• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Masa Lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

3.2. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Masa Lalu

Rangkaian pengelolaan keuangan daerah, laporan keuangan disusun oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) sebagai entitas pelaporan, menyajikan laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan Parturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi pemerintah (SAP), laporan keuangan inilah yang kemudian diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengelolaan keuangan ini mencakup seluruh transaksi keuangan yang dikelola oleh setiap SKPD dan dikoordinir oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) yang mengemban fungsi sebagai SKPKD.

Pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari penyusunan anggaran anggaran pendapatan dan belanja daerah, perubahan anggaran pendapapatan dan belanja daerah, laporan semesteran, laporan prognosis realisasi anggaran, laporan realisasi anggaran, neraca hingga catatan atas laporan keuangan disusun secara otonomi oleh SKPD sebagai entitas akuntansi yang kemudian diverifikasi dan dikompilasi oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) sebagai entitas pelaporan menjadi laporan keuangan Kabupaten Lingga. Sedangkan laporan arus kas disusun secara sentralistik oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD). Pengelolaan keuangan daerah tersebut tetap berpedaoman pada aturan yang berlaku. Kebijakan akuntansi yang diterapkan dalam pengelolaan balanja daerah secara umum telah sesuai dengan

ketentuan SAP, walaupun masih terdapat kebijakan yang belum sepenuhnya mengikuti SAP.

Dalam hal pelaporan dan pengawasa laporan keuangan Kabupaten Lingga, dapat dikatakan berhasil atau tidak, dapat dilihat dari opini audit BPK terhadap Kabupaten Lingga, sebagai berikut:

Tabel. T-III.11.

Opini BPK terhadap LKD Kabupaten Lingga Tahun 2007-2010

TAHUN OPINI BPK TERHADAP LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN LINGGA

2007 WDP ( Wajar Dengan Pengecualian)

2008 WDP ( Wajar Dengan Pengecualian)

2009 WDP ( Wajar Dengan Pengecualian)

2010 WDP ( Wajar Dengan Pengecualian)

Sumber: DPPKA Kab. Lingga 2010

Berdasarkan dinamika kebutuhan masyarakat, pencapai visi dan misi daerah, serta kebijakan Pemerintah Pusat, maka arah kebijakan pengelolaan pendapatan daerah ditetapkan sebagai berikut:

1) Meningkatkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah agar memperkuat kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, melalui upaya ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi penerimaan daerah.

2) Meningkatkan kualitas aparatur pengelola keuangan daerah agar mampu mengembangkan kreatifitas, inisiatif, kemampuan, dan memiliki motivasi yang kuat dalam menggali potensi dan sumber-sumber baru yang ada dalam

meningkatkan penerimaan asli daerah dan mengelola keuangan daerah secara optimal, efisien dan efektif dan menghindari kebocoran.

3) Meningkatkan kualitas manajemen pengelolaan keuangan daerah, agar lebih akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan dan transparan), dapat dimanfaatkan secara tepat waktu, tepat sasaran dan efisien.

4) Menumbuhkan dan mengembangkan lembaga keuangan non bank milik pemerintah daerah (BUMD) yang bergerak dalam permodalan usaha mikro yang mampu meningkatkan dan mendorong pertumbuhan serta perkembangan usaha ekonomi masyarakat kecil secara merata.

Arah kebijakan belanja lebih ditekankan dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dengan mengacu pada azas umum pengelolaan keuangan daerah yaitu dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan serta manfaat untuk masyarakat. Arah kebijakan belanja daerah meliputi:

1) Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi urusan wajib pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial, fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga meningkatkan efisiensi, efektivitas dan penghematan di bidang belanja daerah.

2) Memprioritaskan anggaran untuk membiayai program dan kegiatan pada SKPD yang bertanggungjawab melayani masyarakat secara langsung dan

Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran, Prioritas dan Plafon Anggaran, Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA SKPD).

3) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau cukup tersedia dimana semua pengeluaran daerah termasuk subsidi, hibah dan bantuan keuangan lainnya yang sesuai dengan program pemerintah daerah didanai melalui APBD sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan keuangan daerah.

4) Anggaran belanja diklasifikasikan menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek belanja.

5) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk pelaksanaan pelayanan publik setiap SKPD serta pemeliharaan aset daerah melalui pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, diktum keenam, yang menginstruksikan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) agar melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Perubahannya.

Pelaksanaan otonomi daerah menuntut adanya peningkatan kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang cenderung bertambah besar setiap tahunnya akan mendorong pemerintah daerah mencari sember-sumber pendapatan baru yang sepadan dengan kebutuhan daerah.

Namun demikian pembiayaan pembangunan tidaklah hanya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah semata tanpa adanya partisipasi kalangan dunia usaha dan swadaya masyarakat.

Arah pengelolaan pembiayaan ke depan diharapkan didalam pembiayaan pembangunan sumber dana APBD tersebut menjadi stimulan bagi pembiayaan pembangunan daerah. Dalam hal ini maka perlu diciptakan situasi yang kondusif bagi tumbuhnya investasi swasta dan institusi lainnya untuk mengembangkan berbagai potensi unggulan daerah.

a. Proporsi Penggunaan Anggaran

Pendapatan Daerah Kabupaten Lingga dikelompokkan dalam dalan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain PAD yang Sah. Lain-lain PAD yang Sah adalah pendapatan yang tidak dapat dimasukan dalam jenis pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kelompok selanjutnya adalah Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, yang antara lain bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan, bagi hasil Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan bagi hasil Pajak Penghasilan. Selanjutnya adalah Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk block grand dari Pemerintah, dengan memperhatikan kemampuan fiskal daerah dan kebutuhan fiskal daerah. DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Selanjutnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu dana perimbangan yang penggunaannya ditentukan oleh Pemerintah, misalnya untuk bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang perdagangan, dan bidang infrastruktur. Ketentuan tentang DAK juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005. Kelompok terakhir adalah Lain-lain Pendapatan yang Sah, yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Propinsi, antara lain Pajak Bahan Bakar Minyak, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Permotor, Pajak Air Bawah Tanah, dan bantuan keuangan/hibah dari Pemerintah Propinsi. Kemudian Dana Penyesuaian

Otonomi Khusus, yang biasanya berasal dari Pemerintah Pusat, misalnya dana insentif daerah dan dana tambahan penghasilan untuk guru.

b. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah

Perubahan yang signifikan dalam pengelolaan keuangan daerah dimulai dengan pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 1999. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan daerah, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang memperkenalkan Anggaran Berbasis Kinerja. Ketentuan tersebut diperbaiki sehingga dihasilkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian diikuti pedoman teknisnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Salah satu isi berbagai peraturan tersebut di atas, bahwa penyusunan anggaran harus berdasarkan atau berbasis kinerja. Pada struktur APBD berbasis kinerja dapat dilihat adanya ketentuan surplus dan defisit anggaran. Kemudian berbasis kinerja juga pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, setiap usulan anggaran pendapatan dan anggaran belanja harus memperhatikan kinerja

input (masukan) yang digunakan, output (keluaran) yang dihasilkan dan outcomes

(hasil) atau berfungsi output sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Anggaran berbasis kinerja juga memperhatikan nilai waktu dari uang (time value of money), yaitu ekonomis, efisiensi dan efektifitas. Selain berbasis kinerja, berbagai ketentuan tersebut juga masih menerapkan anggaran berimbang, artinya berimbangkan bahwa surplus anggaran harus jelas digunakan untuk apa dan apabila terjadi defisit anggaran yang jelas sumber untuk menutupnya. Dalam struktur anggaran

keberimbangan diperlihatkan pada SILPA Tahun berkenaan nilainya adalah 0 (nol) Rupiah.

Mendasarkan berbagai peraturan tersebut dan perkembangan APBD selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, maka pada Pendapatan Daerah perlu dilakukan pembenahan pengelolaan PAD, khususnya jenis Lain-lain PAD yang sah. Data menunjukkan adanya perubahan yang sangat fantastis, tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat sebesar 337,66%. Jika diperhatikan dari data penjabaran APBD, maka peningkatan ini disebabkan oleh adanya penerimaan dari jasa giro dan deposito. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku penempatan sebagain pendapatan daerah yang belum akan segera dikeluarkan dalam bentuk belanja ke lembaga perbankan, harus disertai dengan perjanjian, pelaporan yang transparan, prinsip kehatian-hatian dan manajemen kas daerah yang optimal. Peningkatan Lain-lain PAD yang sangat fantastis terjadi pada tahun 2009 mencapai 746,19% jika dibandingkan tahun 2008. Berdasarkan data penjabaran APBD tahun 2009, peningkatan ini disebabkan adanya Pendapatan dari Pengembalian dari Uang Muka sebesar Rp 20.000.000.000,-, apabila uang muka yang dimaksud adalah dalam pelaksanaan belanja barang/jasa dan belanja modal, maka adanya pengembalian uang muka menunjukkan perencanaan anggaran yang lemah. Tetapi pada tahun 2010 menurun sampai 73,41% dibandingkan dengan tahun 2009.

Struktur APBD Tahun Anggaran 2008 menunjukkan perencanaan anggaran yang kurang optimal. Hal ini dapat ditunjuk adanya dana sebesar Rp 88.208.742.000,- (pada SILPA tahun berkenaan). Dari perpektif lain, kekurangan optimal tersebut karena ada adanya perkiraan yang terlalu tinggi terhadap SILPA tahun lalu. Sebaiknya apabila pada tahun 2008 direncanakan defisit anggaran sejumlah Rp 124.599.365.000,- dan akan menambah penyertaan modal sejumlah Rp 3.500.000.000,- maka perkiraan SILPA tahun sebelumnya sejumlah Rp 128.099.365.000,- bukan sejumlah Rp 216.308.107.000,-. Apabila SILPA tahun

sebelumnya sejumlah Rp 18.099.365.000,- maka SILPA Tahun berkenaan nilainya menjadi Rp 0, yang berarti pula perencanaan anggarannya lebih optimal.

Struktur APBD Tahun Anggaran 2009 menunjukkan perencanaan anggaran yang kurang optimal pula, yang ditunjukkan ketidakjelasan sumber untuk menutup defisit anggaran. Defisit anggaran sejumlah Rp 277.009.337.000,- dan rencana menambah investasi daerah sejumlah Rp 3.675.000.000,-, sehingga total defisit menjadi sejumlah Rp 280.684.337.000,-, tetapi perkiraan SILPA tahu berkenaan hanya sejumlah Rp 262.353.392.000,- yang kemudian mengakibatkan menggunakan SILPA tahun berkenaan sejumlah Rp 18.330.945.000,-. Sebagaimana ketentuan perundangan, maka sumber untuk menutup defisist harus jelas, tidak diperbolehkan menganggarkan SILPA tahun berkenaan untuk menutup defisit. Sebagaimana diketahui, proses penentuan besarnya SILPA dimulai dengan audit BPK yang hasilnya diserahkan kepada eksekutif, kemudian dibahas bersama dengan DPRD dan dimintakan evaluasi kepada Gubernur untuk kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, yang pada umumnya ditetapkan antara bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober. yang berlebihan yang tidak dialokasikan pada belanja, khususnya ke belanja langsung. Terhadap kondisi tahun 2009, maka untuk mengoptimalkan perencanaan anggaran dilakukan peningkatan target Penerimaan Daerah dan merasionalkan Belanja Daerah sehingga defisist dapat dikurangi untuk disesuikan dengan perkiraan yang realistis dari SILPA tahun sebelumnya (tahun 2008).

Struktur APBD Tahun Anggaran 2010 menunjukkan perencanaan anggaran yang kurang optimal pula, hampir sama dengan kondisi tahun 2010 hanya besarnya relatif lebih kecil. Optimalisasi perencanaan anggaran dilakukan dengan mengurangi besaran rencana penyertaan modal dari semula Rp 5.500.000.000,- menjadi sebesar Rp 3.675.001.000,-, sehingga keseluruhan defisit dapat ditutup dari perkiraan yang realistis terhada SILPA tahun sebelumnya (tahun 2009).

Meskipun belum optimal dalam pengelolaan perencanaan anggaran, dari sisi presentase antara belanja tidak langsung dengan belanja relatif lebih baik. Sebagaimana kita ketahui bahwa belanja langsung merupakan bentuk resposifitas pemerinta daerah dalam memenuhi kebutuhan dan pelayanan langsung pada masyarakat, serta menunjukkan pula besaran investasi yang langsung dilakukan oleh pemerintah daerah. Beberapa daerah pada saat ini mengalami kemampuan keuangannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, lebih dari 50% anggaran dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan belanja tidak langsung, khususnya belanja pegawai. Pada tahun 2007 persentase belanja langsung mencapai 72,45%, sedangkan belanja tidak langsung sebesar 27,55%. Komposisi belanja langsung sebagian besar digunakan untuk belanja modal, yang persentasenya sebesar 45,56%. Pada tahun 2008 persentase belanja langsung sebesar 71,13%, sedangkan belanja tidak langsung sebesar 28,87%. Komposisi belanja langsung sebagian besar digunakan untuk belanja modal, yang persentasenya mencapai 57,15%. Pada tahun 2009 persentase belanja langsung mencapai 70,76%, sedangkan belanja tidak langsung sebesar 29,24%. Komposisi belanja langsung sebagian besar digunakan untuk belanja modal, yang persentasenya mencapai 56,14%. Pada tahun 2010 persentase belanja langsung mencapai 66,35%, sedangkan belanja tidak langsung sebesar 33,65%. Komposisi belanja langsung sebagian besar digunakan untuk belanja modal, yang persentasenya mencapai 43,92%.

Dokumen terkait