• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Alma Arief *

yang menjadi masalah adalah pipa dan bak penangkap yang berada di tengah sungai hanyut karena banjir besar.

Di Propinsi Bangka Belitung, hutan- hutan mengalami kerusakan karena penambangan ilegal. Karena dalam me- lakukan penambangan timah menggu- nakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam melakukan pemrosesan, maka bahan baku air minum menjadi tidak memenuhi standar untuk air minum.

B. Masalah Teknologi

Masalah teknologi, dalam banyak hal berkaitan dengan lingkungan. Jenis teknologi apa yang diterapkan, sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan. Di Kelurahan Dembe I, Gorontalo, dan Kelurahan Wonokromo Kab. Kebumen, pipa air kadangkala pecah, utamanya pada malam hari ketika penggunaan air sangat berkurang. Hal ini disebabkan kuatnya tekanan air ke pipa, sehingga perlu menggunakan bak pelepas tekan atau keleppelepas tekan.

Di Kabupaten Sumba Timur, karena panas matahari sangat terik, berbagai sarana air dibangun dengan mengom- binasikan panel surya sebagai pem- bangkit energi listrik untuk penggerak pompa air. Namun karena teknologinya cukup canggih dan sulit pemeliharaan- nya, akhirnya sarana yang dibangun mengalami kerusakan tanpa bisa diper- baiki, di samping panel-panel suryanya lambat laun habis dicuri orang. Di Sumba Timur, selain teknologi panel surya juga diterapkan kincir angin seba- gai sumber energi (listrik) untuk me- mompa air dan pembuatan es. Semua sarana kincir angin ini yang semula ber- jumlah 10, mengalami kerusakan.

Di beberapa desa di Kebumen, kare- na airnya keruh, maka tidak bisa secara langsung di konsumsi oleh rumah tang- ga, tetapi harus terlebih dahulu disa- ring (bisa menggunakan saringan ru- mah tangga atau saringan pasir lambat).

C. Masalah Sosial Budaya

Masalah sosial budaya tampaknya

lebih rumit dibandingkan variabel lain- nya, dan sifatnya menjadi sangat lokal, bisa berakar pada nilai sosial budaya masyarakat, konflik antardesa, konflik antardusun, konflik internal pengelola, tingkat penghasilan yang tidak merata, dan sebagainya.

Di Kecamatan Solor Timur, Kab. Larantuka, keberlanjutan suplai air sa- ngat tergantung pada regularitas dan kemampuan membayar sejumlah Rp 1.250.000/tahun kepada orang yang memiliki/menguasai sumber air. Se- dangkan di Desa Wonda, Kabupaten Ende, NTT, karena sumber air berada di desa lain, maka untuk bisa menggunakan sumber air untuk mensuplai air bersih bagi penduduk Wonda, terlebih dahulu dibuat negosiasi dan kesepakatan-kese- pakatan adat. Di Desa Lewolaga, Laran- tuka, karena sumber air berada di desa lain yang jaraknya bahkan sampai lebih dari 10 km, maka untuk bisa menggu- nakan sumber air terlebih dahulu dila- kukan perkawinan secara adat.

Masalah sosial budaya juga me- nyangkut konflik antardesa, karena ja- lur pipa melalui desa-desa lain. Kasus Desa Lewolaga, karena jalur pipa mele- wati hutan dan ladang penduduk desa lain, sering kali pipa (PVC) dipecah pen- duduk. Menurut informasi, penduduk desa yang dilewati jalur pipa, menghen- daki agar diberi bagian air. Hal yang sama juga terjadi di Desa Haikatapu, Kab. Sumba Timur, di mana pipa pipa banyak yang hilang diambil orang se- hingga praktis sarana menjadi tidak berfungsi. Hal ini dikarenakan jalur pi- pa melewati ladang-ladang penduduk yang tidak kebagian layanan air minum. Di Desa Banyumudal, Kebumen, masalah sosial budaya berkombinasi dengan masalah lingkungan. Awalnya adalah menurun drastisnya sumber air di musim kemarau. Hal ini terjadi-se- belumnya tidak pernah terjadi-karena penebangan hutan di daerah tangkapan air. Menurunnya debit air, menyebab- kan penduduk yang selama ini tidak pernah mengalami kesulitan air, uta-

manya di daerah hulu yang berdekatan dengan sumber air, menjadi marah dan menjebol bangunan penangkap air. Le- bih lanjut, karena pengurus sarana air memperoleh tekanan dari sebagian pen- duduk, mereka bahkan mengundurkan diri, dan sampai kini kepengurusan air belum lagi terbentuk. Padahal pada waktu sebelumnya sudah dikelola de- ngan sangat rapih, termasuk pembu- kuan iuran, cara meminta sambungan air, denda bila mengalami keterlambat- an, dan sebagainya.

Di Talumelito, Gorontalo, unit pe- ngelola sarana menjadi sama sekali ti- dak berfungsi setelah suplai air yang se- mula regular, menjadi sangat menurun (tidak regular, hanya dibagian hulu yang memperoleh bagian), karena debit air menurun drastis, dan orang di ba- gian hulu cenderung menggunakan air semaunya seperti tidak menutup kran dan sebagainya, dan kemudian diikuti pembelotan sebagian masyarakat (di bagian hilir) untuk membayar iuran air. Dengan sendirinya UPS akhirnya tak berfungsi. Menurunnya debit air di Ta- lumelito dikarenakan hutan di wilayah tangkapan air diganti oleh penduduk menjadi tanaman pangan (jagung).

D. Masalah Keuangan

Iuran penggunaan air mutlak diper- lukan dalam rangka pemeliharaan dan pengembangan. Dari hasil penilaian dan kajian lapangan, diketahui bahwa tidak semua desa yang memiliki sarana air minum (perpipaan) memungut bi- aya atau yang semula memungut iuran secara regular, karena suplai air tidak bisa merata sebagian penduduk kemu- dian tidak mau membayar iuran. Aki- batnya iuran menjadi tidak lagi berjalan dan pengelola sarana menjadi kolaps. Juga diketahui bahwa iuran pemakaian air sangat tidak memadai. Di Desa Lonuo, Gorontalo, iuran per bulan Rp 500, sedangkan di desa Balaweling, Solor Timur, iurannya Rp 200/orang/- bulan. Tentu saja iuran tersebut tidak memadai, tidak mampu untuk

melakukan pengembangan atau per- baikan kerusakan yang cukup besar.

E. Masalah Kelembagaan

Masalah kelembagaan pada dasar- nya menyangkut norma-norma, dan manusia yang ada di dalamnya. Peran pengelola sarana air sebagai telah di- uraikan di atas, sangat penting, karena permasalahan yang dihadapi cukup kompleks, sehingga memerlukan orang-orang yang tangguh dalam arti memiliki keberanian, bijaksana, dan berwawasan luas. Orang yang akan di- dudukkan sebagai pengurus pengelola sarana, hendaknya dipilih oleh semua yang terkait dengan pemakaian air ka- rena mereka akan mendapat dukung- an/legitimasi, dan akan terpilih orang yang tangguh yang memenuhi per- syaratan.

Kelembagaan juga menyangkut masalah norma-norma/peraturan yang mengatur hak dan kewajiban baik pe- ngurus sarana air, maupun pemakai sarana air. Dalam hal ini, akan sangat legitimate apabila pembuatan peratur- an yang ada melibatkan semua yang berkait dengan pemakaian air. Yang ada selama ini ada standarisasi pengelola sarana. Lembaga pengelola air memi- liki nama yang sama (bahkan di seluruh wilayah). Selain itu, aturan-aturan yang ada serta struktur kelembagaannya pun sama pula. Ini artinya, keberadaan ke- lembagaan pengelola air sifatnya masih bentukan dari atas bukan inisiatif ma- syarakat sendiri. Akan sangat lebih baik apabila dalam aspek kelembagaan, ma- syarakat juga diberi kewenangan yang luas untuk menyusunnya sendiri.

Ada sebuah kasus yang menarik yang menyangkut masalah kelembaga- an tersebut. Di Sumba Timur ada se- buah desa, Tamburi namanya, yang me- miliki sarana air sangat terawat, dan tampak akan lebih berkelanjutan (satu- satunya sarana yang bagus di Sumba Ti- mur yang penulis pernah temui). Di sini ada sebuah LSM yang memfasilitasi pembangunan sarana dan penyusunan

kelembagaannya. Struktur organisasi dan peraturan bagi pemakai sarana se- muanya penduduk yang menyusun me- lalui pertemuan dengan semua warga. Meskipun bunyi redaksional peraturan tidak bagus (standar legal) namun masyarakat mematuhi karena semua- nya adalah hasil kesepakatan bersama.

Mengapa Kelembagaan tidak Ber- fungsi?

Mengapa lembaga pengelola air tidak berfungsi, bisa jadi variabelnya juga sangat beragam. Untuk memper- oleh jawaban yang akurat mengenai hal itu, perlu dilakukan penelitian secara cermat. Bukan hanya karena lembaga pengelola air mempunyai peran sangat menentukan bagi keberlanjutan sarana tetapi hasilnya juga bisa dipergunakan untuk membuat rekayasa (intervensi) untuk memecahkan masalah dan menentukan kelembagaan yang seperti apa yang ideal berdasarkan hasil penelitian tersebut. Untuk sementara, jawaban mengenai hal itu bisa men- dasarkan pada asumsi-asumsi saja, meskipun di beberapa desa sudah tam- pak begitu jelas.

Di Desa Banyu Mudal, sebagai misal, lembaga pengelola sarana bubar karena pengurusnya mengundurkan diri dan tidak dilakukan pembentukan yang baru. Pengurusnya mengundurkan diri karena merasa tidak mampu

menyelesaikan konflik yang terjadi an- tara dusun satu dengan lainnya menyang- kut penggunaan air. Di Desa Lonuo, Gorontalo, Unit Pengelola Sarana (UPS) secara mendadak mati, karena pem- bangkangan penduduk yang tidak mau mematuhi aturan dan tidak mau mem- bayar iuran air. Preseden pemilihan ke- pala desa yang salah satu kandidatnya menjanjikan "bebas iuran air", dan ter- jadinya kubu politik di mana UPS me- mihak pada salah satunya telah menjadi sebab utama mati mendadaknya UPS.

Di tempat lain UPS tidak berfungsi segera setelah beroperasinya layanan dan segera itu pula sarananya meng- alami kerusakan. Yang seperti ini terja- di di Desa Molinto Gupo dan Tangga Jaya. Sedangkan di Talumelito, Go- rontalo, UPS yang semula berfungsi sangat prima, menjadi mati karena dis- tribusi air tidak bisa merata dan tidak regular sehingga penduduk tidak mau membayar iuran. Barangkali masih ada sebab-sebab lain di tempat-tempat lain- nya. Untuk itu perlu dilakukan peneli- tian secara mendalam.

Jalan Keluar

Berbagai saran untuk memecahkan masalah ketidakberlanjutan sarana yang berakar pada tidak berfungsinya lembaga pengelola air adalah sebagai berikut.

Dipilih oleh masyarakat dengan beberapa persyaratan yang men- dasarkan pada kapabilitas calon untuk memecahkan berbagai masa- lah yang kemungkinan dihadapi yang cukup rumit.

Cepat melakukan pemilihan/per- gantian pengurus bila tidak bisa melaksanakan fungsinya

Segera melakukan pemecahan ma- salah melalui musyawarah .

Penyusunan struktur organisasi dan penyusunan aturan yang mengatur hak dan kewajiban pemakai sarana oleh semua pemakai sarana dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. „

* Konsultan WASPOLA

WAWA S A N

1. 2. 3. 4.

Kelembagaan juga

menyangkut masalah

norma-norma/peraturan

yang mengatur hak dan

Dokumen terkait