• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (51)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (51)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dari Redaksi 1

Suara Anda 2

Laporan Utama

Membendung Sampah Bandung 3

Pengurangan Sampah di Sumber 7

Pilihan Konsep Penanganan Sampah Kota Bandung 8

Walikota Bandung: Tak Bisa Lagi Cara Tradisional 9

Pembelajaran Darurat Sampah Bandung 12

Wawancara

Direktur Pengairan dan Irigasi Bappenas:

Jawa Butuh Storage-storageBaru 15

Inovasi

Filter Penjernih Segala Jenis Air 19

Peraturan

PP No. 16 Tahun 2005 21

Teropong

PDAM Sragen, Perpaduan Komitmen dan Manajemen 22

Bupati Sragen: PDAM Harus Profesional 24

Klinik IATPI 25

Kisah

Srikandi-srikandi Jamban 27

Abstrak 29

Wawasan

Makna Kelembagaan AMPL Bagi Keberlanjutan Sarana 30 Misteri Lorong Waktu Peradaban Teknologi Keairan 33

Pembangunan dan Pemberdayaan 37

Seputar AMPL 41

Seputar WASPOLA 47

Info Buku 48

Info CD 49

Info Situs 50

Agenda 51

Pustaka AMPL 52

Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Diterbitkan oleh:

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

(Pokja AMPL)

Penasihat/Pelindung:

Direktur Jenderal Cipta Karya DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Penanggung Jawab:

Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS

Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES

Direktur Pengembangan Air Minum, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Pengembangan Penyehatan

Lingkungan Permukiman, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Bina Sumber Daya Alam dan

Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI

Pemimpin Redaksi:

Oswar Mungkasa

Dewan Redaksi:

Supriyanto, Johan Susmono, Indar Parawansa, Bambang Purwanto

Redaktur Pelaksana:

Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Rheidda Pramudhy, Joko Wartono,

Essy Asiah, Mujiyanto

Desain/Ilustrasi:

Rudi Kosasih

Produksi:

Machrudin

Sirkulasi/Distribusi:

Agus Syuhada

Alamat Redaksi:

Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp./Faks.: (021) 31904113

http://www.ampl.or.id e-mail: redaksipercik@yahoo.com

redaksi@ampl.or.id oswar@bappenas.go.id

(3)

T

anpa terasa, tiga tahun sudah kami hadir di ruang baca Anda. Tepat Agustus 2003, kami terbit perdana. Waktu itu Percikhanya 24 halaman hitam putih. Rubriknya pun sedikit. Tata letak masih sederhana. Peredar-annya pun terbatas. Percik saat itu hanya dicetak 500 eksemplar. Sangat terbatas. Mungkin Anda yang ada di daerah tak kenal seper-ti apa Percikedisi awal.

Kini Perciktelah 14 kali terbit. Berbagai pembenahan terjadi di sana-sini, termasuk pengayaan ru-brik, penambahan warna halaman, dan perbaikan tata letak. Percik telah menjangkau seluruh kabu-paten/kota di tanah air, termasuk kalangan LSM, perguruan tinggi, dan kedutaan asing, serta sebagian masyarakat. Di jajaran stakeholder

air minum dan penyehatan ling-kungan sepertinya Perciktelah men-dapat tempat tersendiri. Tujuan penerbitan Percik sebagai sarana informasi dan komunikasi stake-holder AMPL tampaknya sudah ter-wujud.

Kendati begitu, bukan berarti kami telah puas. Kami akan terus mengadakan perbaikan. Rencananya mulai edisi depan, kami akan mener-bitkan Percik Yunior. Sisipan ini berisi informasi mengenai AMPL khusus bagi kalangan anak-anak. Kami berharap anak-anak pun bisa mulai peduli dengan masalah AMPL. Seperti apa PercikYunior ini, tunggu kehadirannya.

Di edisi ulang tahun ini, kami menampilkan tema utama mengenai sampah Kota Bandung. Menurut kami, ini adalah topik yang masih cukup menarik. Hingga kini per-soalan persampahan di kota tersebut belum tuntas. Penyelesaian yang ada

masih bersifat sementara. Tarik menarik antar kepentingan ada di sana. Apalagi semua orang tahu ada dana sangat besar untuk menyele-saikan masalah ini. Biasanya 'ada gula pasti ada semut.'

Pembelajaran dari kasus sampah Bandung ini adalah betapa kita masih belum memberikan kepedulian yang cukup terhadap kebersihan, khusus-nya sampah. Kita masih lebih mem-prioritaskan sektor-sektor lain. Pa-dahal kebersihan memberi dampak yang signifikan bagi kesehatan dan keindahan. Pengabaian terhadap TPA, misalnya, terbukti menimbul-kan korban jiwa. Sampah yang tak terbuang terbukti meresahkan warga dan merusak keindahan kota. Pe-nanganan sampah ternyata bukan hal yang mudah. Butuh kerja sama antar-wilayah atau antardaerah. Musibah sampah Bandung menunjukkan pemerintah kota saja tak cukup mam-pu menanganinya. Bahkan

pemerin-tah propinsi dan pusat pun ha-rus turun tangan. Oleh karena itu, ini merupakan pelajaran berharga bagi kota-kota lain di Indonesia. Jangan sampai musi-bah serupa terjadi. Sayang, keti-ka tulisan ini disusun, musibah sampah terjadi di Bantar Ge-bang, Bekasi.

Di rubrik Inovasi, kami me-nampilkan sebuah temuan yang dilakukan oleh seorang kakek di Bandung. Filter air ini mampu menjernihkan berbagai jenis air. Bukan tidak mungkin ini bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah air di Indonesia. Di rubrik Teropong, kita akan meli-hat model terobosan baru pena-nganan PDAM. Terobosan itu dilakukan oleh Pemda Kab. Sragen, pemda yang kita kenal memiliki banyak terobosan dalam administrasi pemerintahan.

Sedangkan di rubrik Kisah, kami menampilkan sosok-sosok pejuang jamban dari berbagai daerah. Berkat peran ibu-ibu inilah, program bebas buang air besar sembarangan di wilayah mereka masing-masing suk-ses. Kini mereka menjadi contoh betapa masyarakat yang berdaya dan diberdayakan akan mampu men-dorong dan memicu proses pemba-ngunan, kendati mereka sendiri pun tak mendapat imbalan.

Tak kalah menariknya, kami me-wawancarai Direktur Irigasi dan Pengairan Bappenas berkenaan de-ngan kekeride-ngan yang melanda seba-gian wilayah Indonesia saat ini. Ter-nyata persoalan manajemen air men-jadi salah satu sebab kemen-jadian terse-but, selain masalah alam dan ling-kungan. Akhirnya semoga Anda bisa mengambil banyak manfaat dari Percikedisi ini. Wassalam. „

(4)

Hadits CLTS

Pada tanggal 16-20 Mei 2006 ada pelatihan CLTS yang melibatkan tiga kabupaten di Pulau Lombok (Lotim, Loteng & Lobar). Masing-masing kabu-paten ada tiga desa yang akan menjadi tempat uji coba lapangan.

Khusus untuk Kab. Lombok Timur, pelatihan CLTS dilaksanakan pada 16-18 Mei 2006, bertempat Hotel Meliwis, Jl. Labuhan Haji - Lombok Timur. Pada saat RTL di kelas (hari terakhir tanggal 18 Mei 2006), hadir beberapa orang dari tiga desa lokasi uji coba, yaitu Desa Sikur, Kerongkong, dan Teros.

Peserta sangat terkesima/termoti-vasi oleh salah seorang peserta dari Desa Sikur yaitu Ustadz Mohamad Saleh (Kadus Segire/Binong) yang menyampaikan hadits riwayat Muslim dan Abu Daud, yang terkait dengan CLTS, yaitu sangat dilaknat jika ham-bah Allah membuang hajat/kotoran dijalan dan di tempat manusia berte-duh.

Adapun arti dari hadits tersebut yaitu:

"Takutlah akan dua hal yang men-datangkan laknat", Para sahabat bertanya :

"Apakah dua hal yang mendatang-kan laknat itu, wahai Rasullullah? Bersabdalah Rasullullah SAW : "Ialah yang buang hajat/kotoran di jalan tempat lewat manusia atau buang hajat/kotoran ditem-pat manusia berteduh"

(Hadits riwayat Muslim dan Abu Daud)

"Barang siapa yang buang air hendaknya ditutup/dihalangi, ti-dak terbuka"

(Hadits riwayat Abu Daud)

"Janganlah kamu melakukan ke-mudharatan terhadap dirimu dan orang lain"

(Hadits riwayat Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)

Ada hal yang cukup menarik juga dari salah seorang peserta perempuan dari Desa Teros yaitu Ibu Murni (Kader Posyandu sekaligus berperan sebagai koordinator kesehatan masyarakat/pro-mosi kesehatan TKM Desa Taros). Dia memberikan informasi bahwa dirinya cukup terpicu untuk segera membuat jamban walaupun harus dengan meng-gali sendiri, tanpa menunggu bantuan suami, karena dia memiliki prinsip bahwa jika mau memotivasi orang lain, harus dimulai dari sendiri dan harus bisa menjadi contoh bukan hanya bisa sekedar pemberi contoh bagi orang lain.

Sugito,

Lombok Timur

Suara Bising dan

Bau Tak Sedap

Saya mewakili warga di Vila Dago Tol, Kelurahan Serua, Kecamatan Cipu-tat, Kabupaten Tangerang, Banten ber-sama ini menyampaikan bahwa di tem-pat kami, tetem-patnya di depan blok rumah kami yang hanya dibatasi oleh aliran su-ngai yang membatasi Kecamatan Ci-putat dan Serpong, terdapat pabrik pengolahan karet dan peternakan babi.

Keberadaan itu memunculkan ma-salah yaitu:

1. Suara bising dari mesin pengolah karet dan mesin air untuk pengolahan karet yang berlangsung dari pagi hingga

larut malam. (Saat ini hampir selama 24 jam).

2. Bau tak sedap tercium dari salah satu atau kedua tempat tersebut.

Sehubungan dengan hal itu, kami mohon kiranya Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) dapat memeriksa standar kelayakan dari pabrik/pengolahan karet dan peternakan babi tersebut, apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku baik dari sisi standar kebisingan dan bau yang dapat diterima oleh manusia, maupun dari sisi dampak lingkungan (AMDAL). Kami khawatir kejadian ini akan berdampak kepada kesehatan masyarakat khususnya kelu-arga kami baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Sebelumnya warga telah menyampai-kan permasalahan ini kepada pejabat lingkungan (RT/RW) tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya. Besar ha-rapan kami Pokja AMPL dapat membantu kami mencarikan jalan keluar.

A. Cholid, SIP

(021) 74701362

Terima kasih atas perhatiannya. Surat Anda akan kami lanjutkan ke pihak-pihak yang terkait langsung dengan wilayah di mana Anda berada yakni Bapedalda Kab. Tangerang. Semoga permasalahan ini segera tun-tas. (Redaksi). „

S U A R A

A N DA

1.

2.

3.

KARIKATUR:RUDI KOSASIH

(5)

A

ndai tidak ada tragedi Leuwigajah, 21 Februari 2005, mungkin perhatian kita terhadap per-soalan sampah tetap saja minim. Kejadian itu seolah menyentakkan kita untuk melihat masalah per-sampahan ini secara lebih serius. Ternyata kita tak memiliki sarana pendukung baik fisik maupun non fisik (peraturan) yang komprehensif untuk mengatasi masalah persampahan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Tragedi sampah terbesar di Indonesia itu telah terja-di. Sebanyak 146 jiwa melayang sia-sia. Tak hanya itu, tragedi itu menyisakan persoalan baru khususnya bagi Kota Bandung dan sekitarnya. Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah menyebabkan kota itu sulit membuang sampahnya.

Selama 41 hari sampah di Kota Bandung parkir di tempatnya. Paris van Java ini berubah julukan menjadi kota sampah. Bau tak sedap tercium di mana-mana. Rombongan lalat berkeliaran ke sana ke mari. Onggokan-onggokan sampah mengganggu arus lalu lin-tas. Tak heran bila kemudian Bandung mendapat predikat Kota Terkotor di Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Predikat yang sangat memalukan.

Tanggap Darurat

Berdasarkan prediksi, setiap hari warga Bandung dan sekitarnya menghasilkan sampah sebanyak 7.500 meter kubik. Sejak Leuwigajah ditutup, sampah-sam-pah itu untuk sementara dibuang ke TPA Jelekong, Cicabe, dan Pasir Impun yang difungsikan sebagai TPA darurat. Ini mau tidak mau harus dilakukan karena dalam kondisi seperti itu, Kota Bandung harus menjadi tuan rumah peringatan Hari Ulang Tahun Konferensi Asia Afrika ke-50.

Pengoperasian kembali TPA lama ini tidak mudah. Warga di sekitar TPA, misalnya di Jelekong, tidak mau menerima kenyataan pemfungsian kembali TPA terse-but. Selain itu, kapasitas TPA memang terbatas.

TPA Jelekong seluas 10 hektar yang dibuka kembali Maret 2005, akhirnya ditutup 31 Desember 2005. Sebagai gantinya sampah dibuang ke TPA Cicabe mulai 9 Januari 2006. Sebagian lainnya dibuang ke TPA Pasir Impun, yang sebenarnya telah ditutup tahun 1990, guna menghadapi HUT KAA. Akhirnya kedua TPA itu pun tak mampu lagi menampung sampah Kota Bandung. Sejak 15 April 2006 tak ada lagi TPA sampah.

Sebenarnya, Pemkot Bandung juga telah berupaya mengurangi timbulan sampah dari sumbernya. Surat

L A P O R A N

U TA M A

Gara-gara sampah, Bandung jadi kota terkotor di Indonesia.

Beberapa langkah telah diupayakan untuk mengatasinya.

Mampukah ini bisa bertahan lama?

(6)

Edaran Walikota Nomor : 658.1 / SE 055 - BPOD tanggal, 28 April 2005 ten-tang langkah-langkah proaktif pena-nganan sampah Kota Bandung melalui program 3 R, dan Surat Edaran Walikota Bandung Nomor : 658.1 / SE. 135 -PD.KBR tanggal, 27 Desember 2005 tentang optimalisasi Surat Edaran No-mor : 658.1 / SE 055 - BPOD. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat (Lihat: Kegiatan Persampahan Masya-rakat di Bandung). Tapi hasilnya kurang signifikan. Kegiatan ini maksimum hanya mampu mengurangi 10 persen dari total timbunan sampah.

Bersamaan dengan itu, Pemkot Bandung mencari lahan kosong milik pemerintah kota, masyarakat dan badan usaha untuk digunakan sebagai tempat penimbunan sampah. Lokasi yang didapat yakni Kecamatan Regol (200 m2), Cibenying Kaler (50 m2), Kiaracondong (400 m2), Bandung Kidul (50 m2), Sumur Bandung (60 m2), Bandung Kulon (264 m2), dan Arcamanik (1.800 m2). Karena hanya untuk menimbun, lahan-lahan itu pun penuh.

Kondisi ini memaksa Pemkot Ban-dung mencari alternatif. Tapi itu tidak mudah. Ada 31 lokasi yang diharapkan bisa menjadi TPA baru atau darurat. Dari jumlah tersebut tiga daerah menja-di nominasi yakni Blok Cimerang, Desa Citatah, Kab. Bandung; Blok Legok Nangka, Kec. Nagrek, Kab. Bandung; dan Desa Sumur Bandung, Kec. Cipatat, Kab. Bandung. Namun ada kendala per-izinan. Sebagian ada kendala penolakan dari masyarakat sekitar lokasi.

Pemerintah Propinsi Jawa Barat turun tangan. Apalagi pemerintah pusat menaruh perhatian besar terhadap kon-disi Kota Bandung. Pemprop bersama Muspida, Pemkot Bandung, Pemkab Bandung, Pemkot Cimahi, Perum Perhutani Unit III Jabar, Kodam III Siliwangi, dan PTP VIII melalui se-rangkaian pembicaraan menyepakati tiga lokasi untuk dijadikan TPA sementara. Lokasi itu yaitu

Blok Cikubang, Desa Sumur Bandung, Kec. Cipatat, Kab. Bandung (milik TNI AD) seluas 1,5 hektar; Blok Cigedig, Desa Sarimukti, Kec. Cipatat, Kab. Bandung (milik Perum Perhutani) selu-as 21,2 hektar; dan Blok Gunung Hejo, Desa Cianting, Kec. Sukatani, Kab. Bandung (milik PTP VIII). Blok yang terakhir belum bisa digunakan. Blok Cikubang digunakan pada 26 Mei hing-ga 11 Juni 2006. Sedangkan Blok Cigedig digunakan mulai 28 Mei hingga saat ini.

Selama 15 April 2006-26 Mei 2006, sampah menumpuk. Volumenya diper-kirakan mencapai sekitar 400 ribu meter kubik. Sampah-sampah itu telah dipindahkan ke Blok Cigedig, Sarimukti dengan memaksimalkan armada yang ada-sekitar 140 truk sampah dari PD Kebersihan Kota Bandung, sewa truk, dan bantuan truk TNI. Sementara per-sampahan tertangani.

Program Jangka Panjang Pemkot Bandung kini sudah bersih. Predikat kota terkotor, mungkin sudah bisa dicabut. Tapi bukan berarti permasa-lahan persampahan di kota ini sudah

usai. Pekerjaan rumah besar kini yang menanti yaitu bagaimana mengelola sampah kota dalam jangka panjang. Kalau tidak, persoalan ini akan menjadi bom waktu yang bisa kapan saja meledak dan membawa bencana.

Pemerintah kota sendiri telah me-rencanakan untuk membangun pabrik pengolah sampah. Rencana ini muncul setelah Walikota Bandung mengunjungi Shanghai Cina dan Singapura untuk melihat dari dekat proses penanganan sampah di kedua kota tersebut. ''Ternyata ada pengolah sampah di te-ngah kota yang menghasilkan energi. Prosesnya tidak menyisakan sampah sedikitpun. Kota Bandung ingin menuju ke sana,'' kata H. Dada Ro-sada beberapa waktu lalu.

Untuk kebutuhan itu, Pemkot telah mencari lahan sebagai lokasi pabrik. Letaknya di dalam kota, di wilayah Bandung timur. Luasnya 20 hektar dengan pembagian 5 hektar untuk bangunan pabrik, 5 hektar untuk lahan cadangan, dan 10 hektar untuk penghijauan. Lokasi ini pun, menurut Walikota, secara prinsip tak masalah karena hanya dimiliki oleh satu orang

L A P O R A N

U TA M A

FOTO:MUJIYANTO

(7)

dan yang bersangkutan tak keberatan. Rencana Pemkot Bandung ini didasarkan pada konsep strategis peng-olahan sampah yakni (i) mengubah cara pandang dan persepsi tentang sampah (bagi penimbul sampah dan pengelola sampah) dari sesuatu yang harus dibuang dan dimusnahkan, menjadi sesuatu yang masuk memiliki nilai man-faat dan sebagai sumber daya yang ter-habiskan (sustainable resources), (ii) menjaga keberlanjutan sistem opera-sional pelayanan, karena dengan sistem pengolahan akan mengurangi kerentan-an macet atau jenuhnya mata rkerentan-antai operasional yaitu sistem pembuangan. Bila mata rantai pembuangan macet atau jenuh maka akan memacetkan mata rantai sistem pelayanan lainnya seperti pengumpulan dan pengang-kutan sehingga sampah akan tertumpuk di TPS-TPS dan tempat lainnya.

Sembari menuju ke arah sana, Pemkot bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengem-bangkan pabrik pengolah sampah skala kecil. Setiap hari pabrik ini mengolah 24 ton sampah. Energi yang dihasilkan sebesar 500 kWh.

Energi ini dinilai terlalu kecil dan belum ekonomis. Nantinya pabrik yang akan dibangun mampu menghasilkan energi 25-30 Mega Watt. Sementara asupannya berupa sampah seberat 1.500 ton per hari. Pabrik ini juga menghasilkan uap air dan abu untuk bahan bangunan (batako). Listrik terse-but nanti akan dijual kepada masyara-kat.

Niat Pemkot ini tampaknya akan terwujud. Pemkot telah menggandeng PT. Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) dan Daarut Tauhid, ITB, dan PLN. Pemkot akan bertindak sebagai pemilik sampah. PT BRIL dan Daarut Tauhid sebagai pengolah sampah, PLN sebagai pembeli dan penjual listrik. ITB bertu-gas menangani perencanaan tekno-loginya. Jika tidak ada aral melintang, pabrik akan berdiri tahun

depan.

Dalam kaitan manajemen, Pemkot menyiapkan konsep. Pertama, pada perhitungan kondisi usaha berjalan dan beroperasi sesuai dengan mekanisme pasar (layak usaha), manajemen pabrik dapat sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Kedua, jika pabrik tidak dapat berjalan dan beroperasi sesuai dengan mekanisme pasar (hasil penjualan pro-duk tidak mencukupi untuk men-jalankan usaha pabrik) manajemen pabrik dikelola bersama antara swasta dan pemerintah kota dengan meka-nisme subsidi.

Menurut Walikota rencana pemba-ngunan pabrik ini tidak akan meng-ganggu program Greater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC). Dia menilai sampah Ban-dung itu banyak. ''Kita akan tetap ikut program itu,'' kata Dada.

Kebijakan Hasil Panitia Ad Hoc Penanganan sampah di Kota Ban-dung memang tak bisa hanya di-bebankan kepada Pemkot. Banyak pi-hak terkait dalam masalah ini, termasuk pemerintah daerah di sekitar ibukota Propinsi Jawa Barat tersebut. Mau tidak mau penanganannya pun harus terinte-grasi antarsemua stakeholder baik dalam jangka pendek (hingga akhir 2007), menengah (2-3 tahun), dan pan-jang (10 tahun). Atas dasar itu,

pe-merintah pusat pada 23 Juni 2006 membentuk panitia ad hoc. Panitia itu beranggotakan tim daerah (Pemkot Bandung, Pem-kab Bandung, Pemkot Cimahi, dan ITB) dan tim pusat (Bappenas, Dep. PU, Kementerian LH, dan BPPT). Panitia ini bertugas menyusun langkah-langkah strategis dalam upaya penang-gulangan krisis sampah di Metropolitan Bandung, sekaligus melakukan koordi-nasi dan mempererat kerja sama.

Melalui serangkaian pertemuan, panitia ad hoc menetapkan prinsip dasar bagi strategi program. Prinsip itu adalah:

1. Pengurangan timbulan sampah dimulai dari sumbernya - gerakan 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) sehingga sampah yang dikumpulkan, diangkut, dan dibuang menjadi minim.

2. Azas polluter pays principle,yang mewajibkan siapapun yang meng-hasilkan sampah menanggung biaya penanganan sampah.

3. Penyediaan TPA masih dibu-tuhkan dalam pengelolaan persam-pahan perkotaan.

4. Kerja sama regional untuk memperoleh lokasi TPA dan mena-nganinya secara bersama.

5. Program pengembangan lebih lanjut, yaitu memanfaatkan sampah untuk kepentingan lain dan

L A P O R A N

U TA M A

NO. KOMPONEN BERAT DAN VOLUME

Berat (ton) % Berat Vol (m3) %Vol

1. Sampah basah 1.11 59,5 3.592,5 47,9

2. Kertas 223 11,9 2.235 29,8

3. Tekstil 10 0,5 112,5 1,5

4. Plastik 236 12,6 697,5 9,3

5. Pecah belah 26 1,4 60 0,8

6. Logam 28 1,5 292,5 3,9

7. Lain-lain 236 12,8 525 7,0

Jumlah 1.875 100,0 7.500 100.0

KONDISI FISIK SAMPAH KOTA BANDUNG PER HARI

(8)

sekaligus mengurangi jumlahnya secara efektif, seperti penerapan Waste to Energy

Dalam jangka pendek, penanganan sampah di sumber akan dilakukan de-ngan program pemilahan, 3R, dan com-posting skala rumah tangga. Untuk itu akan ada sosialisasi, pelatihan dan pem-bentukan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), proyek compostingskala rumah tangga, disertai penegakan atur-an. Di tingkat TPS, program berupa peningkatan cakupan pelayanan peng-angkutan. Caranya dengan penambah-an jumlah armada pengpenambah-angkutpenambah-an, inventarisasi dan revitalisasi TPS, peng-aturan rute berbasis GIS (Geographic Information System) dan jadwalnya, re-plikasi program composting skala ka-wasan, serta studi dan Konstruksi TPS. Sedangkan di TPA, TPA Sarimukti akan direvitalisasi (landfill 21,2 Ha) melalui Detail Engineering Design (DED) dan Konstruksi, pembangunan instalasi kom-pos, serta operasi dan pemeliharaan. Selain itu, penetapan Lokasi, Instalasi Pengolahan Terpadu (IPT), Pembebasan Lahan, Anali-sis Dampak Lingkungan (AMDAL), DED,

TPA Citiis/Legok Nangka; identifikasi ren-cana aksi sesuai hasil GBWMC; dan penye-lesaian status hukum TPA Leuwigajah.

Pada jangka menengah, di tingkat sumber, program berupa replikasi pro-gram pemilahan, 3R, composting skala rumah tangga, serta pemberlakuan sanksi denda terhadap pelanggaran aturan. Di TPS, peningkatan cakupan pe-layanan pengangkutan, replikasi program compostingskala kawasan, serta studi dan konstruksi SPA. Di TPA, studi kelayakan, Amdal, dan DED TPA Citiis/Legok Nang-ka; sosialisasi teknologi Reusable Sanitary Landfill(RSL) dan Sanitary landfill(SL) di TPA Leuwigajah; studi kelayakan TPA Regional-Sanitary landfill; peraturan kerja sama antar daerah; kerja sama de-ngan swasta; DED pengolahan sampah terpadu; Pilot Project Waste to: (i) Energi (ii) Pupuk organik; dan pilot Project Landfill Gas to Energy (LFGTE).

Sedangkan pada jangka panjang, pe-nanganan sampah di sumber sama de-ngan tahap sebelumnya. Di tingkat TPS, programnya yakni efisiensi dan pening-katan kapasitas manajemen pengelolaan persampahan, pencapaian target "full

cost recovery" pada periode perencana-an jperencana-angka pperencana-anjperencana-ang dperencana-an pilot proyek com-postingskala kawasan. Di TPA, program berupa konstruksi teknologi RSL dan SL di TPA Leuwigajah; pembangunan Peng-olahan Sampah Terpadu (kapasitas 100 m3/hari, lahan: 1500 m2, dengan perkira-an investasi Rp. 2,3 milyar); Waste to Ener-gy - Pilot Project(konstruksi pilot project Waste to Energy(100 ton/hari), supervisi pilot project Waste to Energy, dan Evaluasi pilot project Waste to Energy).

Penanganan sampah hasil panitia ad hoc ini, kalau disimak merupakan hasil kompilasi dan kompromi dari berbagai usulan dari stakeholder. (Lihat: Pilihan Konsep Penanganan Sampah Kota Bandung). Secara teori, kebijakan itu cukup menjanjikan. Tapi apakah cukup aplikatif? Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat imple-mentasi yang melibatkan banyak pihak biasanya justru malah tidak bisa ber-jalan sesuai harapan. Semoga ini hanya sebuah kekhawatiran yang tak terbukti. Sekarang kita tinggal menunggu, aksi mana yang akan bisa membendung sampah Kota Bandung. „mujiyanto

L A P O R A N

U TA M A

G

reater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC) adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menangani sampah Metropolitan Bandung (Bandung dan sekitarnya). Pembentukan kelemba-gaan ini didasarkan atas nota kesepahaman pengelolaan sampah Metropolitan Bandung 7 Maret 2005, SK Gubernur Jawa Barat tentang Pembentukan Tim Perumus Pengelolaan Sampah di Metropolitan Bandung, dan SKB Pembentukan Wadah Pengelolaan Sampah Bersama di Metropolitan Bandung 27 Desember 2005. Pemerintah daerah yang terli-bat dalam GBWMC ini adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang. Dua kabupaten lainnya yakni Purwakarta dan Cianjur belum ada kepastian.

Strategi pelaksanaan GBWMC menggunakan tiga prinsip yakni: 1. Strategi teknis

a. Pencegahan sampah dari sumber: permukiman, pertanian, pertokoan, termasuk kantor dan sekolah (Perlu regulasi dan

enforcement) b. TPA masih diperlukan 2. Strategi kelembagaan dan SDM

a. Sampah merupakan masalah public management

b. Peningkatan kapasitas aparatur publik atau out sourcing

3. Strategi budaya dan spiritual

a. Sampah fisik merupakan resultan sampah non fisik b. Pendekatan: budaya/keteladanan dan spiritual

(perlu kampanye/sosialisasi)

Nantinya akan ada dua TPA untuk wilayah Metropolitan Bandung. Satu untuk kawasan timur dan satunya untuk kawasan barat. Berdasarkan survei ada dua daerah yang terpilih yakni Citiis (100 ha), dan Legok Selong (70 ha). Sementara tahap pengolahan sampah sebagai berikut.

Pelaksanaan GBWMC (TPASanitary landfill dan pengurangan sampah di sumber) membutuhkan dana sebesar Rp. 385 milyar. Skenario pendanaan-nya ada empat yaitu (i) sharingpusat-propinsi-kab/kota, (ii) sharing propinsi-kab/kota, (iii) sharing propinsi-kab/kota-investor, (iv) dana pinjaman dari Bank Dunia dengan melibatkan swasta sebagai operator.

GBWMC merencanakan selambat-lambatnya 27 Desember 2006 wadah pengelolaan sampah bersama di Metropolitan Bandung telah resmi terben-tuk. Gubernur Jawa Barat juga diharapkan telah mengeluarkan SK untuk penunjukan lokasi TPA. „„MJ

S E K I L A S P R O G R A M G B W M C

> 25 tahun

- gas, kompos Rp. XXX

100 ha >>> 25 tahun

- listrik, bhn kimia Rp. YYY

TPA

Recovery Storage

TPA Storage

(9)

Pengomposan oleh Yayasan Bitari di Eks TPA

Pasir Impun

„

Luas Lahan = 2000 m2

„

Volume sampah yang masuk = ± 20 m3/hari

„

Produksi Kompos = 660 Kg/ Hari

Daur Ulang Plastik oleh CV Fajat di eks TPA Pasir Impun

dan Jl. Holis

„

Luas Lahan = 2000 m2

„

Volume sampah Plastik = ± 0,5 - 1 ton/hari

„

Jenis Produksi = Chips dan Kontainer

Selain itu ada pula kegiatan melalui bantuan program

WJEMP - CEF. Kegiatan yang sudah dilaksanakan yaitu

pengomposan di 5 RW Kelurahan Gegerkalong,

Keca-matan Sukasari

„

Luas Lahan = ± 300 m2

„

Volume sampah yang masuk = ± 2-3 ton /hari

„

Produksi kompos = ± 1 - 1,5 ton/hari

„

Residu Non Organik dipilah dan dijual

Kegiatan Melalui Swadaya Masyarakat

PT PINDAD

„

Luas Lahan = 600 m2

„

Volume sampah yang masuk = 9 - 10 m3/hari

„

Produksi Kompos = 500 - 1000 Kg/ Hari

„

Jenis Sampah yang masuk kelokasi 90 %

da-un, 10 % hasil kegiatan kantor (kertas+sisa

makanan) Residu Non Organik dibakar.

RW 1 1 C i b a n g k o n g

Luas Lahan = ± 400 m2

(berikut lahan untuk uji coba tanaman)

„

Volume sampah yang masuk = ± 10 m3/hari

„

Produksi Kompos = 1 - 1,5 ton/ Hari

„

Residu Non Organik dipilah dan dijual

J h o n Pi e t e r s

Lokasi RW 06 dan Jl. Cipamokolan No. 77

Kel.Cipamokolan Kec.Rancasari

„

Luas Lahan = ± 2.500 m2

„

Volume sampah plastik = ± 6 ton/hari

„

Volume sampah logam = ± 8 ton/hari

„

Produk : Pelet plastik

Pengomposan dengan Green Phoskko RW 04 Kelurahan

Cipadung, Kecamatan Cibiru

„

Luas Lahan = ± 100 m2

„

Volume sampah yang masuk = ± 2 m3/hari

„

Produksi kompos = ± 0.35 m3/hari

„

Residu Non Organik dipilah dan dijual

„

Lindi dari pengomposan untuk pupuk cair

Pengomposan dengan

Green

Phoskko RW 14

Kelurah-an Palasari, KecamatKelurah-an Cibiru

„

Luas Lahan = ± 100 m2

„

Volume sampah yang masuk = ± 1,2 m3 /hari

„

Produksi kompos = ± 0,2 m3/hari

„

Residu Non Organik dipilah dan dijual

„

Residu Non Organik dibakar,

L A P O R A N

U TA M A

S

elain mencari alternatif TPA, PD Kebersihan Bandung mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengolah sampah di sumber sampah atau TPS. Kemitraan yang terjalin itu yaitu composting di Eks TPA Pasir Impun,

daur ulang plastik jenis PET dan PE (Botol dan Gelas kemasan air minum mineral), dan daur ulang plastik menjadi kon-tainer(bin) sampah.

(10)

L A P O R A N

U TA M A

S

ampah Bandung memang sudah terbendung kendati masih se-mentara waktu. Musibah sam-pah ini mengundang berbagai pihak un-tuk ikut urun rembug dalam rangka memecahkan persoalan tersebut. Seti-daknya ada tiga instansi yang memiliki konsep, selain Pemerintah Kota Ban-dung sendiri. Usulan itu berasal dari Badan Pengkajian dan Penerapan Tek-nologi (BPPT), Institut TekTek-nologi Ban-dung (ITB), dan Kementerian Ling-kungan Hidup. Berikut usulan masing-masing lembaga tersebut.

P

E M K O T

B

A N D U N G

Jangka Pendek sebelum ada teknologi pengolahan

Peran serta masyarakat melalui konsep 3 R (Reduce, reuse, dan recycle)

Pengomposan, insinerator mikro skala RW/pembakaran (hati-hati) Penimbunan setempat

Pengolahan sampah dengan basis teknologi modern

Pembangunan pabrik pengolah sampah yang bisa mengubah sam-pah menjadi energi listrik, pupuk organik, atau produk lain. Kapa-sitas pabrik 1.500

ton/hari, operasi 24 jam/hari. Ener-gi yang dihasilkan 30 M Watt.

Manajemen sepe-nuhnya diserahkan swasta bila perhi-tungan usaha sesuai mekanisme pasar. Jika tidak, pabrik dikelola bersama antara swasta dan pemerintah kota.

I T B

Pengelolaan sampah terpadu, yakni Komposter rumah tangga

Pengomposan Skala RT/RW, seki-tar 10 RT: 3 gerobak sampah de-ngan volume 4,5-5 m3/hari Pengolah sampah terpadu kapasi-tas 100 m3/hari. Butuh lahan 1.500 m2. Butuh hanggar utama, hanggar kompos, rumah kaca, conveyor belt, mesin pencacah sampah organik, sistem suplai udara pengomposan aerasi, unit reactoruji coba gasifikasi dan bio-gas, penyaring kompos, insinera-tor, mesin batako, pencacah plas-tic, container stok, timbangan dan sebagainya. Biaya operasi pada kapasitas minimum (20 m3) yakni Rp. 27.000/m3 dan pada kapasi-tas maksimum kompos cepat (100 m3) yakni Rp. 5.400/m3.

K

E M E N T E R I A N

L H

Penerapan konsep 3 R dengan me-maksimalkan 6 lokasi TPS potensial selama tahun 2006. Metode ini diper-kirakan dapat mengurangi sampah sebesar 725 m3 atau sekitar 22,66 persen (total sampah terangkut 3.200

m3/hari). Untuk jangka panjang pe-nerapan konsep 3R dapat mencapai 40-60 persen dari total timbulan sam-pah. Total biaya yang dibutuhkan se-lama tahun 2006 yakni Rp. 2 milyar.

B P P T

zSkenario 1

Rehabilitasi dan pemakaian kembali TPA Leuwigajah (jika TPA itu bisa dimanfaatkan) menjadi reusable sanitary landfill dan pengelo-laan sampah terpadu berbasis 3 R. Biaya pengolahan per ton sampah adalah Rp. 79.074.

zSkenario 2

Penerapan TPA reusable sanitary landfill (jika TPA Leuwigajah tidak dapat dimanfaatkan dan jika didapatkan TPA baru dengan luasan yang memadai) dan penerapan pe-ngelolaan sampah terpadu berbasis 3 R. Butuh dua lokasi RSL dengan kapasitas 13.000 m3/hari dan 7.000 m3/hari. Biaya pengolahan Rp. 87.079 per ton sampah.

zSkenario 3

Penerapan pengolahan sampah men-jadi energi melalui teknologi insinera-tor, TPA RSL ukuran kecil, dan pene-rapan pengelolaan sampah terpadu berbasis gerakan 3 R (jika TPA Leu-wigajah tidak dapat digunakan dan didapatkan TPA baru dengan luasan yang relatif sempit). Insi-nerator yang akan dibangun mem-punyai kapasitas 1.000 ton per hari yang dilengkapi sistem peman-faatan panas pembakaran untuk energi. Butuh lahan 5 hektar dan dua lokasi TPA RSL dengan kapasitas tampung masing-masing 8.000 m3/hari. Bia-ya perkiraan per ton sampah yakni Rp. 124.870. „MJ

  

  





z

z

z

z

P

ILIHAN

K

ONSEP

P

ENANGANAN

S

AMPAH

K

OTA

B

ANDUNG

(11)

B

isa digambarkan seperti apa pengelolaan sampah di kota Bandung sebelum ter-jadinya darurat sampah?

Selama ini pengelolaan sampah di-lakukan secara tradisional yaitu sani-tary landfill, paling juga meningkat pada control landfill. Kalau sanitary landfill, sampah dibuang saja kemudian diratakan pada satu lokasi tertentu. Se-dangkan control landfill, sampah dira-takan kemudian ditumpuk tanah. Baik sanitary maupun control landfill ter-nyata keduanya menimbulkan masalah ke depan kalau dibiarkan terus.

Sanitary landfillkan membutuhkan tanah yang luas. Kalau tanahnya sempit, pada suatu saat bisa menimbulkan musibah. Contohnya di Leuwigajah. Kalau kita menumpuk tanah akan berakibat yang sama juga karena air lindinya dan ambrolnya sampah bisa terjadi. Kalau kita mau membuat ver-tikal, memangnya mau ditembok ke atas? Dengan terjadinya kasus Leuwi-gajah kita harus berbuat lebih baik dan tidak mengulangi lagi kasus tersebut yang jelas menimbulkan korban dan merugikan masyarakat dan pemerintah kota.

Apa yang dilakukan Pemda setelah Leuwigajah longsor?

Seizin gubernur secara lisan, sekitar bulan Maret 2005 kami mengundang 16 pengusaha yang mau bergerak di bidang pengolahan sampah baik yang mengha-silkan kompos, pupuk, energi, briket, batubata, semen dan sebagainya. Me-reka berasal dari dalam dan luar negeri. Untuk menyeleksi mereka, kami mem-bentuk tim perumus yang terdiri dari pemerintah kota, pakar lingkungan, dan dari Unpad. Tim bekerja dan akhirnya

terseleksi menjadi lima, dan akhirnya menjadi tiga. Tiga itu kemudian mem-bentuk konsorsium yang namanya PT BRIL yaitu Bandung Raya Indah Lestari. Pada September 2005 kita mengadakan MoU dengan perusahaan tersebut. Kewajiban PT BRIL adalah mencari tanah dan membebaskannya untuk pabrik, kemudian membuat pab-rik sendiri. Sebelumnya pada Juli-Agustus kita ke Shanghai, Cina, melihat pabrik di sana. Apa yang kita lakukan mengadopsi dari sana. Walaupun saya pribadi pernah dapat training dengan Bupati Bandung dan Walikota Cimahi dalam bidang sampah. Sehingga saya bi-sa melengkapi komparasi Jepang dan Cina itu. Setelah September, BRIL men-cari lahan. Ternyata tidak mudah. Yang dicari di Kab. Bandung dan Garut. Bebe-rapa lokasi di Bandung, masyarakat se-tuju, kita sese-tuju, tapi Pemda Kab. Ban-dung tidak setuju. Ada juga yang kabu-paten setuju tapi masyarakat tidak se-tuju. Jadi tidak mudah. Yang terakhir ki-ta masih membuang sampah di Jelekong, Kab. Bandung. Terus ditutup. Kita juga

punya di Pasir Impun, 7 Ha juga ditu-tup. Juga di Cicabe, 14 April dituditu-tup. Jadi pada 15 April kita tak bisa mem-buang sampah ke mana-mana. Sampai 26 Mei 2006 sampah menumpuk. Lamanya 41 hari. Setiap hari ada 7.500 meter kubik sampah. Kali 41 hari jadi sekitar 400 ribu meter kubik. Oleh kare-na itu saya katakan Bandung itu musi-bah darurat sampah. Dan ini bukan hanya isu nasional tapi juga interna-sional. Saya terus berupaya menyele-saikannya. Pada 26 Mei Pak Gubernur dan Panglima Kodam III Siliwangi turun tangan sehingga mendapatkan tanah di Sarimukti, milik Perhutani seluas 21 hektar. Saat itu juga kita memakai tanah Kodam di Cikubang seluas 2,5 ha, dan itu hanya mampu dipakai selama 10 hari. Sekarang kita menggunakan Sarimukti. Dengan Sari-mukti, 7 Agustus lalu Pak Gubernur me-nandatangani perjanjian dengan Perhu-tani sebagai payung hukum penggunaan lahan tersebut. Bahwa sampah yang di-buang oleh Kab. Bandung, Cimahi, Kota Bandung, nantinya akan dijadikan tem-pat pengolahan menjadi kompos. Ini ju-ga atas saran tim yang dibentuk oleh Men PPN/Ketua bappenas, Meneg LH, Menteri Ristek. Pemerintah menyedia-kan dana Rp. 14 milyar. Pembagiannya, Kota Bandung Rp. 1,5 milyar untuk membangun fasilitas pengolahan kom-pos menjadi sampah di Sarimukti. Tapi setelah saya komparasi ke Singapura se-minggu lalu, ternyata ada fasilitas peng-olahan sampah di tengah kota menjadi energi, pembersih air. Ada empat lokasi. Sehingga untuk energi listrik, Kota Ban-dung sangat memungkinkan karena ha-nya menggunakan 5 ha untuk pabrik, 15 ha untuk green belt-nya. Saya meng-hendaki 5 ha untuk pabrik, 5 ha untuk

L A P O R A N

U TA M A

Walikota Bandung, H. Dada Rosada:

Tak Bisa Lagi Cara Tradisional

(12)

cadangan, dan 10 ha untuk penghijau-an. Dari pengalaman di beberapa ne-gara, ternyata prosesnya tidak menyisa-kan sampah sedikitpun karena sampah diolah terus. Kota Bandung ingin menu-ju ke sana. Mudah-mudahan kalau ini teralisasi, ini menjadikan yang pertama di Indonesia.

Apakah Pemkot hanya bekerja sama dengan swasta itu saja?

Pada 31 Juli lalu, kerja sama Pemkot Bandung dengan PT BRIL dikembang-kan lagi dengan ITB, PLN, dan Darut Tauhid. Keputusannya, Pemkot yang mempunyai sampah, PT BRIL dan Da-rut Tauhid yang mengolah sampah, PLN yang membeli dan menjual, dan ITB yang menangani perencanaan tek-nologinya. Sebelumnya ITB dan PLN sudah mengadakan kerja sama dengan skala kecil 1 hari 24 ton menghasilkan energi listrik 500 kWH. Ini dinilai ter-lalu kecil sehingga PLN menyarankan bekerja sama dengan Pemkot karena punya sampah banyak. Kita ancer-ancer 1500 ton per hari dapat meng-hasilkan 25 Mega Watt.

Kerja sama regional antarpem-da sendiri seperti apa?

Kerja sama antar Pemkot, Pemkab Bandung, dan Cimahi wujudnya ya pembuangan bersama di Sarimukti, Kab

Bandung itu. Kabupaten Bandung dan Cimahi sampahnya tidak banyak. Kalau kota Bandung per hari 7.500 meter kubik, sedangkan Cimahi tiga bulan saja 450 meter kubik. Kami yang terbanyak menginginkan sampah ini jadi energi listrik. Kebetulan PLN juga belum bisa melayani semua warga.

Di mana lokasi pabrik yang direncanakan?

Ada di Bandung timur. Prosesnya sedang berlangsung. Insya Allah tidak akan mengalami kesulitan karena yang mempunyai tanah hanya seorang dan sudah menyerahkan kepada kita. Kita berharap tidak akan terjadi seperti yang di Bojong. Masyarakat sudah kita sosi-alisasikan dan mau.

Soal anggaran bagaimana? Ya anggarannya bertahap.

Berapa alokasinya?

Kita belum menentukan. Yang pen-ting sekarang adalah payung hukumnya dulu. Business plan-nya belum dibuat. Kerja kita banyak terganggu, misalnya mencari lahan saja kan tidak gampang.

Dengan kasus musibah sampah ini, apakah Bandung memperta-hankan master plan yang sudah ada atau membuat yang baru?

Kita membuat yang baru. Yang lama kan sanitary landfill. Itu sudah tidak bisa lagi. Sekarang master plansedang dibuat. Jadi master plan baru titik lokasi saja. Bahwa di RTRW dan RDTRK-nya kita memplot Bandung timur sebagai lokasi industri nonpolu-tan dan pergudangan.

Apa yang Anda sampaikan menunjukkan bagaimana sampah akhir itu diolah. Lalu bagaimana dengan pemberdayaan masyara-kat dalam mengurangi sampah?

Masyarakat kita imbau untuk memi-lah sampah di rumah dulu. Ini seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Paling tidak dipilah antara yang organik dan anorganik. Sampah itu kemudian kita ambil dan dibawa ke depot. Di situ juga ada orang yang memilah. Di pabrik nantinya akan ada tenaga kerja dari mulai yang kasar sampai yang trampil yang memiliki keahlian khusus.

Bagaimana bentuk kerja sama dengan pihak swasta?

Semua kita serahkan kepada swasta. Nah kita tinggalnyicil, entah seperti apa bentuknya nanti. Operatornya swasta, kita bayar kepada mereka. Jadi mereka itu me-lakukan investasi dan yang mengoperasi-kannya. Jadi kita menyerahkan sampah dan kita bayar. Mereka memperoleh

ke-L A P O R A N

U TA M A

P

EM

K

O

T

(13)

untungan dari situ. Selain itu mereka men-jual hasil sampah berupa energi ke PLN.

Bagaimana dampak adanya pabrik sampah terhadap kinerja PD Kebersihan Kota Bandung?

Ya secara bertahap, mungkin kita kerja samakan. Yang akan datang kan akan kembali menjadi milik pemerintah kota jika BOT atau BTO selesai.

Berapa jangka waktu kerja sa-ma dengan swasta ini?

Ya, minimal 20 tahun.

Apakah pemda menyiapkan Perda khusus untuk mengawal kerja sama ini?

Ya, harus itu. Sekarang sudah ada per-danya. Judulnya yang ada Pengelolaan Sampah, dari rumah ke TPS dilakukan masyarakat bersama RT/RW, dari TPS diangkut ke TPA dan tidak diapa-apain. Masyarakat ditarik retribusi karena dari TPS ke TPA kita yang mengangkutnya.

Belum ada perda khusus dalam kaitan kerja sama ini?

Baru MoU.

Berarti harus ada payung hu-kum?

Harus. Apalagi kerja sama itu juga menyangkut ITB, PLN, dan Darut Tauhid.

Berapa sih anggaran untuk pe-ngelolaan sampah selama ini?

Dari Pemda kita membantu sebesar Rp. 20 milyar. Tapi beban yang dibe-rikan kepada PD Kebersihan untuk re-tribusi kanhanya 53 persen-an dari ke-butuhan anggaran yang lebih dari 20 milyar.

Mungkin Anda punya saran

ba-gi kota lain agar tidak terjadi mu-sibah seperti di Bandung, apa yang harus dilakukan?

Yang pertama, harus mengubah pe-rilaku. Tak bisa lagi membuang sampah seenaknya. Memilah sampah. Dan pe-merintah daerah tidak lagi mengguna-kan cara-cara yang tradisional, sanitary landfill.

Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah jika mereka mengalami darurat sampah?

Yang harus mengacu pada peng-olahan sampah secara teknologi, apa-kah bergabung (dengan pihak/pemda lain) atau sendiri-sendiri.

Maksudnya dalam kondisi da-rurat?

Ya kita dengan seluruh potensi ma-syarakat melaksanakan 3 R itu. Reduce, Reuse, dan Recycle. Tapi itu sangat darurat sekali. Itupun hasilnya tidak banyak. Selama 41 hari ada sampah se-kitar 400 ribu meter kubik. Dengan 3 R kita bisa mengurangi paling hanya 10 ribu meter kubik. Di samping itu proses itu tidak cepat untuk menimbulkan re-volusi. Model seperti ini untuk jangka panjang. Membuat pengelolaan sampah di rumah kan juga tidak semua orang sanggup untuk itu. Jadi pengelolaan sampah dari tradisional ke teknologi itu mutlak.

Mulai kapan pabrik berope-rasi?

Tahun ini kan baru pembangunan pabrik. Butuh waktu 1 tahun. Selama itu sampah kita buang di Sarimukti. Jadi ini sudah bagus sekali.

Apakah langkah Anda tidak berbenturan dengan program GBWMC?

GBWMC tidak ada masalah. Kita akan tetap ikut dalam program tersebut. Lagipula sampah Bandung itu kan banyak. Jadi tidak perlu ada kekhawa-tiran dengan Sarimukti. „MJ

L A P O R A N

U TA M A

Kita dengan seluruh

potensi masyarakat

melaksanakan 3 R.

Reduce, Reuse,

dan

Recycle.

Tapi itu

sangat darurat

sekali. Itupun hasilnya

tidak banyak.

FOTO:MUJIYANTO

(14)

K

ondisi persampahan di Indone-sia sudah sedemikian carut marut yang ditandai dengan berbagai kasus pencemaran akibat sam-pah. Puncaknya ketika TPA Leuwigajah longsor pada bulan Februari lalu yang memakan korban meninggal 146 orang dan diikuti dengan berbagai perdebatan sengit, saling menyalahkan. Namun seperti hal yang lazim terjadi di Republik kita tercinta ini, bencana long-sornya TPA Leuwigajah pun tidak diiku-ti dengan upaya perbaikan yang me-madai baik secara teknis maupun poli-tis. Rasanya itulah titik nadir paling rendah dalam dunia persampahan di Indonesia selama ini.

Meskipun tidak ada pernyataan resmi Pemerintah mengenai "keadaan darurat" sampah di wilayah Bandung, kenyataannya sejak bulan Mei 2006

setelah TPA Leuwigajah longsor, se-banyak 300.000 m3 sampah tertahan di dalam kota karena tidak ada TPA yang dapat menerima sampah yang setiap harinya mencapai 4.000 m3 atau lebih tepat karena kuatnya penolakan warga yang keberatan dengan keberadaan TPA alternatif (TPA Jelekong, TPA Babakan, dan lain-lain). Dengan kondisi demi-kian, sudah dapat dipastikan Bandung yang terkenal sejuk dan indah berubah menjadi kota lautan sampah yang bau dan menjijikkan bahkan kekhawatiran terjadinya penyebaran penyakit sempat terjadi di beberapa lokasi.

Namun ada atau tidaknya pernya-taan darurat sampah Bandung secara resmi dari Pemerintah, kita mengakui

bahwa kondisinya memang sudah super kritis dan harus segera ditangani de-ngan segera. Pada akhirnya tidak ku-rang dari empat menteri (PU, LH, Bappenas dan BPPT) dan bahkan ITB disibukkan oleh kegiatan tanggap daru-rat sampah tersebut meskipun instruksi Presiden untuk mengatasi masalah sampah Bandung hanya ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup.

Dalam kondisi tanggap darurat ini, TNI juga turun gunung (tepatnya turun kota) untuk mengevakuasi sampah dari dalam kota (tentunya dibantu oleh apa-rat pemerintah daerah dan PD Keber-sihan Bandung), dengan mengerahkan personel, kendaraan dan alat berat serta menyediakan lokasi milik TNI di Ciku-bang, Kecamatan Darangdan-Kabu-paten Purwakarta (luas 4 ha) sebagai tempat pembuangan sampah. Inilah barangkali yang dapat digunakan seba-gai indikator sampah Bandung dalam keadaan darurat, yaitu seperti dalam kondisi perang. TNI berada digaris depan. Selain itu juga dibentuknya tim Satgas dan tim Ad Hoc.

Selain itu sampah juga dibuang ke lokasi perkebunan milik Perhutani di desa Sarimukti (luas 21 ha), kecamatan Cipatat-Rajamandala, Kabupaten Ban-dung. Sebenarnya ada banyak pilihan lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat darurat pembuangan sampah, namun banyaknya penolakan dari pihak masyarakat, akhirnya Gubernur memi-lih 3 lokasi yaitu :

Cikubang (luas 4 ha), jarak dari kota Bandung 28 km, tanah milik TNI yang terletak di Kabupaten Pur-wakarta

Sarimukti (21 ha), jarak dari kota

L A P O R A N

U TA M A

Pembelajaran Darurat

Sampah Bandung

Oleh:

Endang Setyaningrum*

-FOTO:ENDANG SETYANINGRUM

(15)

Bandung 42 km, tanah milik Perhu-tani di wilayah kabupaten Bandung Gunung Hejo (8 ha), jarak dari kota Bandung 33 km, tanah milik PTP VIII di wilayah Kabupaten Purwakarta

Proses pembuangan di lokasi Ciku-bang dilakukan oleh personil TNI de-ngan metode pembuade-ngan "darurat" yang lumayan, yaitu metode gali dan timbun. Saya sempat berpikir, ternyata tentara tidak hanya belajar masalah kemiliteran saja tetapi juga tahu bagai-mana cara membuang sampah dengan "metode kucing" tersebut. Sayangnya sampah yang dapat ditampung di Ci-kubang kurang lebih hanya 50.000 m3 (luas lahan yang dapat digunakan hanya 1,5 ha dari 4 ha yang ada) selama 30 hari.

Sedangkan proses pembuangan di lokasi Sarimukti lebih darurat lagi kare-na hanya mengandalkan open dumping disertai pemadatan (tanpa penutupan tanah seperti yang dilakukan Cikubang) dengan kapasitas pembuangan menca-pai 800 m3/hari (saat ini telah menam-pung 70.000 m3). Sebenarnya izin penggunaan lokasi Sarimukti adalah untuk pembuatan kompos, namun mengingat kondisi darurat ini, maka ke-giatan kompos sampai saat ini juga be-lum dilakukan.

Sementara itu untuk pemanfaatan lokasi di Gunung Hejo (luas 8 ha, dapat dimanfaatkan 5,5 ha) yang terletak di sisi jalan tol Cipularang, belum sempat dilakukan. Meskipun telah dilakukan suatu quick detail engineering design untuk menerapkan metode pembuang-an akhir sampah ypembuang-ang lebih baik, meng-ingat terdapatnya mata air di sekitar lo-kasi tersebut, namun sayang kemudian lokasi tersebut ditolak oleh DPRD Kabupaten Purwakarta meskipun per-syaratan penyediaan air bersih bagi warga di sekitar lokasi (Kampung Ci-bentar dan Pasirmalaka) sudah dipe-nuhi oleh Departemen PU. Bahkan izin jalan masuk melalui jalan TOL saat itu sedang diproses oleh Menteri Pekerjaan Umum.

Harga Tanggap Darurat

Upaya tanggap darurat yang semula diharapkan dapat selesai dalam 1 bulan sesuai instruksi Presiden, namun akhirnya memakan waktu sampai 3 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, telah banyak dana yang harus dibayar oleh berbagai pihak untuk hal-hal seba-gai berikut :

Biaya angkutan (Rp. 750.000 / rit) yang mencapai 180 truk (2 rit/hari) selama 3 bulan mencapai Rp. 8,1 milyar.

Biaya pembuangan di Cikubang (alat berat, personel dan infrastruktur pengamanan lingkungan)

Biaya pembuangan di Sarimukti (alat berat, personel, perbaikan jalan

masuk menuju lokasi) Biaya DED Sarimukti

Biaya penyiapan lokasi Gunung Hejo (DED, penyediaan air bersih) Tujuh unit alat berat senilai Rp. 11 Milyar

Biaya penyediaan air bersih di lokasi Gunung Hejo

Biaya tersebut belum termasuk biaya yang jumlahnya sulit diperkirakan seperti biaya lahan baik di Cikubang maupun di Sarimukti, biaya koordinasi, biaya angkutan sampah yang telah berulang kali ditolak warga, biaya kese-hatan masyarakat yang sakit akibat pencemaran sampah di dalam kota, biaya akibat menurunnya turis domestik yang batal ke Bandung dan lain-lain.

Betapa mahalnya harga sebuah darurat sampah di wilayah Bandung tercinta, andai dulu TPA Leuwigajah tidak longsor, andai TPA Leuwigajah dapat dioperasikan dengan metode sa-nitary landfill yang benar, andai alokasi dana untuk mengelola sampah cukup memadai (sekarang hanya tersedia dana Rp 15.000,-/ m3, masih jauh di bawah kewajaran harga suatu pengelolaan sampah). Pada akhirnya kita memang hanya dapat berandai-andai saja.

L A P O R A N

U TA M A

Sekarang hanya

tersedia dana

Rp 15.000,-/ m3,

masih jauh di bawah

kewajaran harga suatu

pengelolaan sampah.

Pada akhirnya

kita memang hanya dapat

berandai-andai saja.

-Antrian Truk Sampah di Jalan Masuk TPA Cikubang

(16)

Kapan Darurat Berakhir?

Setelah 3 bulan berlalu dan dari hitung-hitungan matematik volume sampah yang berhasil dievakuasi dari kota Bandung dan Cimahi ke lokasi TPA darurat, sebenarnya masih ada puluhan ribu m3 sampah yang masih tertahan di kota meskipun tidak se-jorok sebelum-nya. Bandung relatif kembali bersih bahkan sudah dipenuhi lagi oleh turis Jakarta terutama pada hari libur dan akhir pekan.

Apakah itu berarti proses tanggap darurat berakhir? Bagaimana dengan kelanjutan peningkatan kualitas TPA di Sarimukti yang hanya dilaksanakan secara open dumping dan kemungkinan leachatenya sudah mulai mencemari lingkungan? Bagaimana kelanjutan pelaksanaan unit produksi kompos ter-padu di Sarimukti (sesuai dengan izin Perhutani)? Masih banyak hal yang perlu ditindaklanjuti agar tidak ada lagi "darurat sampah jilid 2".

Skenario Pasca Tanggap Darurat Untuk skenario pasca tanggap daru-rat diusulkan perbaikan infrastruktur di lokasi Cikubang dan Sarimukti untuk mengatasi masalah pencemaran ling-kungan yang sudah mulai terlihat di lokasi Sarimukti, terutama pencemaran leachatedan penyediaan fasilitas peng-olahan sampah terpadu (kompos dan daur ulang)

Sedangkan tahap lanjutannya adalah selain kembali ke skenario usu-lan WJEMP (GBWMC), yang meliputi : Pelaksanaan sosialisasi kepada ma-syarakat dan pihak-pihak terkait un-tuk menghindari masalah konflik sosial seperti yang selama ini terjadi Pembebasan lahan (lokasi Citiis dan Kebon Nangka-Nagrek) dengan ganti rugi yang memadai.

Penyediaan fasilitas landfilldan peng-olahan sampah yang memadai teruta-ma yang berkaitan dengan penyediaan zona penyangga, fasilitas perlindungan lingkungan dan lain-lain.

Pengoperasian TPA (tempat

pem-buangan/pemrosesan akhir) sampah perlu dilakukan secara profesional dan tidak menimbulkan dampak negatif maupun masalah sosial. Juga penanganan pasca longsor TPA Leuwigajah dan TPA Jelekong.

Renungan untuk Pembelajaran Meskipun badai (sampah) sudah ber-lalu dari Bandung, rasanya penting bagi kita semua untuk merenung, meng-endapkan semua yang terjadi di Bandung sebagai titik tolak menuju semangat pe-ngelolaan sampah yang lebih baik.

Timbulnya kesadaran warga untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA dengan cara membuat kompos dan daur ulang sedekat mungkin dengan sumbernya, perlu diberikan dorongan, seperti pemberian insentif.

Seyogyanya pihak eksekutif dan le-gislatif tidak lagi setengah hati dalam mengalokasikan dana untuk suatu pe-ngelolaan persampahan yang memadai, terutama untuk peningkatan kualitas TPA pasca tanggap darurat (TPA Sa-rimukti) dan merealisasikan kompos terpadu skala besar.

Pada akhirnya master plan sampah perlu ada dan menjadi acuan jangka panjang bagi semua pihak termasuk alokasi ruang untuk lokasi TPA yang dilengkapi dengan zona penyangga dan pemberlakuan "garis sempadan TPA". Alokasi TPA adalah juga investasi jang-ka panjang jang-karena kita ajang-kan menda-patkan "lahan baru" pasca TPA, mung-kin menjadi ruang terbuka hijau. „

* Staf Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum

L A P O R A N

U TA M A

Seyogyanya pihak

eksekutif dan legislatif

tidak lagi setengah hati

dalam mengalokasikan

dana untuk suatu

pengelolaan

persampahan yang

memadai.

-- Kondisi Jalan Masuk ke TPA Cikubang.

(17)

K ekeringan melanda berbagai daerah di Indonesia. Apa penye-babnya?

Ada tiga faktor utama. Yang perta-ma, mungkin global climate change, perubahan iklim global. Karena hujan dan kekeringan terjadi di luar bulan-bulan yang standar. Yang kedua, faktor lingkungan. Yang ketiga, infrastruktur sumber daya air. Sektor lingkungan sudah jelas, ada sektor-sektor di luar pengairan itu sendiri yang sangat berpengaruh misalnya kehutanan, per-tanian lahan kering, dan sebagainya sehingga membuat kapasitas penyalur-an air secara natural maupun buatpenyalur-an menjadi berkurang. Kita melihat wa-duk-waduk yang dibuat endapannya sangat tinggi.

Kalau soal infrastruktur bagai-mana?

Soal infrastruktur, kita sendiri sudah punya investasi di sumber daya air termasuk irigasi, pengendalian su-ngai dan juga pengembangan rawa

hampir sebesar 10 milyar dolar sejak awal Orde Baru. Yang terbesar irigasi, karena saat itu kita didorong untuk swa-sembada pangan sehingga pembangunan irigasi berlangsung besar-besaran. Sampai sekarang kita punya irigasi teknis sebesar 4,6 juta hektar, full control. Ada yang dikatakan semi teknis dan se-derhana hampir 7,2 juta hektar. Ada lagi irigasi tadah hujan. Biasanya di perde-saan yang tidak ada irigasi teknisnya.

Sejauh mana hal itu mempe-ngaruhi kekeringan?

Kalau bicara kekeringan, sering ter-jadi dua hal, seperti sebuah mata uang. Satu sisi kekeringan, tapi sisi lain ke-banjiran. Ini menunjukkan kemampuan suatu wilayah daerah aliran sungai yang berubah sehingga tidak mampu mena-han air yang cukup karena catchment area-nya sudah hancur dan sebagainya. Yang sedang kita teliti sekarang, apakah daerah yang kekeringan itu pada musim hujan juga kebanjiran? Ternyata su-ngai-sungai besar umumnya demikian.

Tapi untuk wilayah-wilayah pengem-bangan seperti daerah irigasi, itu tidak selalu terjadi. Berarti ini masalah kon-trol. Di daerah-daerah yang artifisial, daerah-daerah irigasi buatan, pada saat banjir dia bisa melepaskan airnya ke sungai, dan saat musim kering ditahan. Pola irigasi di Indonesia umumnya iri-gasi gravitasi. Jadi hanya membendung dan menaikkan air saja. Tidak ada kon-trol volume air, kecuali ada waduk. Itulah fungsi waduk-waduk besar. Ini full control.Tapi sebagian besar irigasi kita semi kontrol yaitu irigasi dengan menaikkan airnya.

Campur tangan terhadap fak-tor lingkungan seperti apa?

Soal lingkungan kita hanya bisa mengimbau. Hutan-hutan jangan dite-bangi. Para petani di upper catchment areayang berpendapatan rendah biasa-nya juga menanam tanaman seperti singkong, jagung yang sangat buruk untuk aliran sungai karena tanaman itu tidak mampu menahan air. Permukim-an-permukiman sampai saat ini sering begitu banyaknya developerlupa bahwa daerah itu sebenarnya tempat parkir air. Misalnya dulu Jakarta punya ba-nyak rawa. Rawa itu sebenarnya tempat parkir air sebelum mengalir ke laut. Sekarang itu dikembangkan, dinaikkan dan sebagainya sehingga air tak memi-liki tempat parkir. Itu sering menye-babkan banjir.

Adakah kaitan antara keke-ringan dan karakter sungai-su-ngai kita?

Umumnya sungai di Jawa itu curam tapi pendek sehingga flushing-nya

ce-WAWA N C A R A

Direktur Pengairan dan Irigasi, Bappenas,

Ir. M. Dony Azdan, MA, MS, PhD:

Jawa Butuh

Storage-storage

Baru

Akhir-akhir ini kekeringan melanda berbagai daerah di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Anehnya, di beberapa daerah

tersebut pada musim hujan justru kebanjiran. Ini fenomena yang menarik untuk diperbincangkan. Mengapa ini bisa

terjadi dan apakah ini sekadar masalah alam atau ada campur tangan manusia? Untuk itu Percik mewawancarai Direktur Pengairan dan Irigasi Bappenas, M Dony Azdan

di kantornya. Berikut petikannya.

(18)

pat. Sementara itu kita tidak punya sto-rage-storage yang relatif cukup untuk menahan air tersebut untuk musim ke-ring. Kita tidak sempat saving. Saat ini kita punya 120 dam dengan waduk. Te-tapi kalau kita lihat, khususnya di Jawa, air yang bisa kita saving itu hanya 10 persen. 90 persen air tidak pernah digu-nakan sebelum air itu sampai ke laut. Sudah alirannya curam, pendek, flush-ing, dan juga tidak punya storage. Sampai tahun 90-an, sebetulnya kita banyak membangun waduk-waduk. Dari awal 80-an sampai akhir 90-an, pertentangan dari teman-teman LH untuk membangun dam itu sangat besar dengan alasan perubahan efek lingkungan dan sebagainya yang mem-buat kita susah betul memmem-buat waduk. Mereka membandingkan dengan Ame-rika atau Eropa. AmeAme-rika itu damnya ada 25 ribu. Kita cuma ratusan. Me-mang ada dua hal yaitu masalah pembe-basan tanah dan perubahan lingkungan tetapi memang kalau saya pribadi menganggapstorageperlu. Kalau seka-rang kita perlu membangun dam, ya harus dibangun. Kebutuhannya besar.

Artinya dengan kondisi alam itu sebenarnya kekeringan bisa diprediksi?

Dari seluruh Indonesia, ada dua daerah yang mempunyai potensi defisit air yaitu Jawa dan Nusa Tenggara. Lain-nya berdasarkan skala water balance global, tidak defisit. Hanya saja kita melihat lokal per lokal. Intinya kalau kita melihat per kepulauan maka Jawa itu adalah daerah kritis defisit air. Perhitungan global kita, dari hasil studi strategi penanganan sumber daya air Pulau Jawa, Jawa defisit 5 milyar meter kubik per tahun. Itu berarti tingkat sa-vingharus dinaikkan. Kita masih butuh storage-storageyang cukup besar. Stra-teginya sekarang karena banyak perten-tangan dari sisi lingkungan hidup untuk dam-dam besar, maka kita akan usa-hakan yang medium dan small scale

yang banyak seperti embung-embung. Setiap kabupaten misalnya, harus pu-nya satu.

Bisa dijelaskan seperti apa kondisi Pulau Jawa dari studi itu?

Kita mendapatkan suatu potensi kabupaten-kabupaten yang defisit sete-lah kita lihat hidrologi dan demand-nya bagi sektor pertanian dan industri. Sebanyak 77 persen kabupaten di Jawa mengalami defisit. Defisit itu ada tiga kategori yaitu biasa antara 0-3 bulan per tahun, sedang 3-6 bulan, dan parah lebih besar dari 6 bulan. Kalau kondisi kita biarkan tanpa ada intervensi infra-struktur maka tahun 2015, 78 persen akan mengalami defisit. Tetapi dari yang biasa ke sedang atau ke parah akan semakin besar. Lokasi tidak banyak berubah, tapi defisitnya semakin parah. Pada 2025 defisit bisa menjadi 80,5 persen. Begitu kita coba list dari infor-masi yang ada, ada 26 area yang ringan. Misalnya Bandung, terjadi keke-ringan. Memang dalam studi daerah tersebut termasuk agak parah. Garut defisit biasa. Indramayu parah. Kebu-men agak parah. Wonosobo agak aneh, harusnya tidak defisit, tapi kok faktanya defisit. Berarti ini ada masalah manaje-men air. Semarang defisit biasa. Pur-balingga harusnya tidak bermasalah ka-rena dapat air dari Comal dan Serayu yang cukup besar. Tapi kenapa keke-ringan? Ini ada masalah manajemen.

Ini yang sekarang sedang kita teliti.

Manajemen yang bagaimana agar tak terjadi kekeringan?

Ambil contoh Jatiluhur yang full control. Punya saluran yang ke barat untuk suplai Jakarta, ke timur untuk daerah sampai Indramayu, ke utara untuk daerah-daerah pantai. Biasanya di akhir musim hujan atau pertengahan musim hujan, bisa dilihat tahun ini tahun kering atau tahun basah. Kalau tahun ini tahun kering berarti ditutup semua pintunya supaya muka air naik sampai optimal, tidak harus dilepas setiap saat. Kalau tahun ini agak basah, sebagian di lepas. Katakanlah di tahun ini kita sudah punyastorage, setelah itu maka kita ada pola tanam khususnya di ujung. Jadi di Kabupaten Karawang, Purwakarta, yang luasan hektarnya nanti akan dapat catuan air sekian me-ter kubik untuk luasan sekian. Ada daerah-daerah yang umumnya airnya itu sudah kecil, maka biasanya kita pa-kai penggolongan. Sampai pada titik tertentu, jika air agak susut maka harus ada rencana pola tanam yang ditetap-kan. Misalnya, kali ini Indramayu ja-ngan menamam padilah karena airnya tidak cukup. Maka ada penggolongan misalnya dari padi-padi-palawija men-jadi padi-palawija-palawija. Dulu mana-jemen ini, ada ulu-uluyang memegang kewenangan sangat kuat. Tapi di zaman sekarang petani susah diatur. Sudah tahu musim pertengahan kering, dia tanam padi lagi. Pada saatnya tidak da-pat air, marah. Sebetulnya sepanjang saluran, petani tidak boleh mengambil air begitu saja. Sebab ini kansudah di-atur, untuk yang paling hilir. Kan se-mua dapat jatah. Kadang-kadang, pom-pa mudah, ambil aja sehingga yang di hilir sebenarnya belum waktunya keke-ringan jadi kekekeke-ringan.

Bagaimana dengan enforcement? Sekarang repot. Dulu semua meng-ikuti ulu-ulu, sekarang tidak.

Mana-WAWA N C A R A

Kalau kita melihat

per kepulauan maka

Jawa adalah daerah

kritis defisit air.

Perhitungan global kita,

Jawa defisit 5 milyar

meter kubik per tahun.

Itu berarti tingkat

(19)

jemen ini sedikit berubah dengan ada-nya otonomi. Siapa yang bertanggung jawab? Walaupun sudah ada UU, untuk irigasi yang di atas 3 ribu hektar itu tanggung jawab pemerintah pusat, 1-3 ribu propinsi, di bawah seribu tanggung jawab kabupaten, tapi apakah insti-tusinya sudah siap? Misalnya yang di atas 3 ribu, sekarang pusat yang ada di sana siapa? Mau tidak mau kanharus ada tugas perbantuan ke daerah. Kalau begitu, daerah terbebani. Propinsi juga begitu, belum tentu dia punya orang-nya. Akhirnya tugas perbantuan juga. Unit-unit ini sendiri sedang berubah. Dulu kanidealnya, meskipun dia orang pusat, dia kantetap bisa digunakan oleh orang dinas di Kab/prop. Makanya dari sisi manajemen masih dalam proses improvement.

Berapa kebutuhan storage ki-ta?

Untuk Jawa saja 5 milyar meter ku-bik. Sebagai ilustrasi, Indramayu itu daerah yang kering. Dari mana dapat air? Dia disuplai dari Jatiluhur. Maka-nya ada desain untuk Cimanuk yaitu Jatigede. Kalau waduk Jatigede terba-ngun maka storage-nya itu akan kita gunakan untuk daerah Indramayu dan Sumedang. Ini berarti akan mengurangi penggunaan air Jatiluhur. Jatiluhur akan kita gunakan lebih banyak ke barat atau ke utara. Misalnya kalau Jatigede hampir 500 juta meter kubik, maka bu-tuh 10 waduk sebesar Jatigede. Tapi kita bisa juga bikin waduk yang kecil-kecil. Bagus jika misalnya ada embung-em-bung kabupaten atau kecamatan. Bah-kan ada satu ide, per hektar ada tempat penampung air. Permasalahan di Jawa kepemilihan lahan kecil, rata-rata 0,25 hektar. Juga daerah-daerah subur, hampir 100 persen tidak mempunyai masalah air. Tapi di daerah kering, air juga sulit. Jadi ini bukan hanya sekadar masalah tempat tapi transformasi air itu sendiri. Misalnya ada orang cari air sampai 12 km, kalau diberistorage di situ juga belum tentu ada air.

Bagaimana kondisi infrastruk-tur keairan kita saat ini?

Dari sisi infrastruktur, kita punya masalah dengan operasi dan pemeliha-raan. Ternyata kalau kita membangun tempat lain, tempat yang pertama lupa dipelihara. Operasi dan pemeliharaan itu telah menjadi masalah sejak tahun 80-an. Misalnya jaringan irigasi yang sudah kita tetapkan ternyata operasi pemeliharaannya sangat terbatas se-hingga baru 5 tahun harus direhabili-tasi. Sebetulnya kalau kita punya peren-canaan yang baik, mestinya 15 tahun baru direhab. Ini yang menjadi masalah di infrastruktur sumber daya air dan ini yang menjadi prioritas kita ke depan. Memang kita sangat mengerti pemerin-tah sendiri tidak mungkin, operasi dan pemeliharaan itu kan butuh ownership. Oleh sebab itu pendekatan kita, yang paling mendapat benefit adalah petani dan dia yang paling tahu mana yang diperlukan terlebih dahulu dalam me-melihara. Lain kalau orang dinas, mungkin hanya melihat mana penam-pakan infrastruturnya yang baik kendati belum tentu fungsinya berjalan baik. Oleh karena itu kita introdusir sejak tahun 1990-an bahwa untuk operasi pe-meliharaan kita memintakan partisipasi dari petani. Tadinya malah mau dise-rahkan tapi ada komplain yang luar

biasa. Tapi ini hanya untuk saluran ter-siernya saja, yang primer dan sekunder tetap di tangan pemerintah karena itu rentan konflik karena penggunanya tidak hanya petani. Tersier ini kita ha-rapkan petani dengan membuat kelom-pok ikut memelihara infrastruktur ter-sebut. Untuk pendanaannya, pemerin-tah masih bisa membantu.

Bagaimana komposisi penggu-naan sumber daya air?

Biasanya, irigasi 89-94 persen. DMI municipaldan industri itu antara 4-11 persen. Untuk daerah yang sedang berkembang bisa 8-9 persen. Misalnya Bekasi dan Karawang. Jadi masih banyak untuk irigasi.

Artinya yang akan banyak me-nanggung beban kekeringan sek-tor pertanian?

Kekeringan dampaknya lebih ba-nyak di pertanian. Tetapi juga tidak se-lalu. Ada daerah-daerah yang dari awal kering/defisit, misalnya Pacitan atau Indramayu. Problemnya itu kalau kita bicara untuk municipal dan industri, khususnya municipal, kualitas air jadi masalah. Kalau irigasi, kualitas air tak terlalu dipersoalkan. Problem utama kita berubah dari kawasan pertanian menjadi kawasan urban, tidak serta

WAWA N C A R A

FOTO:MUJIYANTO

(20)

merta air itu bisa ditransformasikan. Untuk daerah-daerahurbanatau rural yang kekeringan, mereka lebih banyak tergantung pada cekungan ari tanah. Problem air cekungan dengan air per-mukaan itu sangat berbeda, kalau di lapisan antara 30-60 meter di bawah permukaan, masih ada kemungkinan hubungan. Tetapi jika kedalaman lebih dari 60 meter, berdiri sendiri. Mungkin tidak lagi begitu mudah untuk recovery. Daerah terpencil, sulit dapat air per-mukaan, mungkin sulit juga bisa mem-buat sumur. Cekungan air bawah tanah punya resapan air di hulu, kalau kita bisa memelihara hulu sebetulnya mem-bantu dua hal yaitu air permukaan itu sendiri biar lebih bersih dan kapasitas-nya bagus, perkolasi lebih bagus sehing-ga air tanah bisa dipertahankan, tapi untuk yang kedalamannya sedang 30-60 meter. Kalau misalnya 125, mungkin lebih jauh lagi, mungkin di balik catch-ment areayang lain.

Bagaimana bentuk kerja sama dengan instansi terkait untuk menjaga SDA kita?

Sejak 2001 ada TKSDA (Tim Koor-dinasi Sumber Daya Air), dengan Keppres No 123. Ketuanya Menko

Ekuin dan wakilnya Bappenas, ketua hariannya Menteri PU dengan anggota 11 menteri. Tim ini adalah suatu wadah untuk membicarakan masalah-masalah air yang saling terkait antarsektor. Ada ESDM, Menkes, MenLH, Perhub dan sebagainya. Harapannya jika ada ma-salah bisa diselesaikan bersama. Tim inilah yang membuat draft-draft regu-lasi. Salah satunya adalah UU SDA. Di dalam UU No 7 itu kita sudah meng-introdusirselain kewenangan pemerin-tah pusat sampai ke kabupaten, juga integrasi antara yang mengusahakan, mengelola SDA, dan yang diberi hak mengelola. Dan itu akan dijabarkan ke dalam PP masalah sungai, PP tentang Irigasi, dsb. Juga kepmen dan keppres. Penginterasian inilah yang diharapkan ada partisipasi sektor-sektor terkait. Selain itu ada lagi gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA). Kalau bisa itu masuk level implemen-tasi. Program itu kini memilih wilayah-wilayah sungai untuk diperbaiki. Upa-ya-upaya lain di dalam GNKPA itu tidak hanya pemerintah tapi kita minta se-mua stakeholder. Selain itu, sekarang sedang kita introdusir integrated water resource management. Buat kita itu bukan hal yang baru tapi bagaimana

mengimlementasikannya. Artinya sia-papun tahu dululah bahwa setiap kegiatan dia pasti akan terkait dengan air.

Kita punya grand design soal air?

Partisipasi. Salah satu yang paling penting bagi kita adalah bahwa ini bukan hanya pekerjaan pemerintah. Yang bisa mengelola dengan baik ada-lah masyarakat. Yang perlu menjadi ke-sadaran adalah bagaimana konsep ma-syarakat terhadap air. Kita inikan orang yang baru sadar kalau sudah kejadian. Kalau bisa kita masuk ke pendidikan. Gerakan-gerakan penyelamatan air ti-dak hanya gerakan yang sifatnya fisik tapi dari anak-anak harus sudah diajar-kan. Di wilayah-wilayah DAS akan disu-sun pola dan rencana. Setiap wilayah sungai harus punya pola dan rencana. Dulu kita punya master plan. Bengawan Solo, isinya bagaimana membangun wa-duk, buat tanggul, ngeruk sungainya yang lebih pada fasilitas fisik. Pola di-maksudnya untuk menata apa yang ha-rus kita lakukan supaya SDA air kita te-tap berkelanjutan. Di dalam rencana, juga tidak melulu fisik. Ini yang sedang kita lakukan untuk Citarum. Di situ nanti sektor apa mengerjakan apa sa-ngat jelas, kabupaten apa tanggung jawab apa, sekarang lagi didesain.

Imbauan Anda terhadap ma-syarakat?

Ikuti balai-balai atau dinas-dinas, khususnya penyuluh pertanian. Kalau memang wilayah memungkinkan, buat storagemeskipun kecil. Juga kita harus hemat air. Mulai sekarang masyarakat harus betul-betul menghargai air. Ini masalah kultur. Dianggap sungai tem-pat pembuangan. Ini masih kuat sekali di Jawa. Sungai harus dilihat sebagai sumber air yang sangat berharga. Ma-syarakat juga harus ikut mengawasi penggunaan air dan air yang dibuang ke sungai. Kalau perlu digugat bagi yang melanggar. „MJ

WAWA N C A R A

Gambar

Gambar 5.Relief Karmawibangga pada Candi Borobudur menggambarkan kegiatan penggunaan air  masyarakatpurba pada saat itu untuk memasak.Gambar 6
Gambar 7.Relief di Candi Prambanan tentang teknolologi pemanfaatan dan pelestarian air.

Referensi

Dokumen terkait

Kepala TK yang melakukan semua perencanaan ini harus sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan serta memiliki kesepakatan dan kerjasama dengan yayasan, agar bisa

[r]

Sebagian perempuan bahkan tak menyadari betapa terikatnya atau betapa cintanya sampai2 mrk merasakan sentakan saat pasangannya tidak ada. Kita terbiasa menganggap kerinduan

In case of the problematic students, negative emotions often affect students’ thoughts. Negative emotions can stimulate students’ cognitive ability. For example, when a

[r]

Kanak­kanak  lebih  mudah  mempelajari  bahasa  asing  berbanding  mereka  yang

Berdasarkan hasil penelitian pada peserta didik kelas IIIA Sekolah Dasar Negeri 29 Pontianak Kota dengan materi menulis karangan yang diajarkan dengan dengan

students of SMPN 3 Sungai Raya, Action Research was an appropriate design to help the teacher found the right technique for teaching English, especially to improve