• Tidak ada hasil yang ditemukan

sebuah kegiatan yang dianggap

Pada abad ke 18, ilmuwan sosial Prancis, Alexis de Tocqueville, mene- mukan bahwa keunggulan bangsa Amerika disebabkan mereka mempu- nyai kemampuan asosiasional yang ku- at. Artinya, bangsa tersebut mempunyai kemampuan yang kuat untuk membuat organisasi dan memanajemeninya. Bangsa Indonesia hampir sama: mudah membuat organisasi, tetapi tidak mem- punyai kecakapan dalam memanaje- meninya. Republik Indonesia adalah se- buah organisasi milik bangsa Indonesia. Dengan kekayaan yang berlimpah ruah, toh administrasi negara RI tidak cukup menghasilkan bangsa Indonesia yang terunggul, paling tidak di Asia. Human Development Index kita masih kalah dibanding negara-negara tetangga.

Laporan Human Development Pro- gress yang diterbitkan UNDP pada tahun 2004 meletakkan Human Deve- lopment Score Indonesiapada ranking HDI ke-112 dari 175 negara yang di- survei. Posisi ini di bawah RRC (104), Sri Lanka (99), dan negara-negara ASEAN yaitu Singapura (28), Brunei (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85). Posisi ini bahkan meru- pakan penurunan dari prestasi sebe- lumnya. Pada tahun 2002 UNDP mela- porkan bahwa Indonesia mendapat nilai 0,684 atau rangking 110 di bawah Vietnam yang mendapat nilai 0,688 (urutan 109), Cina 0,762 (urutan 96), Filipina 0,754 (urutan 77), Thailand 0,762 (urutan 70), Malaysia 0,782 (urutan 59), Brunei Darussalam 0,856 (urutan 32), Singapura 0,885 (urutan

WAWA S A N

Begitu alamiahnya

pemberdayaan sehingga

kita lupa bahwa

"proses itu penting".

Kebiasaan manusia

Indonesia untuk take

it for granted membuat

pemberdayaan menjadi

sebuah kegiatan

yang dianggap

"jadi dengan sendirinya".

25), dan Jepang 0,933 (urutan 9). Un- tuk diketahui, HDI adalah indeks cam- puran yang merupakan ukuran rata-ra- ta prestasi penting atas tiga dimensi da- sar dalam pengembangan atau pemba- ngunan manusia, yaitu (a) kesehatan (a long and healty life);(b) pengetahuan (knowledge); (c) kelayakan standar hi- dup (a decent standard of living). Se- mentara itu, dalam hal korupsi, menu- rut Transparency International Indo- nesia "masih" menduduki posisi kelima negara paling korup di dunia (membaik dari posisi kedua pada tahun lalu).

Pemberdayaan adalah sebuah kon- sep bahwa meskipun itu kehidupan ada- lah proses alami, namun kehidupan pun perlu dan harus dimanajemeni. Konsep "memanajemeni" berbeda dengan "re- kayasa", karena manajemen lebih fokus kepada meningkatkan "nilai tambah" dari "sesuatu aset". Jadi, pemberdayaan bukanlah semata-mata konsep politik, melainkan lebih suatu konsep manaje- men. Dan, sebagai konsep manajemen, pada akhirnya pemberdayaan harus mempunyai indikator keberhasilan.

Para relawan sosial, khususnya yang bergerak pada program pengarusuta- maan gender (gender mainsteraming) biasanya memberikan empat indikator bagi kualitas kesetaraan gender, yang ternyata cukup sesuai jika diterapkan untuk mengukur pemberdayaan. Perta- ma, akses, yang berarti target yang di- berdayakan pada akhirnya mempunyai akses akan sumber daya yang diperlu- kannya untuk mengembangkan diri. Kedua, partisipasi, yang berarti target yang diberdayakan pada akhirnya dapat berpartisipasi mendayagunakan sum- ber daya yang diaksesnya tersebut. Ke- tiga, kontrol, dalam arti target yang di- berdayakan pada akhirnya mempunyai kemampuan mengontrol proses penda- yagunaan sumber daya tersebut. Ke- empat, kesetaraan, dalam arti pada tingkat tertentu di mana terjadi konflik, target mempunyai kedudukan yang sa- ma dengan yang lain di dalam pemecah- an masalah tersebut.

Agenda Pembangunan

Akhirnya, pemerintahan Presiden Yudhoyono perlu untuk sampai kepada sebuah pemahaman bersama bahwa bangsa Indonesia perlu membangun pemberdayaan sebagai metode pemba- ngunan nasional. Bukan saja karena "pemerintah tidak mempunyai uang yang cukup banyak untuk melakukan pembangunan berpola government dri- ven", namun juga karena model ini akan menjadikan pembangunan sebagai ke- wajiban bersama antara pemerintah dan rakyat. Tatkala pemahaman ini ter- bangun maka dalam kondisi perekono- mian yang sulit, rakyat akan dapat dia- jak berbicara untuk berkorban bersama. Misalnya tidak tersedia lagi subsidi bagi BBM, rakyat dapat diajak untuk ber- bicara dan membuat keputusan bahwa "we don't need another subsidy".

Negara dengan rakyat yang "tidak berdaya" akan berisi pemerintahan yang berhadapan dengan rakyat yang manja, menang sendiri, dan tidak mau diajak bertanggungjawab. Hari ini pun kita sudah melihatnya. Desakan untuk mempunyai the strong leader, atau kon- sep "Ratu Adil" adalah konsep dari rak- yat yang "tidak berdaya", dan sekaligus

memberitahu kita sebuah fenomena "rakyat yang tidak dewasa". Seperti lelu- con politik: PM Inggris, PM Prancis, dan Presiden Indonesia berwisata ber- sama. Mendadak masing-masing ken- tut. PM Inggris berkata "forgive me"; PM Prancis berkata "pardon me"; Presiden Indonesia berkata, "not me!". Karena di Indonesia pun kentut diang- gap salah--padahal baik demi kese- hatan-- apa lagi berbuat yang lain.

Pembangunan perlu menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan pilihan kebijakan, sekaligus juga sebagai pem- belajaran sosial, dalam arti kita selalu belajar bagaimana melakukan pember- dayaan yang semakin hari semakin baik. Karena, seperti kata cendekiawan Soedjatmoko, bahwa pembangunan tidak lain adalah belajar untuk hidup lebih baik daripada hari kemarin. Dan, pembelajaran adalah bagian inti dari pembangunan pada zaman kini dan, mungkin, sampai kurun waktu yang panjang di masa depan. „

* Konsultan manajemen strategis untuk sektor bisnis dan publik. Menulis lebih dari 40 buku. Saat ini ia menjabat sebagai Board Member dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta.

WAWA S A N

L

okakarya Kajian Hu- kum dan Perundang- an Terkait Air Mi- num dan Penyehatan Ling- kungan di Indonesia ber- langsung 13 Juli 2006 di Ho- tel Bumi Karsa Bidakara, Ja- karta. Lokakarya ini dihadiri oleh utusan dari beberapa instansi seperti Bappenas, Departemen Kesehatan, De- partemen Dalam Negeri, De- partemen Pekerjaan Umum, WASPOLA dan Pokja AMPL. Acara ini diselenggarakan oleh Pokja AMPL melalui Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri.

Lokakarya bertujuan me-

ningkatkan pengetahuan peserta mengenai peran dan fungsi peraturan perundang-undangan dalam mendo- rong proses adopsi kebijakan dan hu- bungan sinergis antara peraturan per- undang-undangan yang dimaksud de- ngan kebijakan nasional pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Lokakarya ini dibagi menjadi dua sesi. Narasumber pada sesi I yaitu Ef- fendi Mansyur dan Hilwan, MSc (ke- duanya anggota Badan Pendukung Pe- ngembangan Sistem Penyediaan Air Mi- num-BPP SPAM). Masing-masing membahas tentang UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengem- bangan Sistem Penyediaan Air Minum. Sedangkan narasumber pada sesi II adalah Edward Sitorus (Dit. Peme- rintahan Desa, Ditjen PMD, Depdagri) dengan materi tentang hubungan anta- ra UU No.32 Tahun 2004 tentang Pe- merintahan Daerah, PP No.72 Tahun 2005 tentang Desa, dan PP No.73 Ta- hun 2005 tentang Kelurahan dengan

kebijakan nasional pembangunan AMPL berbasis masyarakat.

Effendi Mansyur, menjelaskan lan- dasan hukum pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (air minum, air limbah, dan sampah domestik) yakni pasal 40 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal tersebut sebelumnya sempat menjadi perde- batan di DPR dan ditolak oleh LSM serta Mahkamah Konstitusi pada waktu itu. Terutama pasal 40 ayat (4) yang berbunyi: "Koperasi, Badan Usaha Swasta dan masyarakat dapat berperan dalam penyelenggaraan pengem- bangan sistem penyediaan air mi- num". Pasal ini dianggap mendukung timbulnya privatisasi. PDAM seolah- olah mempunyai hak ekslusif dalam hal penyelenggaraan Sistem Penye- diaan Air Minum (SPAM). Dalam hal ini harus dilihat bahwa yang diusa- hakan adalah barang publik yang sa- ngat dibutuhkan oleh masyarakat.

PP No.16 Tahun 2005 tentang Pe- ngembangan Sistem Penyediaan Air

Minum menjelaskan bahwa swasta hanya diberi hak konsesi yang bersifat sementara. Hal tersebut berlaku apabila jang- kauan pelayanan berada di luar jangkauan PDAM (Service Area/Coverage Area). Artinya hak konsesi tersebut tidak sela- manya dimiliki oleh swasta. Karena itu, kata Effendi, aturan ini semakin mempertegas isti- lah privatisasi tidak berlaku. Termasuk masalah perizinan untuk melakukan penyeleng- garaan pengembangan SPAM, swasta tidak perlu meminta izin terlebih dahulu kepada PDAM. Dalam hal ini yang diperlukan adalah perijinan dari pemerin- tah dan/atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya.

Sementara itu, Hilwan, anggota BPP SPAM menyampaikan bahwa tantangan pengembangan sistem penyediaan air minum sampai tahun 2015 adalah mani- festasi dari kesepakatan KTT Bumi Johannesburg September 2002 dalam pencapaian target MDG, dan dalam rangka mengurangi separuh dari jumlah pen- duduk yang belum mendapatkan pelayanan air minum. Menurut perkiraan diperlukan dana investasi kurang lebih Rp.25 trilyun untuk tambahan kapasitas 61.000 l/dt serta sambungan pelayanan- nya, sementara kemampuan Pemerintah per tahun sekitar Rp.600 milyar.

Edward Sitorus, Dit.Pemerintahan Desa, Ditjen PMD, Depdagri dalam lo- kakarya ini menekankan perlunya di- bentuk suatu wadah yaitu Badan Usaha Milik Desa (BumDes) yang disebut de- ngan Perusahaan Desa (PerDes) yang berbentuk badan hukum apabila sistem penyediaan air minum akan diseleng- garakan di tingkat desa. „(DEW)

S E P U TA R A M P L

Dokumen terkait