• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI KEJAKSAAN SEBAGAI LEMBAGA PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI KEJAKSAAN SEBAGAI LEMBAGA PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI KEJAKSAAN SEBAGAI

LEMBAGA PENUNTUTAN DALAM

SISTEM PERADILAN PIDANA

DISUSUN OLEH :

hendi suhendi, sh. suryadi agoes, sh. muhammad iqbal, sh.,mh. evi hasibuan, sh.,mh. dyah kusumastuti, sh. KEJAKSAAN AGUNG

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JAKARTA 2016

Loqman, Loebby, Saksi Mahkota, Forum Keadilan, Nomor 11, 1995. Mulyadi, Lilik, Implikasi Yuridis tentang ‘’Saksi Mahkota’’,diakses

dari http://www.balipost.co.id tanggal 9 Maret 2012.

Nauli, Musri, Issu “Anggie” dari Sudut Hukum Pidana, diakses dari musri-nauli.blogspot.com, tanggal 9 Maret 2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:42/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 September 2010.

Republik Indonesia, Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, Sejarah

TNI-AD, 1945-1973 : Perananan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI, Volume 2, Jakarta : Dinas Sejarah Militer.

Setiyono,” Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam

Perkara Pidana”, Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Vol 5, No. 1,

Pusat Pengelola Jurnal Ilmiah Universitas Indonesia, Esa Unggul, Jakarta, Desember 2007.

Varia Peradilan No 120, September 1995. ——————, Nomor 62, Nopember, 1990.

Widodo Eddyono, Supriyadi, Catatan Kritis Terhadap

Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Elsam, September 2006, diaksesdarihttp://

perlindungansaksi.files.wordpress.com, tanggal 7 Juni 2012.

106

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

Oleh : Drs. Nandan Iskandar Siti Utari, SH.,MH. Estiyarso, SH. Hening Hadi Condro, SH. SatriyoWibowo, SH.,LLM.

Imas Sholihah, SH.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

JAKARTA 2012

 

(2)

eksistensi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana

viii + 132 hlm. ; 21 cm

ISBN : 978-602-6532-11-4

anggota IKAPI

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis termasuk foto copy, rekaman dan lain-lain tanpa ijin tertulis dari penerbit.

(3)

ABSTRAK

Kedudukan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman mempunyai posisi sentral dalam system peradilan pidana. Tugas pokok Kejaksaan melakukan penuntutan sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil penyidikan. Sebagai “dominus litis”. Kejaksaan merumuskan dan mengendalikan kebijakan system peradilan pidana, sehingga langkah penyidikan dan penuntutan terangkai dalam satu kesatuan proses yang searah. Saat ini kedudukan Kejaksaan tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan hanya diatur di dalam undang-undang.. Perlunya diatur dalam konstitusi karena keberadaan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum harus bekerja secara independen tanpa pengaruh pihak manapun sebagaimana Mahkamah Agung dan lembaga penegak hukum lain. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah kedudukan Kejaksaan sebagai penegak hukum harus diatur dalam konstitusi dan apakah kejaksaan menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan. Penelitian ini bersifat evaluative, data diperoleh dengan mewawancarai 132 responden dari 6 (enam) wilayah hukum terdiri dari ahli hukum baik kalangan teoritisi maupun praktisi hukum.. Hasil penelitian menyatakan bahwa : Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga penegak hukum menjalankan tugas pokok dalam bidang yudikatif Maka dari itu harus diatur secara tegas dan jelas dalam konstitusi. Kejaksaan memerlukan proteksi konstitusi guna menjaga integritas dan indpendensinya. Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penuntutan. Instansi lain atau pejabat lain diluar kejaksaan yang melakukan tugas penuntutan harus dalam pengawasan dan pengendalian Jaksa Agung.

(4)

ABSTRACT

Attorney General as a law enforcement agency whose functions related to the judicial authorities have an important position in the criminal justice system. The main task of the Attorney General in conducting the prosecution phase and to be responsible of the investigation result. In accordance with the principle of “dominus litis”, Attonery General formulates and implementing criminal justice system policy. Therefore, the investigation and prosecution stages is framed in one unified proses. Currently, the legal position of the Attorney General was not regulated in the Indonesian Contitution of 1945 ( UUD 1945 ) but it was enacted in the common constitution level ( UU ). The States Constitution should set this position sence the Attorney General as a law enforcement as well as the Supreme Court an the aother law enforcement agencies. The man problem is the study is whwther the position as the Attorney General as law enforcement should be regulated in the constitution ? And if the Attorney General is the only institution which has the authority to prosecute in Indonesia ?. The authers desgned this research based on a evaluative method. We obtained data by interviewing 132 respondents from six jurisdictions comprised of legal experts both among theorists an the law practitioners as well. The study concluded that : The Attorney General as part of the law enforment agencies carry out the main task in the field of judiciary. Therefore, these legal positions should be set firmly and clearly in Indoneisa constitution. The Attorney General requires a constitutional protection to ensure its integrity and endependence. Attorney General is the only official institution which has an ability to conduct a prosecution. On the other hand, the other institutions which doing a prosecution must be under supervision and control of the Attorney General.

(5)

KATA PengAnTAR

D

engan memenjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Kuasa atas segala kemudahanNya, penelitian dengan judul : “Eksistensi Kejaksaan Sebagai lembaga Penuntutan Dalam Sistem peradilan Pidana “ dapat diselesaikan dengan baik sesuai waktu yang ditentukan.

Kejaksaan mempunyai posisi sentral dalam system peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) karena Kejaksaan bertanggungjawab dalam merumuskan dan mengendalikan kebijakan system peradilan pidana, sehingga langkah penyidikan dan penuntutan terangkai dalam satu kesatuan proses yang searah.

Tidak seperti halnya Mahkamah Agung dan kepolisian sebagai unsure penegak hukum dalam system peradilan pidana terpadu, Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugas pokok di bidang penuntutan tidak dicantumkan secara tegas dalam konstitusi (UUD tahun 1945). Posisi Kejaksaan ini hanya diatur dalam undang-undang (UU), ini akan melemahkan status lembaga kejaksaan sebagai penegak hukum terkait dengan independensi dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Pokok permasalahan pada peneltian ini adalah apakah kedudukan Kejaksaan sebagai penegak hukum harus diatur dalam konstitusi dan apakah kejaksaan menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan. Opini yang berhasil diwawancarai berasal dari 132 (seratus tiga puluh dua) responden berasal dari 6 (enam) wilayah hukum yaitu Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara; Sulawesi Selatan; Bali; Maluku; Banten dan Lampung.

Penelitian ini bisa terlaksana dengan baik berkat kerjasama tim peneliti sebagaimana Keputusan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Nomor : KEP-02/K/K.3/01/2016 tanggal 27 januari 2016.

(6)

Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada yamh terhormat Ibu A Nurwinah, SH.MH Kapuslitbang Kejaksaan Agung selaku penanggung jawab dalam penelitian ini; Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara beserta staf ; Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan beserta staf; Kepala Kejaksaan Tinggi Bali beserta staf beserta; Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku beserta staf; Kepala Kejaksaan Tinggi Banten beserta staf ; Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung beserta staf dan Kepala Kejaksaan Negari yang ditunjuk sebagai lokasi penelitian.

Kami selaku tim peneliti menyadari bahwa hasil peneltian ini masih belum sempurna, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan sangat kami harapkan. Namun demikian semoga hasil peneltian ini bermanfaat bagi pimpinan Kejaksaan dalam membuat kebijakan.

Jakarta, Nopember 2016 Tim Peneliti

(7)

DAFTAR ISI

ABSTrAK ... KATA PENgANTAr ... DAfTAr ISI ... BAB I PENDAHULUAN ...

Latar Belakang Masalah

A. ... Pokok Masalah

B. ... Maksud dan Tujuan

C. ... Kerangka Teori dan Konsepsional

D. ... Landasan Teori 1. ... Landasan Konseptual 2. ... Metodologi E. ... Tahapan Penelitian f. ... BAB II ...TINJAUAN PUSTAKA Eksistensi Kejaksaan Sebagai Lembaga Penuntutan A.

Dominus litis

1. Kejaksaan Melakukan Penuntutan Degradasi Kewenangan Kejaksaan

2. ...

Perbandingan Jaksa di berbagai negara

3. ...

Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di B.

Indonesia ... Kedudukan Sentral Kejaksaan Dalam Sistem 1.

Peradilan ... Pengertian Kejaksaan

a. ... Tugas Pokok Kejaksaan

b. ... Kedudukan dan fungsi Kejaksaan

c. ...

Keberadaan Kejaksaan Dalam Konstitusi

2. ... iii v vii 1 1 5 5 6 6 11 13 19 21 21 21 39 42 46 46 46 47 49 58

(8)
(9)

BAB I

PenDAHULUAn

Latar Belakang Masalah

A.

Kedudukan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman1. Sebagai

lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Lebih tegas lagi tentang kedudukan Kejaksaan disebutkan dalam Undang-Undang2 yang antara lain:

Kekuasaan Kejaksaan harus dilakukan secara merdeka; a.

Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan; b.

Pelaksaan kekuasaan negara dimaksud diselenggarakan oleh c.

kejaksaan Agung; Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri;

Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi d.

yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan.

Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. e.

Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang f.

undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim.

Dari beberapa hal tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa Kejaksaan sebagai Penuntut Umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan dan penetapan pengadilan.Jadi salah satu wewenang utama Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan tindakan penuntutan.

1 Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004.

(10)

Selain Kejaksaan yang melakukan kewenangan penuntutan, lembaga lain di luar Kejaksaan juga melakukan tugas dan wewenang penuntutan seperti yang dilakukan oleh lembaga KPK dan Oditur Militer. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi (ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961); dan Jaksa Agung memimpin dan mengawasi para Jaksa dalam melakukan tugasnya.

Penuntutan dimaksud adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 137 KUHAP, yang berbunyi “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.

Makna dari ketentuan tersebut yaitu3 :

Bahwa hanya penuntut umum saja yang berwenang menuntut, atau 1.

melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana;

Bahwa instansi lain atau pejabat lain di luar penuntut umum tidak 2.

mempunyai wewenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan tindak pidana ;

Wewenang dan tindakan penuntut umum tersebut dilakukan dengan 3.

jalan melimpahkan perkaranya ke pengadilan yang berwenang untuk mengadilinya;

Tindakan pelimpahan penuntut umum ini agar perkara tersebut 4.

diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.

Jadi tindakan dan tanggung jawab penuntutan ini merupakan tahapan proses atas suatu tindak pidana yakni tingkat proses pemeriksaan

3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta : Pustaka

(11)

dari proses penyidikan ke proses pemeriksaan pada sidang pengadilan. Dengan demikian eksistensi Jaksa dalam sistem peradilan menjadi

dominus litis penuntutan artinya mempunyai kewenangan mutlak dalam

penuntutan bahkan putusan Hakim di dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Hakim tidak boleh memutus di luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itu pula yang dibuktikan. Memang benar dominus litis adalah Jaksa (yang mewakili negara).Jaksa boleh menuntut satu feit (perbuatan) saja walaupun terdakwa melakukan lebih dari satu feiten (perbuatan), tetapi yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan Hakim. Kebebasan menuntut jaksa dilakukan pula oleh Jaksa di Amerika Serikat dengan praktek plea bargaining, artinya jika terdakwa mengakui kesalahan-nya Jaksa dapat mengurangi delik yang akan didakwakan.

Suatu pertanda adanya dominus litis sebagaimana definisi yang diutarakan di muka, seperti halnya di Belanda, penuntutan pidana menjadi kewenangan utama dan monopoli Jaksa. Dengan demikian, sistem yang berlaku di Indonesia sama dengan di Belanda, Jaksa dominus

litis penuntutan.

Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum ada dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan pendekatan sistem terintegrasi. Pendekatan sistem itu sendiri pada hakekatnya suatu proses interaksi dari tahapan administrasi penyelesaian perkara dengan melibatkan intstitusi penegak hukum terkait yang menghadapkan seorang tersangka pada penentuan pidana.

Bertitik tolak dari tujuan sistem peradilan pidana tersebut ada 4 (empat) komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu sistem yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System ).

(12)

Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum mengalami perkembangan dan perubahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan baik menyangkut Undang-Undang Kejaksaan maupun Undang-Undang lain.

Berkaitan dengan fairness dan obyektivitas kinerja Kejaksaan, telah dicatat sejarah bahwa kiprah lembaga Kejaksaan di tahun-tahun sebelum kemerdekaan (jaman kerajaan hindu pertama); awal kemerdekaan sampai dengan keluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (pada masa sistem parlementer), Kejaksaan sebagai institusi dan Jaksa Agung sebagai figur pimpinan institusi telah mampu melaksanakan misi yang diembannya. Kinerja dan citra Kejaksaan selama periode tersebut ditandai oleh konsistensi dan kelugasan yang berorientasi kepada keadilan, kepastian hukum dan kebenaran berdasarkan hukum.4

faktor pendukung bagi keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang penegakan hukum secara lugas dan konsisten, antara lain adalah :

Pertama, dihormati dan tegaknya wibawa hukum baik di kalangan

supra struktur politik maupun di kalangan infra struktur politik. Oleh karena itu peran Jaksa sebagai “dominus litis” benar-benar mandiri, terlepas dari kekuasaan dan pengaruh pihak manapun, kecuali panggilan misinya.

Kedua, sesuai dengan kedudukannya sebagai “dominus litis”.

Kejaksaan sepenuhnya memiliki kesempatan untuk merumuskan dan mengendalikan kebijakan kriminal, sehingga langkah penyidikan dan penuntutan terangkai dalam satu kesatuan proses yang sejarah dan sesuai dengan kebijakan kriminal yang telah ditetapkan. Kesemuanya itu dapat terselenggara, karena upaya represif penegakan hukum berada dalam rentang kendali Kejaksaan.5

Kedudukan lembaga Penuntut Umum dalam hal ini Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan seperti itu sudah sejak lama dikhawatirkan

4 Lukman Naam, Prapenuntutan, Makalah, bahan perkuliahan pada Diklat PPPJ, hal. 9 5 ibid

(13)

oleh banyak para ahli hukum karena : “... kemungkinan Jaksa Agung suatu saat harus mengusut perkara dan melakukan penuntutan terhadap pejabat-pejabat tertinggi, di antaranya menteri-menteri. Ada cukup alasan untuk mengatur kedudukan Jaksa Agung secara kuat, supaya tidak dapat dipecat begitu saja atas alasan-alasan opportunistis atau karena pertimbangan politis. Demi kepentingan negara, maka kedudukan Jaksa Agung jangan sampai dapat dilumpuhkan, jikalau pada suatu saat harus menjalankan kewajibannya dengan mengadakan tindakan terhadap orang-orang yang pada suatu waktu memegang kekuasaan”.66

Dari latar belakang masalah di atas maka puslitbang kejaksaan agung menganggap perlu untuk dilakukan penelitian tentang ““Eksistensi Kejaksaan Sebagai Lembaga Penuntutan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia“.

Pokok Masalah

B.

Bagaimana kedudukan Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam 1.

konstitusi dan sistem hukum yang berlaku ?

Apakah dalam system peradilan pidana kewenangan penuntutan 2.

pidana menjadi satu-satunya kewenangan kejaksaan ?

Maksud dan Tujuan

C.

Mengnalisa secara secara normatif tentang kedudukan kejaksaan 1.

sebagai penuntut umum dalam konstitusi dan peraturan perundangan yang mengaturnya.

Mencai jawaban tentang kewenangan kejaksaan sebagai satu-satunya 2.

lembaga penunutan dalam system peradilan pidana di Indonesia. Memberi masukan/rekomendai kepada pimpinan Kejaksaan 3.

berkenaan dengan eksistensi kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan tugas penuntutan.

(14)

Kerangka Teori dan Konsepsional

D.

Landasan Teori 1.

Secara eksplisit UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Sebagaimana dalamPasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan.7

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.8

Penegakan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

law enforcement, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut rechts handhaving.Adapun penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia

membawa pemikiran bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.Pikiran ini diperkuat dengan kebiasaan yang menyebut penegak hukum itu Polisi, Jaksa dan Hakim. Pejabat Administrasi tidak disebut, yang sesungguhnya juga menegakkan hukum.

7 Majelis Permusyawaratan rakyat republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan ayat),

Sekretaris Jendral MPr rI, Jakarta, 2010. hal.46

8 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinarbakti, Jakarta,

(15)

Teori Penegakan Hukum menurut John graham menyebutkan penegakan hukum di lapangan oleh Polisi merupakan kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan.

Menurut Hamis Mc rae Penegakan Hukum dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa Penegakan Hukum dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli dibidangnya dan dalam penegakan hukum akan lebih baik apabila penegak hukum mempunyai pengalaman praktek berkaitan dengan bidang yang ditanganinya.

Dalam konsep Pencegahan Kejahatan, melibatkan institusi dan peran serta masyarakat yang lebih luas tidak saja Sistem Peradilan Pidana yang ada tetapi perseorangan secara pribadi maupun secara organisasi sosial yang ada. Disamping itu, masyarakat diberi kesempatan untuk menyelesaikan konflik mereka diluar Pengadilan sehingga terlihat sekali bahwa fungsi Penegakan Hukum dan Pencegahan Kejahatan berhubungan erat sekali.

Proses Penegakan Hukum dalam pandangan Soerjono Soekanto9

dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor yaitu :

faktor Hukum atau peraturan perundang-undangan; a.

faktor Aparat Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang terlibat b.

dalam proses pembuatan dan penerapan hukum yang berkaitan dengan mentalitas;

faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan c.

hukum;

faktor Masyarakat, yaitu lingkungan sosial dimana hukum d.

tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatutan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat;

faktor Kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta dan rasa yang e.

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

9 SoerjonoSoekanto, FaktorFaktor yang MempengaruhiPenegakanHukum, rajawali, Jakarta,

(16)

Menurut Profesor Satjipto raharjo dalam Hukum Progresifnya menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan melainkan juga bangunan ide, kultur dan cita- cita. Hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya itu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepetingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi. Hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.

Undang-Undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 24, 24 A, 24B, 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945 hanya menyebutkan secara tegas 3 (tiga) kelembagaan yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, sementara posisi Kejaksaan hanya disebutkan secara implisit dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945.

Walaupun dalam Konstitusional Indonesia atau Undang-Undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan secara implisit kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia namun Kejaksaan mempunyai posisi sentral yang cukup penting dalam penegakan hukum yaitu sebagai lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan. Seharusnya, Kejaksaan sebagai organ yang utama maka sumber atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di dalam konstitusi.

f.A.M. Stroink menyebutkan wewenang sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi.Wewenang sebagai (bevogdheid) dalam hukum tata negara dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum

(17)

publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum.10 Menurut

Van Maarseven, terkait dengan konsep hukum publik, wewenang terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu :11

Pengaruh; a.

Dasar Hukum ; dan b.

Konformitas hukum c.

Komponenpengaruh dinyatakan sebagai penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu harus dapat ditunjukkan dasar hukumnya. Komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “Kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Oleh karena itu kewenangan merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai suatu

“onderdeel”atau bagian tertentu saja dari kewenangan.12

Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.13 Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan

10 Philipus M. Hadjon, et,al, HukumAdministrasidanTindakPidanaKorupsi, CetakanPertama,

gadjahMada University Press, Yogyakarta, 2010.hal 10

11 ibid. hal 11

12 Sadjijono.Memahami Beberap Bab Pokok Hukum Administrasi. Lakban Pressindo:

Yogyakarta.2008. hal 49

13 Ateng Syarudin. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000, hal.22

(18)

formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdhehen). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentangKejaksaanrepublik Indonesia diatur mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai Lembaga Penuntutan dan penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.Yang dimaksud dengan penuntutan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam menjalankan fungsinya dalam sistem peradilan pidana tugas dan fungsi Jaksa di atur dalam Pasal 14 dan 15 KUHAP.

Dalam pandangan Barda Nawawi Arief, 14sistem peradilan

pidana pada hakikatnya merupakan “Sistem kekuasaan menegakkan

14 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, hal.2

(19)

hukum pidana ”atau sistem kekuasaan kehakiman” dibidang hukumpidana, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem yaitu :Keempat tahap/sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integrasi atau sering dikenal dengan istilah “SistemPeradilanPidanaTerpadu”(Inte

grated Criminal Justice System).

Landasan Konseptual 2.

Sebagai langkah memulai menggali pokok-pokok bahasan secara lebih mendalam, maka penulis akan mengawalinya dari konsep dasar serta efek pengembangannya yang dicoba untuk dikaji lebih lanjut sebagai suatu kerangka acuan dalam tulisan ini.

Konsepsi ini memuat pengertian atau batasan-batasan sebagai landasan untuk dijadikan acuan pelaksanaan penelitian. Adapun istilah-istilah yang perlu dijelaskan ialah :

Eksistensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah -

berada atau keberadaannya. Jadi dalam penelitian ini yang dimaksud eksistensi dalam penelitian ini adalah keberadaan lembaga kejaksaan.

Lembaga Penuntutan sebagaimana dalamPasal 2 UU No. 16 -

Tahun 2004 disebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

Sistem Peradilan Pidana : adalah system dalam sebuah Negara -

hukum yang dibentuk untuk melaksanakan tugas penegakan hukum dan menanggulangi terjadinya kejahatan.

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang--

Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberiwewenang oleh -

(20)

Undang- undang untuk melakukan dan melaksanakan Penetapan Hakim;

Sistem Peradilan Pidana, menurut Muladi yaitu suatu jaringan -

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana;

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) :adalah Lembaga Negara -

yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK didirikan berdasarkan Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002 . Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman pada 5 (lima) asas yaitu : Kepastian Hukum, Keterbukaan, Akuntabilitas, Kepentingan Umum, dan Proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada public dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, Dewan Perwakilan rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

Oditur Militer sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka -

7 Undang– Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah Pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum, sebagai Pelaksana Putusan atau Penetapan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum dalam perkara pidana dan sebagai Penyidik sesuai dengan ketentuanUndang-Undang.

Dominus litis adalah lembaga yang memiliki wewenang atau -

menguasai wewenang. Dominus litis kejaksaan dibidang penuntutan berarti lembaga yang mempunyai wewenang/ kekuasaan dibidang penuntutan. Jadi dominus litis penuntutan berkaitan dengan wewenang, hak, kewajiban dan kepentingan menuntut suatu perkara di dalam proses peradilan.

(21)

Konsep-konsep tersebut merupakan titik tumpu yang peneliti gunakan sehingga dapat memudahkan pemahaman dalam mengkaji dan menganalisa hal-hal yang bersifat mendasar berkaitan dengan “Eksistensi Kejaksaan sebagai Lembaga Penuntutan dalam Sistem Peradilan di Indonesia”.

Metodologi

e.

Bentuk Penelitian

a. .

Penelitian ini berbentuk evaluatif tujuannya mengevaluasi kedudukan Jaksa sebagai satu-satunya penuntut umum dalam sistem hukum pidana.Data diperoleh dengan didasarkan pada

opini para ahli dan kalangan praktisi hukum.

Pengumpulan Data. b.

Sumber data diperoleh dari data kepustakaan (library research) dan data empiris (field research).

1. Penelitian Kepustakaan menyangkut : sejarah hukum dan sinkronisasi peraturan perundangan yang menyangkut kewenangan dan tugas lembaga kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut umum ( dominuslitis kewenangan

jaksa sebagai penuntut umum ) ;

2. Penelitian Empiris, dengan melakukan wawancara kepada orang/ahli dibidangnya untuk mendapat opini dengan menggunakan interview quide.

Pengolahan Data c.

Data diolah secara kualitatif, dengan mencari hubungan simetris antara variabel.

Lokasi Penelitian dan Responden Penelitian d.

Lokasi Penelitian 1.

Lokasi penelitian meliputi Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara; Lampung; Banten; Bali; Sulawesi Selatan

(22)

dan Maluku. Masing-masing Kejaksaan Tinggi mengambil sampel dari 3 (tiga) Kejaksaan Negeri.

responden Penelitian. 2.

responden yang direncanakan untuk diwawancarai 92 orang, terdiri dari kalangan :

Ahli dari Akademisi/teoritis; a.

Praktisi Hukum : b.

Pengadilan c.

Hakim Pengadilan Tinggi ; -

Hakim Pengadilan negeri - Kejaksaan d. Kejaksaan Tinggi - Kejaksaan Negeri - Masyarakat ; e. DPrD Propinsi ; - DPrD Kota/Kabupaten -

Dengan rincian sebagai berikut :

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 1.

a). Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

Ahli Hukum Pidana dari USU = 2 orang -

Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

Pengacara = 2 orang

-

b). Kejaksaan negeri Medan

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

(23)

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 2 orang

c). Kejaksaan negeri Lubuk Pakam

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 2 orang

c). Kejaksaan negeri Pematang Siantar

- Kejaksaan Negeri = 2 orang

- Pengadilan Negeri = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 2 orang

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan 2.

a). Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Ahli Hukum Pidana dari UNHAS/Univ. -

Muhamadiyah = 2 orang

Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

Pengacara = 1 orang

-

b). Kejaksaan negeri Makasar

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

c). Kejaksaan negeri Watampone

(24)

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

d). Kejaksaan negeri Sengkang

- Kejaksaan Negeri = 2 orang

- Pengadilan Negeri = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Lampung 3.

a). Kejaksaan Tinggi Lampung

Ahli Hukum Pidana dari Unila = 2 orang -

Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

- Pengacara = 1 orang

b). Kejaksaan negeri Bandar Lampung

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

c). Kejaksaan negeri gunungsugih

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 1 orang

d). Kejaksaan negeri Kotabumi

- Kejaksaan Negeri = 2 orang

(25)

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Bali 4.

a). Kejaksaan Tinggi Bali

Ahli Hukum Pidana dari Univ Udayana = 2 orang -

Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

Pengacara = 1 orang

-

b). Kejaksaan negeri Denpasar

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

c). Kejaksaan negeri Bangli

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

d). Kejaksaan negeri gianyar

- Kejaksaan Negeri (kasipidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Banten 5.

a). Kejaksaan Tinggi Serang

Ahli Hukum Pidana dari Untirta/Unis Tangerang -

(26)

= 2 orang Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

Pengacara = 1 orang

-

b). Kejaksaan negeri Cilegon

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

c). Kejaksaan negeri Tangerang

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

d). Kejaksaan negeri Serang

- Kejaksaan Negeri (kasipidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Maluku 6.

a). Kejaksaan Tinggi Maluku

Ahli Hukum Pidana dari Univ Pattimura -

= 2 orang Hakim Pengadilan Tinggi = 2 orang -

Kejaksaan Tinggi (aspidum/aspidsus) = 2 orang -

DPrD Propinsi/Komisi Hukum = 2 orang -

(27)

Pengacara = 1 orang -

b). Kejaksaan negeri Maluku

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kota/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

c). Kejaksaan negeri Masohi

- Kejaksaan Negeri (kasi pidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (Hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

d). Kejaksaan negeri Piru

- Kejaksaan Negeri (kasipidum/pidsus) = 2 orang

- Pengadilan Negeri (hakim) = 2 orang

- DPrD Kabupaten/Komisi Hukum = 2 orang

- Pengacara = 1 orang

Tahapan Penelitian

F.

Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 9 (sembilan) bulan, terhitung mulai bulan februari 2016 sampai bulan Oktober 2016 dengan tahapan sebagai berikut:

1) Pembuatan research design 2 minggu

2) Pembuatan Instrumen Penelitian dan Pre-Test 1 minggu

3) Penjajagan 2 minggu

4) Pengurusan ijin penelitian 1 minggu 5) Pengumpulan data pustaka 2 minggu 6) Pengumpulan data lapangan 12 minggu

(28)

7) Pengolahan data 3 minggu 8) Penulisan laporan sementara 2 minggu 9) Diskusi laporan sementara hasil penelitian 2 minggu 10) Perbaikan laporan sementara 2 minggu 11) Penulisan laporan akhir dan abstraksi 4 minggu 12) Penggandaan dan pendistribusian hasil penelitian 3 minggu

(29)

BAB II

TInJAUAn PUSTAKA

eksistensi Kejaksaan Sebagai Lembaga Penuntutan

A.

Dominus litis

1. Kejaksaan Melakukan Penuntutan

Negara Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini ditegaskan dalamUndang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sebagai Negara hukum maka sangat menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagai alat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, penegakkan hukum menempati posisi yang sangat sentral, dengan menempatkan hukum dalam fungsinya sebagai alat pengatur bagi kehidupan masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah.

“Hukum dan masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Berlakunya hukum memang didalam suatu tatanan sosial yang disebut masyarakat, oleh bangsa romawi disebut sebagai ubi societas ibi ius yang menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat”15.

“Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro penegakan hukum terbatas dalam proses litigasi di pengadilan, dalam perkara pidana termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan (pemeriksaan di depan persidangan) hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”16.

15 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung.

2006. hal. 3.

16 Marwan Effendy, Deskresi Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, makalah

disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012, hal. 2-3.

(30)

“Dalam hal terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka wajib segera dilakukan tindakan yang diperlukan guna menyelesaikannya, dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.17 Menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum setelah

mempelajari dan meneliti kemudian atas hasil penelitiannya, Jaksa mengajukan penuntutan ke Pengadilan Negeri”.18

“Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat”.19

Namun pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Karena jaksa penuntut umum hanya memeriksa formal berkas perkara saja, tidak mengetahui proses penyusunan berkas dan tata cara perolehan alat bukti, menjadi problema apabila di persidangan terdakwa mencabut keterangannya di BAP. Jaksa Penuntut Umum harus mempertanggungjawabkan atau membuktikan surat dakwaannya. Sering juga terjadi bolak-balik berkas perkara antara penyidik polri dan jaksa penuntut umum. Sebenarnya hal ini dapat dihindari sejak awal apabila jaksa penuntut

17 Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta,

1996, hal 48.

18 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia Dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990,

hal. 19

19 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik

(31)

umum terlibat dalam proses penyusunan berkas perkara.

Dengan demikian, Kejaksaan rI memiliki posisi strategis dalam melaksanakan supremasi di bidang penuntutan dalam sistem peradilan pidana terpadu yang diatur menurut KUHAP. Namun eksistensi jaksa selaku penuntut umum ternyata dalam praktek peradilan dan penegakkan hukum tidak berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Masih sering terjadi koordinasi antara Kejaksaan dengan Kepolisian atau Kejaksaan dengan Pengadilan tidak berjalan lancar karena berbagai alasan yang bersifat birokratis ataupun arogansi institusional, sehingga akan berpengaruh terhadap proses penuntutan. Padahal kewenangan jaksa selaku Dominus Litis berlaku universal.

Dengan posisi dan peran yang demikian, Kejaksaan rI dituntut tidak saja harus mampu melaksanakan fungsinya dengan baik dan benar, tetapi juga harus mampu membentuk jati diri sebagai salah satu institusi pelaksana kekuasaan negara, bukan alat kekuasaan penguasa. Oleh karena itu sewajarnyalah di era reformasi ini Kejaksaan perlu melakukan reformasi terhadap eksistensinya agar dapat menjadilebih dinamis guna menghadapi perkembangan dan perubahan dewasa ini.

Keberadaan atau eksistensi Kejaksaan sebagai lembaga yang memiliki tugasdan wewenang dalam penuntutan ternyata belum begitu lama, sebelumnya baik di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain) maupun pada masa-masa kerajaan, masa-masa sebagai jajahan di Indonesia tidak mengenal adanya suatu lembaga penuntutan, sebagaimana tugas kejaksaan saat ini yang secara khusus untuk atas nama atau masyarakat yang mengadakan tuntutan pidana terhadap pelaku delik. Pada masa itu tidak ada perbedaan antara perdata dan pidana. Pihak yang dirugikan yang melakukan tuntutan pidana kepada hakim. “Di Indonesia dahulu dikenal pejabat Negara yang disebut adhyaksa yang diartikan sebagai Jaksa, akan tetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim karena dahulu tidakdikenal

(32)

adanya lembaga penuntutan”.20

“Pada masa kerajaan majapahit, sudah dikenal beberapa jabatan yangdinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadyaksa. Ketika masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), peranan Dhyaksa (Hakim Pengadilan), yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan dan pengawasan Mahapatih gajahmada yang berperan sebagai Adhyaksa (HakimTertinggi), dalam arti Adhyaksa bekerja sebagai pengawas (Opzichter) atau Hakim Tertinggi (Opperrechter). Sedangkan Dharmadyaksa merupakan pejabat yang mendampingi raja untuk melaksanakan tugas dalam urusan agama Syiwadan Budha, serta mempunyai tugas sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci (Superintendent), sebagai pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (religie),dan sebagai Ketua Pengadilan”21.

“Dalam masa kekuasaan kerajaan Majapahit tersebut, gajahmada, selain sebagai Mahapatih juga mempunyai kedudukan sebagai Jaksa Negara atau raja Jaksa, yang tugasnya mengawasi pelaksanaan Undang-Undang raja atau ShitiNarendran, untuk itu, Mahapatih gajahmada harus menyusun suatu rencana lengkap dalam beberapa menyelesaikan persoalan sengketa yang penting, yang merupakan kitab hukum dengan diberi nama “Hukum gajahmada”, sebagai pedoman dalam menyelenggarakan segala Shiti Narendran (Undang-Undang raja) dan sebagai Astapadha raja untuk memberikan laporan pada segala peradilan perkara-perkara yang sulit, hingga atas usaha tersebut tersusunlah beberapa piagam yang disusun berupa Kitab Hukum yang dikenal dengan Hukum gajahmada.22

20 Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 13.

21 Ilham gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Sinar

Grafika, Jakarta 1999, hal.45-46.

22 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,

(33)

Adapun tugas dan wewenang pejabat peradilan, urusan peradilan ditangani oleh para Dhyaksa di bawah pimpinan dan pengawasan tertingi Adhyaksa gajahmada, tetapi penyelenggaraan peradilan tersebut semuanya berada ada di bawah perintah Sang Prabu Hayam Wuruk, dan tidak semua putusan peradilan dalam perkara pidana dijatuhkan oleh Dhyaksa. Mengenai perkara dusta, corah atau pencurian, tatayi, yang merupakan tindak-tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dijatuhkan sendiri oleh Prabu Hayam Wuruk, serta untuk melaksanakan semua putusan terhadap perkara pidana juga dilakukan oleh Sang Prabu sendiri”.23

“Pada masa kerajaan Mataram Islam, mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), akibat pengaruh ajaran agama Islam telah diadakan perubahan dalam tata hukum, di mana dalam struktur di istana Mataram terdapat jabatan Jaksa (Jeksa), tetapi wewenangnya di bawah Wedana-Wedana Keparak. Jaksa (Jeksa) akan mengajukan bukti-bukti kesalahan-kesalahan Terdakwa dan mengajukan tuntutan-tuntutan dalam sidang pengadilan di Bangsal Pancaniti dan dihadiri oleh raja dan para Pangeran, setelah mendengarkan pembelaan dari terdakwa, akhirnya raja akan melakukan semedi sementara waktu untuk menjatuhkan vonis”.24 Di kenal dua jenis pengadilan yaitu Pengadilan

Pradata dan Pengadlan Padu, terhadap Pengadilan Pradata dilakukan persidangan terhadap perkara-perkara berat, seperti pembunuhan, pembakaran dan sebagainya yang diancam dengan pidana siksaan atau pidana mati. Tugas Jaksa (Jeksa) dalam pengadilan ini adalah melakukan pekerjaan kepaniteraan, menghadapkan terdakwa dan saksi. Pengadilan Padu menyelesaikan perkara-perkara kecil dan ringan, di mana pemeriksaan dan putusannya dijatuhkan oleh Jaksa (Jeksa) atas nama Bupati setempat, di sini Jaksa (Jeksa) bertindak sebagai Hakim”.25

23 Ilham gunawan, Op.Cit.,hal.47.

24 Sartono Kartodihardjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Departemen Pendidikan

Nasional, Jakarta, 1976, hal. 9.

(34)

“Dalam praktek peradilan pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Mataram tersebut, mengisyaratkan adanya tugas dan kewenangan Jaksa (Jeksa) untuk melakukan penuntutan tetapi tidak secara mutlak hanya terhadap perkara-perkara kecil dan ringan, sementara untuk perkara-perkara berat Jaksa (Jeksa) hanya menjalankan tugas kepaniteraan. Namun demikian, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice), yang merupakan muara dari adanya kebajikan untuk mewujudkan rasa keadlan bagi warga masyarakat, dengan memberikan rasio legis terhadap keberadaan atau eksistensi dari kewenangan mutlak dalam pelaksanaan penuntutan yang tidak bersifat penuh ada pada Jaksa tetapi bersifat kontekstual dari berat ringannya perkara yang diselesaikan, sesuai dengan tingkat kearifan dan kebajikan yang harus diterapkan dalam perkara tersebut. Kondisi ini nampaknya relevan dengan teori yang dikemukakan oleh friedmann, dimana norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi rakyat. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan oleh kerajaan. Pada intinya melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum, termasukdalam melakukan penuntutan selalu didasarkan atas “fakta-fakta hukum” sosial (Tatsachen des

Rechts), baik kebiasaan, dominasi raja, pemilikan dan adanya

kemauan raja untuk berbuat adil”.26

“Pada masa penjajahan Belanda, keberadaan Kejaksaan telah ada dalam struktur dan memiliki fungsi, pertama, berfungsi untuk mengadili perkara pada Pengadilan Padu; Kedua, berfungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkarapada Pengadilan Pradata”.27

Legitimasi tersebut didasarkan pada ketentuan perundang-undangan, di mana sebelum berlakunya Herziene Inlandsch Reglement,

staatblaad 1941 No.44 (HIr), terlebih dahulu diatur dengan Inlandsch Reglement, staatblaad 1848 No.16 (Ir). “Di dalamnya

26 Bandingkan dengan : W.friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan, rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 105.

(35)

disebutkanbahwa pekerjaan penuntut umum di pengadilan negeri dahulu disebut landraad,yang dilaksanakan oleh Jaksa. Setelah berlakunya Herzenie Indlandsch Reglement (HIR), kedudukan jaksa tetap menjadi alat kekuasaan Asisten residen menjadisebutan

Magistraat (penuntut umum), sedangkan Jaksa hanya mendapat

sebutan Ajunct Magistraat tanpa perubahan dalam dan tugasnya”.28

Belanda sendiri barupada tanggal 18 April 1827 ketika berlakunya

Rechterlijke Organisatie en hetbeleid der justitie, diadakan lembaga

penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem Perancis. Suatu asas yang terpenting dari penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeelbarheid) dan bergantungnya pada kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, dalam masa penjajahan oleh Belanda pada awalnya tidakmengenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri melainkan hanya sebagai asisten atau pembantu, baru setelah Ir diubah menjadi HIr barulah dikenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri, yang mengacu pada asas yangsangat penting dalam penuntutan yaitu adanya asas satu dan tidak terbagikan (eenen

ondeelbarheid), sebagai pijakan supremasi asas dominis litis dalam

penuntutan.

“Sejak masa pemerintahan Jepang, nampaknya para jaksa memiliki kembali statusnya yaitu sebagai penuntut umum yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten residen segera dihapuskan. Situasi yang demikian mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar.

Dalam masa ini, semua tugas dan wewenang Asisten residen dalam penuntutan perkara pidana diberikan kepada Jaksa dengan jabatan Tio Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, serta berada dibawah pengawasan KooToo Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan Tinggi. Selanjutnya dengan Osamurai No. 49, Kejaksaan dimasukkan dalam wewenang Cianbu atau Departemen Keamanan. Dengan demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai

(36)

pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut umum), dan menjalankan putusan hakim (pegawai eksekusi)”.29

Paparan tersebut di atas, menggambarkan eksistensi atau keberadaan asasdominus litis yang bersifat fluktuatif dan secara tidak langsung telah mempengaruhi tugas dan wewenang jabatan jaksa dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi. Namun demikian, fluktuasi kebijakan tersebut sesungguhnya menegaskan bahwa jaksa mempunyai kewenangan yang luas. yang dikaitkan dengan bidang yudikatif bahkan pada masa-masa kerajaan dihubungkan pula dengan bidang keagamaan.

Sebagai suatu kebijakan yang mengatur kewenangan setidaknya mengandung kebijakan Negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, khususnya bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan, sehingga apabila terdapat warga masyarakat yang bertindak dan bertingkah laku yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, maka melalui kebijakan hukum pidana tersebut dapat dilakukan penegakan hukum dan memastikan untuk selanjutnya masyarakat akan bersikap taat dan patuh pada aturan yang telah ditetapkan. “Kebijakan penegakan hukum terhadap marak terjadinya tindak pidana, dimaksudkan untuk melakukan penanggulangan tindak pidana yang terjadi melalui penuntutan sebagai wujud adanya perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, mengingat kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare)”.30

Oleh karena itu, kebijakan adanya kewenangan dalam melakukan penuntutan juga merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) danupaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Kebijakan tersebut, mulai diwujudkan secara bertahap setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan

29 ibid., hal. 55.

30 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

(37)

pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk mengatasi situasi tersebut, maka Undang-Undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan-peraturan yang mengatur tentang kedudukan Kejaksaan pada pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap memakai peraturan lama seperti sebelum Indonesia merdeka. Dengan maklumat Pemerintah republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang dahulunya masuk Departemen Keamanan atau Cianbu di pindah kembali ke dalam Departemen Kehakiman atau Shihoobu.

“Dengan kembalinya Kejaksaan ke dalam Departemen Kehakiman maka tugas kewajiban para jaksa yang diberikan ketika pendudukan tentara Jepang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun1945 Tentang Hal Masih Tetap Berlakunya Segala Badan-badan Negara dan Peraturan-peraturan Yang Ada sampai Berdirinya Negara rI pada Tgl. 17 Agustus1945, selama Belum Diadakan Yang Baru Menurut Undang-Undang Dasar. Telah menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang tersebut diganti, dan sejak proklamasi kemerdekaan, tugas Openbaar

Ministerie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap Pengadilan Negeri

menurut HIr (Herziene Inlandsch Reglemeent), dijalankan oleh

Magistraat, oleh karena itu perkataan Magistraat dalam HIr diganti

dengan sebutan Jaksa, sehingga Jaksa pada waktu adalah sebagai Penuntut Umum padaPengadilan Negeri”.31

Selanjutnya sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan republik Indonesia, maka Kejaksaan keluar dari Departemen Kehakiman republik Indonesia dan berdiri sendiri sampai sekarang. Hingga saat ini Undang-Undang yang mengatur Kejaksaan telah mengalami penyempurnaan, di mana Undang-Undang Nomor 15Tahun 1961

(38)

telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, dan terakhir dicabut dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Kejaksaan.

Dalam beracara untuk menyelesaikan terjadinya tindak pidana, setelah Indonesia merdeka digunakan ketentuan perundang-undangan yang mendasarkan pada HIr, namun sejak tahun 1981, khusus untuk hukum acara pidana sudah tidak menggunakan HIr tetapi mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP), dimana didalamnya juga telah mengatur kewenangan Jaksa dalam melakukan penuntutan, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang menyebutkan, jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan yang menjadi kewenangan seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan.

Menurut kentetuan pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang dimaksud jaksa adalah pejabat yang di beri wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, penuntut umum juga menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk di limpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili, hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.

“Oleh KUHAP, Jaksa telah ditempatkan dalam suatu kedudukan sebagaiinstansi “Penuntut” dalam wewenang melakukan penuntutan atas setiap perkara.Dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penuntutan tersebut :

Pada suatu pihak menerima berkas perkara hasil pemeriksaa

(1) n

(39)

Pada pihak lain, berkas perkara yang diterimanya dilimpahkan (2)

kepadahakim untuk dituntut dan diperiksa dalam siding pengadilan”.32

Ditinjau dari segi wewenang penuntutan, boleh dikatakan pada pemeriksaan sidang inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut umum, dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa. Sementara Pengertian Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Beberapa kebijakan yang dirumuskan didalam KUHAP menjelaskan eksistensi tugas dan wewenang Jaksa terutana dalam melaksanakan penuntutan dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum.

Wewenang penuntutan secara limitatif diatur dan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang berhak melakukan itu. Hal ini disebut asas ‘dominus litis’. “Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik, sedangkan

litis artinya perkara atau gugatan. Hakim tidak bias meminta supaya

delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu tuntutan dari penuntut umum”.33

Untuk memahami eksistensi asas dominus litis dalam penuntutan, kiranya dapat dikaji pada pengaturan dalam Undang-Undang rI No. 16 Tahun 2004,termasuk undang-undang kejaksaan yang sebelumnya, baik dalam Undang-Undang rI No. 5 Tahun 1991 maupun dalam Undang-Undang rI No. 15 Tahun1961. Mencermati ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan rI dalam penegakan hukum di Indonesia, maka semakin jelas dan tegas bahwa ketiganya secara limitative telah merumuskan adanya kewenangan penuntutan yang berada pada lembaga kejaksaan yang bersifat

32 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua) seri : penyidikan dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. 2000, hal 26.

33 Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian,

(40)

absolute, sehingga menegaskan bahwa asas dominus litis sangat

eksis dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penuntutan terhadap terjadinya tindak pidana oleh Jaksa selaku penuntut umum.

“Dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-Undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahandan kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”.34

“Asas dominus litis, yang menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Jaksa Penuntut Umum yang bersifat absolute dan monopoli, karena Jaksa Penuntut Umumlah satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana, Hakim sekalipun tidak bisa meminta supaya perkara pidana yang terjadi diajukan kepadanya, hakim dalam penyelesaian perkara hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari penuntut umum”.35

Tugas tersebut dilakukan oleh penuntut umum dalam proses persidangan yang sedang berjalan. Tugas Jaksa sebagai penuntut umum diatur dalam pasal 14 KUHAP dan dipertegas kembali dalam pasal 137 KUHAP. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu

34 Ardilafiza, Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume III Nomor 2 November 2010, Jakarta,

hal. 75-103

(41)

tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadilinya.

“Pemahaman atas rumusan ketentuan pasal 14 KUHAP, yang mengatur wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam penuntutan yang menangani perkara pidana tersebut ialah bahwa di samping tugas pokoknya sebagai penuntut umum, Jaksa dapat langsung mengadakan penyidikan dalam keadaan-keadaan tertentu.Yang kedua pengawasan yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap yang lain sebagaimana diatur dalam pasal 37 KUHAP”36. “Dari

batasan tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa” berkorelasi dengan aspek “jabatan”atau “pejabat fungsional”, sedangkan pengertian “penuntut umum” berkorelasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim di depan persidangan. Oleh karena itu, bertitik tolak dari aspek “jabatan”atau “pejabat fungsional” tersebut”.37

“Berbicara tugas dan wewenang Jaksa dalam menangani perkara pidana secara professional dan proporsional, terutama mengenai wewenang penuntutan tersebut, berikut penjabaran atau uraian wewenang tersebut, di dalam KUHAP, Jaksa yang berwenang dalam melakukan penuntutan dibagi dua tahap”38, yaitu: Tahap

Pra-penuntutan dan Tahap Penuntutan.

Tahap Pra-penuntutan ini mulai saat Penuntut Umum menerima berkas perkara dari penyidik. Dalam waktu tujuh hari, Penuntut Umum harus menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. ‘Lengkap’ disini artinya bukti-bukti cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP. Jikalau Penuntut Umum berpendapat berkasnya belum bisa dikatakan lengkap, maka berkas perkara tersebut harus segera dikembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk dari Penuntut Umum. Dan jika

36 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, ghalia Indonesia, Jakarta,

1984.,hal. 77.

37 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya, PT.

Alumni, Bandung, 2007, hal. 63.

(42)

sejak penyerahan berkas perkara tersebut Penuntut Umum tidak mengembalikannya kepada penyidik maka berkas perkara tesebut dianggap sudah memenuhi syarat dan lengkap.

Sementara Tahap Penuntutan dilakukan apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa penuntutan dapat dilakukan, Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan. Dalam Pasal 137 KUHAP dinyatakan bahwa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan perkaranya ke pengadilan. Jadi, wewenang menentukannya apakah akan menuntut atau tidak menuntut bukan diberikan kepada pihak kepolisian, melainkan kepada pihak kejaksaan. Namun apabila penuntut umum berpendapat sebaliknya maka penuntut umum dapat menghentikan penuntutan, namun itu itu harus Ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan Penuntut Umum membuat ketetapan untuk menghentikan penuntutan suatu perkara pidana karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 140 ayat 2 butir a KUHAP,yaitu:

Kalau tidak terdapat cukup bukti; a.

Kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana; dan b.

Kalau perkaranya ditutup demi hukum. c.

Dengan demikian, peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian sangatlah penting, karena pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum. Dalam hal ini, sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.

Adanya beban pembuktian pada Penuntut Umum tersebut menyebabkan Penuntut Umum harus selalu berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil lulusan alumni program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas

Menghitung poin total dari subindikator masing-masing desa dan kelurahan kemudian rujuk pada nilai ideal yang ditentukan pada kolom 3 kategori di bawah.

Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 8 Surabaya dengan tingkat keeratan hubungan variabel ini dengan kinerja manajerial sebesar 36,9%. Kondisi ini mengindikasikan

yang sering dihadapi oleh guru adalah jika dalam proses pembelajaran siswa sering ramai, mengantuk dan tidak memperhatikan pelajaran yang disampaikan. Dengan adanya

Kebijakan pendanaan dalam menentukan struktur modal bertujuan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan, karena nilai perusahaan merupakan cerminan dari kinerja

Oleh sebab itu, diwajibkan bagi orang yang beriman untuk membersihkan diri dari perilaku syirik dan tradisi khurafat (Ridha, VII, 1947, p. Alhasil dari beberapa

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan terorisme oleh TNI,kemudian mengkaji bagaimana politik hukum

Langkah-langkah pelaksanaan pendi- dikan karakter di sekolah meliputi: (1) pe- rencanaan, yaitu mengidentifikasi jenis-je- nis kegiatan di sekolah yang dapat mereali-