• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regulasi Investasi Masa Orde Baru

Jejak Kepentingan Asing dalam Undang-Undang Investas

II.1.2. Regulasi Investasi Masa Orde Baru

Memasuki era Orde Baru, terjadi perubahan signifikan terhadap regulasi investasi di Indonesia. Di bawah Soeharto, Indonesia mulai gencar menarik investasi asing dalam bentuk PMA. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan yang lebih berorientasi pada ekonomi pasar. Pemerintah melihat bahwa PMA merupakan media penting bagi transformasi sumber daya yang melimpah di Indonesia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. PMA diperlukan untuk membawa modal, inovasi teknologi, dan keterampilan yang dibutuhkan negara.5

Meski lebih liberal, masuknya PMA di era Orde Baru tetap dibatasi oleh negara yang masih memainkan peran aktif dalam meregulasi modal asing di Indonesia melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang berperan sebagai lembaga pengatur dan pemantau PMA yang masuk ke Indonesia. Namun dalam praktiknya BKPM bukanlah satu-satu instansi pemerintah yang berwenang dan mengatur investasi asing. Bagi perusahaan manufaktur besar, perizinan juga harus didapatkan melalui Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Bank Indonesia, kantor pajak, kantor dinas tata kota serta tingkat pemerintahan yang lebih rendah.6

Liberaliasi di tahun 1967 dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Pasal 6 Ayat (1) termuat ketentuan: “Bidang- 5 Abdul Khaliq dan Ilan Noy, “Foreign Direct Investment and Economic Growth: Empirical Evidence from

Sectoral Data in Indonesia”, diakses dari http://www.economics.hawaii.edu/research/workingpapers/WP_07- 26.pdf, pada tanggal 30 Desember 2011 pkl. 20.00

6 Mutiara Arumsari, Dinamika Hubungan Negara-Multinational Corporation (MNC): Studi Kasus Konflik Indonesia-Karaha Bodas Company (KBC) dalam Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas (1998-2007), (Depok: Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI), hal. 52.

bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut: a. pelabuhan-pelabuhan; b. produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; c. telekomunikasi; d. pelayaran; e. penerbangan; f. air minum; g. kereta api umum; h. pembangkitan tenaga atom; i. mass media”. Walupun sektor- sektor tersebut dinyatakan sebagai sektor strategis dan penting dan dikuasai oleh negara, di sisi lain Undang-undang No. 1 Tahun 1967 juga mencantumkan ketentuan bahwa asing boleh memiliki saham hanya sampai 5 %. Dengan demikian terlihat bahwa undang-undang ini telah membuka peluang keterlibatan asing pada sektor- sektor strategis negara, meskipun masih dalam porsi yang amat terbatas.7 Liberalisasi

sektor strategis ini kemudian berlanjut dengan diterbitkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1968. Dalam Pasal 3 Ayat (1) tercantum ketentuan bahwa “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 % daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional”. Dengan ketentuan ini sangat jelas bahwa kepemilikan asing mulai bertambah menjadi 49 %.8

Pada tahun 1985 BKPM selaku badan yang mengatur aliran PMA melakukan beberapa perubahan kebijakan menyangkut investasi, di antaranya adalah jangka waktu perserujuan investasi oleh BKPM dari 12 minggu menjadi 6 minggu. Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah melakukan perubahan secara mendasar pada UU PMA 1967 yaitu menyangkut perpanjangan izin perusahaan-perusahaan asing selama 30 tahun dan penghapusan persyaratan investasi sebesar US$ 1 juta pada beberapa kegiatan seperti konsultasi dan lain-lain.9

Pada masa ini inisiatif kebijakan investasi dikembangkan, karena dipandang mampu mendorong ekspor non-migas yang kemudian dikenal dengan Paket 6 Mei 1986 yang memiliki beberapa poin penting, yaitu (1) mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85 % outputnya diekspor, (2) memberikan fasilitas pinjaman dana bank apabila sekurang-kurangnya 75 % modal saham (equity) dimiliki oleh orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51 % sahamnya ditawarkan di Bursa Efek Jakarta

7 Marwan Batubara, “Memanfaatkan Sumber Daya Alam untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, diakses dari http://satunegeri.com/berita-86-memanfaatkan-sumber-daya-alam-untuk-sebesarbesarnya- kemakmuran-rakyat.html, pada tanggal 12 Desember 2011 pkl.11.00

8 Ibid.

(BEJ), dan bila sekurang-kurangnya 51 % saham dimiliki oleh orang Indonesia dan sekurang-kurangnya 51 % dari sahamyang ditawarkan 20 % di antaranya ditawarkan di BEJ.10

Di samping itu, untuk memberikan perlindungan hukum bagi investor asing, pemerintah telah menyepakati Investment Guarantee Agreement (IGA) dengan 61 negara. Indonesia juga telah menandatangani secara bilateral the Investment Promotion and Protection Agreements dengan 55 negara dan, untuk menghindari pajak ganda insidental, perjanjian pajak dengan 50 negara. Selain itu, pemerintah telah berpartisipasi dan menandatangani kesepakatan Convention on the Settlement of Investment Disputes

pada tahun 1970 dan bergabung dengan the Multilateral Investment Guarantee Agency

(MIGA) pada tahun 1986.11

Pada bulan Mei 1990 pemerintah Orde Baru mengubah kembali regulasi PMA melalui peraturan pemerintah dengan memperkecil investasi minimum yang dapat ditanamkan oleh investor asing di berbagai sektor dari US$ 1 juta menjadi US$ 250 ribu. Regulasi ini juga membuka kesempatan yang lebih luas kepada investor asing untuk berinvestasi di sektor-sektor yang sebelumnya tertutup bagi campur tangan asing, seperti telekomunikasi, perkapalan, industri penerbangan, jalur kereta api, dan media massa. Pada tahun 1993 pemerintah kembali memberikan insentif guna menarik aliran PMA yang lebih besar lagi ke dalam negeri melalui Paket Deregulasi 1993 (PAKTO 1993) yang isinya memudahkan investor asing menanamkan modal di Indonesia.12

Selanjutnya, pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan PP No. 20/1994, di mana dalam Pasal 5 ayat (1) termuat ketentuan: “Perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom, dan mass media”. Pasal 6 ayat (1) PP No. 20/1994 memuat ketentuan: “Saham peserta 10 Sarwedi, “Investasi Asing Langsung Di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya”, diakses dari puslit.

petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=AKU02040102, pada tanggal 18 Januari 2012, pkl.10.00 11 Ibid.

12 Harvey Goldstein, “Doing Business in Indonesia,” dalam Richard Mann (ed.), United StatesInvestment in Indonesia, (Toronto: Gateway Books, 1994), hal 131

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5 % dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian”. Sehingga, dalam hal ini asing sudah boleh memiliki saham mencapai 95 %.13 Dari evolusi kebijakan

pemerintah seperti ini dapat dilihat bahwa liberalisasi investasi, termasuk di sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dilakukan secara bertahap.