ZIARAH WALI: PRESENTASI KEHADIRAN DAN IRAMA KOSMIK
IV. 1. KEHADIRAN DAN KERJA
“Diantara berbagai batu yang tidak terhitung jumlanya, salah satu batu
menjadi suci—dan oleh karenanya dengan serta merta penuh dengan ada—
karena ia merupakan hierophany, atau memiliki mana, atau karena ia muncul
mempertingati tidakan mistis, dan sebagainya. Objek Muncul sebagai wadah kekuatan yang beraasal dari luar yang membedakannya dengan lingkungan sekitar serta membernya makna dan nilai. Kekuatan ini mungkin berada dalam substansi objek atau dalam bentuknya; sebongkah batu mengungkapkan
dirinya sebagai yang disucikan karena eksistensinya merupakan hierophany:
tidak dapat ditekan, tidak dapat dikalahkan, hal semacam itu sebagai sesuatu yang tidak dimiliki manusia. Kekuatan ini melawan waktu; realitasnya berpasangan dengan keabadian.” (Eliade, 2002: 4)
Tidak semua makam diziarahi atau lebih khusus lagi tidak semua makam atau
sosok dalam makam dimintai perantaranya dalam sebuah tawassul, hal ini adalah
penandaan tentang kehadiran seorang Wali bagi masyarakatnya. Penandaan ini tidak hanya terkait dengan adanya makam secara ontologis ‘ada’ dalam ruang-waktu tertentu dalam sebuah masyarakat. Penandaan masyarakat terhadap Wali dan
makamnya sebagai bagian dari Wali65 tersebut biasanya ditandai dengan adanya
berkah-karomah, cerita, mitos dan pengetahuan mengenai sosok Wali dan kehidupannya. Hal ini yang membedakan ‘ada’ secara onotologis dan ‘ada’ secara fenomenologis, sebuah kehadiran.
Kehadiran Sunan Gunung Jati dalam makamnya membedakannya dengan
makam-makam lain66. Ia ada—hadir dan dikenal para peziarahnya sebagai seorang
Wali Sunan Gunung Jati. Perihal ia ada dan hadir sebagai Wali adalah berkenaan dengan dua kategori gelar Wali, yaitu sebagai gelar kultural dan juga gelar spiritual.
65 Wali, Waliyah, wilayah; merujuk pada otoritas seseorang atas suatu dimensi fisik geografis dan
dimensi sosial kultural.
Pemberian gelar seorang Wali ini terkait dengan kerja/apa yang telah dilakukan Sunan Gunung Jati semasa hidupnya. Meskipun gelar Sunan Gunung Jati dan pengangkatan Sunan Gunung Jati dalam Dewan Wali Songo pada awalnya diberikan oleh otoritas Kesultanan Demak, namun hal ini terkait dengan berbagai macam kerja yang telah dilakukan Syarif Hidayatullah di wilayah Cirebon dan tanah Pasundan seperti pengislaman daerah-daerah sekitar Cirebon, hubungan dan kerja yang dilakukan bersama dengan wilayah Banten. Disini kemudian kesultanan Demak yang berdiri sebagai Kesultanan Islam pertama di tanah Jawa melakukan inkorporasi atas kerja Syarif Hidayatullah berkaitan dengan pengislaman/penyebaran Islam di wilayah Pasundan karena apa yang dilakukan Syarif Hidayatullah juga berkaitan dengan tujuan dari Kesultanan Demak sebagai Kesultanan Islam juga kesamaan tujuan dengan para Wali Songo yang akhirnya tergabung dalam Dewan Wali Songo.
Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Proses pentahbisan Syarif Hidayatullah sebagai seorang Sunan Gunung Jati adalah pemberian gelar Syarif Hidayatullah atas suatu wilayah yang terkait dengan wilayah hidupnya yang berada di Cirebon. Untuk itulah penggunaan gelar atau nama
pengganti seperti Sunan Gunung Jati—Sunan yang berasal dari kata susuhunan
(orang yang dituakan sebagai seseorang yang dijadikan guru/contoh) direlasikan
dengan satu penandaan wilayah dengan memunculkan tempat Gunung Jati sebagai satu gelar kewilayahan—ini dilakukan.
Sebagai satu-satunya Dewan Wali Songo yang memiliki tugas dalam wilayah Jawa Barat,Sunan Gunung Jati melakukan kerja dalam proses Islamisasi di wilayah Jawa Barat. Kerjanya meliputi penaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya yang
masih menganut agama Hindu dan Buddha—dengan membawa suatu wilayah/teritori
dari sebelumnya ‘kafir’ menuju ‘Islam’—serta perannya dalam mempertahankan wilayah-wilayah di Jawa Barat atas pendudukan dan kolonialisasi yang dilakukan bangsa Barat.
Kerja yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati sebagai moyang, leluhur, hero, dan Wali sekaligus, kemudian bertransformasi menjadi berbagai mitos ketika Wali Sunan Gunung Jati itu wafat. Cerita/narasi dan mitos tentang Sunan Gunung Jati dan kerja yang dilakukannya diceritakan dalam cerita-cerita sejarah mengenai penyebaran Islam di tanah Jawa yang dilakukan Dewan Wali Songo. Kerja yang telah dilakukan oleh Wali Sunan Gunung Jati membuat jalinan kerja (proses pengolahan oleh
moyang, leluhur dan Hero) pada masyarakatnya.
Penamaan tempat dan hal-hal dengan nama Grage oleh masyarakat Cirebon
seperti nama sebuah Mall atau toko cellular atau tempat cuci mobil dan berbagai
macam hal lain adalah bentuk kesadaran sejarah mengenai kerja yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah sebagai seorang leluhur yang mendirikan sebuah Kesultanan Islam pertama di tanah Pasundan dan berhasil membuatnya menjadi sebuah daerah yang berkembang pesat diantara daerah-daerah lainnya. Wacana pendirian Cirebon sebagai sebuah Provinsi tersendiri diluar Provinsi Jawa Barat juga memperlihatkan kesadaran sejarah yang dimiliki masyarakat Cirebon
mengenai Cirebon yang pernah menjadi sebuah Negara Gede atau bahkan lebih
fantastis lagi hal tersebut adalah upaya pengulangan aksi yang telah dilakukan oleh Sunan Gunung Jati untuk berhenti memberikan upeti kepada Pajajaran setelah
pembentukan Cirebon sebagai sebuah Kesultanan Islam. Ritual nyadran yang
dilakukan setahun sekali dalam bulan Suro/Muharam di Cirebon juga dalam
rangkaian pelaksanaannya (sesaji dan seluruh arak-arakan) melewati bagian depan kompleks makam Sunan Gunung Jati untuk di doakan. Peng-inkorporasi-an Sunan
Gunung Jati dalam sebuah ritual nyadran menandakan bahwa Sunan Gunung Jati
diangkat sebagai seorang moyang/sesepuh/leluhur oleh masyarakat Cirebon yang
dimintai ijinnya untuk penyelenggaraan sebuah ritual nyadran.
Pada tataran peziarah, Sunan Gunung Jati dikenal sebagai seorang Waliullah.
Karena kerjanya sebagai leluhur suatu wilayah itu berkenaan juga dengan penyebaran Islam maka kerja leluhur itu juga sekaligus menjadi kerja seorang Wali. Hingga
peziarah yang datang dalam sebuah salam. Nama Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah juga masuk ke inti doa untuk memperantarai permohonan/hajat yang dipanjatkan oleh para peziarah. Sunan Gunung Jati memperantarai keinginan,
permohonan/hajat dan doa para peziarah dalam posisinya sebagai Wali yang
memperantarai antara ciptaan dan Penciptanya sehingga para peziarah yakin melalui ketinggian derajat seorang Wali doa, permohonan dan keinginan mereka lebih mudah terkabul.
Hal ini seperti contoh batu yang saya gunakan dalam awal sub-bab ini. Makam Sunan Gunung Jati, sama halnya seperti sebuah batu dalam contoh tersebut, menjadi suci dan penuh dengan ‘ada’ karena Sunan Gunung Jati terkait dengan hierophany, atau memiliki mana atau ia muncul memperingati tindakan mitis, yaitu
pengolahan suatu wilayah yang chaos/’kafir’ menuju suatu wilayah yang
cosmos/’Islam’. Menjadi suci antara batu dan sunang gunung jati (atau hal-hal yang terkait dengan Sunan Gunung Jati) sama-sama terkait dengan suatu kekuatan adi- manusiawi dan transenden. Sunan Gunung Jati suci sebagai seorang Al-Wali melalui
kerjanya dalam pengislaman wilayah Jawa Barat (untuk masuk menjadi archetype
mengenai leluhur, moyang dan Hero)dan kemudian suci karena ia melakukan kerja
berkenaan tindakan mitis (pengolahan chaos ke cosmos). Sebagai gelar spiritual, Al-
Wali (kekasih Allah) menjadi perantara antara ciptaan dengan penciptanya67.
Melalui kerjanya, ia menciptakan sebuah keterkaitan/jalinan kerja antara dia, Sunan Gunung Jati, dengan orang-orang yang berkenaan dengan kerjanya tersebut. Kerja yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati kemudian menjadi kesadaran sejarah masyarakat dimana Ia melakukan kerjanya, seperti halnya di Cirebon sendiri yang melakukan berbagai penamaan yang indeksikal dengan nama Cirebon y aang
didirikan dan dikembangkan menjadi sebuah Grage/Negara Gede oleh Sunan
Gunung Jati. Wacana untuk mendirikan Provinsi Cirebon dan lepas dari Provinsi Jawa Barat adalah aksi ikonik dari aksi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dengan mendirikan Kesultanan Pangkungwati dan lepas dari Pajajaran sebagai
Kerajaan Utama di tanah Pasundan. Berbagai cerita mengenai kerjanya berkaitan dengan posisinya sebagai wali kemudian bertransformasi menjadi mitos tentang
Sunan Gunung Jati juga berkah dan karomah Sunan Gunung Jati. Hal ini yang saya
kemukaan dalam kerangka teori dalam Bab I sebagai jalinan kerja, sehingga seorang Wali Sunan Gunung Jati tidak hanya hadir secara ontologis dalam makam tempatnya ia disemayamkan, namun juga hadir sebagai sosok yang dihidupi para pengenalnya dalam sebuah aksi performatif ritual ziarah Wali.