• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESENTATION, REPRESENTATION AND COSMIC RHYTMS

Dalam dokumen Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik da (Halaman 69-72)

ZIARAH WALI: PRESENTASI KEHADIRAN DAN IRAMA KOSMIK

IV.3 PRESENTATION, REPRESENTATION AND COSMIC RHYTMS

Ernst Cassirer dalam sebuah buku berjudul “MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: Sebuah Esei Tentang Manusia” pada sub-judul “Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi” memaparkan konsepsi ruang juga waktu yang penting untuk dicermati dan dipahami para etnolog dan juga etnografer untuk dapat memahami keperbedaan

emic dan etic antara mereka dan suku/kelompok yang berusaha mereka teliti. Cassirer

dalam bukunya juga mengutip tulisan seorang ahli psikologi bernama Heinz Werner

dari bukunya yang berjudul Comparative Psychology of Mental Development:

“sejauh ia menduga jarak, mendayung perahu, melemparkan lembing ke sasaran tertentu, maka ruangannya sebagai medan aksi, sebagai ruang pragmatis, strukturnya tidaklah berbeda dengan ruang kita. Tetapi bila manusia primitif menjadikan ruangnya bahan representasi dan pemikiran reflektif, maka muncullah idea primordial spesifik yang secara radikal berbeda dengan idea intelektual. Idea tentang ruang bagi manusia primitive, pun bila disistematisasi, secara sinkretis melekat pada subjek. Paham ruang manusia primitive lebih bersifat efektif dan konkret berbeda dengan ruang abstrak manusia berbudaya maju…” (Cassirer, 1990: 67-68)

Kutipan pendapat yang ditampilkan oleh Cassirer pada intinya memaparkan keberbedaan konsepsi ruang yang terkait dengan basis pengetahuan dari kedua

kategori tadi, emic-manusia ‘primitif’ dan etic-manusia ‘modern’ yang berbeda.

Kemudian dari hal tersebut dipaparkan dalam penjelasan mengenai presentation dan

representation yang menjadi sub-judul bahasan dalam tulisan ini.

Cassirer dalam bukunya tersebut memberikan contoh detil lagi mengenai suku ‘primitif’ kaitannya dengan presentation. Ia menyebutkan bahwa “warga bumi dari suku tersebut peka terhadap hal-hal paling rumit dalam lingkungan hidupnya, mereka amat peka terhadap setiap perubahan dalam letak benda-benda sekelilingnya yang sudah amat mereka kenal. “dalam lingkungan yang sulit pun mereka akan dapat menemukan jalannya. Bila mendayung atau berlayar, mereka dapat hilir-mudik mengikuti kelokan-kelokan sungai secara tepat. Namun sesudah pengkajian lebih lanjut biarpun memiliki kecakapan tersebut itu, mereka anehnya tiada memiliki pengertian akan ruang. Bila anda minta mereka memberi gambaran umum, pelukisan lekuk-liku sungai, mereka tidak mampu membuatnya. Bila mereka diminta untuk membuat peta sungai itu lengkap dengan lekuk-likunya, mereka malahan tak bisa menangkap arti permintaan itu. Disini kita bisa melihat secara amat jelas perbedaan antara penangkapan secara konkret dan secara abstrak terhadap ruang dan hubungan- hubungan spasial.” (Cassirer, 1990: 68-69)

Melalui pemaparan Cassirer kita dapat melihat kedua landasan pengetahuan

yang berbeda, dimana ruang suku ‘primitif’ merupakan ruang konkret yang selalu

melekat dan berkenaan dengan dirinya sedangkan ruang manusia ‘modern’ adalah

ruang abstraksi matematis yang terkadang manusia modern tercerabut dari ke-

konkret-an ruang alamiah tersebut melalui jarak (penggunaan abstraksi-abstraksi matematis) yang diciptakan antara manusia modern dengan ruang alaminya. Ruang manusia ‘primitif’ lebih kepada ruang presentation sedang ruang manusia ‘modern’

lebih kepada ruang representation.

Ruang konkret yang dirasakan oleh suku ‘primitif’ dalam penjelasan Eliade

selalu berkaitan dengan ruang dimana orang dari suku tersebut hadir dalam sebuah

konsepsi dari Eliade mengenai Kosmos dan Irama Kosmik—adalah bentuk Kosmos yang ada pada disekitar dirinya. Seperti juga diungkapkan oleh Eliade bahwa “Perbedaan pokok antara manusia yang berasal dari masyarakat kuno, masyarakat tradisional, dan manusia dari masyarakat modern dengan jejak Yahudi-Kristen yang kuat terletak dalam fakta bahwa manusia kuno merasakan dirinya tidak dapat dipisahkan dengan Kosmos dan Irama Kosmik, sedangkan manusia yang berasal dari masyarakat modern menyatakan dirinya berhubungan hanya dengan sejarah”. (Eliade, 2002: ix-x)

Kehadiran seorang Wali secara ontologis ada melalui makamnya. Namun ada Kehadiran yang lebih dari sekedar bentuk materialnya yaitu kehadiran yang hadir

melalui kerjanya (social being) dan juga kehadiran sebagai seorang Wali (supreme

being). Kehadirannya sebagai seorang Wali (supreme being) kemudian merangkum

kehadiran social being dan ontological being. Kehadiran inilah yang secara konkret

oleh peziarahnya tidak dapat digambarkan melalui abstraksi matematis. Kehadiran secara konkret dari seorang Wali Sunan Gunung Jati adalah dalam bentuk-bentuk Berkah dan Karomah. Hal ini yang juga diungkapkan oleh Eliade bahwa “..Evidently, for the archaic mentality, reality manifest it self as force, effectiveness, and duration”(Eliade, 1959: 11).Berkah dan Karomah dalam hal ini merupakan bentuk- bentuk kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan durasi. Hal ini yang ditangkap

sebagai realitas kehadiran seorang Wali Sunan Gunung Jati dalam

makam/wilayahnya.

Kadatangan para peziarah dianggap sebagai sebuah berkah. Para peziarah

yang datang berziarah untuk sampai pada Kosmos (yang disimbolkan dengan makam

seorang Wali) karena mereka ditarik oleh Irama Kosmik dalam bentuk Berkah.

Berkah sebagai kekuatan diluar dari diri peziarah menjadi sebuah realitas konkret dari sebuah kekuatan, dari sebuah kehadiran seorang Wali. Bentuk ke-konkret-an dari kehadiran seorang Wali juga kemudian dikuatkan melalui berbagai permohonan atas Berkah juga permohonan dan keinginan yang dipanjatkan peziarah melalui Karomah dan Wasilah yang dimiliki Wali. Ritual ziarah Wali yang terus digelar juga

menguatkan ke-konkret-an dari kehadiran seorang Wali. Seperti cerita seorang juru

kunci yang menyebutkan bahwa jika seseorang telah merasakan Berkah dan Karomah

dari Wali Sunan Gunung Jati, ia pasti akan datang lagi berziarah di Makam Sunan

Gunung Jati69.

Di dalam sebuah aksi performatif ziarah Wali, para peziarah juga terus

mengambil Berkah dan Karomah yang memancar dari makam seorang Wali. Selain

Berkah dan Karomah, ketinggian derajat seorang Wali memudahkan doa yang dipanjatkan peziarah cepat terwujud karena sifat wali yang merupakan Wasilah/Perantara antara ciptaan dan Penciptanya. Ritual Ziarah Wali Sunan Gunung Jati merupakan bentuk aksi performatif yang dilakukan para peziarahnya atas

kehadiran seorang Wali Sunan Gunung Jati dalam gema irama kosmik—dengan

bentuknya kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan durasi—dalam bentuk

Berkah Karomah dan Wasilah.

Dalam dokumen Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik da (Halaman 69-72)

Dokumen terkait