• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANGGILAN SANG WAL

Dalam dokumen Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik da (Halaman 49-57)

ZIARAH – AKSI PERFORMATIF III 1 KISAH PARA PEZIARAH

III.2. PANGGILAN SANG WAL

Makam Sunan Gunung Jati adalah salah satu makam Wali yang paling ramai dikunjungi oleh para peziarah. Hal ini berdasarkan pengalaman saya ketika berziarah di makam-makam Wali yang lainnya, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Geseng. Ramainya para peziarah di makam Sunan Gunung Jati ini dikarenakan Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Wali dari Dewan Wali Songo yang ada di wilayah Jawa Barat. Hampir tiap hari Makam Keramat Sunan

Gunung Jati ini terus ramai, baik itu dari pagi hari hingga dini. Menurut informasi dari seorang juru kunci bernama Pak Samadi yang telah bertugas semenjak tahun

1960an, keramaian ini terus terjadi dengan puncak keramaian di bulan Maulid.

Ramainya suatu makam seorang Wali tidaklah semata-mata ada karena kemampuan para peziarah untuk datang menghampiri Sang Wali dalam Makamnya. Hal ini terkait dengan sebutan para peziarah sebagai “Tamu-Wali”. Sebutan ini muncul karena para peziarah dalam anggapan mereka sebenarnya tidak memiliki daya untuk melakukan ziarah tersebut, melainkan karena kekuasaan dari Allah yang juga terpancar melalui seorang Wali. Seperti yang diungkapan oleh salah seorang

informan saya bernama MbahDa’al, seorang laki-laki berumur 87 tahun yang sangat

ramah di Masjid Sunan Gunung Jati. Kedatangannya ke makam Sunan Gunung Jati menurutnya bukan semata-mata ada dalam kuasa dirinya. Terkadang ketika seseorang memiliki cukup daya dan kekuatan untuk berziarah namun seseorang tersebut tidak memiliki kesempatan dan waktu untuk dapat berziarah. Sedangkan ada kalanya punya waktu dan kesempatan untuk berziarah namun tidak memiliki cukup daya dan

kekuatan untuk berziarah. Mbah Da’al mencontohkan seperti anak-anak muda yang

sangat jarang sekali berziarah ke makam seorang Wali yang punya kekuatan dan cukup daya namun tidak memiliki kesempatan dan waktu untuk berziarah, sedangkan ada juga ketika masa tua yang memiliki cukup kesempatan dan waktu tapi tidak memiliki daya dan kekuatan untuk berziarah. Maka berziarah semacam ini sudah

semacam berkah kita untuk dapat berkunjung ke makam seorang Wali Allah, ungkap

Mbah Da’al pada saya.

Seorang peziarah dari Cikaduen, Banten yang saya temui di Masjid Sunan Gunung Jati juga mengatakan bahwa dirinya merasa telah dipanggil oleh Sunan Gunung Jati sebelum kedatangannya saat saya temui. Pada saat itu dia belum bisa memenuhi panggilan Sang Wali yang dirasakannya itu karena ia sedang tidak memiliki cukup uang untuk bekal dan ongkos perjalanannya tersebut. Namun beberapa hari kemudia ia diberi cukup uang untuk melakukan perjalannya tersebut. Keinginan berziarah dari seseorang seperti Ahyana tidak lantas dapat membuat ia

dapat begitu saja memenuhi panggilan yang ia rasakan. Sebuah perjalanan ziarah Wali merupakan sebuah perjalanan yang tidak hanya terkait pada pelaku peziarahnya, melainkan keseluruhan irama kosmik yang sesuai untuk seseorang dapat melakukan perjalanan ziarah, sehingga seseorang peziarah adalah orang-orang yang mendapatkan berkah dapat dipanggil dan datang di makam keramat seorang Wali.

Saat perjalanan pertama saya mengunjungi makam Sunan Gunung Jati, saya mengunggunakan ‘becak’ untuk membawa saya dari Stasiun Cirebon menuju makam Sunan Gunung Jati. Ketika saya menyebutkan tujuan ke makam Sunan Gunung Jati,

bapak penarik becak-nya pun dengan sontak menjawab “oh makam keramat”. Makam

Wali Sunan Gunung Jati disebut oleh bapak penarik becak ini sebagai makam keramat. Tak hanya bapak penarik becak yang saya temui, beberapa makam Wali yang saya ziarahi seperti makam Habib Luar Batang (Jakarta Utara), Makam Sunan Kalijaga (Demak), Makam Sunan Kudus (Kudus), Makam Sunan Muria (Colo, Kudus), Makam Sunan Geseng (Bantul) dan para Wali lainnya memang sering disebut sebagai makam keramat.

Saat saya bertemu dengan seorang kepala juru kunci bernama Jeneng Imron di Desa Astana dekat kompleks makam Sunan Gunung Jati, ia menyebutkan bahwa

makna dari makam keramat adalah makam yang memiliki Karomah. Karomah

sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Term ini merujuk pada seorang Wali yang bersemayam sebagai seorang yang memiliki derajat spiritual yang tinggi. Karomah disini meliputi kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki seorang Wali karena kedekatannya dengan Allah. Kekuatan-kekuatan inilah yang juga menarik para peziarah untuk berbondong-bondong datang ke makam seorang Wali. Makam keramat seorang Wali menyimpan sebuah kekuatan diluar kekuatan manusia biasa yang terpancar dari diri seorang Wali.

Wali sebagai celestial archetype dari Tuhan mengenai Kosmos dan irama

kosmik memancarkan juga sebuah keteraturan/cosmos dan irama kosmik sehingga

kosmik (dalam bentuk berkah dan karomah) yang terpancar dari seorang Wali dari makam tempatnya bersemayamlah yang memanggil para peziarah berbondong- bondong menuju sang Wali untuk kemudian para peziarah masuk ke ruang mitikal—

sebuah axis mundi yang ada pada seorang Wali dan makamnya—untuk menuju

sebuah pusat Kosmos. III.3. PERJALANAN

Berziarah pada dasarnya merupakan perjalanan yang ditempuh para peziarah. Hal ini juga yang ditekankan dalam berbagai macam etnografi mengenai ziarah/ pilgrimage. Salah satunya adalah jurnal dari European Association of Social Anthropologists Series Facilitator, University of Loughborough terbitan Routlege

yang berjudul Reframing Pilgrimage: Culture in Motion. Jurnal ini antara lain

memaparkan bahwa ziarah, yang merupakan bentuk ritual lampau yang masih dipertahankan hingga periode kini memiliki bentuk dasar sebuah perjalanan. Melalui sedikit banyak membaca jurnal dan etnografi mengenai ziarah ini saya kemudian memasukkan sub-bab perjalanan menjadi sub-bab dalam tulisan saya ini.

Perjalanan yang dimaksud saya kategorikan menjadi dua buah bentuk perjalanan yaitu perjalanan fisik yang ditempuh dalam ruang-waktu fisik para peziarahnya untuk sampai ke tempat tujuan yang merupakan tempat suci baginya dan juga perjalanan metafisik yang juga ditempuh para peziarah ini dalam mengatasi

masalah-masalah (formless) mental-spiritual ketika para peziarah menghadapi

masalah kehidupan untuk mencapai suatu kemapanan (formed) spiritual tertentu.

Kedua bentuk perjalanan ini ditempuh sekaligus oleh para peziarah dalam bentuk dan

kaitannya sebagai laku-tirakat para peziarah.

Saat mengadakan penelitian di Makam Keramat Sunan Gunung Jati, saya

berjumpa dengan enam orang Peziarah individu61 yang kesemuanya berasal dari

61 Pengambilan peziarah sebagai informan tidak melalui pemilihan-pemilihan karena saya

menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan data yang mendalam, juga karena akses terhadap peziarah sebenarnya terbatas mengingat mereka sedang melakukan ziarah yang menuntuk kekhusyukan berkenaan dengan laku dan tirakat mereka.

wilayah Jawa Barat. Berikut saya tampilkan ilustrasi gambar peta perjalanan para peziarah yang menjadi informan saya :

1. Ahyana yang berasal dari Banten (Cikaduen),

2. Teh Neneng dari Majalengka,

3. Akang Badrudin dari Bandung,

4. Mbah Da’al dari Cirebon

5. Seorang bapak yang menyuruh saya meminta izin kepada pengurus masjid

(yang tak sempat saya mengenal namanya) dari Tasikmalaya,

6. Seorang laki-laki seusia saya yang jarang sekali saya temui menjadi peziarah

yang berasal dari Beber, sebuah kota kecil yang berada diantara Cirebon dan Kuningan.

Gambar 3.0 sebuah peta ilustrasi dari saya mengenai perjalanan peziarah yang menjadi informan saya.

Berbagai macam perjalanan fisik ditempuh oleh para peziarah, antara lain adalah beberapa informan kunci saya tadi. Perjalanan Ahyana adalah perjalanan yang

paling jauh . Ia berangkat dari Cikaduen, sebuah kota kecil di selatan Kota Banten sebagai pusat dari propinsi Banten. Jarak yang jauh itu menurut Ahyana ia tempuh dengan berjalan kaki. Berikutnya adalah seorang laki-laki berusia sebaya dengan

saya, sekitar dua puluhan tahun bernama Akang Badrudin. Ia datang dari Bandung

bersama teman-temannya dengan menggunakan bus. Kemudian dua orang bapak-

bapak berusia diatas empat puluh tahun yang berasal dari Tasikmalaya. Lalu ada Teh

Nenen yang telah berkali-kali melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati ini berangkat dari rumahnya di Majalengka. Ada lagi seorang lak-laki yang juga berusia tak jauh berbeda dengan saya berasal dari Beber. Sebuah kota kecil terletak di selatan Kota Cirebon, sebuah kota diantara Kota Cirebon dan Kuningan. Ia berangkat sendirian dari rumahnya, dan menginap sekitar 4 hari di MSGJ. Terakhir adalah MbahDa’al yang berasal dari Kabupaten Cirebon. Seseorang yang paling sering saya temui di MSGJ. Ia berusia 87 tahun.

Perjalanan fisik yang ditempuh para peziarah adalah bentuk perjalanan yang terlihat dan dirasakan nyata bagi para peziarah. Beberapa perjalanan peziarah individu yang saya paparkan menunjukkan bahwa dalam ziarah perjalanan fisik itu selalu ada. Hal ini secara kasat mengacu pada gambaran sebuah proses transformasi yang dilakukan peziarah. Tak hanya perjalanan fisik yang mereka tempuh. Perjalanan

non-fisik seperti laku dan tirakat juga merupakan sebuah kesatuan dalam sebuah

rangkaian aksi performatif ziarah Wali. III.4. TIRAKAT DAN LAKU

Tirakat dan atau laku adalah hal yang pasti dijalani oleh para peziarah seperti

halnya sebuah perjalanan fisik yang dijalani oleh peziarah. Setidaknya laku

berziarahlah yang dijalankan para peziarah rombongan yang datang ke kompleks

makam Sunan Gunung Jati dengan keterbatasan waktu yang mereka miliki. Laku

berziarah yang dimaksud adalah beberapa laku umum yang biasa dijalankan para

peziarah seperti bersuci, menyampaikan salam, memanjatkan doa serta bertawasul;

bentuk laku. Laku dalam konteks berziarah lebih tepatnya diartikan sebagai bagaimana seseorang diatur (aturan) dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya berkenaan dengan kepentingannya berziarah.

Laku berbeda dengan tirakat. Tirakat lebih bersifat personal karena biasanya

dijalankan khas masing-masing dari para peziarah. Tirakat dalam ranah praktik

biasanya berupa penghindaran manusia (sebagai pelaku dalam hal ini sebagai

peziarah) atas sesuatu hal berkenaan dengan tujuan yang ia lakukan. Seperti Teh

Neneng yang ketika saya temui di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Ia telah menjalani puasa untuk tidak makan makanan yang bernyawa selama delapan belas

hari, dan dia akan menjalani puasa tirakatnya itu selama dua puluh hari. Tirakat dapat

diartikan juga sebagai sacrifice. Henry Hubert dan Marcel Mauss dalam bukunya

yang berjudul “Sacrifice: Its Nature and Function” juga menjelaskan bahwa sacrifice

atau tirakat sama tuanya dengan agama itu sendiri. Hal itu dikarenakan sacrifice yang

biasanya terbungkus dalam satu ritual merupakan jalan untuk menghubungkan antara makhluk dengan Tuhannya. Robertson Smith dalam sebuah pengantar buku tersebut

juga menyebutkan bahwa tirakat/ sacrifice merupakan jalan untuk re-establihsing

unitybetween god and its devotees.

Data mengenai tirakat banyak saya dapatkan dari Teh Neneng. Ia bermukim

di kompleks makam Sunan Gunung Jati ini di tempat khusus wanita yang terletak di pintu gerbang ketiga didekat tempat para juru kunci biasa berjaga juga sangat dekat dengan pintu pasujudan (berada di sebelah timur pintu pasujudan). Tempat ini adalah

tempat khusus bagi peziarah perempuan yang ingin dengan khusyuk menjalani

ziarahnya, karena di Masjid Sunan Gunung Jati juga sebenarnya terdapat tempat bagi

peziarah perempuan, namun menurut Teh Neneng disana ia tidak mendapatkan ke

khusyukan untuk berziarah karena kebanyakan wanita disana lebih banyak mengobrol

meskipun sebenarnya mengobrol juga tidak diperbolehkan dalam sebuah laku ziarah

yang ketat. Hal yang juga diungkapkan Mbah Da’al pada saya bahwa dalam

berziarah, kurangilah mengobrol, kurangi tidur, kurangi makan dan banyak- banyaklah mengingat Allah.

Di tempat Teh Neneng menginap tadi, ia bertemu macam-macam perempuan

yang juga sedang menjalani tirakat. Teh Neneng sendiri menjalani tirakat berpuasa

untuk tidak makan makanan yang bernyawa selama dua puluh hari. Laku tirakatnya

sendiri ia niatkan sendiri, namun menurut Teh Neneng ada beberapa orang yang

memang laku dan tirakatnya minta diberi petunjuk oleh para juru kunci yang ada

disini. Beberapa teman menginap teh Neneng di tempat khusus tersebut banyak yang

menjalankan tirakat yang aneh-aneh, begitu ia menyebutnya. Ada seorang wanita

yang berpuasa dan berbuka saat petang hanya dengan makan cabai rawit meskipun

demikian wanita tersebut tidak sakit perut. Teh Neneng juga menceritakan ada wanita

yang sama sekali tidak tidur, ada juga yang jarang sekali berbicara dan khusyuk

sendiri dalam laku ziarahnya tersebut. Menurut Teh Neneng, semakin berat tirakat

yang dijalani seseorang, semakin memungkinkan untuk hajat62 kita itu dapat cepat

dikabulkan.

Hampir tiap peziarah individu yang saya temui memang melakukan tirakat.

Seperti Ahyana, ia jarang sekali makan, ketika hampir seharian saya bersama dirinya. Malam ketika saya pertama kali bertemu dengan Ahyana, kami hanya makan gorengan dan beberapa batang pisang ditemani secangkir kopi dan rokok, ketika suatu siang saya mengajaknya makan, ia hanya mengambil sebungkus roti, sedangkan saya mengambil sepiring nasi beserta lauk-pauknya. Menurutnya ia memang sudah

lama menjalani laku tersebut. Ia hanya makan sedikit saja, hanya sebotol air mineral

yang airnya ia ambil dari sumur-sumur keramat dimana biasa ia singgah menemaninya setia.

Mbah Da’al adalah orang yang paling tua yang saya temui di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Ia juga merupakan orang yang paling saya temui di makam Sunan Gunung Jati. Kami biasa bertemu di MSGJ tempat dimana biasa kami

merebahkan lelah dengan tetap terjaga dalam laku ziarah. Tubuh setua Mbah Da’al

tak membuatnya berhenti untuk melakukan tirakat. Ketika saya temui di masjid, ia

biasa menjalankan puasanya. Ia tidak berpuasa pantangan seperti Teh Neneng. Ia

berpuasa biasa seperti puasa-puasa biasa dengan berbuka pada waktu petang Maghrib. Menurutnya sayang kalau kita ditempat suci, ditempat orang mulia gak melakukan amalan-amalan mulia.

Tirakatsendiri dalam buku “Sacrifice: Its Nature and Function” digambarkan

sebagai sebuah gift. Pemberian/gift tersebut dilakukan dalam rangka

memapankan/establishing kesatuan antara hamba dan Tuhannya. Hal ini juga sama

seperti yang dituliskan oleh Sossie Andezian bahwa “Apapun bentuk praktik ziarah,

pada dasarnya ada;aj prinsip pertukaran antara peziarah dan wali: permohonan (thalab)—penyerahan (‘ata)—pemberian (zyara), pertukaran kata, jadi pertukaran material dan spiritual. Ziarah adalah merupakan suatu rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah bersuci, berdoa, menyerahkan pemberian dank urban. Suatu rentetan pertukaran lain, yang berlangsung di antara sesame pengunjung (bertukar kata/kalimat, saling membantu, bertukar makanan), membuat ziarah semakin efisien”(Andezian dalam “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, 2010: 105).

Beberapa bentuk pemberian bisa berupa barang atau benda namun yang lebih penting adalah sejauh mana hal tersebut berhubungan dengan si hamba tersebut. Hal

ini juga merujuk pada sifat ke-personal-an sebuah tirakat yang dijalani para peziarah.

Pada beberapa data etnografi yang telah saya tampilkan sebelumnya juga

memperlihatkan keberagamam dari tirakat yang dijalani para peziarah. Tirakat dalam

hal ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk pemberian lewat berbagai macam aksi— baik itu pengorbanan atau penghindaran—yang dilakukan para peziarah untuk

menghubungkan diri mereka selaku ciptaan kepada Penciptanya.

Dalam dokumen Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik da (Halaman 49-57)

Dokumen terkait