• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 2 Kebijakan Migas pada Masa Orde Baru

Kepentingan Asing dalam Liberalisasi Sektor Migas Indonesia

IV. 1 2 Kebijakan Migas pada Masa Orde Baru

v UU No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi Negara

Undang-undang ini sering kali disebut sebagai UU Pertamina yang menggantikan UU No. 44 Tahun 1960. Pertamina ditetapkan sebagai satu-satunya perusahaan minyak negara yang diharapkan dapat mendatangkan pendapatan negara dari sektor migas kepada pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu.7 Penetapan

UU No. 8 Tahun 1971 menegaskan kedudukan Pertamina sebagai perusahaan negara dengan dua tanggung jawab berbeda: (1) sebagai pengelola sumber daya migas;

6 Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, (Oxford: Oxford University Press, 1982), hal. 21. 7 Francisia S.S.E. Seda, “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas”, dalam Budi P. Resosudarmo (ed.),

The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hal. 179

(2) sebagai perangkat negara yang berkewajiban memberikan pelayanan dalam penyediaan BBM bagi publik. Fungsi pertama membuka peluang bagi Pertamina sebagai representasi negara untuk melakukan kegiatan ekspor migas dengan tujuan mengisi kas negara. Fungsi kedua menempatkan Pertamina sebagai stabilisator sosial ekonomi publik.8

Perjalanan Pertamina untuk menjalankan kedua fungsi tersebut tidak berjalan mulus. Untuk menyelaraskan kedua fungsi tersebut, Pertamina mengejawantahkannya melalui bentuk kerja sama dengan pihak swasta nasional dan asing pada sektor hulu migas.9 Kondisi ini mendorong Pertamina melakukan banyak kontrak dengan

perusahaan minyak asing sebagai kontraktornya yang tertuang dalam berbagai kontrak kerja sama (KKS), seperti Production Sharing Contract (PSC), kontrak karya (KK),

Enhanced Oil Recovery Contract, dan kontrak operasi bersama. Undang-undang ini menegaskan peran Pertamina secara legal untuk menentukan PSC dengan perusahaan minyak asing yang tidak lagi melalui persetujuan DPR. Secara umum dapat dikatakan Pertamina berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan negara dalam mengelola serta mengawasi kegiatan kontraktor asing.10 Beberapa keuntungan kerja

sama dalam moda KK migas, di antaranya:11

1. Operasi perminyakan berada di bawah kendali Pertamina;

2. Sumber dana investasi, teknis, dan risiko operasi ditanggung kontraktor; 3. Biaya operasi termasuk peralatan dapat diganti;

4. Peralatan yang digunakan dapat menjadi milik Pertamina dan kontraktor harus mempekerjakan tenaga Indonesia serta mendidiknya;

5. Bagi hasil antara Pertamina dan kontraktor minyak berkisar 67 % - 70 % untuk Pertamina dan 30 % - 35 % untuk kontraktor asing, sesuai dengan perhitungan produksi minyak mentah.

8 Fekum Ariesbowo W.,”PT. Pertamina: Kuda Laut Menuju Kelas Dunia”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 66

9 Loc. Cit.

10 Baihaki Hakim, The Lone Ranger: Lekak-Likuk Transformasi Pertamina, ( Jakarta: Kata Hastaka Pustaka, 2009), hal. 7

11 Sebagaimana yang dikutip oleh Tirta N. Mursitama dan R. Maisa Yudono dari Hengki Purwoto dan Mudrajad Kuncoro, dkk., Transformasi Pertamina: Dilema antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik,

Sampai tahun 1966 konsesi pertambangan untuk perusahaan asing masih dalam bentuk kontrak kerja. Pada tahun yang sama, Ibnu Sutowo mengembangkan jenis terbaru dari kontrak konsesi pengeboran, yaitu Production Sharing Contract (PSC). Pada tahun 1966 perjanjian PSC pertama kali ditandatangani dan diimplementasikan oleh Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO), sebuah kelompok operator minyak independen yang berasal dari Amerika Serikat. Maka sejak saat itu seluruh kontrak konsesi pengeboran masuk ke dalam bentuk PSC.12

PSC memiliki beberapa karakteristik. Pertama, PSC berisi klausa manajemen yang memaksa para kontraktor untuk melakukan konsultasi secara rutin dengan Pertamina dan meminta persetujuan atas beberapa masalah terkait dengan operasi dasar. Dampak bagi kontraktor atau perusahaan asing adalah mereka harus beroperasi dengan cara-cara yang transparan dan mengembangkan sebuah proses pembelajaran untuk para pejabat Pertamina terkait dengan masalah operasional dan termasuk di dalamnya transfer teknologi. Kedua, PSC diharapkan dapat menjadi penyelesaian damai bagi pemerintah dan perusahaan minyak asing, karena setelah cost recovery,

produksi migas akan dibagi menjadi dua. Ketiga, PSC memuaskan aspirasi nasional untuk otonomi negara yang lebih luas lagi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Keempat, PSC menjamin bahwa para kontraktor hanya akan berhubungan dengan satu entitas dari pemerintah Indonesia, yakni Pertamina.13

Pada praktiknya di lapangan, di bawah perjanjian PSC, perusahaan minyak asing yang memiliki teknologi, organisasi, dan risiko kapital yang diperlukan untuk menemukan dan mengembangkan blok-blok migas. Jika minyak ditemukan melalui kegiatan eksplorasi, maka akan diperhitungkan cost recovery dan dibagi antara Pertamina (65 %) dan kontraktor asing (35 %). Namun, kecenderungannya bagian Pertamina akan selalu meningkat dan bagian kontraktor asing akan terus menurun.14

Kontrak kerja KKS/PSC antara Pertamina dan pihak kedua mendorong akumulasi kapital yang besar membuat Pertamina pada posisi pemegang kuasa pertambangan dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilisator penyedia

12 Francisia S.S.E. Seda, Op. Cit., hal. 182 13 Ibid.

BBM untuk publik seperti yang diamanatkan dalam UU No. 8 Tahun 1971.15 Keadaan

ini diperkuat oleh pendapat Maizar Rahman, komisaris Pertamina, yang menyatakan kedudukan Pertamina lebih bercorak politis ketimbang sebuah korporasi dengan kemampuan yang kompetitif pada kala itu.16 Hal ini juga diperkuat oleh Francisia

S.S.E Seda yang mengatakan bahwa adanya nature of powers yang mengontrol manajemen Pertamina.17 Kepentingan penguasa Orde Baru, Soeharto dan militer, atas Pertamina pada saat itu sangat jelas, sebagaimana disampaikan Richard Robison, pengamat ekonomi politik Indonesia:18

“Pertamina constituted the channel through which the bulk of the state’s revenue flowed, as well as the largest and the most concentrated source of contracts for construction and supply. Pertamina therefore was the strategic focus of economic power and the crucial source of revenue. The autonomy and hagemony of the military was closely dependent upon its ability to maintain its control over this terminal and to prevent this absorption by any regulised state apparatus.”

[“Pertamina memiliki saluran di mana pendapatan negara terbesar mengalir, dan juga sumber-sumber kontrak yang terbesar dan terkonsentrasi untuk konstruksi dan suplai. Oleh karena itu, Pertamina merupakan fokus strategik dari kekuatan ekonomi dan sumber penting pendapatan. Otonomi dan hagemoni militer sangat bergantung erat atas kemampuannya untuk mempertahankan kontrol atas terminal ini dan untuk mencegah penyerapan ini oleh alat regulasi negara.”]

Pada pertengahan 1990-an, ada usulan untuk merevisi UU No. 8 Tahun 1971 tentang migas yang menjadi salah satu penyebab buruknya tata kelola perusahaan yang baik di Pertamina.19 Upaya pembaruan tersebut juga didukung dengan momentum

15 Fekum Ariesbowo W., Loc. Cit. 16 Ibid.

17 Francisia S.S.E. Seda, Op. Cit. hal. 180

18 Seperti yang dikutip oleh Francisia S.S.E. Seda dari Richard Robison dalam Budi P. Resosudarmo (ed.), Op. Cit. 19 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi

UU Migas No. 22 Tahun 2001”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 59.

krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Perubahan struktural tata kelola energi nasional, khususnya sektor migas, banyak diwarnai oleh kepentingan asing yang menjadi dasar lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas nasional yang baru.