• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM AKTIVITAS PERDAGANGAN

4.2 Kehidupan Enam Orang Wanita Bakul

Bakul kecil yang berjualan di Pasar P ucok cukup ba nyak

dua puluh orang. Seperti wanita pedesaan Jawa pada umumnya, mereka juga ikut membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan berdagang. Mereka berjualan dengan menggunakan karung atau pun terpal untuk mengalasi barang dagangannya, kecuali mereka yang menjual makanan, mereka menggunakan tampah atau baskom untuk tempat dagangannya. Mereka setiap hari dengan sabar menunggui barang dagangannya di Pasar Pucok.

Sebagai contoh kasus, disini penulis memaparkan sebagian kecil dari gambaran kehidupan enam orang wanita bakul dari desa Sumber Bahagia. Dari studi kasus ini diharapkan dapat diungkapkan secara lebih mendalam faktor- faktor yang menyebabkan mereka terlibat dalam perdagangan. Berikut ini pemaparan tentang keenam wanita bakul yang diambil sebagai responden.

4.2.1 Bu Joyo

Bu Joyo merupakan salah satu responden yang berjualan tempe, dan ia merupakan responden tertua dari enam responden dalam penelitian ini. Walaupun usianya sudah mencapai 65 tahun, tetapi ia masih aktif berjualan, ke sawah, ke ladang, mencarikan rumput untuk kambing-kanbingnya, maupun mengerjakan rutinitas rumah tangga lainnya. Selintas terlihat bahwa apa yang dikerjakan tidak selaras dengan usianya yang sudah tua. Dalam satu hari kurang lebih selama 12 jam lamanya ia bekerja, mulai dari mengolah

kedelai, menjual ke pasar, mengurus rumah tangga sampai pergi ke ladang. Semua aktivitas dan rutinitas itu ia kerjakan dengan senang hati dan tanpa mengeluh.

Wanita yang berasal dari desa Sumber Bahagia ini mempunyai tujuh orang anak, lima orang sudah menikah sedangkan yang dua orang masih bersekolah yaitu STM dan SMP. Walaupun Bu Joyo tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, namun hampir semua anaknya mengenyam pendidikan sampai bangku SMA, kecuali yang masih bungsu dan sekarang masih duduk di bangku SMP. Bu Joyo dengan susah payah menyekola hkan anak-anaknya karena, menurutnya pendidikan merupakan hal yang sangat penting.

Bu Joyo mulai berdagang sejak usia 15 tahun. Pada waktu itu, ia masih berjualan gula, beras, tempe dan sebagainya termasuk juga bumbu-bumbu dapur. Di usia itu Bu Joyo hanya membantu ibunya. Namun karena terus- menerus rugi, akhirnya ia memutuskan untuk berjualan sendiri. Awal mula berjualan sendiri Bu Joyo berjualan tempe, sama seperti orang tuanya. Sebagai modal awal, ia meminta bantuan oarng tuanya. Ia mengambil dagangan orang tuanya, menjualkannya dan mengambil untung sedikit demi sedikit dan hasil itu kemudian digunakan untuk membuka usaha sendiri yang bertahan sampai sekarang ini. Bu Joyo bekerja memproses kedelai mulai pukul 04.30 pagi hari, kemudian sambil merebus

kedelai ia juga mengerjakan pekerjaan rumah sampai pukul 06.30, lalu setelah itu baru Bu Joyo berangkat ke Pasar Pucok untuk menjual tempe yang sudah jadi, yang sudah di buat dua hari sebelumnya. Dalam menjual tempe ini, biasanya ia hanya menjual dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, karena biasanya tempe hasil buatannya seringkali sudah dibeli oleh tetangganya atau bakul-bakul lain di rumah. Bu Joyo akan segera pulang apa bila dagangan yang dibawanya sudah terjual habis, biasanya berkisar antara jam 11.00-11.30. Sering kali Bu Joyo pulang dengan membawa belanjaan kebutuhan sehari- hari yang dibelinya di pasar. Kemudian setelah itu, ia kembali bekerja mengolah kedelai sampai pada pembungkusan, baru kemudian disimpan dan menjadi tempe yang siap dijual kembali. Dalam membungkusnya, ia dibantu oleh anak perempuan dan menantunya.

Sekarang, dalam satu hari Bu Joyo hanya membutuhkan kedelai sebanyak 40 kg untuk membuat tempe. Hal ini disebabkan sekarang sudah banyak penduduk di Desa Sumber Bahagia yang membuat dan menjual tempe. Dengan menurunnya jumlah tempe yang dijualnya, maka pendapatan yang diperoleh Bu Joyo menurun pula. Sekarang dalam satu hari, ia hanya memperoleh uang sekitar Rp 200.000,00. Berbeda dengan dulu, sebelum banyak pedegang tempe. Pendapatan yang diperolehnya bisa lebih besar, yaitu sekitar kurang lebih Rp400.000,00.

Suami Bu Joyo adalah seorang petani, dan tidak memiliki penghasilan yang tetap. Itulah alasan mengapa Bu Joyo bertahan dengan pekerjaannya sebagai seorang pedagang tempe, karena jika tid ak kebutuhan hidupnya akan diperoleh dari mana. Hasil dari kebun tidak dapat diandalkan, jika ada hasilnya pun itu cuma cukup untuk biaya sekolah dua orang anaknya. Pak Joyo tidak memiliki kebun karet seperti yang lainnya, alasan Pak Joyo tidak menanam karet karena lahan yang dia punya cuma sedikit dan tidak luas, dan lahan itu tiap tahun ditanami padi. Jadi kalau dia menanam karet maka dia tidak bisa menanam padi,untunglah apa yang dimiliki keluarga Pak Joyo, baik rumah maupun tanah adalah miliknya pribadi yang sah.

Namun demikian, walaupun mereka hidup dengan pas-pasan tetapi mereka tetap bahagia. Bu Joyo iklas membantu suaminya mencari nafkah dan bekerja dengan senang hati, karena berdagang merupakan pekerjaan yang biasa dilakukannya sejak muda, sejak ia masih tinggal di Salatiga. Dengan penghasilan yang tidak begitu banyak, berkisar antara Rp40.000,00-Rp50.000,00 pada waktu itu, dan menurutnya cukup membantu perekonomian rumah tangga. Oleh karena itu pekerjaan ini tetap dilakukannya, di samping itu dengan berdagang ia dapat membantu memenuhi kebutuhan harian lainnya, Jadi menurut Bu Joyo, jika orang ingin mendapatkan sesuatu maka ia

harus bekerja. Jika tidak bekerja, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa.

4.2.2 Bu Daonah

Pengetahuan lebih mendalam tentang kehidupan bakul dapat dilihat dalam hal- hal yang sungguh di luar dugaan. Pada dasarnya keberadaan mereka sebagai wanita bakul di desa bukanlah wanita yang pantas disebut bodoh atau terbelakang. Misalnya Bu Daonah, ibu dari tiga orang anak ini berhasil menghantarkan dua orang anaknya menjadi sarjana.

Bu Sarimpi berusia 55 tahun dan berasal dari Wonosobo. Pekerjaan sebagai bakul sudah dilakukannya sejak masih tinggal di Wonosobo. Namun pada saat itu, sebelum ia menikah, ia masih berjualan tempe bersama orang tuanya. Namun setelah ia menikah dengan Pak Suryo yang berasal dari Banjarnegara, kemudian ia pindah dan bertransmigrasi ke Sumatra tepatnya di desa yang sampai saat ini dihuninya yaitu desa Sumber Bahagia, dan untuk sementara waktu ia berhenti berjualan. Ketika anak-anaknya mulai besar dan dirasa sudah dapat ditinggal, kemudian ia mulai berjualan kembali sekitar tahun 1986. Hanya dengan bermodalkan Rp15.000,00 akhirnya Bu Daonah memutuskan untuk berjualan bahan-bahan mentan seperti, beras, telur, gula. ikan asin, bumbu dapur dan sayuran. Kesemua barang dagangan tersebut diperoleh dari kula kan pada tengkulak yang ada di Pasar

Pucok. Adapun alasan Bu Daonah berganti jenis dagangan dari berjualan tempe berpindah menjadi berjualan bahan-bahan mentah, karena menurutnya untuk membuat tempe memerlukan tenaga yang cukup banyak serta waktu yang lama, dan dia tidak dapat lagi pergi ke sawah untuk membantu suaminya, padahal sawah yang seluas kurang lebih 1.000 m2 tersebut harus selalu diolah setiap harinya.

Suami Bu Daonah hanyalah seorang petani dan tidak memiliki pekerjaan serta penghasilan lain selain dari hasil sawahnya, mereka sama-sama tidak mengenyam bangku pendidikan jadi mereka merasa tidak memeliki modal untuk mencari pekerjaan di kota. Dari hasil sawah yang dikerjakan oleh pak Suryo hasilnya tidak begitu banyak, dan terkadang sawahnya harus gagal panen. Jadi hasil sawah tersebut dikhususkan mereka untuk biaya sekolah, dan untuk makan sehari- hari diambil dari hasil berdagang sang istri, dengan pendapatan yang cukup lumayan, kurang lebih Rp300.000,00 per hari. Itulah alasan mengapa Bu Daonah harus tetap bertahan berdagang sampai sekarang, karena jika ia tidak berdagang maka keluarganya harus makan apa. Namun mereka tetap beruntung karena lahan sawah dan pekarangan serta rumah yang mereka tempati adalah milik pribadi, mereka tidak perlu menyewa lagi. Itu semua mereka dapatkan dari pemerintah semenjak pertama kali datang, karena mereka adalah keluarga transmigran.

Dahulu Bu Daonah merupakan seorang bakul bahan mentah yang cukup besar. Ia tidak hanya menjual barang dagangannya ke Pasar

Pucok saja, tetapi juga menjualnya setiap kali ada kalangan (pasar mingguan). Di samping berjualan, sering kali ia juga membelanjakan bahan-bahan mentah lainnya untuk kemudian dijual kembali. Oleh karena itu, waktu yang dipergunakan dalam melakukan aktivitas perdagangan cukup lama. Kesemua usaha tersebut ia lakukan karena pada waktu itu anak-anaknya masih kecil serta membutuhkan banyak biaya, di samping kebutuhan harian rumah tangga dan sebagainya, yang kesemuanya memerlukan biaya yang cukup banyak, bahkan kadang-kadang harus diperoleh dengan cepat. Sementara hasil sawah yang diperoleh terkadang sudah habis digunakan untuk pengolahan sawah selanjutnya, seperti memba yar orang-orang yang membantu menanam padi, membajak, maupun untuk biaya memberi makan dan minum orang-orang tersebut. Oleh sebab itulah, kemudian ia berdagang untuk membantu memenuhi tambahan kebutuhan rumah tangga tersebut.

Setelah anak-anaknya dewasa da n selesai sekolah dan ada yang sudah menjadi sarjana, kemudian ia berhenti berjualan dalam skala besar, karena sudah tidak lagi membiayai anak-anaknya yang sudah tamat sekolah dan bahkan sudah ada yang bekeja. Sekarang, berjualan bagi Bu Daonah merupaka n salah satu aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukannya. Selain dapat untuk menambah kebutuhan harian rumah tangga, juga dapat untuk menambah wawasan, di samping itu dengan pergi ke pasar dapat menghilangkan kejenuhan dari aktivitas rumah

tangga. Namun satu hal yang terpenting menurut Bu Daonah adalah, sebenarnya antara sawah dan bakul merupakan dua hal yang berkaitan dalam membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga.

4.2.3 Bu Roidah

Bu Roidah dan suaminya bukanlah penduduk asli Desa Sumber Bahagia yang mulanya berangkat menjadi transmigran. Bu Roidah dan suaminya berasal dari desa Barito. Setelah mereka menikah, kemudian membeli tanah dan pindah ke Desa Sumber Bahagia pada tahun 1990, jadi rumah yang ditempatinya sekarang ini sudah sah menjadi miliknya. Sebelum pindah Bu Roidah sudah berjualan, dan ketika pindah pun Bu Roidah tetap berjualan. Dia berjualan jajanan (makanan kecil) di Pasar Pucok sejak tahun 1986, sebelum pindah ke Desa Sumber Bahagia pun ia sudah berjualan di pasar tersebut. Bu Roidah sekarang berumur 52 tahun, ia memiliki empat orang anak, dan dari keempat anaknya itu sekarang sudah menikah semua. Sampai saat ini suami Bu Roidah tidak memiliki pekerjaan apa-apa, mereka pun tidak memiliki ladang atau sawah yang bisa diolah untuk menambah penghasilan, karena ketika pindah, uang yang mereka punya hanya cukup untuk membeli rumah saja. Maka dari itu untuk dapat menyambung hidup dan makan setiap hari Bu Roidah rela berjualan jajanan. Selain sebagai istri, Bu Roidah merupakan tulang punggung keluarga. Untungnya ia hanya membiayai

hidup dirinya sendiri serta suaminya, karena anak-anak mereka sudah tidak lagi bergantung padanya melainkan pada suami mereka masing-masing, karena tidak memiliki pekerjaan tetap, maka suami Bu Roidah pun hanya bekerja serabutan, ia bekerja apabila ada tetangganya yang meminta bantuannya, seperti nukang (menjadi tukang), membelikan kayu, dan lainnya (apapun yang diminta tetangganya ia lakukan), itu pun tidak setiap hari ada yang membutuhkan tenaganya, namun demikian menurutnya itu lumayan untuk tambah-tambah uang belanja.

Selain berjualan di Pasar Pucok, Bu Roidah juga menjual jajanannya di desa. Ia berkeliling desa menawarkan jajanannya pada penduduk setempat, itu ia lakukan dua kali dalam seminggu, karena bila setiap hari ia takut orang akan bosan dan tidak laku. Bukan hasil yang ia dapat tapi malah rugi. Bu Roidah memilih berjualan jajanan karena modal yang ia punya hanya cukup untuk membuka usaha itu saja. Uang yang dimiliki sudah habis untuk membeli rumah yang sekarang ini ia tempati bersama suami. Sebetulnya ia ingin sekali berganti usaha, tapi apa boleh buat, ia hanya mampu berjualan itu saja. Namun demikian Bu Roidah tetap bersemangat dan tidak mengeluh, karena menurutnya memang itu jalan hidup yang harus ia lalui bersama suami.

Ibu berputera empat orang ini berpenampilan tenang dan agak pendiam dalam kesehariannya. Namun hal ini tidak mengurangi lakunya dagangan yang ia jual. Dalam satu hari ia dapat memperoleh uang antara Rp200.000,00-Rp250.000,00 dari hasil berjualan tersebut Bu Roidah

mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp50.000,00 dan biasanya pendapatan tersebut langsung dibelanjakan bahan-bahan kebutuhan untuk dagangan yang akan dijual berikutnya serta kebutuhan harian. Jika pendapatan yang diperolehnya berlebih, maka ia akan belanja lebih banyak dari biasanya, dan ia simpan sebagai persediaan. Dalam mengolahnya Bu Roidah tidak jarang dibantu juga oleh suami. Apalagi bila akan berjualan di pasar, ia harus bangun lebih awal karena pukul 06.30 sudah harus berangkat. Berbeda ketika ia akan berjualan keliling desa, karena berangkatnya siang hari maka ia tidak perlu tergesa-gesa dalam pengolahan, dan ia pun memiliki sedikit waktu untuk istirahat.

Anak-anak Bu Roidah semuanya mengenyam bangku pendidikan walaupun hanya sampai SMP. Ia tetap bersyukur walaupun anak-anaknya tidak sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi. Menurutnya itu lumayan dari pada yang tidak pernah sekolah sama sekali.Tidak terlepas dari segala usaha yang dilakukan Bu Roidah, sebenarnya usaha tersebut tidak terlepas dari prinsip yang dimilikinya. Ia berprinsip bahwa di dalam rumah tangga, baik pria maupun wanita (suami dan istri) sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga. Oleh karena itu, mereka harus bersama-sama untuk saling membantu ba ik di dalam mengolah rumah tangga maupun di dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Jam sudah menunjukan pukul 11.00 ketika Bu Wastini di temui dirumahnya. Ia baru pulang dari pasar, katanya:

“ Nyuwun ngapunten nggih mbak, kulo seg wangsul saking peken amargi rampung dodolan, kulo langsung belonjo kebutuhan” ( maaf mbak, saya baru pulang dari pasar, karena setelah selesai berjualan saya langsung belanja kebutuhan).

Ibu berbadan gemuk tetapi ramah dan supel ini merupakan responden termuda, ia berusia 41 tahun. Ibu dari enam orang anak ini berjualan sayuran di Pasar Pucok. Hal yang mengagumkan dari ibu ini adalah walaupun tidak berpendidikan, namu ia sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan anak yang tertua sudah menjadi seorang guru SD di desa Gunung Meraksa. Sedangkan yang lainnya masih duduk di bangku SMU serta SD.

Berdagang bagi Bu Wastini merupakan usaha yang sudah lama dilakukannya. Sebelum berjualan sayuran, ia berjualan tape ketan dan ubi, serta menjualkan atau memb elikan barang kebutuhan harian rumah tangga tetangganya. Pekerjaan itu kemudian terhenti untuk sementara waktu karena melahirkan dan d i samping itu juga karena ibu mertua yang biasa mengasuh anak-anaknya jika ia sedang berjualan, telah meninggal. Jadi ia harus mengasuh dan merawat anak-anaknya sendiri.

Suami Bu Wastini adalah seorang buruh, ia bekerja mengurus kebun karet milik kepala desa Sumber Bahagia yang bernama Ir. Didik. Dari buruhnya itu suami Bu Wastini memperoleh setengah dari hasil yang

didapat setiap bulan, dan yang setengahnya lagi diberikan kepada pemilik ladang. Hasil yang diperolehnya setiap bulan ia gunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Itu sebabnya mengapa Bu Wastini memilih tetap berjualan sayuran, karena penghasilan suami tidak memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. “ Dapur tidak akan keluar asap kalau saya tidak ikut cari uang, mbak. Bagi saya tidak apa-apa hidup prihatin, yang penting adalah anak-anak saya bisa sekolah dan hidup senang nantinya. Orang tua kan selalu mengalah demi anak-anaknya”, ujar Bu Wastini dengan tegar. Mereka tidak memiliki ladang sendiri, yang mereka miliki adalah rumah yang sekarang ini ditempati dan sedikit pekarangan di belakang rumah yang hanya ¼ ha. Walaupun tidak luas tapi tanah dan rumah itu merupakan milik mereka pribadi dengan surat kepemilikan yang sah. Pada lahan pekarangan yang tidak luas itu, mereka menanam sayuran dan pisang serta rambutan. Bila saat panen hasil kebun tersebut mereka jual sendiri ke pasar, walaupun hasilnya tidak seberapa tapi lumayan untuk tambah-tambah uang belanja dan modal berdagang. Sayuran lain yang bukan hasil kebun sendiri itu ia peroleh dari membeli pada tengkulak yang datang dari desa lain yaitu Danau Ranau dan Liwa, karena memang hanya disanalah sayuran dapat hidup dengan subur. Suyuran itu berupa sawi, kol, buncis,wortel, dan lainnya. Bu Wastini tidak pernah membeli dalam jumlah yang terlalu banyak, karena keterbatasan modal. Ia membeli secukupnya, dengan uang yang dimiliki.

Dari menjual sayuran Bu Wastini tidak mengambil keuntungan yang banyak, yang penting baginya adalah dagangannya terjual habis dan tidak rugi karena busuk. Sayuran bukanlah barang yang dapat bertahan lama, jadi setiap hari Bu Wastini harus berusaha bagaimana caranya supaya dagangannya tidak bersisa. Biasanya bila sampai siang hari dan sudah waktunya untuk pulang dagangannya masih tersisa, maka ia menjualnya di rumah, kadang ia pun membawa dagangannya keliling desa . Dalam sehari Bu Wastini biasanya mendapatkan uang antara Rp300.000,00-Rp350.000,00. Itulah gambaran keuletan dan kerja keras seorang wanita yang berjuang untuk keluarganya.

Menurut Bu Wastini, wanita bekerja merupakan hal yang wajar, apalagi hal itu dilakukannya untuk kepentingan rumah tangga. Hal tersebut juga berlaku pada dirinya. Sejak kecil ia sudah biasa bekerja, karena orang tuanya bukanlah orang yang mampu, sehingga sebagai anak pertama ia harus bekerja membantu orang tuanya, itu ia lakukan sejak ia masih sangat muda, dengan demikian ia banyak sekali memdapat pengalaman tentang berjualan. Mulai dari berjualan ketela, tape, daun pisang, gori, atau bahan-bahan mentah yang dititipkan oleh tetangganya untuk dijualkan. Kesemua itu dilakukannya untuk membantu ekonomi rumah tangga, karena penghasilan yang didapat dari bekerja sebagai buruh yang dilakukan suaminya tidaklah cukup. Demikianlah Bu Wastini, walaupun hanya seorang wanita desa yang sederhana dan lugu, tetapi merupakan wanita

yang sangat ulet dalam bekerja demi membantu kebutuhan ekonomi rumah tangga.

4.2.5 Bu Otang

Bu Otang berusia 50 tahun dan berasal dari Bandung. Ia dan suaminya pindah ke Desa Sumber Bahagia pada Tahun 1991, mereka membeli tanah pekarangan dan sawah milik warga yang hendak di jual pada waktu itu. Sawahnya seluas 1 ha, sedangkan tanah pekarangannya seluas ¼ ha, yang sekarang ini sudah sah menjadi miliknya. Suami Bu Otang bekerja mengerjakan sawah miliknya sendiri, sedangkan Bu Otang membantu ekonomi rumah tangga dengan cara berjualan kecil-kecilan. Dengan modal yang sedikit ia mencoba mencari keuntungan dengan menjual buah pisang, dan hasilnya pun lumayan. Namun, kadang-kadang ia juga dititipin dagangan lain hasil kebun sendiri oleh tetangganya, seperti daun ubi, pepaya, kangkung dan lain- lain. Dari situ pun Bu Otang mendapatkan sedikit keuntungan. Bila dagangannya tidak laku, biasanya ia tawarkan kepada bakul-bakul lainnya atau di bawa pulang dan bila masih bagus akan dijual kembali keesokan harinya. Dari hasil berjualan pisang tersebut, sekarang dalam satu hari ia dapat memperoleh uang antara Rp250.000,00- Rp300.000,00.

Bu Otang berjualan di Pasar Pucok sudah sekitar 14 tahun lamanya. Namun pengalaman berjualan sudah dialaminya selama puluhan tahun, karena selama di Bandung ia sudah berjualan ikan di pasar tempat ia tinggal dulu. Sebagai bakul walik dasar, ia harus pergi ke pasar pagi-pagi sekitar pukul 05.30 untuk menunggu bakul-bakul pisang datang dan kemudian membeli atau mengambilnya terlebih dahulu dan di bayar setelah dagangannya laku. Pada pukul 11.00 barulah ia pulang dengan membawa be lanja kebutuhan sehari- hari rumah tangga. Bu Otang selain mengurus rumah tangga dan bakul, ia juga membantu suami mengolah sawah. Walaupun demikian, semua pekerjaan tersebut dikerjakannya dengan senang hati, karena menurutnya semua pekerjaan tersebut merup akan tugas yang harus dikerjakannya. Adapun untuk biaya sekolah ke tiga anak-anaknya mereka kumpulkan dari hasil panenan setip tahun yang ketiga-tiganya masih duduk di bangku SMA.

Bu Otang mengambil keputusan untuk berdagang karena, penghasilan suami dari mengolah sawah tidak dapat diandalkan, sedangkan anak-anaknya butuh biaya untuk sekolah, dan setiap harinya juga butuh makan supaya dapat terus bekerja. Menurutnya, berdagang adalah pekerjaan yang sudah biasa ia lakukan, dan pendapatan yang di peroleh juga lumayan untuk tambahan kebutuhan harian dan bisa juga untuk membelikan seragam sekolah anak-anaknya.

Dokumen terkait