• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Riant Nugroho Dwijowijoto*

karena kita sudah amat sering melaku- kan training(pelatihan), workshop(lo- ka latih), seminar, dan sejenisnya-di masa "Orba" kita juga sering memper- gunakan istilah "simulasi" untuk sosiali- sasi P4. Arti dasarnya adalah membe- rikan kapasitas kepada individu dan ke- lompok manusia untuk mampu meneri- ma daya atau kekuasaan yang akan di- berikan.

Pengkapasitasan organisasi dilaku- kan dalam bentuk restrukturisasi orga- nisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Misalnya, sebelum diberikan peluang usaha, maka kelom- pok miskin dibuatkan Badan Usaha Mi- lik Rakyat (BUMR). Agar menjadi efisi- en dalam manajemennya, maka daerah otonom ditata ulang organisasinya se- hingga berpola structure follow functi- ons.Pengkapasitasan organisasi ini se- ringkali kita abaikan, pada maknanya ibarat "menyiapkan medium sebelum meletakkan sediaan"; sama halnya se- belum kita menanam bibit jagung, maka kita siapkan pula lahannya. Bukankah kita tidak mungkin menabur bibit ja- gung sekehendak hati kita? Menabur bi- bit jagung di atas karang atau jalan raya tidak akan memberikan tumbuhan ja- gung, bukan? Perlu diakui, bahwa peng- kapasitasan kedua ini jarang dilakukan karena kita acapkalitake it for granted dengan berpikir bahwa "tohkalau ma- nusianya sudah dikapasitaskan ia akan melakukan pengkapasitasan organisasi sendiri". Kadang premis ini berlaku, na- mun pada prakteknya, premis ini sering tidak berlaku.

Pengkapasitasan ketiga adalah sistem nilai. Setelah orang dan wadahnya dika- pasitaskan, maka sistem nilainya pun de- mikian juga. Sistem nilai adalah "aturan main". Dalam cakupan suatu organisasi, maka sistem nilai tersebut berkenaan de- ngan Anggaran Dasar dan Anggaran Ru- mah Tangga, Sistem dan Prosedur, Per- aturan Koperasi, dan sejenisnya. Pada tingkat yang lebih maju, maka sistem nilai terdiri pula oleh budaya organisasi, etika, dan good governance.

Pengkapasitasan sistem nilai dilaku- kan dengan membantu target untuk membuatkan "aturan main" di antara mereka sendiri. Pada program BUMR di Lumajang dan Bengkalis, setelah manu- sianya diberi kapasitas manajerial, di- berikan organisasi atau lembaga usaha, kepada mereka juga berikan "aturan main" agar kelak kalau usahanya men- jadi besar tidak menjadi berebut atau menjadi ajang sengketa yang justru me- rugikan mereka sendiri. Hal yang sama dengan otonomi daerah, kepada daerah otonom difasilitasi agar membuat Per- aturan Daerah yang mengatur "rule of the game"di dalam daerah otonom, an- tar daerah otonom, serta antara daerah otonom dan pemerintah pusat. Sama halnya dengan pengkapasitasan organi- sasi, pengkapasitasan sistem nilai ja- rang kita lakukan, karena kita mempu- nyai stereotip bahwa "kalau manu- sianya dikapasitaskan, toh mereka akan membuat aturan main sendiri yang baik". Pengalaman di lapangan menun- jukkan hal yang lain. Setelah pengkapa- sitasan manusia, yang terjadi mereka tinggal sebagai individu yang "tercerai- berai" dan "tak bersistem nilai tunggal". Tahap ketiga adalah pemberiaan daya itu sendiri-atau "empowerment"

dalam makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekua- saan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Tahap ini sangat penting karena pada saat ini pembentuk- an kabupaten-kabupaten baru cende- rung dilakukan tidak atas dasar keca- kapan yang memadai melainkan lebih banyak kepada syarat-syarat adminis- tratif, misalnya minimal ada tiga keca- matan. Di Sulawesi dan Maluku Utara diperkirakan lebih dari 50 persen kabu- paten baru tidak mampu melaksanakan otonomi daerah dengan baik dan benar karena masalah tidak memadainya ke- cakapan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Biaya otonomi daerah dengan demikian menjadi sangat ma- hal, karena pengkapasitasan pasca- pemberian otonomi bertemu dengan re- sistensi dan ketegangan-ketegangan yang seharusnya tidak terjadi.

Prosedur pada tahap ketiga ini cu- kup sederhana, namun seringkali kita tidak cakap menjalankannya karena mengabaikan bahwa di dalam keseder- hanaan pun ada ukurannya. Pokok ga- gasannya adalah dalam proses pemberi- an daya atau kekuasaan diberikan se- suai dengan kecakapan dari penerima.

WAWA S A N

Pemberian kredit kepada suatu kelom- pok miskin yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan, ma- sih perlu disesuaikan dengan kemam- puannya mengelola usaha. Jika per- putaran usahanya hanya mampu men- capai Rp 5 juta, tidaklah bijaksana jika diberikan pinjaman atau modal sebesar Rp 50 juta.

Seni dari Proses Alamiah

Pemberdayaan pada akhirnya bu- kanlah "teori". Sebagaimana dikatakan oleh Ron Johnson dan David Redmod (The Art of Empowerment, 1992), bah- wa at last, empowerment is about art. It is about value we believe. Tatkala pemberdayaan menjadi sebuah seni, maka yang mengemuka adalah bagai- mana membangun keindahan dalam proses pemberdayaan. Artinya, mem- berdayakan tidak boleh bermakna "me- robotkan" atau "menyeragamkan". Pemberdayaan juga memberi ruang ke- pada pengembangan keberagaman ke- mampuan dari manusia yang beragam, dengan asumsi, satu sama lain akan sa- ling melengkapi. Di sini, kita sampai pa-

da pemahaman, bahwa valuedari pem- berdayaan adalah bahwa ia merupakan proses yang alamiah.

Pemberdayaan adalah sebuah pro- ses yang alamiah, dalam arti kita alami dalam kehidupan wajar sehari-hari. Ke- tika bayi, seorang anak makan ASI dan bubur. Menanjak bocah, ia makan nasi, sagu, jagung roti, atau mie. Ketika ia su- dah menjelang akhil balik, maka ia me- merlukan kemandirian. Mendekati usia tersebut, biasanya para orang tua mulai

mengajari memegang uang sendiri de- ngan jumlah yang dibatasi dan membe- lanjakan sendiri dengan bijaksana, sam- bil diawasi. Tujuannya, ketika sudah di- lepas, ia akan mampu membelanjakan uangnya dengan bijaksana pula.

Begitu alamiahnya pemberdayaan sehingga kita lupa bahwa "proses itu penting". Kebiasaan manusia Indonesia untuk take it for granted membuat pem- berdayaan menjadi sebuah kegiatan yang dianggap "jadi dengan sendirinya". Pada abad ke 18, ilmuwan sosial Prancis, Alexis de Tocqueville, mene- mukan bahwa keunggulan bangsa Amerika disebabkan mereka mempu- nyai kemampuan asosiasional yang ku- at. Artinya, bangsa tersebut mempunyai kemampuan yang kuat untuk membuat organisasi dan memanajemeninya. Bangsa Indonesia hampir sama: mudah membuat organisasi, tetapi tidak mem- punyai kecakapan dalam memanaje- meninya. Republik Indonesia adalah se- buah organisasi milik bangsa Indonesia. Dengan kekayaan yang berlimpah ruah, toh administrasi negara RI tidak cukup menghasilkan bangsa Indonesia yang terunggul, paling tidak di Asia. Human Development Index kita masih kalah dibanding negara-negara tetangga.

Laporan Human Development Pro- gress yang diterbitkan UNDP pada tahun 2004 meletakkan Human Deve- lopment Score Indonesiapada ranking HDI ke-112 dari 175 negara yang di- survei. Posisi ini di bawah RRC (104), Sri Lanka (99), dan negara-negara ASEAN yaitu Singapura (28), Brunei (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85). Posisi ini bahkan meru- pakan penurunan dari prestasi sebe- lumnya. Pada tahun 2002 UNDP mela- porkan bahwa Indonesia mendapat nilai 0,684 atau rangking 110 di bawah Vietnam yang mendapat nilai 0,688 (urutan 109), Cina 0,762 (urutan 96), Filipina 0,754 (urutan 77), Thailand 0,762 (urutan 70), Malaysia 0,782 (urutan 59), Brunei Darussalam 0,856 (urutan 32), Singapura 0,885 (urutan

WAWA S A N

Begitu alamiahnya

Dokumen terkait