• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peradaban Teknologi Keairan Oleh: A Hafied A Gany*

pembangunan bendungan untuk meng- operasikan kincir air "Penggilingan Aruban" pada abad kedua Masehi di Israel, juga hal yang sama sebelumnya dibangun di Deh Luran, Iran.

Permasalahan umum yang dihadapi pada masa itu adalah tingginya tingkat pengangkutan sedimen akibat proses erosi - terutama karena terbatasnya pe- nutupan permukaan bumi secara vege- tatif. Banyak di antaranya malahan wa- duk penampungan airnya penuh de- ngan endapan sedimen, namun dari segi konstruksi, sekitar sepertiganya cu- kup mantap terhadap gaya guling.

Perpaduan Teknologi Zaman Ro- mawi dan Zaman Kejayaan Islam

Pada tahun 711 Masehi, orang-orang Islam dalam upaya penyiaran agama menyeberang Selat Gibraltar dan ber- gerak terus menuju ke sebelah barat daya Spanyol melewati Kerajaan Visigothic Spanyol sampai ke per- batasan Perancis Selatan. Di kawasan Valencia, sekirat 300 km sebelah teng- gara Kota Madrid, mereka melak- sanakan pekerjaan rekonstruksi ba- ngunan irigasi, termasuk bangunan bagi yang membentang di Sungai Turia. Pada abad ke-11 Masehi, orang-orang Islam membangun sekitar sembilan bangunan bagi pada kawasan sejarak 12 km keliling dari lokasi Sungai Turia tersebut.

Bendungan Besar Parada:Pada sekitar tahun 970 M, bendungan besar Parada dibangun pada sungai Segura di sebelah hulu Murcia, sekitar 350 m sebelah barat daya Kota Madrid. Ka- wasan tersebut pada waktu itu diduduki oleh orang-orang Yamani yang mem- bawa dan memperkenalkan budayanya dalam pembangunan irigasi dan ben- dungan pengairan selama lebih dari seribu tahun.

Peninggalan Peradaban Pengair- an di Indonesia

Dibandingkan dengan peradaban teknologi air dan lingkungan yang

terungkap pada komunitas purba di berbagai belahan bumi, bukti-bukti arti- fak purba di Indonesia tergolong jauh lebih muda. Sepanjang catatan sejarah di Indonesia, ada tiga titik tolak yang dapat memberikan bukti konkret ten- tang pengembangan dan pengelolaan SDA. Masing-masing berturut-turut adalah temuan batu bertulis Harinjing yang ditemukan di Desa Kepung, Keca- matan Pare, dalam kawasan wilayah Sungai Brantas, Provinsi Jawa Timur. Penemuan tersebut berupa prasasti yang bertanggal 726 Tahun Caka, atau 808 Masehi. Temuan kedua juga berupa prasasti bertanggal 843 Tahun Caka, atau 921 Masehi. Temuan batu bertulis ke tiga bertanggal 849 Tahun Caka atau 927 Masehi. Namun, sepanjang catatan sejarah yang ditemukan buktinya sam- pai saat ini, diketahui dari batu bertulis Tugu bahwa bangunan pengairan yang pertama (tertua) di Indonesia sampai saat ini adalah Saluran Chandra Bhaga di sekitar Sungai Cilincing.

Prasasti tersebut menyebutkan bah- wa Raja Purnawaman mendekritkan untuk menggali saluran terobosan di Sungai Candra Bhaga untuk meng- alirkan air langsung ke laut, sepanjang Istana Candra Bhaga (Sungai Bekasi). Sementara itu analisis geomorphologi memperkirakan bahwa Lokasi Candra Bhaga adalah Sungai Cakung yang dike- nal saat ini. Batu bertulis ini menyebut- kan bahwa sejak abad ke-5 Masehi dataran rendah yang menjadi lokasi Kota Jakarta yang dikenal saat ini sudah terlanda masalah banjir. Hal ini mem- berikan bukti baru bahwa bangunan air tertua di Indonesia yang semula dike- tahui yakni Tanggul Harinjing (804 M) ditepis dengan keterangan pada batu bertulis Tugu yang mengungkapkan Sa- luran Chandra Bhaga di sungai Cakung, dibangun pada abad ke-5 Masehi.

Hipotesis tentang Misteri Artifak Purba: Dalam kaitannya dengan bukti peninggalan sejarah di bidang pengem- bangan dan pengelolaan SDA, ada kalangan yang berpendapat bahwa

Indonesia sebagai negara tropis akan sangat sulit menyimpan situs-situs arti- fak bangunan yang relatif kecil dan de- ngan bahan bangunan organik dalam kurun waktu yang panjang tanpa meng- alami pelapukan. Dengan demikian be- kas peninggalan artifak semacam bukti sejarah tersebut di atas tidak akan ter- tinggal atau sulit ditemukan setelah ri- buan tahun berselang. Kalau hipotesis itu benar, maka diperkirakan banyak bukti aktivitas peradaban manusia pur- ba tersebut di bumi Nusantara yang te- tap misteri dan tidak bisa ditelusuri, se- telah berlangsung ribuan tahun.

Di sisi lain, ada juga sementara ka- langan yang mengetengahkan argumen- tasi bahwa mengingat Nusantara Indo- nesia secara alamiah sudah terbentuk menjadi kumpulan kepulauan tropis de- ngan beragam kesatuan budaya masya- rakat yang terpencar dalam wujud ke- lompok-kelompok kecil, maka di sisi pembangunan infrastruktur pengairan, manusia pada waktu itu tidaklah ditun- tut dengan pengembangan waduk besar atau infrastruktur yang permanen un- tuk memenuhi hajat hidup warganya. Apalagi kalau dikaitkan dengan karunia keberlimpahan air yang dimiliki ka- wasan Nusantara, sehingga kebanyakan tanaman bisa tumbuh tanpa infrastruk- tur pengairan yang besar atau perma- nen.

Kalaupun seandainya bangunan se- derhana tersebut dihanyutkan banjir pada setiap musim hujan, mereka akan mampu memperbaikinya tanpa upaya konstruksi yang rumit. Mereka akan le- bih senang meluangkan waktu dan te- naga untuk melaksanakan perbaikan ta- hunan bangunan sederhana yang ada secara "gotong-royong" ketimbang me- melihara bangunan (infrastruktur) yang permanen sepanjang tahun.

Dengan argumentasi ini, dapat dipa- hami kalau peradaban teknologi keairan dengan sistem infrastruktur sederhana, yang meskipun sudah dilaksanakan se- lama ribuan tahun, tidak pernah dapat tertinggal reruntuhannya sebagai arti-

fak untuk berbicara kepada generasi penerusnya, tanpa lapuk ditelan masa.

Relief pada berbagai candi: Meski- pun bukti-bukti teknologi yang ada di Indonesia hingga saat ini jauh lebih mu- da usianya, nampaknya nenek moyang kita sudah cukup lama dan sudah cukup berpengalaman dalam teknologi air dan lingkungan di bumi Nusantara. Nenek moyang kita, rupanya sudah berusaha untuk mengkomunikasikan pengala- man dan kepiawaiannya dalam teknolo- gi keairan dan lingkungan, dengan mengukirkannya pada dinding-dinding candi yang tersebar di beberapa tempat di Pulau Jawa bahkan di luar Jawa yang mungkin sebagiannya belum diketemu- kan.

Sekalipun belum dapat diketahui se- cara pasti sejak kapan mulai dikenalnya peradaban teknologi keairan, namun dari gambaran nyata pada beberapa re- lief di Candi Borobudur (yang dibangun pada Abad ke 7-8 M), jelas terlihat pe- san tentang penerapan pemanfaatan air untuk memasak dan untuk konsumsi air minum (Lihat Gambar 5 dan 6).

Dari Gambar 5, jelas terlihat bagai- mana memanfaatkan air untuk me- masak makanan mereka sehari-hari, merebus air, sementara seorang di de- pannya sedang membersihkan ikan un- tuk dimasak. Dari Gambar 6, terlihat bagaimana seorang perempuan sedang

melayani suguhan minuman pada suatu kesempatan. Pada relief tersebut jelas terlihat bagaimana air (minuman) yang tersimpan pada kendi dan menuang- kannya ke dalam sebuah mangkok (cangkir) - yang bentuk dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan peralatan dapur yang dipakai pada era modern sekarang ini.

Memang dari gambar tersebut tidak jelas apakah mereka sudah mengguna- kan teknologi air, namun bila kita men- coba menghubungkannya dengan ber- bagai artifak yang serupa, di Candi Prambanan, misalnya, mereka pada za- mannya sudah pasti melibatkan per- adaban teknologi air untuk penyediaan air dan pelestarian lingkungan. Dari beberapa relief yang terpampang pada di dinding Candi Prambanan, terlihat dengan jelas bagaimana peradaban tek- nologi air sudah berkembang untuk pe- nyediaan dan pengamanan SDA dan ekosistemnya, bukan hanya untuk ke- hidupan manusia, tapi juga untuk flora dan fauna yang ada (Lihat Gambar 7 dan 8).

Dari Gambar 7, jelas terlihat bagai- mana upaya manusia memanfaatkan air dengan pendekatan keterpaduan antara penyediaan prasarana SDA dan pelesta- rian ekosistem yang berkelanjutan. Se- mentara pada Gambar 8, jelas terlihat bagaimana peranan air dengan penggu-

naan teknologi pancuran untuk menun- jang air bagi kehidupan, bukan hanya untuk manusia, tapi juga bagi keberlan- jutan hidup fauna dan flora serta ke- lestarian ekosistem keairan.

Pesan nenek moyang tentang budaya dan teknologi irigasi untuk bertanam padi sawah, misalnya, cukup jelas terbaca pada dua relief yang tersimpan di mu- sium Trowulan, Jawa Timur, bagaimana petani sedang menanam benih padi di sawah. Dari relief tersebut jelas bahwa saat bertanam padi sawah orang harus menanam benih, yang berbeda dengan ladang, di mana benih harus disebar, atau ditanam. Jadi yang dimaksud dalam relief tersebut pastilah menanam padi dengan menggunakan medium air sebagai pelu- nak tanahnya. Bagaimanapun seder- hananya, yang pasti bahwa mereka sudah menggunakan upaya mendatangkan air atau setidaknya menggali sumur atau menjernihkan air agar cukup bersih untuk dikonsumsi.

Seandainya relief-relief tersebut, yang jelas dibuat dengan sempurna de- ngan relief yang sangat mengagumkan pada era Candi Borobudur, Prambanan dan lainnya, di abad ke 7-8 Masehi, ma- ka dapat dipastikan bahwa peradaban teknologi air yang digambarkan dengan sempurna tersebut, pasti sudah jauh le- bih lama dari pembangunan candi itu sendiri. Sayangnya bahwa sampai saat ini kita belum bisa mengungkapkan bukti sejarah, sejak kapan nenek mo- yang bangsa Indonesia mengenal tekno- logi air dan lingkungan, sebagaimana dibuktikan oleh bangsa-bangsa lain di berbagai belahan bumi. Apakah me- mang kita lebih belakangan, atau me- mang belum diketemukan bukti-bukti arkeologinya? Atau barangkali asumsi bahwa peninggalan artifak dengan kon- struksi sederhana sudah hancur ter- kubur dengan dipacu proses oksidasi dan pelapukan di iklim tropis? Perta- nyaan-pertanyaan tersebut merupakan tantangan ke depan bagi kita untuk da- pat mengungkapkan fakta yang sebe- narnya.

WAWA S A N

Gambar 5.

Relief Karmawibangga pada Candi Borobudur menggambarkan kegiatan penggunaan air masyarakat purba pada saat itu untuk memasak.

Gambar 6.

Relief Karmawibangga pada Candi Borobudur menggambarkan kegiatan penggunaan air untuk minum.

Misteri Lorong Waktu

Meskipun fakta yang tersaji dalam uraian ini belum dapat menjadi argu- mentasi yang mewakili kondisi senya- tanya secara universal, sepanjang bukti- bukti arkeologi yang sudah terungkap oleh manusia modern, tampaknya untuk sementara sudah dapat ditarik kesimpulan tentang asumsi lorong waktu peradaban teknologi keairan sampai ke era modern di mana kita hidup saat ini.

Dari berbagai temuan arkeologi, budaya kehidupan manusia, dapat dite- lusuri sampai sejauh 7000-an tahun yang lalu, namun dari segi peradaban teknologi keairan dan lingkungan, be- lum ada fakta yang dapat membuka ta- bir misteri mengenai awal mula penera- pannya.

Di Nusantara, tampaknya sejarah pengembangan teknologi keairan dan lingkungan sejauh yang dapat dikete- ngahkan bukti konkretnya, adalah pem- bangunan saluran Chandra Bagha pada sekitar Tahun 500 Masehi, mendahului pembangunan Candi Borobudur yang berlangsung antara abad ketujuh dan abad kedelapan tarikh masehi.

Jadi sepanjang sejarah manusia, se- bagaimana tercatat pada bukti-bukti ar- keologi (kepurbakalaan) yang ada, tam- paknya terbentang lorong waktu per- adaban teknologi keairan dan ling- kungan yang cukup panjang, yakni sejak

Raja Scorpion dari Mesir meresmikan pembangunan salah satu jaringan iriga- sinya pada tahun 3.100 SM sampai za- man modern saat ini, atau tidak kurang dari 5.100 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa periode tersebut benar-benar merupakan Mis- teri Lorong Waktu yang cukup panjang ditinjau dari umur peradaban dan bu- daya manusia, namun sangat singkat bi- la diukur dengan umur geologis bumi pijakan kita saat ini, yang parameter waktunya adalah milennium dan bukan abad atau tahun.

Renungan untuk Pembelajaran Masa Depan

Dari bukti-bukti yang ada, banyak pembelajaran yang dapat dipetik mulai dari tahapan perencanaan, pembangun- an sampai ke upaya pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan ekosistem air. Di bidang teknologi perencanaan, misalnya, banyak dijumpai pengalaman terjadinya under-designed, dan atau over-designed,di mana under-designed mengakibatkan kecilnya kapasitas tam- pung untuk menampung banjir besar, sehingga bangunan tidak berumur lama - demikian juga sebaliknya terhadap dampak negatif over-designed. Di bi- dang konstruksi, juga banyak dijumpai pada awal-awal pembangunan prasara- na bendungan purba yang tidak difasili- tasi dengan terowongan atau saluran

pengelak sehingga mengalami jebol da- lam periode banjir sebelum pelak- sanaan konstruksinya selesai.

Dalam bidang pengendalian banjir dan konservasi SDA, banyak pengalam- an yang dapat ditimba dari orang-orang Nabaten, misalnya yang membangun checkdam untuk menahan laju erosi, di mana endapan yang terjadi diman- faatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam. Hal ini sekaligus merupakan teknologi konservasi lahan dan air yang justru menjadi isu sentral pengembang- an dan pengelolaan SDA di alam mo- dern sekarang ini.

Menarik dijadikan renungan untuk bahan pertimbangan ke depan, bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, manusia sudah menerapkan teknologi pengelola- an SDA terpadu, padahal pada saat ter- sebut masalah kependudukan belum begitu mengemuka. Dapat dibayangkan bagaimana Bangsa Iraq di lembah su- ngai Tikris dan Euphrate ribuan tahun yang lalu sudah menerapkan pengelola- an SDA terpadu dalam pengelolaan jaringan irigasi terpisah secara fisik, yakni Kisrawi, Tamara, dan Nahrawan, sehingga penggunaan airnya terin- tegrasi dan menjadi berkelanjutan.

Dengan segala kepiawaian pakar ke- purbakalaan di era modern ini, ternyata temuan demi temuan masih juga terus terungkap dari waktu ke waktu. Ini membuktikan betapa masih banyaknya misteri kehidupan di sepanjang lorong waktu peradaban manusia yang belum terungkap hingga kini.

Pengalaman peradaban manusia di sepanjang lorong waktu penerapan teknologi keairan dan lingkungan tidak dapat diabaikan oleh manusia modern yang semakin sesak huniannya di Planet Bumi. „

* Widya Iswara Utama Departemen Pekerjaan Umum bidang "Teknologi dan Manajemen Keairan"; Board of Director, International Networks on Participatory Irrigation Management; dan Anggota Working Group on Irrigation and Drainage History of the World, ICID, mewakili Indonesia.

WAWA S A N

Gambar 7.

Relief di Candi Prambanan tentang teknolologi pemanfaatan dan pelestarian air.

Gambar 8.

Relief di Candi Prambanan yang menggambarkan peranan air bagi kehidupan manusia, flora, fauna dan lingkungan hidup.

P

emberdayaan adalah konsep yang paling sering kita pergu- nakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Namun demikian, acapkali kita sering tidak memahami secara mendalam makna darinya, bahkan kita seringkali mempersaling- gantikan kedua kata tersebut. Memang, tidak ada sebuah pemahaman yang benar secara absolut tetapi upaya untuk memahami suatu konsep dengan baik adalah langkah awal dari sebuah pro- gram pembangunan yang baik.

Tidak Sekadar Daya

Pemberdayaan berasal dari penerje- mahan bahasa Inggris "empowerment" yang juga dapat bermakna sebagai "pem- berian kekuasaan", karena power bukan sekadar "daya" tetapi juga "kekuasaan", sehingga kata "daya" tidak saja bermakna "mampu" tetapi juga "mempunyai kua- sa". Di sini dipergunakan proposisi Lord Actonsecara terbalik. Kata filsuf Inggris ini power tend to corrupt, absolute po- wer corrupt absolutely. Memang, kalau penguasa menjadi penguasa absolut, mi- salnya seorang diktator, maka ia cende- rung untuk mengorupsi semua yang ada- karena kekuasaan pun sudah dikorupsi habis olehnya.

Kita seringkali menjadi romantik bahwa orang yang papa atau miskin ab- solut kekuasaan "tidak mungkin korup- si. Sebaliknya, absolute no-power cor- rupt absolutely, too. Jika individu atau suatu kelompok "sama sekali" tidak memiliki kekuasaan, maka ia pun men- jadi "korup" secara absolut pula. Dalam bahasa Inggris, kita mengenal kata "amock" yang berarti marah secara tiba- tiba dan kemudian melakukan perusak- an yang tidak dapat dipahami alasannya secara nalar. Di Surabaya atau Malang,

Anda jangan pernah menyerempet becak, diserempet becak pun Anda masih dimaki-maki oleh tukang becak. "Matane gak ndelok, ta!" (Matanya tidak melihat, ya). Mahasiswa melakukan tin- dak anarki sepanjang 1998-2001 juga dikarenakan selama ini mereka dikebiri total kekuasaan kebebasan kampusnya. Massa yang merusak properti keturunan Cina ketika kerusuhan terjadi juga karena mereka selama ini merasa diinjak-injak hak ekonominya oleh pemerintah dan KKN-nya pemerintah. Jika kita punya binatang piaraan selalu diikat maka keti- ka ia sempat lepas, ia akan menjadi liar, berandalan, dan tidak kenal aturan. Itulah sebabnya, kita memerlukan pem- berdayaan, khususnya kepada mereka yang "lemah" dan "tidak berdaya".

Tiga Sisi Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah sebuah "pro- ses menjadi", bukan sebuah "proses ins- tan". Sebagai proses, maka pemberda- yaan mempunyai tiga tahapan: penya- daran, pengkapasitasan, dan pendaya- an. Sederhananya dapat digambarkan sebagai berikut:

Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini, target yang hendak di- berdayakan diberikan "pencerahan" da- lam bentuk diberikan penyadaran bah- wa mereka mempunyai hak untuk mempunyai "sesuatu". Misalnya, target- nya adalah kelompok masyarakat yang miskin. Kepada mereka diberikan pe- mahaman bahwa mereka dapat menjadi berada, dan itu dapat dilakukan jika mereka mempunyai kapasitas untuk ke- luar dari kemiskinannya.

Pada tahap ini program-program yang dapat dilakukan misalnya membe- rikan pengetahuan yang bersifat kogni- si, belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun "demand") diberdayakan, dan proses pemberdaya- an itu dimulai dari dalam diri mereka (tidak dari orang luar).

Setelah menyadari, maka tahap ke- dua adalah pengkapasitasan. Inilah yang sering kita sebut sebagai "capacity building", atau dalam bahasa yang lebih sederhana memampukan atau ena- bling. Untuk diberikan daya atau kuasa, yang bersangkutan harus mampu terle- bih dahulu. Misalnya, sebelum membe- rikan otonomi daerah seharusnya dae- rah-daerah yang hendak diotonomkan diberi program pemampuan atau capacity buildinguntuk membu- at mereka "cakap" (skilfull) di dalam mengelola otonomi yang diberikan. Proses ca- pacity buildingterdiri dari tiga jenis: manusia, organi- sasi, dan sistem nilai.

Pengkapasitasan manu- sia di dalam arti memampu- kan manusia, baik dalam kon- teks individu maupun kelompok. Kita tidak asing dengan konsep ini,

WAWA S A N

Pembangunan

Dokumen terkait