalam tahun 2009 mencapai Rp227,1 triliun atau mengalami penurunan 29,1 persen bila dibandingkan dengan realisasi dalam tahun

0 100 200 300 400 500 600 700 2005 2006 2007 2008 2009 Grafik II.45

PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA

(triliun Rp)

PERPAJAKAN PNBP HIBAH Sumber: Kementerian Ke uangan

2008. Penurunan penerimaan tersebut terutama disebabkan oleh lebih rendahnya penerimaan SDA minyak bumi sebesar 46,7 persen, sebagai dampak dari turunnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di tahun 2009, meskipun lifting minyak mentah mengalami peningkatan. Dalam tahun 2008, rata-rata ICP (Desember 2007 – November 2008) mencapai USD101,4 per barel, sedangkan dalam tahun 2009 rata-rata ICP hanya mencapai USD58,5 per barel.

Pada sisi belanja, komitmen Pemerintah untuk mengimplementasikan tiga strategi pembangunan, yaitu pertumbuhan yang tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan dilakukan secara komprehensif. Strategi pro growth ditempuh dengan meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya melalui upaya menarik investasi dan bisnis, serta peningkatan ekspor dengan didukung langkah perbaikan iklim investasi. Strategi pro job dilakukan guna menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sementara itu, strategi pro poor diarahkan untuk melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan, peningkatan daya beli masyarakat, dan perlindungan sosial. Dalam upaya mendukung strategi pembangunan tersebut, pengelolaan belanja negara memegang peranan yang cukup penting dalam rangka mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Selama periode 2005-2009, kebijakan belanja negara utamanya diarahkan pada penajaman alokasi anggaran melalui pengalokasian belanja negara yang lebih produktif, terarah dan tepat sasaran, serta perumusan kebijakan alokasi transfer ke daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan secara nominal selama periode 2005-2009.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja, dilakukan kebijakan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) secara bertahap. Pada sisi lain, Pemerintah tetap menjaga anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat UUD tahun 1945. Di samping itu, kebijakan fiskal juga diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan, baik dari utang maupun nonutang.

Di sisi belanja negara, pengelolaan fiskal juga diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan dasar. Pemerintah terus melanjutkan berbagai program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) melalui program-program prioritas diantaranya Askeskin/Jamkesmas, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Subsidi Pangan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH).

BOS diprioritaskan untuk program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Di sisi lain, pemberian bantuan tunai bersyarat melalui PKH dilaksanakan dengan meningkatkan akses rumah tangga miskin terhadap layanan pendidikan dan kesehatan.

0 200 400 600 800 1000 1200 2005 2006 2007 2008 2009 Grafik II.46

PERKEMBANGAN BELANJA NEGARA (triliun Rp)

BELANJA NEGARA BELANJA PEMERINTAH PUSAT TRANSFER KE DAERAH Sumber: Kementerian Keuangan

Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011

II-51 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Program ini pada tahun 2009 mencakup sekitar 720.000 RTS di 13 provinsi dengan total dana sebesar Rp1,1 triliun.

Selain program-program rutin dalam pemberian bantuan dan perlindungan sosial, terdapat program BLT yang diluncurkan pada tahun 2006 dan 2008 untuk mengurangi bertambahnya beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Sasaran dari penerima BLT adalah sekitar 18,5 juta RTS.

Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang telah ditempuh tersebut diantaranya diarahkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Pada akhir tahun 2009, program ini telah berhasil mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia hingga mencapai sekitar 14,2 persen dari total penduduk. Di tengah upaya untuk mengurangi kemiskinan tersebut, Pemerintah juga tetap berupaya memberikan stimulus fiskal, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap positif pada level 4,5 persen dalam tahun 2009.

Untuk mendukung strategi tersebut, Pemerintah menempuh kebijakan countercyclical melalui pemberian stimulus fiskal guna mengurangi dampak krisis yang berakibat pada pelambatan pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal dilakukan dengan menggunakan instrumen pendapatan dan belanja negara yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif perpajakan dan tambahan belanja negara terutama untuk pembangunan infrastruktur. Stimulus fiskal merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang diharapkan akan mempengaruhi aktivitas perekonomian dalam jangka pendek.

Pada tahun 2009, defisit APBN meningkat menjadi Rp88,6 triliun atau sekitar 1,6 persen terhadap PDB, yang berarti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi defisit APBN 2008 yang hanya mencapai 0,1 persen PDB. Peningkatan realisasi defisit APBN tahun 2009 tersebut disebabkan oleh kebijakan ekspansi fiskal melalui program stimulus fiskal.

Untuk menutup defisit anggaran, kebijakan pembiayaan diprioritaskan pada pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri. Kondisi ini terlihat dari proporsi pembiayaan dalam negeri terhadap total pembiayaan yang cenderung meningkat, bahkan telah melebihi proporsi pembiayaan yang bersumber dari luar negeri sejak tahun 2006. Hal ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk secara konsisten mengembangkan pasar obligasi nasional. Dengan berkembangnya pasar Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri, maka pemerintah akan lebih fleksibel dalam mencari alternatif sumber pembiayaan yang relatif murah dan berisiko lebih rendah. Dalam lima tahun terakhir, pembiayaan luar negeri neto tercatat negatif, yang berarti bahwa penarikan pinjaman luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah untuk mengurangi beban utang luar negeri melalui pembatasan pinjaman luar negeri.

2.4.2 Kebijakan Fiskal dan Perkiraan Realisasi APBN-P 2010