• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian adalah : 1) Bagi Petani Bawang Merah

Sebagai pertimbangan untuk meningkatkan produksi bawang merah yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Universitas Sumatera Utara

2) Bagi Pemerintah

Sebagai bahan informasi bagi pemerintah untuk menetapkan langkah dan kebijakan yang dapat mendukung peningkatan daya saing bawang merah kabupaten Samosir khususnya dalam peningkatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

3) Bagi Pembaca

Sebagai bahan referensi dan sumber informasi bagi penelitian yang berhubungan dengan keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan daya saing komoditas.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Bawang merah (Allium cepa) menurut sejarah awalnya tanaman ini memiliki hubungan erat dengan bawang bombay (Allium cepa L.), yaitu merupakan salah satu bentuk tanaman hasil seleksi yang terjadi secara alami terhadap varian-varian dalam populasi bawang bombay. Di Indonesia, bawang merah berkembang dan diusahakan petani mulai di dataran rendah sampai dataran tinggi. Sistem budidayanya merupakan perkembangan dari cara-cara tradisional yang bersifat subsisten ke cara budidaya intensif dan berorientasi pasar. Produksi bawang merah sampai saat ini memang belum optimal dan masih tercermin dalam keragaman cara budidaya yang bercirikan spesifik agroekosistem tempat bawang merah diusahakan (Putrasamedja dan Suwandi,1996).

Bawang merah termasuk salah satu di antara tiga anggota Allium yang paling populer dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi di samping bawang putih dan bawang bombay. Sejak zaman dahulu bawang merah ini menjadi andalan manusia untuk pengobatan dan kesejahteraan sehingga selalu dilambangkan pada peninggalan sejarah. Sampai kini pun bawang merah masih banyak digunakan untuk pengobatan dan juga sebagai bumbu penyedap masakan (Wibowo, 2009).

Varietas bawang merah yang ditanam oleh petani di Indonesia cukup banyak, antara lain sebagai berikut; a. Varietas Bawang Merah Australia; b. Varietas Bawang Merah Bali; c. Varietas Bawang Merah Bangkok; d. Varietas Bawang Universitas Sumatera Utara

Merah Filipina; e. Varietas Bawang Merah Medan; f. Varietas Ampenan;

g. Varietas Bima Brebes; h. Varietas Sumenep. Membedakan jenis bawang merah yang satu dengan jenis yang lainnya biasanya didasarkan pada adanya perbedaan sifat dan ciri-cirinya misalnya bentuk, ukuran, warna, kekenyalan, dan aroma umbi. Perbedaan lainnya adalah umur tanaman, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap hujan dan sebagainya (Tim Bina Karya Tani, 2008).

2.1.1 Kondisi Eksisting Usahatani Bawang Merah di Indonesia 2.1.1.2 Subsistem Praproduksi

Penyediaan benih bermutu harus memenuhi enam tepat persyaratan (tepat varietas, jumlah, mutu, waktu, lokasi, dan harga). Penyediaan benih bawang merah di dalam negeri masih jauh dari enam tepat persyaratan tersebut, sehingga ketersediaan benih belum mencukupi kebutuhan. Hal ini disebabkan antara lain karena petani menggunakan benih hasil perbanyakan sendiri (Basuki, 2010).

Petani bawang merah sebagian besar mengggunakan benih jabal (jaringan benih antar lapang) yang tidak bersertifikat sehingga hasil produksi tidak optimal karena kualitas benih tidak terjamin. Petani sangat jarang menggunakan benih bersertifikat karena harga benih bersertifikat lebih mahal dan ketersediaaannya juga masih terbatas. Petani tidak sanggup membeli benih yang bersertifikat karena adanya keterbatasan modal usaha (Aldila, 2016).

Petani memproduksi sendiri benih bawang merah disebabkan oleh harga benih yang sangat mahal, pembuatan benih tidaklah sulit serta produksinya tidak berbeda jauh dari benih yang baru. Petani menggunakan benih tersebut secara

Universitas Sumatera Utara

terus menerus dan sebagian kecil akan mengganti benih tersebut setelah 5 sampai 6 kali penanaman (Aldila, 2016).

Salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan usahatani bawang merah adalah penggunaan benih. Penggunaan benih yang tepat berpengaruh terhadap produktivitas yang akan dihasilkan. Pesyaratan benih bawang merah yang baik antara lain: 1) umur simpan benih cukup yaitu sekitar 2,5 – 3 bulan hal ini bertujuan agar pertumbuhannya bagus dan merata, 2) umur panen saat calon umbi benih ditanam di lapang tepat, 3) ukuran benih sedang sekitar 5 – 6 gram dengan kebutuhan benih setiap hektar berkisar 800 – 1200 kg, 4) umbi berwarna cerah dengan kulit mengkilat, 5) umbi benih bernas, sehat, padat, tidak keropos, dan tidak lunak, 6) umbi benih tidak terserang penyakit (Iriani, 2013).

Varietas bawang merah yang digunakan dalam usahatani bawang merah juga akan mempengaruhi keuntungan usahatani bawang merah. Usahatani bawang merah yang menggunakan benih non lokal ternyata lebih menguntungkan daripada benih varietas lokal (Purmiyanti, 2002).

2.1.1.2 Subsistem Produksi

Indonesia mampu memproduksi sendiri bawang merah bahkan mampu menghasilkan surplus produksi, namun pada kenyataanya Indonesia masih mengimpor bawang merah. Meskipun secara akumulasi dalam satu tahun produksi bawang merah di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kebutuuhan bawang merah dalam negeri, produksi bawang merah di dalam negeri tidak merata sepanjang tahun. Produksi bawang merah masih bersifat musiman (Aldila, 2016). Universitas Sumatera Utara

Selain rendahnya produktivitas, produksi bawang merah dalam negeri juga dihadapkan pada budidaya berbiaya tinggi. Budidaya bawang merah membutuhkan biaya yang tinggi terutama pembelian input pertanian seperti benih dan biaya tenaga kerja (Aldila, 2016).

Pengeluaran terbesar terjadi pada penanaman bawang merah pada musim tanam pertama. Hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan musim tanam lainnya. Pengeluaran tenaga kerja untuk persiapan lahan lebih besar dibandingkan musim tanam kedua

(Mayrowani dan Darwis, 2010).

Tanaman bawang merah merupakan tanaman hortikultura yang sangat peka terhadap hujan dan kekeringan. Petani tidak menanam bawang merah pada musim hujan dikarenakan petani dihapakan pada tingginya serangan penyakit

dan jamur pada bawang merah yang sulit diatasi sehingga menyebabkan tingginya kehilangan hasil panen bawang merah pada musim

hujan (Purba dan Astuti, 2013).

Usahatani bawang merah membutuhkan tenaga kerja yang cukup intesif sejak pengolahan lahan sampai panen atau pascapanen. Keberhasilan pengembangan budidaya tanaman bawang merah sanagt ditentukan oleh upaya pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani. Hal ini disebabakan karena tanaman bawang merah rentan terhadap serangan hama atau penyakit, rentan terhadap prubahan iklim dan cuaca, serta rentan terhadap persyaratan yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang terutama ketersediaan air maupun kebutuhan pupuk sebagai media tumbuh (Winarso, 2003). Universitas Sumatera Utara

Penanaman bawang merah yang pada umumnya dilakukan pada musim kemarau terjadi di hampir seluruh sentra produksi bawang merah di Indonesia terutama sentra produksi di Pulau Jawa. Hal tersebut berdampak pada terjadinya panen serentak di seluruh wilayah sentra produksi di Indonesia yang menyebabkan produksi melimpah pada saat in season dan produksi menurun pada saat off season (Aldila, 2016).

2.1.1.3 Subsistem Postproduksi

Dapat dikatakan bahwa produsen dan konsumen bawang merah terbesar di dunia adalah Indonesia. Beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Philipina juga mengkonsumsi bawang merah namun tidak sebanyak masyarakat Indonesia. Pada kondisi demikian, negara-negara yang memproduksi bawang merah maka banyak ditujukan dalam rangka ekspor ke Indonesia (Rachmat, dkk, 2012).

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki masalah yang cukup menarik dalam hal pemasarannya,di mana dalam waktu singkat, komoditas ini dapat mengalami gejolak harga yang tinggi, sementara senjang perbedaan harga antara harga di tingkat produsen dan konsumen dapat berbeda sangat besar yang dapat melebihi biaya angkutan maupun transaksinya (Pamungkas, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Harga Produsen dan Harga Konsumen Komoditi Bawang Merah Tahun 2012-2016

Tahun Harga Sumatera Utara

(Rp/Kg)

Nasional (Rp/Kg)

2012 Harga Produsen 11.522 12.816

Harga Konsumen 20.584 21.949

2013 Harga Produsen 12.845 14.802

Harga Konsumen 27.688 30.751

2014 Harga Produsen 12.122 15.592

Harga Konsumen 23.150 26.511

2015 Harga Produsen 13.267 16.025

Harga Konsumen 23.819 24.658

2016 Harga Produsen 15.212 18.673

Harga Konsumen 32.069 30.753

Sumber: Kementrian Pertanian, 2017

Berdasarkan tabel diatas, harga ditingkat produsen (petani) dari tahun ke tahun mengalami kenaikan pada harga produsen di Sumatera Utara. Sedangkan harga konsumen mengalami fluktuasi yang cenderung mengalami kenaikan pada harga konsumen Sumatera Utara. Pada harga tingkat nasional, harga beli pada tingkat petani atau produsen juga terus meningkat. Tetapi pada tahun 2016, harga konsumen tingkat nasional lebih kecil dibandingkan harga konsumen tingkat Sumatera Utara. Perbedaan harga produsen dan harga konsumen yang sangat besar baik pada tingkat nasional atau Sumatera Utara.

Luas panen bawang merah di Sumatera Utara mengalami fluktuasi. Pada tahun 2013 terjadi penurunan luas panen menjadi 1.048 Ha, setalah penurunan sumatera utara dengan perlahan meningkatkan luas panen bawang merah. Pada tahun 2014 terjadi penurunan paling besar produksi bawang merah sebesar 7.810 ton. Namun pada tahun 2016, Sumatera Utara dapat memproduksi sebesar 13.368 ton.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Luas Panen dan Produksi Bawang Merah di Sumatera Utara Tahun 2012-2016

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

2012 1.581 14.156

2013 1.048 8.305

2014 1.003 7.810

2015 1.238 9.971

2016 1.538 13.368

Sumber: Badan Pusat Statistik,2017

Hasil panen bawang merah yang dihasilkan oleh petani sebagian besar dijual sebagai bawang merah konsumsi. Diantara hasil produksi tersebut, petani juga menyisihkan untuk dijadikan benih pada musim tanam selanjutnya (Aldila, 2016).

Secara umum rantai pemasaran bawang merah di Indonesia sampai kepada konsumen terlihat relatif panjang hal ini dikarenakan tingkat ketergantungan petani terhadap tengkulak yang cenderung masih tinggi, kurangnya akses pasar pada sebagian daerah, proses pasca panen yang dinilai terlalu merepotkan oleh petani, dan terbatasnya gudang penyimpanan (Winarso, 2003).

Peran pedagang pengumpul desa atau calo masih dominan sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan petani. Petani sulit memasarkan sendiri barangnya tanpa melalui agen-agen tersebut karena petani merasa aman jika barangnya dipasarkan kepada pengumpul desa (calo), merasa yakin bahwa barangnya akan laku terjual dan pembayarannya akan tepat waktu seperti yang dijanjikan (Maryowani dan Darwis, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Konsep Keunggulan Komparatif dalam Sistem Agribisnis

Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisien secara ekonomi (Simatupang, 1991).

Untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian diarahkan pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan di mana konsolidasi usahatani diwujudkan melalui koordinasi vertikal, sehingga produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan prefensi akhir (Simatupang, 1995).

Untuk melihat keragaan daya saing komoditas pertanian seperti padi, palawija, horitkultura, dan perkebunan serta peternakan perlu dilakukan kegiatan analisis keunggulan komparatif pada komoditas strategis pertanian agar mendapatkan suatu konsep strategis peningkatan daya saing komoditas di pasar global (Asmara, dkk, 2015).

Besarnya peranan sektor pertanian termasuk didalamnya aspek food (pangan), feed (pakan), dan fuel (bahan bakar) menunjukkan eksistensi sektor pertanian telah mampu menciptakan rantai nilai tambah bisnis yang berasal dari lahan usaha hingga makanan yang siap saji. Sektor pertanian tidak hanya berkaitan dengan on-farm saja. Namun, lingkup sektor pertanian juga berkaitan dengan kegiatan off-farm baik hulu hingga hilir (agribisnis) (Asmara, dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

Membangun agribisnis dapat dilakukan melalui keunggulan bersaing yaitu keunggulan komparatif yaitu melalui transformasi pembangunan yang digerakkan oleh modal dan selanjutnya digerakkan oleh inovasi. Dalam arti bahwa membangun daya saing produk agribisnis melalui transformasi keunggulan komparatif yaitu dengan cara; mengembangkan subsistem hulu dan hilir (Simatupang, 1995).

Keunggulan komparatif merupakan rendahnya biaya-biaya faktor produksi, seperti tenaga kerja, bahan mentah, kapital atau infrastruktur fisik dan ukuran skala usaha (Zuhal, 2010).

Keunggulan komparatif bersifat dinamis. Suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif adalah 1) Ekonomi dunia, 2) Lingkungan dosmestik, 3) teknologi (Pahan, 2011).

Keunggulan komparatif Indonesia dalam agribisnis yaitu sebagai negara tropis yang mendapat sinar matahari melimpah sepanjang tahun dengan curah hujan yang cukup dan hampir merata (Pahan, 2011).

Upaya-upaya untuk meraih keunggulan komparatif dapat dilakukan usaha yang efektif dan efesien, serta melalui pengembangan pertanian yang berorientasi agribisnis dengan meningkatkan nilai tambah produk-produk tersebut melalui penanganan pascapanen dan pengolahan yang didukung strategi dan fasilitas pemasaran yang handal (Pahan, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Konsep Keunggulan Kompetitif dalam Sistem Agribisnis

Dengan makin murahnya biaya transportasi dan komunikasi, bahkan letak relatif goografis yang sudah dikenal menuju ke alur pasar dan perdagangan, ternyata sekarang kurang menguntungkan. Keunggulan komparatif memang telah memberikan jalan dan landasan untuk mencapai kesejahteraan kita di masa lalu.

Namun, melalui keunggulan kompetitif akan berkemampuan untuk mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki dengan lebih efektif sehingga mampu menciptakan produk-produk unggulan bangsa yang berdaya saing (Zuhal, 2010).

Asumsi perekonomian yang tidak mengalami hambatan atau distorsi sama sekali tentu sulit ditemukan di dunia nyata, khususnya seperti di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu, keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang badan atau orang-orang yang berkepentingan langsung dalam suatu proyek atau sistem. Konsep yang lebih cocok adalah keunggulan kompetitif (Zuhal, 2010).

Bangsa-bangsa yang meningkatkan standar hidup adalah yang setiap perusahaannya makin produktif mengembangkan keunggulan kompetitif dengan sumber daya yang lebih canggih, berlandaskan ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, persepsi, dan inovasi (Zuhal, 2010).

Keunggulan kompetitif yaitu kemampuan kreativitas, produktivitas, dan inovasi yang bukan semata inovasi teknologi, melainkan juga inovasi cara-cara pemasaran, inovasi posisi produk di antara produk-produk pesaing, dan inovasi kualitas pelayanan (Zuhal, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Keunggulan kompetitif Indonesia dibandingkan dengan negara lain yaitu sumberdaya alamnya. Kawasan Asia bagian timur (Timur Jauh) terdiri dari negara-negara yang berpotensi dalam agribisnis, seperti RRC, Jepang, Taiwan, Thailand, India, Malaysia, Indonesia, dan sebagainya. Dari segi geografis, negara yang berpotensi dalam agribisnis adalah Cina. Namun, Cina mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia, yaitu lahan yang subur di bagian selatan dipakai untuk industri (Pahan, 2011).

Dalam membangun keunggulan kompetitif pada sektor agribisnis tentunya tidak terlepas dari kondisi ekonomi baik di level domestik, regional maupun global.

Saat ini kondisi ekonomi global dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit yaitu krisis finansial yang melanda sektor perbankan kemudian menjalar pada sektor riil (Sugiarto, 2012).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan atau mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya.

Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dang mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah, 2011).

Produksi adalah suatu kegiatan dalam penciptaan nilai tambah dari input atau masukan untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa yang diperoleh Universitas Sumatera Utara

dengan suatu kegiatan yang namanya proses produksi, dengan sasaran menetapkan cara yang optimal dalam menggabungkan masukan untuk meminimumkan biaya, sehingga perusahaan dapat mampu menciptakan kualitas produk yang lebih baik dan efisien yang lebih tinggi dalam proses produksinya (Hernanto, 1989).

Produksi dapat didefenisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan (input). Sedangkan produktivitas adalah jumlah produksi per hektar. Dengan demikian, kegiatan produksi tersebut adalah mengombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output (Agung dkk, 2008).

Biaya produksi adalah sebagai kompensasi yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi baik secara tunai maupun tidak tunai (Agung dkk, 2008).

Faktor produksi adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usahatani. Biaya berdasarkan fungsi dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variable (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang dapat digunakan dalam berkali-kali proses produksi; ada yang bergerak atau mudah dipindahkan, ada yang hidup maupun mati misalnya cangkul, sabit, ternak;

sedangkan yang tidak dapat dipindahkan misalnya bangunan. Lain halnya dengan biaya tidak tetap karna biaya hanya dapat digunakan dalam satu kali proses produksi misalnya saja pupuk, pestisida, dan bibit unggul untuk tanaman semusim (Suratiyah, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Rumus menghitung biaya produksi usahatani

TC = FC + VC

Keterangan:

TC = total biaya (total cost) (Rp) FC = biaya tetap (fixed cost) (Rp)

VC = biaya variable (variable cost) (Rp)

Average cost adalah biaya rata-rata (dalam hal ini biaya produksi), atau biaya persatuan output yang menjumlahkan biaya tetap rata dan biaya variabel rata-rata. Pada hakikatnya biaya rata-rata adalah besarnya biaya total per satuan output, dirumuskan dengan persamaan berikut ini:

AC = TC / Q

Keterangan:

AC = Biaya rata-rata (Rp)

TC = Total cost (biaya total) (Rp) Q = jumlah barang yang diminta.

Harga adalah sejumlah uang yang harus diberikan seseorang untuk memperoleh barang dan jasa (Abdullah, 2003). Sedangkan harga jual adalah sejumlah kompensasi (uang ataupun barang) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang atau jasa (Philip, 2005). Menurut Mulyadi (2004), harga jual adalah total biaya ditambah laba memadai yang diharapkan.

Penerimaan usahatani adalah jumlah produksi yang dihasilkan dalam suatu kegiatan usaha dikalikan dengan harga jual yang berlaku di pasar (Soekartawi, 1995). Pernyataan ini dapat ditulis sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

TR = Y x Py

Dimana:

TR = Total Penerimaan Y = Produksi

Py = Harga Y

Menurut Soekartawi (1995), pendapatan adalah penerimaan kotor yang dikurangi dengan total biaya produksi. Jadi:

Pd = TR – TC

Dimana:

Pd = Pendapatan usahatani (Rp)

TR = Total penerimaan (total revenue) TC = Total biaya (total cost)

2.2.2 Teori Produktivitas

Menurut Mali (1978), istilah produktivitas seringkali disamakan dengan istilah produksi. Pengertian produktivitas sangat berbeda dengan produksi. Tetapi produksi merupakan salah satu komponen dari usaha produktivitas, selain kualitas dan hasil keluarannya. Produksi adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan hasil keluaran dan umumnya dinyatakan dengan volume produksi, sedangkan produktivitas berhubungan dengan efisiensi penggunaan sumber daya (masukan dalam menghasilkan tingkat perbandingan antara pengeluaran dan pemasukan).

Dari definisi di atas juga dapat dipisahkan dua pengertian. Pengertian pertama menyatakan bahwa produktifitas berhubungan dengan kumpulan hasil-hasil.

Di dalam pengertian ini menunjukkan bahwa jumlah, tipe dan tingkat sumber

Universitas Sumatera Utara

daya yang dibutuhkan atau juga menunjukkan efisiensi dalam menggunakan sumber dayayang dibutuhkan. Masalah produktivitas tidak hanya memperhatikan hasil, tapi bagaimana menggunakan sumber daya yang sehemat mungkin (efisien).

(Mali, 1978).

Produktivitas merupakan ukuran bagaimana baiknya suatu sumber daya diatur dan dimanfaatkan mencapai hasil yang diinginkan. Secara rata produktivitas dapat dikatakan sebagai rasio antara keluaran terhadap sumber daya yang dipakai. Bila dalam rasio tersebut masukan yang dipakai untuk menghasilkan keluaran dihitung seluruhnya, disebut sebagai produktivitas total (total productivity), tetapi bila yang dihitung sebagai masukan hanya faktor tertentu saja maka disebut sebagai produktivitas parsial (partial productivity) (Herjananto, 1999).

Secara umum konsep produktivitas adalah suatu perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) persatuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan meningkat apabila; 1) Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan jumlah masukan/sumber daya yang sama, 2) Jumlah produksi/keluaran sama atau meningkat dengan jumlah masukan/sumber daya lebih kecil dan, 3) Produksi/keluaran meningkat diperoleh dengan penambahan sumber daya yang relatif kecil (Chew, 1991).

Konsep tersebut tentunya dapat dipakai didalam menghitung produktivitas disemua sektor kegiatan. Menurut Manuaba (1992), peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan meningkatkan keluaran

sebesar-Universitas Sumatera Utara

besarnya. Dengan kata lain bahwa produktivitas merupakan pencerminan dari tingkat efisiensi dan efektifitas kerja secara total.

Produktivitas dipengaruhi oleh suatu kombinasi dari banyak faktor antara lain kualitas bibit, pupuk, jenis teknologi yang digunakan, ketersediaan modal, kualitas infrastruktur dan tingkat pendidikan/pengetahuan petani/buruh tani.

Selain faktor faktor tersebut praktek manajemen (pemupukan, pemberian pestisida dan sebagainya) juga sangat mempengaruhi produktivitas (Tambunan, 2003).

2.2.3 Produktivitas Bawang Merah

Tanah adalah salah satu aspek terpenting dalam pertanian yang menyangkut masalah tanah adalah kepemilikan, penggunaan dan pemeliharaan, pengawasan, dan penguasaan (Mubyarto, 1985).

Bagi petani yang memiliki atau menguasai lahan yang luas akan lebih tertarik untuk meningkatkan produktivitas mereka karena mereka dapat keuntungan yang lebih besar (Soekartawi, 1999).

Sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil (Nurdin, 2011).

Iklim erat hubungannya dengan perubahan cuaca dan pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen (Suberjo, 2009).

Kendala utama peningkatan produktivitas bawang merah, antara lain adalah tidak ada jaminan ketersediaan benih atau umbi benih bermutu yang berdaya hasil tinggi dan murah. Kendala yang dihadapi produksi benih asal biji atau TSS adalah persentase pembungaan dan pembentukan biji (seed-set) yang rendah. Penyebab rendahnya pembungaan bawang merah di daerah tropis adalah kondisi lingkungan

Universitas Sumatera Utara

yang tidak mendukung, terutama suhu tinggi >20 oC. Menurut Rabinowitch (1990), tanaman bawang merah memerlukan suhu 7–12 oC untuk induksi pembungaan dan suhu 17–19 oC untuk perkembangan umbel dan bunga mekar.

Ketinggian tempat dari permukaan laut sebagai peubah suhu berperan sebagai faktor penentu pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah. Seperti dikemukakan oleh Lockwood, 1974 dalam Levitt, 1980 tinggi tempat merupakan faktor utama yang mengubah keseragaman panas, dan suhu rata-rata berkurang dengan pertambahan tinggi kira-kira 0,6 oC 100 m-1, namun ada perbedaan-perbedaan setempat dan regional.

2.2.4 Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan produsen dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen dan memiliki biaya produksi yang rendah.

Biaya produksi yang rendah disini diasumsikan apabila terjadi di pasar internasional, sehingga produk atau komoditas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya (Dewanata, 2011).

Sedangkan Cockburn et.al. (1998) dalam Babiker (2010) mendefinisikan

Sedangkan Cockburn et.al. (1998) dalam Babiker (2010) mendefinisikan

Dokumen terkait