• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2. TINJAUAN TEORITIS

2.9 Risalah Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah

2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory

Selama dekade 1980-an (saat fokus paradigma kebijakan ekonomi telah bergeser ke moneterisme dan ekonomi rasionalisme), telah terjadi pergeseran dari keunggulan komparatif suatu wilayah ke keunggulan kompetitif, dan telah terjadi pergeseran strategi perencanaan dari Master Planing dan Struktural Planing kepada Pardigma Startegic Planning. Berkaitan dengan itu perlu konseptualisasi pertumbuhan ekonomi regional dan pembangunan telah mulai muncul apa yang

sekarang dikenal dengan ‗New Growth Theory‘ (Stimson dan Stough, 2008). Rees (1979 dikutip Stimson et al., 2006) mengusulkan bahwa teknologi merupakan pengendali utama dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sejak itu hingga 2 sampai 3 dekade, ternyata literatur ilmu regional telah memperlihatkan bagaimana teknologi secara langsung banyak dikaitkan dengan konsep aglomerasi perekonomian dalam pengembangan ekonomi wilayah. Setelah periode tersebut banyak dikaitkan ke konsep baru yaitu konsep tentang kewirausahaan atau entrepreneurship lama (yang dikemas kembali), kelembagaan dan leadership (Stimson et al., 2006).

Lucas, (1988) dan Romer (1990) telah mencari hubungan untuk menjelaskan perkembangan teknis (technical progress) dalam perannya sebagai generator perkembangan ekonomi yang merupakan pengaruh endogenik

(ketimbang eksogenus) sebagai faktor yang diyakini oleh ekonom neoklasik dalam periode yang sangat lama. Erickson (1994) adalah diantaranya yang menunjukkan bahwa perubahan teknologi berkaitan dengan kekompetitifannya suatu wilayah. Selain itu, siklus produk, bila digabungkan kedalam spatial setting secara berbeda dalam suatu wilayah maka ada melalui 3 tahap yaitu: (i) tahap inovasi, (ii) tahap pertumbuhan, (iii) tahap standarisasi (Stimson et al., 2006).

Selama periode transisi, suatu produksi akan bergeser dari wilayah asal yang berbiaya tinggi ke wilayah dengan biaya produksi yang lebih rendah. Pergeseran tempat produksi ini seringkali bahkan harus merelokasi ke luar negeri, dengan cara mempercepat evolusi proses internasionalisasi dalam proses produksi. Dengan begitu beberapa wilayah merupakan innovator, sementara wilayah lainnya menjadi cabang pabriknya ataupun resipien dari inovasi tersebut, dan ini mungkin menjadi inovator melalui pertumbuhan endogenik. Markusen (1985 dalam Affandi, 2009) memperluas penerapan teori siklus produk dengan cara mengartikulasikan bagaimana siklus profit dan oligopoli dalam berbagai jenis organisasi dan pengembangan korporasi bisa melipatgandakan perbedaan pengembangan wilayah.

Konsep tentang innovative mellieu harus diformulasikan untuk menjelaskan : how, when and why dari suatu generasi teknologi baru. Gagasan itu berhubungan kembali tentang pentingnya untuk melakukan aglomerasi perekonomian dan lokalisasi ekonomi yang telah dipandang lebih maju dalam pengembangan ruang-ruang industri baru (Krugman, 1991, 2010a, dan 2010b). Fukuyama (1999) telah menunjukkan bahwa bukan hanya faktor ekonomi saja penentunya tetapi juga faktor-faktor nilai dan kultur – termasuk modal sosial dan trust— yang sangat penting bagi peningkatan aglomerasi teknologi tersebut. Fenomena pada Silicon Valley merupakan contoh nyata, di sana terjadi kolaborasi diantara berbagai pengusaha kecil dan menengah melalui jejaring dan aliansi serta hubungan dengan universitas, meniru suatu Research & Development serta iklim bisnis entrepreneurships.

Namun Ress (2001 dikutip Stimson et al., 2006) menunjukkan bahwa teori yang didasarkan pada teknologi untuk pengembangan ekonomi wilayah perlu mengintegrasikan peranan entrepreneurships dan leaderships utamanya sebagai

faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dan oleh karena itu link antara peranan perubahan teknologi dan leadership yang dapat diarahkan ke pertumbuhan wilayah industri baru dan untuk melakukan regenerasi terhadap industri yang lebih tua.

Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa New Growth Theory Model memungkinkan dan mempunyai implikasi bahwa ada dua aspek penting yaitu: (i) efek aglomerasi (skala ekonomi dan eksternalitas) dan (ii) ketidaksempurnaan pasar, dengan mekanisme harga tidak perlu membangkitkan terhadap pilihan outcome melalui alokasi sumberdaya yang efisien. Selain itu juga bahwa proses akumulasi kapital dan perdagangan bebas tidak perlu mengarah ke konvergensi upah dan level harga diantara semua wilayah, dengan efek aglomerasi yang positif serta dengan konsentrasi aktivitas ke beberapa wilayah saja melalui efek self- enforcing yang menarik bagi investasi baru. Artinya yang paling penting, dalam konsep New Growth Theory memungkin terjadi aglomerasi maupun divergensi. 2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan Perencanaan

Pembangunan Ekonomi Wilayah

Menurut Stimson dan Stough (2008), bahwa tantangan yang dihadapi oleh para perencana pengembangan ekonomi wilayah ke depan adalah bagaimana untuk merumuskan kebijakan yang akan memberikan respon kepada: (i) adanya dinamika global, dan (ii) adanya kekosongan kebijakan pemerintah yang mampu mempercepat adopsi kebijakan makro yang berorientasi untuk kepentingan regional. Pada kenyataanya sampai kini bahwa pada satu waktu wilayah diproteksi terhadap adanya serangan kompetisi dari luar, dan untuk beberapa konteks perekonomiannya bisa dimanipulasi oleh pemerintahan pusat. Tetapi bahwa kemampuannya adalah untuk berkompromi dalam mengatasinya sebagai ekonomi rasionalisme yang dikejar oleh pemerintah pusat telah meninggalkan banyak wilayah yang mengekang dirinya sendiri. Beberapa wilayah terus mencari dukungan dan mencari sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi agar mengarahkan perekonomian dan investasinya untuk merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya banyak sekali wilayah yang gagal untuk memahami bahwa globalisasi telah meninggalkan pemerintahan yang

levelnya lebih tinggi manakala power-nya lemah yang sering dapat menyebabkan gagalnya peningkatkan daya kompetisi dari ekonomi wilayah.

Sehubungan dengan itu menurut Stimson et al., (2006) bahwa dalam era kebijakan kontemporer itu nampaknya bahwa akan semakin dan semakin terserah kepada masing-masing wilayah untuk berkembang ke arah mana dan untuk pemanfaatan apa semua sumberdaya yang dimiliki sendiri dalam rangka berkompetisi secara internasional agar dapat survive dalam pembangunan ekonomi. Jadi sekarang kelenturan dalam proses endogenik harus didukung oleh kebijakan pengembangan ekonomi regional masing-masing. Untuk melakukan itu, suatu wilayah harus memahami faktor-faktor apa saja yang menyusun dinamika abad perekonomian baru yang telah muncul di akhir abad ke 20 ini.Menurut Stimson et al., (2009) beberapa tema kunci muncul berkaitan dengan faktor penyusun pertumbuhan dan pembangunan regional serta daya kompetisinya dari suatu wilayah. Beberapa diantaranya berhubungan dengan peranan proses dan faktor-faktor endogen. Namun sekarang mulai nyata adanya kesadaran universal seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti yaitu faktor institutional embededness dan faktor endogen serta proses endogen dalam pembangunan ekonomi wikayah. Menurut Stimson dan Stough (2008) kinerja dan perkembangan faktor-faktor endogen itu merupakan penentu bagi daya kompetitif setiap wilayah. Karena itu sekarang inisiatif kebijakan pembangunan ekonomi wilayah cenderung lebih berorientasi ke kota ataupun ke suatu wilayah yang mampu merespon perubahan yang cepat dalam situasi perubahan lingkungan global yang makin cepat seperti dewasa ini. Sementara teori pertumbuhan endogenik mensyaratkan pentingnya faktor leadership, entrepreneurship dan kelembagaan, tetapi menurut Stimson et al., (2006) tidak banyak analisis yang mau melakukan konseptualisasi secara menyeluruh apalagi sampai mengukur faktor-faktor tersebut sebagai faktor endogenik penentu dalam proses pembangunan ekonomi wilayah.

2.9.5 Bentuk Model dari The New Growth Theory Pembangunan Ekonomi