PENDAHULUAN
I . 1 ZIARAH: MENGHADIRKAN YANG ‘LAMPAU’, MEMASUKI YANG
‘SUCI’
Ziarah sebagai ritual, bisa dikatakan, merupakan ritual yang telah sangat
lampau. Seperti dicontohkan oleh Eric Geoffroy dalam kumpulan tulisan mengenai “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, “Berbagai ritus penyembuhan dan keselamatan yang dilakukan pada saat ziarah yang dapat dijumpai diseluruh kawasan Timur
Tengan—menandakan bahwa berbagai induk kepercayaan kuno mampu terus
bertahan” (2010: 48). Di Indonesia dan di Jawa khususnya, di dalam ziarah memuat ritus yang lebih kuno, melalui ritual ziarah Wali, ritus kuno itu kemudian di Islamkan. Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir menyebutkan bahwa “Ziarah sesungguhnya mencakupi suatu jangkauan praktik yang sangat luas, bermula dari pengagungan
terhadap tokoh-tokoh agama hingga ke panggilan kekuatan-kekuatan gaib. Dalam hal
terakhir ini fenomena itu berbaur degan praktik-praktik Jawa lainnya yang sama sekali berkaitan dengan Islam” (2010: 244).
Ziarah merupakan tradisi berkunjung kepada seseorang atau suatu tempat
untuk sebuah tujuan tertentu. Ziarah sendiri dijelaskan oleh Aladin Goushegir sebagai “Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan tokoh yang penting dan terhorat. Ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahwa sehari-hari itu dipakai dalam ungkapan “pergi menemui yang dipertuan”. Akan tetapi dalam pengertian khusus, istilah ziarah mempunyai arti mengunjungi makan seorang tokoh
agama, baik Syiah maupun bukan, selama beberapa jam, satu hari penuh atau bahkan beberapa hari...untuk bernazar dan berdoa” (Goushegir, 2010: 157). Tujuan dalam sebuah ritual ziarah ini beragam, bergantung pada kepentingan apa yang sedang
melakukan penghormatan terhadap leluhur; baik itu orang tua, moyang, sesepuh atau
leluhur suatu tempat, sesepuh dari suatu agama atau kepercayaan, atau orang-orang
suci. Sosok yang diziarahi biasanya merupakan sosok penting bagi peziarahnya. Hal
ini juga yang menunjukkan hubungan dan pengetahuan apa yang coba direproduksi
ulang melalui sebuah ritual ziarah.
Pelaksanaan ziarah meliputi beberapa macam aksi/laku1. Laku/aksi tersebut
seperti ketika masuk kompleks makam seorang peziarah biasanya mengambil wudhu
untuk bersuci. Setelah itu peziarah menghadap tempat yang dikhususkan2 untuk
berziarah. Di tempat ini seorang peziarah menyampaikan salam, memanjatkan doa
dan puji-pujian serta permohonan/hajatnya.
Saat pelaksanaan ziarah sering kita dapati cerita-cerita dan mitos-mitos
tentang sosok serta tempat yang sedang diziarahi; biasanya berupa cerita atau mitos
supranatural dan magis3 yang semakin memperkuat kedudukan sosok/tokoh yang
sedang diziarahi. Selain mitos, juga hadir doa yang dipanjatkan si peziarah yang
diperantarai4 oleh ketinggian derajat sosok yang diziarahi. Berbagai macam doa
terpanjat dari sebuah laku ziarah, tak sedikit yang berdoa guna mendapatkan
kelancaran rezeki dan jodoh. Ada juga yang sekedar berkunjung melakukan
penghormatan, atau ada juga yang menghimpun kesaktian, dan ada lagi yang sedang
melakukan laku spiritual tertentu5.
Hampir semua makam di Jawa di kunjungi para peziarah, namun penentuan
waktu dan tujuan dari ziarah tersebut berbeda-beda. Perbedaan inilah yang
memperlihatkan posisi sosok di dalam makam tersebut terhadap
peziarah/masyarakatnya. Beberapa makam moyang biasa dikunjungi setahun sekali
dalam suatu ritual tertentu yang biasa disebut nyekar, namun makam seperti
1 Dari asal kata Lelaku (perilaku atau apa-apa yang dilakukan) bahasa Jawa-Sunda. 2 Biasanya didekat makam sosok yang diziarahi.
3 Berkaitan dengan mitos berkah dan karomah.
tokoh spiritual atau Wali6 biasa dikunjungi setiap saat dalam setahun penuh, peziarahnya pun datang dari berbagai macam latarbelakang kelompok; baik sosial,
ekonomi, etnis dan bahkan lintas agama sekalipun.
Beragamnya latar belakang peziarah yang datang menziarahi, penuhnya waktu
yang dihabiskan di makam seorang Wali memperlihatkan posisi Wali dalam
masyarakatnya. Gelar Wali adalah gelar kultural dan juga gelar spiritual sekaligus.
Pemberian gelar Wali tidak terlepas dari berbagai macam kerja7 yang dilakukan
seorang seorang Wali dalam masyarakat semasa dia hidup. Berbagai macam kerja
seorang Wali semasa hidupnya inilah yang menciptakan keterkaitan antara
masyarakat dan seorang Wali.
Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam sebuah buku berjudul “Ziarah & Wali di Dunia Islam” menyatakan dalam bukunya bahwa dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas mengesahkan ke-Wali-an, maka masyarakatlah yang
mengangkat seseorang menjadi seorang Wali, dan karena sikap patut terhadap para
Wali tidak ditentukan oleh Al-Quran maupun As-Sunnah, maka masyarakat sendiri
pula yang mengaturnya (2010: 4).Wali memang gelar yang dihadiahkan masyarakat terhadap sosok tertentu. Sossie Andezian menyebutkan bahwa “Wali yang telah wafat adalah tokoh yang semasa hidupnya diakui sebagai sosok luar biasa yang besar
karismanya dan menonjol karena pengetahuannya tentang agama, kehidupannya yang
jauh dari keduniawian, kesalehannya, karamat-karamat yang diperbbuatnya dan
kadangkala karena “kegilaan” yang terkait dengan perilaku mistisnya. Seorang wali dapat merupakan tokoh setempat, pemimpin keluarga keturunan wali, pendiri tarekat, guru sufi, pejuang atau tokoh marjinal…baik terpelajar maupun buta huruf, laki-laki maupun perempuan, diakui maupun tidak oleh penguasa agama dan politik pada
masanya, sesungguhnya Wali ditetapkan oleh suara rakyat dan terus dikenang melalui
makam yang dibangun untuk menghormatinya di lokasi yang dianggap sebagai
6 Gelar kultural sekaligus spiritual khususnya digunakan dalam dunia Islam. Pembahasan mengenai
Wali ini sendiri akan dibahas lebih terperinci nantinya.
tempat kuburnya (Sossie Andezian dalam kumpulan tulisan “Ziarah dan Wali di
Dunia Islam”, 2010: 103-104).
Hampir semua Wali yang ada biasa membuat bangunan fisik atau artefak yang
sangat berguna bagi masyarakatnya. Biasa bisa kita dapati berupa sendang8, masjid,
dan berbagai bangunan fisik lainnya. Bangunan-bangunan tersebut biasanya terletak
tidak jauh dari makam Sang Wali. Selain kerja fisik yang hadir lewat
bangunan-bangunan yang seorang Wali buat, sosok Wali sebagai sosok suci spiritual juga hadir
ketika keajaiban-keajaiban muncul, baik saat Wali tersebut menolong seseorang9
ataupun saat Wali ini sedang sendiri10. Wali sebagai gelar kultural saat diabstraksikan
kedalam sebuah konsep menjadi sebuah term of addresses11 sedangkan ketika masuk
ke dalam ranah spiritual (agama Islam) menjadi term of references12.
Latar belakang saya menyoroti topik ini adalah karena ritual ziarah dalam
struktur masyarakat Islam Jawa mempunyai posisi yang begitu penting. Ziarah
merupakan ritual dimana pengetahuan-pengetahuan dasar kosmologis diproduksi
ulang. Selain pengetahuan kosmologis, akar pengetahuan dan identitas kelompok
tertentu melalui ritual ini diproduksi, direproduksi dan dikuatkan kembali. Ziarah
selain tempat mereproduksi dan penguatan pengetahuan juga merupakan ruang
dimana proses resolusi-resolusi masalah pada diri individu dicoba untuk dipecahkan.
Pemecahan masalah-masalah ini terkait erat dengan sosok yang sedang diziarahi,
terlebih jika sosok tersebut merupakan sosok orang suci seperti seorang Wali. Berkah,
karomah dan wasilah dari Sang Wali adalah hal-hal yang diharapkan dapat membuat seorang peziarah keluar dari masalah-masalahnya tersebut.
8 Mata air, atau biasa berupa sumur.
9 Biasanya Sang Wali menyembuhkan seseorang atau dimintai pemecahan atas persoalan seseorang,
hal ini juga menjadi cikal bakal mitos tentang berkah & karomah yang dimiliki Wali.
10 Biasanya keanehan yang terlihat oleh orang disekitar Wali, seperti cerita tentang Wali yang bisa
berjalan di atas air, atau dapat pergi ke Mekkah dalam sekejap dll. menjadi cikal bakal mitos tentang kesaktian atau tingkat kesucian dan karomah Sang Wali.
11 Bagaimana Wali menjadi sebuah gelar yang dialamatkan pada seseorang atas dasar kerja yang
dilakukan oleh Wali.
12 Bagaimana Wali merupakan sebuah posisi spiritual yang mengacu pada salah satu Asma Allah
I .2 FOKUS PENELITIAN
Skripsi saya yang berjudul “Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik dalam
Ziarah Wali Sunan Gunung Jati Cirebon” akan saya fokuskan pada ritual ziarah
sebagai aksi performatif. Kajian Ziarah ini akan menganalisis berbagai macam subjek
dalam sebuah ritual ziarah, seperti sosok yang diziarahi, peziarah, serta kuncen13
sebagai pengurus makam yang diziarahi, namun disini penekanan terhadap peziarah
lah yang lebih saya utamakan. Hal ini dilakukan untuk melihat bentuk performatif
dari sebuah ritual, juga sebagai bentuk pengenalan para peziarah mengenai sosok
yang mereka ziarahi. Peziarah meskipun menjadi kunci dalam satu aksi performatif
ritual ziarah wali tidak menjadikannya satu-satunya kunci dalam melihat apa yang
saya sampaikan pada tulisan ini. Metode semiotik dari Charles S. Peurse saya
gunakan untuk melihat satu konfigurasi penuh sebuah aksi performatif antara
pelakunya (peziarah) dengan sosok Wali Sunan Gunung Jati dan berbagai hal terkait
dengannya yang melahirkan hubungan penandaan, baik itu iconic, indexical dan
symbol.
Kajian mengenai ziarah Wali ini bertujuan untuk mengetahui ritual sebagai
bentuk-bentuk performatif dari archetype dalam suatu kebudayaan (khususnya
kebudayaan Islam Jawa), yaitu archetype Wali. Pembahasan mengenai ziarah Wali
ini juga untuk mengetahui bagaimana sebuah masyarakat melakukan penandaan akan
kehadiran seorang sosok suci lewat ziarah yang mereka lakukan, mengingat tidak
semua makam diziarahi, dimintai perantaraannya/wasilahnya, dikeramatkan,
disucikan. Selain hal tersebut dalam kajian ini saya ingin mengetahui bagaimana
sebuah ritual ziarah Wali dapat bertahan dalam rentang waktu panjang.
I . 3 PERTANYAAN PENELITIAN
Berangkat dari latar belakang dan fokus permasalahan yang saya paparkan
sebelumnya, saya merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Apa yang membuat makam Wali Sunan Gunung Jati terus diziarahi?
Apa yang membuat ritual ziarah Wali bertahan dari rentang waktu
panjang pergulatan sistem religi/agama?
I . 4 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian yang akan saya lakukan ini untuk mengetahui tradisi ritual ziarah
Wali dalam masyarakat dan melihat pengetahuan dasar suatu masyarakat
tentang kehadiran melalui bahasan saya kehadiran Wali.
Selain hal tersebut, melalui penelitian ini saya ingin melihat bagaimana
sebuah ritual ziarah Wali yang telah lampau dapat bertahan dalam rentang
waktu perubahan sosial dan kebudayaan.
Terakhir, saya berharap lewat tulisan ini akan membuat saya khususnya dan
pembaca pada umumnya untuk dapat melakukan refleksi-refleksi mendasar
pengetahuan manusia tentang being, tentang kerja, tentang kehadiran, tentang
kematian dan tentang kehidupan lewat tulisan ini.
I . 5 SIGNIFIKANSI PENELITIAN
I . 5. 1 Signifikansi Teoritis
Penelitian yang saya lakukan berkenaan dengan ziarah Wali bertujuan untuk
memaparkan bentuk ziarah Wali yang umum terjadi dan menjadi laku umum bagi
masyarakat Islam Jawa di Indonesia. Berbagai penelitian antropologis mengenai
berbagai macam penjuru dunia. Melalui tulisan ini saya ingin berkontribusi dalam
penyajian data etnografis dari sebuah aksi performatif ritual ziarah Wali, dengan
kekhususan fenomena adalah Ziarah Wali Sunan Gunung Jati.
I . 5. 2 Signifikansi Praktis
Fokus penelitian saya tekankan pada kerja yang dilakukan seseorang hingga ia
menjadi seorang wali. Hal ini saya angkat sebagai salah satu hal utama yang menjadi
hakikat manusia yang hadir melalui jalinan kerja. Tulisan ini yang berfokus pada
kajian mengenai kerja sebagai hakikat keberadaan manusia dalam kebudayaan,
diharapkan juga bisa menjadi refleksi kita sebagai bagian dari masyarakat, sebagai
manusia itu sendiri.
Perenungan-perenungan mengenai ziarah wali ini dirasakan perlu oleh saya
ketika bentuk-bentuk kelompok Islam yang melakukan purifikasi Islam menolak
dengan tegas tanpa memberi celah untuk sebuah diskusi mengapa bentuk ziarah Wali
itu tetap setia dilakukan dan diperlukan oleh para pelakunya. Praktik ziarah Wali
dalam hal ini terus mempertahankan Islam sebagai sebuah agama yang menyangkut
pengetahuan juga tata perilaku hidup—mendapatkan bentuk-bentuk historisnya ketika
Islam yang dipahami—disebarkan melalui berbagai macam bentuk dialog yang
dilakukan oleh para Wali sebagai penyebar agama Islam di berbagai wilayah dan
berbagai kebudayaan. Menolak ziarah Wali dalam dunia Islam sama halnya dengan
sebuah upaya untuk membuat agama Islam tercerabut dari akar-akar historisnya,
dimana pengetahuan menjadi konkret melalui pengalaman. Wali sebagai gelar
kultural yang tidak ada satu lembagapun secara legal mengeluarkannya, membuat
Wali sebagai kategori archetype ke-ilahiah-an dapat masuk ke berbagai bentuk
kebudayaan yang pada akhirnya membuat Islam terus tersebar, hidup dan di hidupi
oleh berbagai macam manusia di berbagai wilayah di Dunia ini. Fenomena Ziarah
Wali dalam hal ini memuat banyak sekali hal yang secara berlapis-lapis memuat
I . 6 KERANGKA KONSEPTUAL
I . 6. 1 Archetype
Archetype adalah salah satu kerangka konsep utama yang saya gunakan untuk
membaca dan menganalisis fenomena Ziarah Wali. Konsep archetype ini saya pinjam
dari Mircea Eliade. Archetype sendiri bisa diartikan sebagai “model yang dijadikan
contoh” (exemplary models) atau “paradigma” atau “pola-pola dasar. Archetype
dalam term Eliade sebenarnya merujuk pada masyarakat archaic, dimana seluruh
aspek kehidupan dari masyarakat archaic hampir semuanya merupakan aspek sacred,
jelas Eliade.
Perlu membuat perbedaan memang antara masyarakat archaic dan masyarakat
modern. Hal ini karena adanya perbedaan mendasar dari keduanya. Eliade menjelaskan bahwa “Perbedaan pokok antara manusia yang berasal dari masyarakat kuno, masyarakat tradisional, dan manusia dari masyarakat modern dengan jejak
Yahudi-Kristen yang kuat terletak dalam fakta bahwa manusia kuno merasakan
dirinya tidak dapat dipisahkan dengan Kosmos dan irama kosmik, sedangkan
manusia yang berasal dari masyarakat modern menyatakan dirinya berhubungan hanya dengan sejarah”. (Eliade, 2002: ix-x)
Archetype adalah hal yang menyatukan manusia archaic dengan kosmos dan
irama kosmiknya. Lewat Archetype, masyarakat archaic melakukan tindakan yang
dilakukan juga oleh kekuatan ke-Ilahi-an dalam waktu lampau. Archetype yang
diartikan sebagai paradigma atau pola-pola dasar mengenai sesuatu hal sebenarnya
memiliki kesamaan dengan konsep dari Clifford Geertz tentang model of—model for.
Kesamaan dari keduanya adalah ketika kedua konsepsi dari Eliade (Archetype)
ataupun Geertz (model of—model for) sebenarnya membahas suatu pola yang
paradigmatik. Archetype dalam pembahasan Eliade namun bukan hanya sebagai
“model yang dijadikan contoh” (exemplary models) seperti pada model of—model for
dari Geertz, namun Archetype di sini merupakan sebuah pola berupa pengetahuan
Archetype dalam penjelasan Eliade kemudian selalu direlasikan dengan term Celestial (ke-Ilahi-an). Hal ini untuk menekankan kaitan kesakralan dalam tiap
tindakan (Archetype) manusia archaic dengan tindakan yang telah dilakukan
sebelumnya oleh dewa, leluhur atau hero yang memiliki hubungan tanda (iconic dan
indexical) aktifitas penciptaan oleh Tuhan. Celestial archetype menjadi sebuah konsep dasar yang saya gunakan dalam pembahasan penelitian dan tulisan saya ini.
Celestial Archetype adalah sebuah pola dasar yang telah diwahyukan—oleh
Adi-Manusiawi dan Transendental—semenjak penciptaan awal semesta, yang kemudian
digunakan untuk menjelaskan seluruh/segala kejadian-kejadian dalam/selama
berlangsungnya kehidupan.
I . 6. 2 Ritual
Celestial Archetype ini kemudian menjadi pola dasar yang menghubungkan seluruh eksistensi alam semesta dengan dewa-dewa atau Tuhan sebagai penciptanya.
Masyarakat pra-modern percaya dan yakin bahwa Tuhan telah
menggariskan-menampakkan seluruh kejadian di alam semesta pada saat awal penciptaan, dan
seluruh kejadian-kejadian yang kemudian nantinya berlangsung didalam
keberhidupan alam semesta adalah sebuah pengulangan atas celestial Archetype.
Bentuk-bentuk nyata dari Celestial Archetype dinyatakan oleh Eliade berupa
mitos-mitos, pengetahuan-pengetahuan dan ritus-ritus (dimana mitos dan pengetahuan itu
diperformakan).
Penjelasan Eliade tentang Celestial Archetype kemudian diturunkan ke dalam
berbagai macam sub-pokok kultural yang hadir dalam ranah praktik. Eliade
memaparkan tentang Celestial Archetype atas wilayah/region atau teritori.
Menurutnya, wilayah-wilayah tak berpenghuni hampir sama seperti wilayah-wilayah
chaos. Wilayah-wilayah chaos tak berpenghuni/ tak diolah/ tak diberbudayakan kemudian diolah, dihuni, diberdayakan untuk menjadikan wilayah tadi ke dalam
cosmos. Proses pengolahan tadi biasanya berupa ritual dalam masyarakat. Ritual tadi
Eliade tepatnya mengatakan bahwa :
by cultivating the desert soil, they in dact repeated the acts of gods, who organized chaos by giving it forms and norms. Better still, a territorial conquest does not become unreal until aftermore precisely, through ---the ritual of taking possession, which is only copy of ---the primordial act of the Creation of the World.(Eliade, 1959: 10)
..that is through the effect of ritual it is given a ‘form’ which makes it become real. Evidently, for the archaic mentality, reality manifest it self as force, effectiveness, and duration. Hence the outstanding realityis sacred ; for only the sacred is in an absolute fashion, acts effectively, creates things and makes them endure. The innumerable gerstures of consecration—of tracts and territories, of objects, of men, etc.—reveal the primitive’s obsession with the real, his thirst for being. (Eliade, 1959: 11)
Efek dari sebuah ritual adalah memberikan sesuatu “itu” bentuk yang membuatnya
menjadi nyata. Ritual sebagai bentuk nyata dari Celestial Archetype adalah
seperangkat form untuk memberikan kelahiran atas realitas/semesta atau
kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan. Dengan kata lain, ritual merupakan sebuah
pemberian kelahiran kembali atas segala sesuatu yang berkenaan dengannya14 untuk
menjadikannya semakin nyata dengan memasuki wilayah ke-Ilahi-an melalui
Celestial Archeytpe.
Konsep dari ritual ini yang akan saya jadikan landasan untuk melihat
fenomena Ziarah Wali dalam tulisan saya. Ritual ziarah Wali merupakan tindakan
dan aksi yang dilakukan manusia/para peziarah untuk menghubungkan diri mereka
dengan Kosmos dan irama kosmik yang terpancar dalam diri seorang Wali sebagai
bentuk celestial archetype (sebagai kelahiran kembali15 atas sesuatu yang telah
lampau dilakukan oleh Sunan Gunung Jati untuk menjadi leluhur, moyang dan Hero
dan sebagai bentuk imitasi atas apa yang dilakukan oleh Tuhan/dewa-dewa (Wali—
Al-Wali) di waktu mitikal penciptaan semesta).
Sebagai bentuk imitasi atas apa yang telah dilakukan Tuhan/dewa-dewa,
sebuah ritual yang dilakukan manusia juga menciptakan waktu mitikal. Tempat di
mana ritual itu dilakukan juga sejajar dengan tempat di mana awal penciptaan itu
dilakukan, sehingga biasanya tempat-tempat ritual memiliki kaitan tanda dengan
tempat-tempat mitikal yang menjadi pusat dunia. Tempat ritual, dengan kata lain,
juga menjadi salah satu axis-mundi16. Ziarah Wali sebagai ritual mengacu pada sosok
Wali (Archetype sebagai Hero/moyang dan sebagai Waliullah) sehingga sesuatu
berkenaan dengan Wali tersebut juga akan mendapatkan pancarannya. Ruang-waktu
yang ada di dalam kompleks makam Sunan Gunung Jati ini kemudian menjadi ruang
waktu mitikal yang jelas berbeda dengan ruang waktu modern-progresif.
I . 6. 3 Ziarah
Ziarah saya transliterasikan kedalam konsepsi teoretik sebagai sebuah
performative action/aksi performatif, yaitu aksi yang berkenaan dengan diri individu
sebagai performer atas pengetahuan yang dimiliknya berkenaan dengan aksi tersebut.
Aksi performatif ini merujuk pada aksi yang dilakukan oleh para native dalam
kebudayaannya. Hal ini merujuk pada tulisan Victor Turner mengenai Anthropology
of Performance, bahwa “Performance is a speech behavior, the presentation of self
in everyday life, and stage of drama or social drama” (Victor Turner, 1987: 7). Sebagai sebuah ritual, saya juga melihat ziarah seperti apa yang diungkapkan Eliade
bahwa ritual itu merupakan bentuk performatif sebuah mitos dan archetype.
Ziarah yang dilakukan oleh berbagai masyarakat dalam satuannya—baik itu
satuan agama atau etnis—dijalankan sebagai sebuah ritual keagamaan di mana
seluruh hal yang berkaitan dengan ke-ilahiah-an bersemayam. Ziarah sebagai ritual
secara definitif mungkin lebih banyak diartikan sebagai sebuah perjalanan. Hal ini
diambil dari berbagai macam laku ziarah yang hampir kesemuanya merupakan
sebuah perjalan suci ke suatu tempat suci.
Fokus penelitian saya di sini adalah Ziarah Wali. Di dunia Islam sendiri masih
banyak perdebatan mengenai ritual ziarah Wali sebagai sebuah ibadah, namun
seetidaknya ada kaidah-kaidah atau juga batasan di mana ziarah Wali itu
diperbolehkan. Hukum fiqih dalam Islam sendiri memperbolehkah dilakukannya
ziarah, meskipun masih banyak perdebatan di antara ulama-ulamanya. Setidaknya ada
syarat di mana ziarah itu diperbolehkan dalam kaidah fikih Islam. Ziarah
diperbolehkan apabila itu untuk dzikrotul maut (mengingat kematian—bahasa Arab)
dan juga ziarah diperbolehkan apabila untuk meneruskan keimanan dan ketauhidan
sosok yang diziarahi.
Ziarah orang suci seperti Wali dalam dunia Islam memiliki kekayaan
fenomena. Kekayaan ini karena di dalam ziarah Wali, di dalamnya memuat juga
ziarah moyang, ziarah kubur dan ziarah tempat suci sekaligus. Wali dalam satu
wilayah kultural tertentu biasanya dianggap sebagai satu moyang penting bagi
masyarakat sekitarnya, sekaligus Wali dalam dunia Islam dianggap sebagai orang
suci, yang melaluinya kesucian ke-Ilahiah-an juga memancar.
Henri Chambert Loir dan Claude Guillot dalam bukunya berjudul “Ziarah dan
Wali dalam Dunia Islam” menyebutkan bahwa “ziarah kubur Wali ada diberbagai
macam wilayah dan masyarakat di berbagai macam kebudayaan dan Negara.
Kesemua fenomena ini menyerap kekhasan dari masing-masing wilayah ditempat dimana Wali itu hidup dan bersemayam. Hal ini dikarenakan ‘Wali’ sebagai sebuah gelar diberikan langsung oleh masyarakat dimana ia hidup sebagai bentuk apresiasi atas kerja besar yang ia lakukan.” (Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot, 2010: 16)
Ziarah Wali, adalah sebuah ritual yang dilakukan seseorang dengan
mengunjungi suatu tempat dimana Wali bersemayam untuk suatu tujuan tertentu;
dengan tempat tersebut. Ritual ini biasanya dilakukan baik sendiri17 maupun
berkelompok18, namun pemaknaan mendalam atas ritual ini biasanya dilakukan oleh
individu masing-masing peziarah.
Ziarah Wali pada dasarnya merupakan sebuah ritus perjalanan para peziarah.
Perjalanan ini mengacu dan mendapatkan bentuk reflektifnya pada sosok Wali.
Perjalanan dalam ritual ziarah ini berkaitan dengan perjalanan fisik maupun
perjalanan spiritual/metafisik yang dilakukan peziarah. Ziarah Wali bukan merupakan
perjalanan yang mudah. Biasanya seorang peziarah melakukan perjalanan fisik serta
laku dan tirakat. Eliade mengungkapkan bahwa:
“Jalan yang mengarah pada pusat merupakan ‘jalan yang sulit’ (durohana), dan hal lain ini diverifikasikan pada setiap tingkat realitas: lilitan yang sulit dari sebuah candi (seperti Borobudur), ziarah ke tempat suci (Mekkah,
Hardwar, Jerusalem); petualangan yang berbahaya pada ekspedisi heroic
dalam mencari Rampasan Emas, Apel Emas, Jamu Hidup; petualangan dalam labirin; kesulitan pencari jalan menuju diri, menuju ‘pusat’ keberadaannya, dan sebagainya. Jalan tersebut sulit, penuh dengan bahaya, karena itu, dalam
kenyataannya, merupakan ritus perjalanan dari yang profane ke yang sacral,
dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian, dari kematian menuju kehidupan, dari manusia menuju ilahi.” (Eliade, 2002: 18)
Perjalanan yang dilakukan para peziarah dalam rangka ziarah Wali merupakan ritus
perjalanan menuju pusat Dunia yang disimbolkan dalam diri Wali dan makamnya.
Perjalanan para peziarah dari yang profan menuju ke yang sakral, dari yang
sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian.
I . 6. 4 Wali
نونزيح مه لاو مهيلع فوخ لا الله ءايلوأ نإ لاأ
“..Ingatlah Wali-Wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati..” Al-Quran Surat Yunus Ayat 62.
17 Peziarah individu, berdasarkan temuan lapangan biasanya melakukan ziarah dalam waktu yang
cukup lama dengan menjalani laku dan tirakat.
18 Peziarah rombongan, berdasarkan temuan lapangan biasanya melakukan ziarah dalam waktu yang
Wali sebagai kekhususan kajian yang saya ambil dalam frame Ziarah adalah
kunci penting untuk memahami logic dari sebuah kebudayaan yang sedikit banyak
akan tersinggung dalam tulisan saya ini. Untuk itu perlu untuk memberikan gambaran
mengenai Wali sebagai sebuah konsep untuk dapat memasuki dan memahami
bagaimana posisinya. Wali dalam Bahasa Arab berasal dari huruf W-L-Y
(Wawu)-(Lam)-(Ya), melalui susunan huruf ini dalam Bahasa Arab W-L-Y memiliki berbagai
macam penggunaan dan perubahan bentuk dari Al-Wali; Awliya; Walayah yang
masing-masing dari kata tersebut saling berhubungan maknanya satu sama lain.
Al-Wali adalah salah satu nama-nama Indah Allah atau Asmaul Husna memiliki arti “Sang Pelindung”. Kata ini salah satunya muncul dalam beberapa Surat dalam Al -Quran, salah satunya adalah Surat Al-Baqarah Ayat 107:
رٍص ِي ْ
ر وصَِلِلِلٍّ
رٍنِْ
رلن
رِِ
رِن ٍِ ِ
رٍنِوْ
رٍك ملَ
ملْ
رلِ
رِأٍْل ٍ ِ
رلِ
رِسِلِملْاتَِ
ر لٍك ْ
ر هلَ
رلِ
رانلَّ
رٍكلكٍملْ
رٍكلَلَّ
(..tidakkah kamu tahu bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada
bagimu pelindung dan penolong selain Allah..)
Awliya adalah bentuk jamak dari kata Wali. Michel Chodkiewicz19 alam tulisannya
dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul “Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam”
menjelaskan perihal Wali; Wali merupakan kata yang mempunyai banyak arti
(bersifat musytarak, bersifat polisemi), yang dari sudut doktrin bukannya tanpa
akibat: istilah ini dapat dipakai juga untuk manusia, bak untuk mengartikan hubungan
persahabatan dan saling menolong antar sesama (9:72,73; 9:23,dst.), atau untuk mengartikan status umat sebagai “orang yang dilindungi”, atau sebagai “klien” dalam artian Latin Asli, yaitu “clien” dimata Allah yang merupakan pelindung atau
19 Adalah salah satu professor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris; beliau
Tirmidzi20 dalam kitab yang ditulisnya (Zuhd) yang juga dikutip oleh Michael Chodkiewicz, “Ketahuilah bahwa diantara hamba-hamba Allah ada juga yang bukan
nabi, bukan juga syuhada, dan bahwa para nabi dan syuhada iri karena mereka dekat
dengan Allah (…) itulah awliya-awliya Allah”.” (Chodkiewicz, 2010: 11)
Michel Chodkiewicz dalam tulisannya tentang “Konsep Kesucian dan Wali Dalam Islam” menyebutkan bahwa “Para mufasir Islam (ahli tafsir) melakukan klasifikasi terhadap penafsiran kata Wali ini. Pengklasifikasian tersebut
dikelompokkan ke dalam dua hal pokok, yang keduanya sama-sama berasal dari
konsep kedekatan : yang satu mencakup makna yang terkait dengan kedekatan
sebagai keadaan (persahabatan, kekerabatan, perlindungan), sedangkan yang lain
mencakup makna yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang menghasilkan baik
kedekatan (tawliyah misalnya, yang berarti pengesahan kekuasaan) maupun yang
timbul dari kedekatan itu (wilayah misalnya, yang berarti pelaksanaan pemerintahan
atau hak kuasa [atas satu daerah]). Istilah Wali, yang dibentuk dari pola ganda tipe
fail, yang aktif dan sekaligus pasif, memungkinkan adanya kedua arti di atas, dan hal
itu akan terlihat ketika kita menemukan bagaimana arti-arti itu berbaur di sekitar
tokoh Wali sebgaimana didefinisikan oleh ilmu Wali (hagiology21), dan diilustrasikan
oleh manaqib (hagiografi22). Keseimbangan antara kedua aspek keWalian diatas—
yaitu antara kondisi Wali itu sendiri di satu pihak dan atribut-atribut atau kekuatan supranatural yang mencirikannya di lain pihak—akan sama sulit dipertahankan karena kekuasaan para Wali jauh lebih nyata daripada status spiritual yang menjelma dalam kekuasan itu.” (Chodkiewicz, 2010: 11-12)
Wali selalu terkait dengan walayahnya. Hal ini mengacu pada sebuah
hubungan kekuasaan baik itu kekuasaan spiritual ataupun bentuk transformasinya
20Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi, lebih dikenal dengan sebutan Imam Tirmidzi
Salah seorang ahli hadist, beliau adalah murid langsung dari Imam Bukhari, salah satu rujukan pokok dalam hadist.
21 Ilmu mengenai Wali/sainthood, Lihat Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam buku mengenai kumpulan tulisan tentang fenomena Wali berjudul “Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam” bagian kata pengantar.
yang paling konkret ke dalam kekuasaan sosial-kultural. Selain hal tersebut dalam
dunia Wali dikenal dengan konsep Karamah & Berkah, kedua hal ini biasanya
melekat dan diidentikkan dengan kehadiran sosok Wali dalam satu wilayah tertentu.
I . 6. 5 Berkah, Karomah dan Wasilah
Karamah adalah sesuatu yang berbeda dengan mukjizat yang biasa dimiliki dan lekat dengan para nabi. Karamah biasanya dimiliki oleh para Wali karena hubungan kedekatannya dengan Allah. Dr, ‘Abd al-Basith Muhammad dalam bukunya “Semesta Ruh” menuliskan bahwa “Karamah dimiliki oleh para Wali selama masih hidup dan sesudah mati, sebagaimana pendapat jumhur Ahlusunnah. Tidak ada
satu pun di antara keempat mahdzab yang menafikkan keberadaan karamah pada
Wali sesudah ia mati. Justru, keberadaan karamah setelah kematian lebih bisa
dipastikan, sebab kala itu jiwa sudah bersih dari segala noda dan kotoran; karena itu
ada yang mengatakan : Barang siapa karamahnya tidak muncul setelah ia meninggal
seperti halnya ketika ia masih hidup, berarti ia tidak shadiq (jujur, tulus, bersih atau murni)” (2004: 62).
Karamah berbeda dengan berkah, dalam sebuah ceramahnya Ustad
Wijayanto23 menjelaskan tentang konsep berkah, yaitu sebuah nilai tambah ketika
sesuatu hal telah melebihi fungsi biasanya (normalnya), seperti contoh, sepiring nasi
beserta lauknya akan cukup untuk dimakan maksimal 2 orang lapar, namun ada 4
orang lapar yang kemudian membagi sepiring nasi tersebut dan keempat orang
tersebut sama-sama tercukupi kelaparannya, melalui hal tersebut makanan tersebut
yang biasanya cukup untuk 2 orang telah dapat cukup untuk dapat memenuhi
kebutuhan 4 orang sekaligus.
Berkah dan karamah adalah suatu yang lekat dengan Wali karena kedekatannya dengan Allah. Melalui kedekatannya (Wali) dengan Allah maka dalam
tradisi Islam, para Wali ini biasa dimintai tawassul/wasilah yang berarti perantara.
23 Ustad yang saya temui disebuah forum terbuka Kenduri Cinta yang biasa dilaksanakan di minggu
Wasilah juga disebutkan dalam Al-Quran salah satunya adalah surat Al-Maidah Ayat 35 berikut ini :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah 35)
Wasilah dalam ayat tersebut diartikan dengan mendekatkan, yaitu mendekatkan diri dengan Allah. Pada sebuah doa yang biasa dibaca setelah mendengarkan adzan juga
kata wasilah digunakan :
“Wahai Allah Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini; Berilah Muhammad hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan
bangkitkan untuknya kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah Engkau
janjikan”
Perantara dalam doa tersebut merujuk pada sosok Nabi Muhammad sebagai perantara
atas Allah dan ciptaan, dan kemudian juga berjalin dengan konteks kedudukan
dimana seseorang itu menjadi perantara. Hal inilah kemudian yang menjadi rujukan
dengan Allah serta hubungan kedudukan Sang Wali diantara ciptaan Allah
(ummat-dalam Islam) yang lain.
Bentuk-bentuk pemerantaraan biasanya adalah pemerantaraan doa dan
permohonan. Nama Wali yang memperantarai doa dan permohonan para umat
biasanya disebutkan dalam doa dengan maksud untuk mempercepat terkabulnya doa
dan permohonan. Wasilah tidak dimiliki oleh orang-orang diluar kalangan nabi, rasul
atau awliya, karena wasilah merujuk langsung kepada kedudukan/hubungan
kedekatan Wali dengan Allah.
Berkah, Karomah dan Wasilah kesemuanya merujuk dan berpusat pada Wali
sebagai sebuah gelar/posisi24 istimewa.Wali sebagai sebuah gelar (yang diberikan
oleh masyarakatnya) ataupun konsep (yang mengacu pada sebuah
AsmaulHusna-Allah) apabila dilakukan transliterasi kedalam kerangka teori Eliade dijelaskan
sebagai berikut; Wali sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakatnya sebenarnya
memposisikan seorang Wali sebagai Hero, moyang atau leluhur yang telah
melakukan kerja berkaitan dengan kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.
Disisi lain Wali sebagai gelar yang mengacu pada sebuah Nama-Allah merupakan
Celestial Archetype langsung yang merupakan sebuah imitasi/bentuk
persamaan/bentuk pemerantaraan dari Allah sebagai Tuhan itu sendiri.
Al-Wali sebagai salah satu nama Allah yang digunakan sebagai gelar kultural
maupun spiritual sekaligus menyiratkan satu pengkhususan/pembedaan atas satu
posisi manusia diantara manusia lain. Eliade mencontohkan bahwa:
“Diantara berbagai batu yang tidak terhitung jumlanya, salah satu batu menjadi suci— dan oleh karenanya dengan serta merta penuh dengan ada—karena ia merupakan
hierophany25, atau memiliki mana, atau karena ia muncul mempertingati tidakan
mistis, dan sebagainya. Objek Muncul sebagai wadah kekuatan yang beraasal dari luar
yang membedakannya dengan lingkungan sekitar serta membernya makna dan nilai.
24 Baik spiritual maupun kultural.
Kekuatan ini mungkin berada dalam substansi objek atau dalam bentuknya; sebongkah
batu mengungkapkan dirinya sebagai yang disucikan karena eksistensinya merupakan
hierophany: tidak dapat ditekan, tidak dapat dikalahkan, hal semacam itu sebagai
sesuatu yang tidak dimiliki manusia. Kekuatan ini melawan waktu; realitasnya
berpasangan dengan keabadian.” (Eliade, 2002. 4)
Lewat pengkhususan/pembedaan terhadap Wali—Wali dalam hal ini menjadi
celestial archetype juga salah satu pusat kosmik (axis-mundi) melalui hubungan dan
posisi khususnya (kekasih Allah) dengan Tuhan—segala sesuatu yang
berkenaannya26 juga akan mendapatkan sifat atau keistimewaannya atau pancarannya.
I . 6. 6 Kehadiran Wali sebagai Social Being
Bagi mereka yang percaya, para Wali boleh disebabkan tidak memiliki akar
sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidakhadiran”,
mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini. Karena mereka lepas dari maut,
mereka tidak terikat waktu (Catherine Mayeur-Jaouen dalam kumpulan tulisan “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, 2010: 61). Mengutip apa yang dipaparkan oleh Catherine bahwa Wali itu “ada dalam ketidakhadirannya” saya akan mengkajinya
dalam kekhususan kajian Ziarah Wali sebagai “ada” dalam kerangka ontologis dan
sosial sekaligus. Kajian ini juga guna memperjelas juga mengkonfirmasi tulisan beliau apakah Wali “ada dalam ketidakhadirannya” ataukah Wali “hadir dalam ketiadaannya” atau bahkan Wali “ada dalam kehadirannya”.
Saya akan membahas “ada” seorang Wali lebih jauh ke dalam
kehadiran/presence. Ada sebagai ‘Ada’ adalah jalinan atas berbagai macam benda/hal
yang mengada. Jalinan ‘ada’ ini seperti yang juga dijelaskan oleh Jean Paul Sartre
sebagai transfenomenality of being27. Ketika berbicara ‘ada’ pada benda-benda hal ini
tidak seturutnya mutlak dapat diterapkan ‘ada’ pada fenomena sosial. Membicarakan ‘ada’ dalam fenomena sosial ini kita harus merujuk pada apa yang juga diungkapkan
26 Makam, sumur, keraton dan benda lainnya yang memiliki hubungan tanda dengan Wali.
27Lihat buku “Four Phenomenology Philosopher. Huserl, Sartre, Heidegger & Ponty ” yang ditulis
Husserl tentang kesadaran28. Kesadaran memainkan peranan penting dalam pembahasan ‘ada’ diranah sosial.
Bahasan kehadiran/presence, dalam kajian saya mengenai ziarah, adalah
kehadiran suatu ‘ada’ dalam tataran fenomenologis. Kehadiran saya artikan dengan “bagaimana sebuah benda ‘ada’ tidak hanya secara materiil (ontologis) namun juga ‘ada’ dalam sebuah kesadaran manusia (social being/presences/kehadiran) sebagai
subjek pada sebuah jalinan kerja dalam ruang sosial-kultural tertentu”. Kesadaran
manusia berkait dengan sebuah jalinan kerja kemudian saya kaitkan dengan konsep
(aspek) kesadaran sejarah atau kesejarahan dimana tiap-tiap individu dalam sebuah
kebudayaan memiliki pemaknaan masing-masing atas peristiwa yang terhadi terkait
dengan life history dan pengetahuan yang dimiliki individu tersebut, seperti juga yang
dijelaskan oleh Franz Boas.
Dikutip dari tulisan Tony Rudyansjah yang mengikuti pemikiran dan John Locke dan juga Adam Smith dalam bukunya “Alam, Kebudayaan dan Yang Ilahi”29 bahwa ketika seseorang melakukan kerja, sebenarnya ia tidak melakukan kerja untuk
dirinya sendiri—meskipun dirasa kerja merupakan upaya untuk diri sendiri—namun
ia melakukan kerja berkaitan dengan orang lain. Hal ini selaras dengan konsep
mengenai transfenomenality of being dari Sartre. Kerja hadir sebagai jalinan kerja,
hal ini yang juga dituliskan oleh Radcliffe-Brown bahwa kerja itu membuat suatu
sentiment-sentimen yang mengikat subjek-subjek yang hadir dalam (dan melalui)
kerja tersebut dalam satuan struktur kebudayaannya. Oleh karena itu saya mengambil
satu paradigma bahwa kerja yang dilakukan oleh tiap manusia merupakan suatu
upaya untuk membuat jalinan atau sentiment-sentiment kesatuan sosial dimana suatu
kelangsungan Kebudayaan juga bergantung pada hal tersebut.
28 Lihat buku “Four Phenomenology Philosopher. Huserl, Sartre, Heidegger & Ponty ” yang
ditulis oleh Christopher Macann halaman 3 & 28-33.
Kerja yang telah dilakukan oleh Wali Sunan Gunung Jati—kemudian dalam hal ini—menjadi sebuah sentiment pengikat suatu kesatuan sosial terkait dengan satu perkembangan kebudayaan di Tanah Pasundan. Pembahasan Kerja dalam ranah ini— seperti dalam pembahasan Eliade—juga terkait dengan proses pengolahan yang
dilakukan oleh Wali Sunan Gunung Jati dalam satu wilayahnya/walayahnya sebagai
seorang Wali. Pengolahan ini sebenarnya merupakan tindakan mitikal yang merujuk
pada pengolahan penciptaan semesta dari wilayah chaos menjadi wilayah yang
cosmos yang dilakukan oleh kekuatan Ilahi. Apa yang telah dilakukan Sunan Gunung Jati dalam kerjanya merupakan proses inisiasi atau perjalanan dalam rangka menjadi
seorang Wali. Melalui keber’ada’annya dalam sebuah kontinum, Wali Sunan Gunung
Jati menjadi bentuk-bentuk ontological being (melalui makamnya), social being
(melalui kerjanya) dan sebagai supreme being (melalui posisinya sebagai Wali).
I . 7 METODOLOGI
I . 7. 1 Metode Penelitian
Saya akan menggunakan metode observasi dan juga metode pengamatan
terlibat sepenuhnya dengan menggali data-data kualitatif dari berbagai informan yang
berkaitan. Saya juga akan melakukan penelusuran data historis dari berbagai macam
sumber baik dari para juru kunci serta rekam sejarah dari Keraton dan berbagai data
literatur lainnya yang dirasa cukup signifikan sebagai data penelitian ini. Kategori
informan saya pilah-pilah seperti peziarah untuk saya dapatkan data mengenai
keterkaitan peziarah dengan sang Sunan kemudian juga permohonan atau urusan apa
peziarah tersebut datang berziarah. Pada juru kunci makam sebagai pihak yang
mengetahui seluk beluk makam, saya akan menggali informasi seputar sejarah
makam, arsitektur makam, lokasi serta detil mengenai makam dan juga sejarah dari
sang Sunan sendiri. Sesepuh desa sebagai orang yang mengetahui dinamika historis
dari masyarakat sekitar makam dan desa terkait juga menjadi salah satu kategori
informan saya dan beberapa masyarakat terkait untuk menggali mitos-mitos yang
I . 7. 2 Pengumpulan Data
Penelitian ini dimulai dari kunjungan pertama saya pada bulan desember
2011. Pada saat tersebut, kompleks makam Sunan Gunung Jati ramai dikunjungi
masyarakat Cirebon yang ingin melihat perayaan arak-arakan pawai dalam acara
labuhan laut yang akan dilangsungkan pada esok harinya tanggal 25 bulan Desember.
Seluruh arak-arakan dari peserta pawai acara labuhan laut, sebelum menuju titik
pelarungan di Pantai Utara Jawa ini seluruh sesaji melewati area makam Sunan
Gunung Jati. Kunjungan saya berikutnya adalah di akhir bulan Januari. agenda kedatangan saya adalah untuk tinggal selama dua bulan (Februari—Maret) di Cirebon, guna mendapatkan data yang cukup atas segala yang diperlukan dalam
penelitian saya ini.
I . 8 SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan Saya ini terdiri dari lima Bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan
dan Latarbelakang mengenai penelitian saya ini. Bab kedua adalah Narasi Mitos yang
terdiri dari cerita mengenai Sunan Gunung Jati dan Makamnya. Bab ketiga adalah
Data Penelitian yang saya frame dalam Judul “Ziarah—Aksi Performatif”. Bab
Keempat adalah Analisis data temuan dengan judul “Ziarah Wali: Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik”. Bab kelima atau bab yang terakhir adalah kesimpulan saya berkenaan dengan penelitian yang saya lakukan.
Bab pertama dalam tulisan saya ini berisi latar belakang yang saya beri judul “Ziarah: Menghadirkan yang Lampau dan Memasuki yang Suci”. Kemudian fokus penelitian saya berkenaan dengan fenomena ziarah Wali yang menjadi subjek kajian
saya. Dari beberapa hal di latar belakang dan focus penelitian saya mengajikan
pertanyaan penelitian mengenai kekhususnan kajian saya Ziarah Wali ini. Berikutnya
adalah tujuan dari penelitian yang saya lakukan ini. Untuk menyusun tulisan saya ke
dalam satu keteraturan, saya menggunakan beberapa kerangka Konsep dan Teori.
Selanjutnya adalah sub-bab metode mengenai bagaimana saya melakukan
Wali. Terakhir adalah sistematika penulisan yang menjelaskan mengenai bagaimana
saya melakukan pemaparan atas temuan lapangan dalam kerangka pikir kedalam
sebuah tulisan.
Bab kedua saya menggambarkan data mengenai narasi mitos atas sosok Sunan
Gunung Jati berkenaan dengan genealogy keluarganya, mengenai kerja-kerjanya,
mengenai singgungan/hubungan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan
bagian-bagian penting dari Sunan Gunung Jati yang menjadi sebuah narasi mitos. Kemudian
di sub-bab terakhir dalam Bab ini saya menampilkan seluk-beluk makam tempat
Sunan Gunung Jati dan sosok signifikan lainnya yang terhubung dalam kehidupan
Sunan Gunung Jati.
Bab ketiga adalah data etnografis yang saya peroleh dalam penelitian yang
saya langsungkan. Bab ini berjudul “Ziarah—Aksi Performatif”. Di dalamnya saya
susun kedalam beberapa sub-bab yang keseluruhannya menjelaskan mengenai ritual
ziarah Wali sebagai detil sebuah ritual dan sebagai fenomena yang dijalani para
peziarahnya.
Bab keempat saya berjudul “Ziarah Wali: Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik”. Disini saya memaparkan mengenai fenomena ziarah wali sebagai bentik aksi performatif yang dilakukan para peziarah mengenai kehadiran seorang Wali
Sunan Gunung Jati berkaitan dengan Berkah, Karomah dan Wasilah sebagai realitas
dari kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan membuatnya abadi, bentuk
pancaran/Irama Kosmik dari Kosmos yang terpancar dari diri seorang Wali.
Bab kelima adalah kesimpulan mengenai penelitian dan fokus kajian
berkenaan dengan pertanyaan penelitian yang saya ajukan. Melalui serangkaian
tulisan saya yang terdiri dari lima Bab ini saya mengharapkan kedekatan
penggambaran saya mengenai sebuah fenomena Ziarah Wali Sunan Gunung Jati
BAB II
NARASI SUNAN GUNUNG JATI
II. 1 Sunan Gunung Jati: antara Mitos dan Kenyataan
Denys Lombard dalam sebuah buku berjudul “Nusa Jawa Silang Budaya—
Jaringan Asia” jilid ke-2 mengutip sebuah pernyataan dari Tome Pires mengenai
perkembangan Islam di wilayah Pasundan. Lombard dalam buku tersebut menyatakan bahwa “Ketika kira-kira tahun1515, Pires menyebut satu persatu beberapa pelabuhan di Pasundan, semuanya masih disebut ‘kafir30’ akan tetapi beberapa tahun kemudian tampaklah berturut-turut perkembangan pusat-pusat Islam di Cirebon dan di Banten yang mencontoh hampir selengkapnya ‘model’ kota-negara dan masih akan bertahan lebih dalam dari Demak, selama dua abad lebih (Lombard,
2008: 54).
Menarik ketika saya menemui seorang kepala juru kunci makam Sunan Gunung Jati bernama Jeneng Imron—yang menurutnya dirinya merupakan generasi ke-15 keturunan Sunan Gunung Jati—mengatakan jika tidak ada Sunan Gunung Jati disini, maka wilayah Jawa Barat ini akan terus “kafir.” Hal ini menarik ketika saya melihat data yang ditampilkan oleh Lombard dari tulisan Tome Pires yang juga
menyebutkan masa-masa sebelum pengislaman yang dilakukan Sunan Gunung Jati,
beberapa daerah di wilayah Pasundan seperti pada pelabuhan-pelabuhan masih ada dalam kondisi “kafir”. Jalinan antara teks sejarah yang diungkapkan oleh Pires dan Lombard pada waktu lampau saat perekaman data sejarah yang dilakukan mereka
ternyata juga diartikan dan dimaknai sama oleh kepala juru kunci, Jeneng Imron,
dalam waktu sekarang ketika saya mengadakan penelitian.
30Yang terutama disebut Tome Pires ialah Banten, Pontang, “Chegujde”, Tangeran, Kelapa (di situs
Beberapa kisah mengenai Sunan Gunung Jati ditulis dalam berbagai macam
versi. Penelusuran saya mengenai kisah Sunan Gunung Jati berujung pada penemuan
beberapa naskah Babad Cirebon yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI.
Babad Cirebon versi ini ditulis dengan bahasa Jawa kuno dengan ejaan lama, sebagai
contoh, di awal Babad Cirebon versi ini dituliskan:
Dandanggoela
Perpustakaan Nasional RI ini berbentuk seperti macapat dengan pembabakan berupa
kategori macapat seperti Dandanggoela, Megatroe, Mijil, Poetjoeng, dst. Naskah ini
sendiri tak memiliki sumber jelas siapa yang menuliskannya. Di dalam naskah
tersebut hanya berisi cerita berbentuk macapat seperti contoh yang saya berikan.
Banyak versi penceritaan mengenai Sunan Gunung Jati. Setidaknya dalam
penelusuran data historis, saya menemukan Babad Cirebon dari Naskah Perpustakaan
Nasional RI, Purwaka Caruban Nagari31, dan Babad Cirebon versi Klayan. Hampir
31
kesemuanya tidak ditulis dalam rentang waktu dimana Sunan Gunung Jati masih
hidup. Seperti Purwaka Caruban Nagari yang oleh Lombard juga disebutkan teks ini
relatif baru, dibuat sekitar tahun 1720 dan tidak dapat dijamin keasliannya.
Berbagai macam naskah tadi bukan berupa rekam sejarah murni melainkan
lebih kepada bentuk mitos mengenai perjalanan Sunan Gunung Jati dalam
mengarungi hidupnya. Setidaknya data historis dari Lombard mengungkapkan peran
penting Sunan Gunung Jati di wilayah Pasundan dalam melakukan penyebaran agama
Islam. Lombard menyatakan bahwa “Sumbangan Trenggana tampak besar dalam
pengislaman pantai barat Jawa. Ini terbukti dari meriam besar Ki Jimat yang dia
suruh permbuatannya di Demak dan ia krim ke Banten pada tahun 1528 (1450 saka).
Tetapi lebih berjasa lagi ialah seorang guru rohaniah lain, Nurullah32, yang lebih
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, seturut dengan nama bukit tempat
makamnya di utara Cirebon. Nurullah berasal dari Pasai di Sumatra Utara. Ia pergi ke
Mekah pada tahun 1522-1523, suatu pengalaman yang masih langka di kalangan
Muslimin Nusantara. Sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1524, ia menetap di
Demak, dan memperoleh kepercayaan Pangeran Trenggana untuk mengambil gelar
Sultan. Beberapa lama kemudian, ia beralih ke Banten dan menggairahkan
masyarakat Muslim serta berkuasa di sana sampai 1552. Lalu kekuasan
diserahkannya kepada anaknya, Hasanuddin, dan ia sendiri pergi ke Cirebon yang
sudah lama diislamkan, tetapi yuang digairahkannya lagi. Di sana ia menigngal
kira-kira pada tahun 1570 dan diganti oleh salah seorang dari sekian banyak keturunannya yaitu Pangeran Ratu.” (Lombard, 2008: 54-55)
Cerita yang diambil oleh Lombard menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati
berasal dari Pasai namun kenyataan dilapangan oleh para juru kunci, terutama kepala
juru kunci yang menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Mesir33 dari
telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam bentuk transkripsi tadi pada tahun 1972: Penanggung Djawab Sedjarah Tjirebon dan staf Kaprabonan Lewahwungkuk Tjirebon. Lihat Denys Lombard “Nusa Jawa Silang Budaya—Jaringan Asia” halaman 395.
32 Lihat dan bandingkan dengan tulisan P. A Hoesein Djajadiningrat dalam buku “Masa Awal Kerajaan Cirebon” halaman 28.
garis ayahnya. Hal ini diperkuat ketika saya berkunjung ke Keraton Kasepuhan, di
tempat ini barang-barang dari mesir seperti zirah besi, mangir sebagai tempat
menyimpan surat, peti-peti dengan ornamen Mesir disimpan. Bukti berupa
peninggalan-peninggalan tersebut34 memang mengindikasikan bahwa Sunan Gunung
Jati sebagai Sultan pertama Kesultanan Cirebon berasal dari Mesir.
Tulisan dari Lombard yang mengacu pada nama Sunan Gunung Jati mungkin
akan sedikit terklarifikasi dengan data historis lainnya. R. A Kern dalam sebuah
tulisan berjudul Masa Awal Kerajaan Cirebon35 menyebutkan bahwa “Pada tahun
1521 orang-orang Portugis merebut Pase dari Malaka, suatu tempat perdagangan di
Pantai Utara Aceh. Di sini bertempat tinggal seorang guru agama yang disebut oleh
de Baros Faletehan dan Falatehan. Karena sekarang tempat tersebut telah jatuh di
tangan kaum kafir dan karena ia tidak mau tinggal di sana, maka ia mengundurkan
diri ke wilayah Islam, ia pergi ke Mekkah, tinggal disana 2 a 3 tahun, kembali,
didapatinya Pase masih di tangan orang-orang Portugis, melanjutkan perjalanannya
ke Demak di mana ia meng-Islamkan rajanya, Demikian de Barros. Tetapi hal
terakhir ini adalah tidak benar. Demak sudah Islam, tetapi Faletehan36 mungkin
bekerja disana untuk kepentingan Islam. Raja sangat menyukainya dan memberikan
saudara perempuannya untuk dijadikan isterinya. Ia tidak lama tinggal di Demak, raja mengutusnya ke Banten (kota Pasundan) untuk mengislamkan negeri tersebut” (Kern dan Djajadiningrat, 1973: 15-16).
Di buku tersebut ia lebih menekankan pada nama Faletehan sebagai Sunan
Gunung Jati, bukan nama Sunan Gunung Jati itu sendiri seperti yang diungkapkan
oleh Lombard37. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati sendiri Faletehan yang
diceritakan oleh Lombard ataupun R. A Kern dimakamkan di samping makam Sunan
34
Lihat lampiran 7
35Merupakan teks terjemahan dari teks asli “Het Javaanse Rijk Tjerbon in de eerste eeuwen wan zijn bestaan”.
36Lihat dan bandingkan dengan buku “Sejarah Daerah Jawa Barat” halaman 86 dan halaman
104-105.
37 Meskipun lebih menekankan pada nama Faletehan, R. A Kern dalam bukunya tersebut pada
Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya buku kecil
yang diterbitkan dibawah perintah keraton kasepuhan pada tahun 1989 berjudul “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” yang ditulis oleh Hasan Basyari. Pada awal buku ini, ditulis bahwa Faletehan bukanlah Sunan
Gunung Jati, meskipun banyak data sejarah menuliskan keduanya sama, namun
mereka berbeda dan keduanya terjalin dalam hubungan pengembangan Islam di tanah
Jawa. Makam mereka berdampingan di kompleks makam utama yang terletak di
gerbang ke Sembilan Kompleks Makam Sunan Gunung Jati.
Buku yang diterbitkan di bawah perintah Keraton Kasepuhan bisa saya temui
ketika saya mengunjungi Keraton Kasepuhan. Di sana buku ini dijual bebas, sama
halnya di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Pada saat saya mengadakan
penelitian mengenai sejarah seputar makam dan Sunan Gunung Jati, hampir kesemua
juru kunci yang saya tanyai menyuruh saya membaca buku tersebut38, saat saya
mencoba mendesak bahwa saya ingin memperoleh data langsung dari para juru kunci
mereka menyebutkan bahwa banyak sejarah detil yang terjadi juga tidak mereka
ketahui jadi lebih baik mengambil langsung dari buku tersebut. Hal ini juga
diungkapkan oleh kepala juru kunci makam bernama Jeneng Imron, dalam sebuah
wawancara saya dengan beliau, Jeneng Imron menyarankan saya untuk membaca “buku kuning” yang diterbitkan oleh Keraton Kasepuhan sebagai sumber utama saya mengetahui seluk beluk makam dan sejarah mengenainya juga sejarah mengenai
Sunan Gunung Jati.
“Buku kuning” yang berjudul “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” yang diterbitkan pada tahun 1989, dalam penelusuran data
sejarah yang saya lakukan ternyata isinya sama persis39 dengan sebuah buku yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berjudul “Sejarah Kerajaan
Tradisional Cirebon” yang diterbitkan pada tahun 2001. Pada kedua buku tersebut
38“Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya”, Ditulis oleh Hasan Basyari
dibawah perintah Keraton Kasepuhan
diceritakan mengenai kisah dan asal-usul Sunan Gunung Jati. Secara singkat dari
kedua buku tersebut menuliskan perjalanan kehidupan Sunan Gunung Jati sebagai
berikut:
Sunan Gunung Jati bernama asli Syarif Hidayatullah, Putra pertama dari dua bersaudara dengan adiknya bernama Syarif Nurullah. Ayah Sunan Gunung Jati adalah seorang penguasa kota Isma’illiyah, Mesir, bernama Syarif Abdillah dan ibunya seorang putri Kerajaan Galuh atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Padjajaran, Putri dari Prabu Siliwangi, Nyi Ratu Rarasantang atau dikenal kemudian Syarifah Muda’im setelah pernikahannya dengan Syarif Abdillah. Jelas berbeda dari tulisan-tulisan seperti R. A Kern dan Lombard yang menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Falatehan yang berasal dari Pasai.
Syarif Hidayatullah kecil tumbuh besar di lingkungan keluarga ayahnya, dan ayahnya memerintahkan putra-putranya semenjak kecil untuk berguru kepada para ulama terkemuka disana. Beberapa guru yang merupakan guru Syarif
Hidayatullah berasal dari Thariqat40 Syadzili dan Thariqat Kubrawiyah, yaitu
Syaikh Ibnu Athailah Assakandari Al Syadzili, seorang tokoh besar islam yang menulis kitab Al-Hikam, kemudian Syaikh Najmuddin Al-Kubro, seorang tokoh besar dalam pendiri Thariqat Kubrowiyah. Pada usia sekitar 20 tahun-an Syarif Hidayatullah sempat disuruh ayahnya untuk berguru ke
beberapa ulama Tassawuf41 di Baghdad, Irak.
Pada usia 20 tahun-an, Syarif Hidayatullah dan saudaranya, Syarif Nurullah, ditinggalkan oleh ayahnya yang tutup usia. Sebagai putra dari ayahnya yang paling tua, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan ayahnya sebagai pemimpin kota Isma’iliyah, namun karena Syarif Hidayatullah telah berjanji
pada ibundanya untuk menjadi mubaligh42 di tanah Caruban, maka saudaranya
Syarif Nurullah kemudian menggantikan kewajiban Syarif Hidayatullah untuk menjadi pemimpin kota Isma’iliyah.
Beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah menjadi pemimpin kota Isma’iliyah, ibundanya, Syarifah Muda’im, beserta kakak beliau Syarif Hidayatullah meninggalkan Syarif Nurullah untuk kembali ke tanah Jawa. Perjalanan panjang dari Kota Isma’iliyah ke Cirebon memakan waktu yang tak sedikit. Pada tahun 1475 keduanya sampai di tanah Cirebon. Pada saat kembalinya Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah, Syekh Idlofi Mahdi, guru dari Pangeran Cakrabuanan dan Syarifah Muda’im telah meninggal. Beliau dimakamkan di tempat dimana beliau mengajar dan menyebarkan Agama Islam dengan gemilang yaitu Bukit Gunung Jati.
40 Kelompok pergerakan spiritual Islam atau seperti Ordo dalam Agama Katolik. 41 Bidang ilmu dalam Islam mengenai sisi esoteris spiritual.
Bertujuan untuk selalu dekat dengan gurunya, Syarifah Muda’im meminta untuk tinggal bersama putranya Syarif Hidayatullah dikampung pasambangan dekat Bukit Gunung Jati. Oleh Pangeran Cakrabuana, keduanya diperkenankan tinggal di Pertamanan Gunung Sembung yang telah dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. Tinggalnya Syarif Hidayatullah dan Syarifah mudaim disana juga sambil mengajarkan Agama Islam sebagai penerus
Pangguronan Islam Gunung Jati yang telah didirikan oleh Syekh Idlofi Mahdi
Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Nyi Ratu Pangkungwati pada tahun 1479, karena usia Pangeran Cakrabuana telah semakin lanjut, maka Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannya atas Negeri Caruban kepada menantu sekaligus keponakannya Syarif Hidayatullah
dengan gelar SUSUHUNAN43 atau SUNAN. Pada tahun pertama
pengangkatannya sebagai penguasa negeri Caruban, Sunan Gunung Jati melakukan kunjungan ke Pajajaran. Kunjungan Sunan Gunung Jati ini guna memperkenalkan diri dan sungkem kepada Prabu Siliwangi yang merupakan Eyang/Kakek dari Sunan Gunung Jati. Selain untuk mengunjungi kakeknya tersebut, Sunan Gunung Jati mengajak Prabu Siliwangi untuk memeluk agama Islam, namun Prabu Siliwangi menolak untuk menjadi seorang muslim, meskipun demikian, beliau tidak menghalangi cucunya tersebut untuk mengembangkan dan mengajarkan Agama Islam di wilayah Padjajaran.
Sunan Gunung Jati juga melakukan perjalanan ke daerah dimana Islam sudah cukup dikenal yaitu Serang, Banten. Disana beliau disambut baik oleh Adipati Banten, Sunan Gunung Jati juga kemudian diperkenalkan dengan Nyi Ratu Kawanganten, anak dari Adipati Banten, yang akhirnya dipersunting oleh Sunan Gunung Jati. Sejak saat itu, hubungan antara dua negeri Islam ini terjalin dengan baik. Melalui Nyi Ratu Kawunganten, Sunan Gunung Jati memiliki putra-putri yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking.
Berita mengenai seorang mubaligh asal kota Isma’illiyah yang menjadi
pemimpin Nagari Caruban ini terdengar oleh Demak yang baru setahun berdiri sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Saat itu Demak dipimpin oleh Raden Patah yang bergelar Sultan Demak. Tepatnya pada tahun 1478 Demak berdiri, setelah Raden Patah berhasil menumbangkan kekuasan Prabu Girindrawardhana atas Majapahit yang bergelar Brawijaya VII.
Perkembangan Agama Islam yang begitu pesat di Nagari Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah ini membuat Raden Patah bersama para mubaligh lainnya yang telah bergelar Sunan menetapkan Syarif Hidayatullah
43 Dalam sebuah penelusuran saya ke berbagai situs bersejarah mengenai Wali dan Sunan di tanah
penguasa Nagari Caruban sebagai Penetap Panata Gama Rasul di tanah
Pasundan44. Syarif Hidayatullah juga kemudian diundang ke Demak untuk
menghadiri musyawarah para Sunan dalam menyusun strategi pengembangan Islam di Jawa serta rencana untuk membangun Masjid Agung Demak. Disana Syarif Hidayatullah juga ditetapkan sebagai Sunan Cirebon dengan gelar Sunan Gunung Jati. Pertemuan ini juga yang mengawali terbentuknya dewan Wali Songo yang terdiri dari :
6. Maulana Raden Syahid : Sunan Kalijaga – Kadilangu-Demak
7. Maulana Raden Prawata : Sunan Muria – Kudus
8. Maulana Malik Ibrahim : Sunan Gresik – Gresik
9. Maulana Syarif Hidayatullah : Sunan Gunung Jati – Cirebon
Pembentukan dewan Wali songo ini memperkuat jaringan dan kepentingan untuk mengembangkan Agama Islam ditanah Jawa, oleh karena itu Raden Patah menyarankan agar Caruban dijadikan Kesultanan yang tidak lagi harus menghaturkan upeti kepada Pajajaran yang biasa disalurkan melalui Kadipaten Galuh. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan Islam di wilayah kadipaten-kadipeaten tersebut dapat berkembang dengan cepat.
Kembalinya Sunan Gunung Jati ke tanah Caruban, beliau mendirikan Kesultanan Pangkungwati, seperti permintaan para Raden Patah, dengan Sunang Gunung Jati Syarif Hidayatullah sebagai Sultan pertamanya. Berikut
nama-nama Sultan Cirebon sampai dengan pecahnya Kesultanan
Pangkungwati menjadi Kanoman, Kasepuhan dan Kacirebonan :
1. Syarif Hidayatullah + Nyi Ageng Tepasari (Putri Pembesar Majapahit)
2. Moh. Arifin (Pangeran Pasarean) + Nyi Mas Ratu Nyawa (Putri Raden Patah)
3. Pangeran Sedang Kamuning (Dipati Carbon I) + Nyi Ratu Wanawati (Putri
Bagus Pasai/ Fatahilah)
4. Pangeran Mas (Panemban Ratu I) + Ratu Gelampok (Pajang-Putri Raden Jaka
Tingkir)
5. Pangeran Sedang Gayam (Dipati Carbon II) + Ratu Mataram (Putri Senopati
Mataram)
6. Pangeran Karim (Panemban Ratu II/ Panemban Girilaya) + Putri Sultan
Mataram (Putri Amangkurat I)
Pangeran Martawijaya Pangeran Kertawijaya Pangeran Wangsakerta
Sultan Raja Syamsudin Sultan Moh. Badrudin Panembahan Tohpati Sultan Kasepuhan I Sultan Kanoman
Pendirian Caruban sebagai sebuah Kesultanan kemudian menjadi ancaman bagi Pajajaran, karena dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap negeri-negeri lainnya. Prabu Siliwangi kemudian mengirim satu angkatan perang berjumlah enam puluh orang yang dipimpin oleh Tumengung Jayabaya untuk menangkap Sunan Gunung Jati. Oleh Sunan Gunung Jati, pasukan tersebut dapat ditaklukkan tanpa membutuhkan banyak tenaga. Enam puluh orang pasukan beserta Tumenggung Jayabaya kemudian menyerah dan tidak kembali lagi ke Pajajaran. Bertambahnya warga dari Pajajaran semakin menjadikan pengaruh Cirebon bagi negeri-negeri lainnya di wilayah Pajajaran, seperti negeri Surakanta, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan negeri asal Pedukuhan Caruban, Singapura, yang sudah melebur diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon.
Perluasan Pelabuhan Muara Jati yang dilakukan dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati menambah ramainya perdagangan antar nusa bahkan sampai ke manca nagara. Saat itu yang terbanyak adalah pedagang dari
Tiongkok yang kebanyakan membawa barang-barang hiasan dari