• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Liberalisasi Sektor Pertanian di Indonesia

Peran Asing dalam Liberalisasi Sektor Pertanian Indonesia

V. 1. Proses Liberalisasi Sektor Pertanian di Indonesia

V. 1. 1. Multilateral

v World Trade Organization(WTO)

WTO adalah organisasi internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan yang bersifat multilateral diatur melalui aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani negara-negara anggota. Persetujuan yang telah dihasilkan mengikat setiap negara anggota untuk dipatuhi dan dilaksanakan dalam regulasi kebijakan perdagangan di negara anggota. Tujuan utama merancang sistem perdagangan multilateral ini adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, ekportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan.

WTO secara resmi terbentuk pada tahun 1994 melalui perundangan General Agreements on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay yang berangsung dari tahun 1986 hingga 1994. Indonesia adalah salah satu pendiri WTO yang telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994.4 Isi ratifikasi

kebijakan tersebut mencakup satu paket kebijakan pemotongan atas bea masuk produk-produk tropis dari negara-negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar negara-negara anggota memberikan laporan reguler (transparansi) mengenai kebijakan perdagangan.

3 Graham Dunkley, Free Trade Adventure: GATT, WTO, Uruguay Round, A Critique, (New York: Zed Books, 2000) hal. 12

4 Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Pertanian RI, “World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia”, diakses dari www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, pada tanggal 18 Desember 2011 pukul 11. 23 WIB.

Sedangkan liberalisasi pertanian masuk ke dalam kerangka Agreement on Agriculture (AoA) WTO. AoA merupakan perangkat aturan liberalisasi pertanian yang bersifat multilateral yang menghendaki penurunan tarif, penurunan subsidi domestik, dan pengurangan subsidi ekpor. AoA sudah ada sejak WTO masih berbentuk General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1986 dan mulai diimplementasikan tahun 1995. Perundingan GATT Putaran Uruguay menghasilkan kesepakatan yang disetujui oleh semua anggota WTO yang berjumlah 139 negara yang intinya adalah penghapusan segala bentuk distorsi perdagangan. Berikut ini pokok kesepakatan dalam AoA WTO.5

Tabel V. 2.

Kesepakatan Agreement on Agriculture WTO

Kewajiban Negara Maju Negara Berkembang Akses Pasar Penentuan tarif Penurunan tarif Minimum akses Wajib 36 % dalam 6 tahun 15 % pada setiap tarif Ya, pada tingkat 3 %

Wajib

24 % dalam 6 tahun 10 % pada setiap tarif Ya, pada tingkat 3 %

Subsidi Domestik

Penurunan subsidi domestik 20 % dalam 6 tahun 13 % dalam 10 tahun

Subsidi Ekspor

Penurunan nilai subsidi Penurunan volume subsidi

36 % dalam 6 tahun 21 % dalam 6 tahun

24 % dalam 10 tahun 14 % dalam 10 tahun

Sumber: Stephenson dan Erwidodo dalam Beddu Amang dan Husein Sawit, Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, Jakarta: IPB Press, 1999, hal. 139

Kesepakatan AoA WTO tidak dipatuhi oleh seluruh negara anggota dalam taraf yang sama. Artinya, implementasi AoA oleh negara-negara anggotanya berbeda dari ketentuan WTO. Dalam forum-forum WTO seperti KTT di Doha, Qatar, dan 5 Ibid.

Cancun, Meksiko, kesepakatan tentang liberalisasi pertanian mengalami jalan buntu. Liberalisasi pertanian dan komoditas pertanian berjalan lambat, terutama dalam realisasi penurunan pembatasan impor dan subsidi domestik, sehingga dampaknya diperkirakan lebih nyata terjadi dalam pengurangan subsidi ekpor, karena kesepakatan penurunan subsidi dilakukan dalam nilai ekspor minimal (tidak memperhitungkan inflasi).6

Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari hal tersebut.7 Pertama,

kecenderungan negara anggota menerapkan tarif yang berlebihan atau dirty tariffication

yang menyebabkan tingkat tarif ekuivalen dari komoditas pertanian menjadi sangat tinggi, jauh dari estimasi tingkat tarif ekuivalen yang berlaku. Sebagian besar negara anggota WTO masih memberlakukan tariff binding yang memungkinkan negara anggota menerapkan tarif batas atau ceiling rates tariff.8 Kedua, subsidi domestik pada

sektor pertanian di negara maju, seperti Amerika Serikat, menerapkan deficiency payment dan Uni Eropa menerapkan compensation payment, dimasukkan ke dalam kategori Green Box9 di luar agregate measurement of support. Di negara-negara

berkembang dan maju, subsidi atas komoditas pertanian tetap dilakukan, terutama terhadap produk-produk pertanian yang dianggap politis dan sensitif, seperti beras dan gula pasir (negara berkembang) serta produk-produk susu dan gandum (negara maju). Ini juga berarti keputusan penurunan subsidi domestik merupakan hal yang sulit dalam pelaksanaannya.10Ketiga, terkait dengan subsidi ekpor, negara-negara maju

menggunakan skema kredit ekspor atau marketing loan lain yang dilindungi dalam

Blue Box, sehingga tidak dikenai kewajiban untuk dikurangi.11

6 Per Pinstrup Andersen, et.all, World Food Prospect: Critical Issues for the Early Twenty-First Century, Food Policy Report, (Washington DC: International Food Policy Research Institute, 1999), hal. 34

7 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal. 112-116

8 Antoine Bouet, Jean Christophe Bureau, Yvan Decreux dan Sabastien Jean, “Multilateral Agricultural Trade Liberalization: The Contrasting Fortunes of Developing Countries in the Doha Round.” Makalah Centre D’Studies Prospectives et D’Information Internationale, November 2004, diakses dari http://www.cepii.fr/ anglaisgraph/workpap/pdf/2004/wp04-18.pdf.

9 Dalam terminology WTO, subsidi diistilahkan dengan sebutan box yang mengikuti analogi lampu lalu lintas. Terdapat 3 box, yaitu Green Box, Amber Box (Blue Box) dan Red Box.Green Box adalah bentuk subsidi yang dapat terus dilakukan. Amber Box adalah bentuk subsidi yang harus dikurangi secara perlahan. Red Box

adalah subsidi yang harus dihentikan. Namun, dalam penerapan liberalisasi pertanian, Red Box cenderung tidak ada.

10 Antoine Bouet, Jean Christophe Bureau, Yvan Decreux dan Sabastien Jean, Ibid. 11 Herjuno Ndaru Kosasih, Op. Cit.

Liberalisasi pertanian di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun 1995. Indonesia termasuk negara yang cepat mengadopsi kebijakan liberalisasi yang meliputi tiga hal, yaitu penurunan tarif, subsidi ekpor, dan subsidi domestik.12

Tabel V. 3.

Kewajiban Indonesia Dalam AoA WTO

Ketentuan AoA WTO Kewajiban Indonesia

Tarif (Bea Masuk Import)

Rata-rata penurunan tarif untuk seluruh produk pertanian Penurunan tarif minimum per produk

24 % 10 % Domestic Support

Penurunan subsidi 13 %

Subsidi Ekpor Penurunan nilai subsidi Penurunan volume subsidi

24 % 14 %

Sumber: Sekretariat WTO, seperti dikutip oleh Gofar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, ( Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001).

V. 1. 2. Regional