• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan. B

Keberadaan ini melahirkan 2 argumentasi, antara lain :

a. Jika Kejaksaan merupakan bagian kekuasaan eksekutif maka diperlukan suatu aturan hukum yang memberikan jaminan indepedensi dan membatasi intervensi kekuasaan lain;

b. Membentuk Kejaksaan yang mandiri secara penuh tidak berada dibawah kekuasaan eksekutif tetapi membentuk mekanisme pertanggungjawaban kepada parlemen.

Dari argumentasi tersebut penentuan posisi lembaga Kejaksaan dalam satu aturan hukum sangatlah penting, pengaturan posisi lembaga ini tidak hanya cukup diatur dalam aturan hukum biasa (Undang-Undang), berarti lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan merupakan lembaga konstituonal (constitusional body).( lihat tabel 3 ).

Posisi pentingnya kejaksaan tercantum dalam konstitusi didasarkan pada suatu keadaan tentang posisi jaksa sebagai penegak hukum; pentingnya Jaksa dalam system peradilan dan kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan.

Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan.

B.

Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melaksanakan penuntutan dan kewenangan lain yang diberikan oleh UU dalam suatu proses peradilan pidana umum. Oleh karena itu tidak ada lembaga pemerintahan lain selain kejaksaan yang mempunyai kewenangan untuk menuntut dalam proses peradilan pidana umum. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.

Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan rI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang. Selain itu Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan rI memberikan tugas dan wewenang kepada kejaksaan untuk melakukan penuntutan di bidang pidana, termasuk tentunya kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi muncul setela dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.Pasal 26 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan rI ini menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecauli ditentukan lain oleh Undang-undang ini.Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyebtukan bahwa penyelidikan, penyidikan dan penunutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku merujuk kepada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia secara umum. Hal tersebut berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penuntutan menurut pasal 137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum yaitu Jaksa.

Selain itu pengertian Jaksa menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan rI menyebutkan bahwa Jaksa

adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh dan untuk bertindak sebaga penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Lebih lanjut dijelaskan mengenai jabatan fungsional Jaksa dalam angka 4 adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. KUHAP tidak memberikan pengertian tentang Jaksa, jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Jaksa dalam KUHAP adalah apa yang disebutkan dalam Undang-undang Kejaksaan rI, dimana Jaksa yang dimaksud berada dalam lingkup organisasi kejaksaan.

Sesuai amanat UUacara pidana (KUHAP) ditentukan bahwa satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penuntutan adalah Kejaksaan. Instansi lain atau pejabat lain diluar penuntutan umum tidak mempunyai wewenang melakukan penuntutan adalah Kejaksaan. Instansi lain atau pejabat lain diluar penuntutan umum tidak mempunyai wewenang melakukan penuntutan. Berdasarkan amanat UU tersebut maka dapat dikatakan Kejaksaan memiliki posisi yang strategis dalam sistem peradilan pidana terpadu.Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif, maka diharapkan kewenangannya perlu diatur secara jelas dalam UU maupun UUD.

Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi menggambarkan tumpang tindihnya perundang-undangan yang menyebabkan konflik dalam realitas penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana.

Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan ini berarti kejaksaan merupakan satu-satunyalembaga yang memiliki wewenang dalam hal penuntutan di Indonesia, tidak ada lembaga lain selain kejaksaan yang berwenang melakukan penuntutan.Kejaksaan salah satu lembaga yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, kejaksaan, pengawasan kejaksaan ada secara internal yakni bidang pengawasan kejaksaan dan eksternal oleh Komisi Kejaksaan dimana tugas dan kewenangan

kejaksaan di bidang penuntutan diberi kewenangan seutuhnya yang sangat luas sehingga kekuasaan penuntutan hanya ada di kejaksaan.

Eksistensi Jaksa menjadi dominus litis penuntutan ialah bahwa hanya Jaksa yang berhak dan berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Hal tersebut dapat mewujudkan profesionalitas dan proporsionalitas Jaksa Penuntut Umum, sehingga akan menguatkan dan memantapkan Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap perkara pidana yang terjadi dan hanya Jaksa yang secara proporsional dan profesional dapat menentukan untuk diselesaikan tidaknya perkara pidana yang terjadi tersebut.

Dengan adanya Jaksa berada di luar pengawasan Jaksa Agung seperti di KPK atau Ouditur Militer yang tidak berada di bahwa pengawasan Jaksa Agung maka perlu ada ketentuan yang jelas, mengingat sampai saat ini Jaksa yang ada di KPK adalah jaksa yang ditugaskan Kejaksaan kepada KPK, sedangkan oditur dalam peradilan militer diatur tersendiri, untuk itu kiranya kedua lembaga yang ikut melaksanakan tugas penuntutan semestinya masih berada dibawah pengasan Jaksa Agung.

Jaksa sebagai dominus litis penuntutan harus profesional dan mempedomani dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan yang melekat yang bersifat mutlak dan mandiri menjadikan penuntutan sebagai tugas yang utama

Jaksa sebagai dominus litis penuntutan yang berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur profesionalisme dan proporsionalisme bagi Jaksa tersebut juga merupakan aturan (hukum) yang harus dipedomani dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan yang melekat, lebih-lebih di dalamnya sangat menegaskan adanya asas dominus litis yang bersifat mutlak dan mandiri menjadikan penuntutan sebagai tugas yang utama dan menjadi satu yang tidak terpisahkan, sehingga asas ini akan menguatkan dan memantapkan Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap perkara pidana yang terjadi, dan hanya jaksalah yang secara proporsional dan profesional dapat menetukan untuk diselesaikan tidaknya perkara pidana yang terjadi tersebut.

Kewenangan tugas penuntutan harus dipertahank dan dicantumkan secara tegas dalam konstitusi sehingga tidak ada campur tangan pemerintah dan tidak ada kepentingan-kepentingan politik dalam urusan penuntutan yang menjadi wewenang Jaksa.Agar terjadi profesionalisme dalam penanganan perkara tentu dihindarkan terjadi tumpang tindih dalam penuntutan terhadap tindak pidana. Jadi kewenangan melakukan penuntutan hanya dilakukan oleh penuntut umum, bukan pejabat yang lain.

Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan