• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PESAN MORAL DAN MOTIVASI DALAM NOVEL SEPATU

4.1.1 Kejujuran dalam Novel Sepatu Dahlan

Kejujuran dapat diartikan sebagai sikap (keadaan) jujur yang mengedepankan ketulusan dan kelurusan hati dalam bertindak (berkelakuan) maupun dalam perkataan yang dijalankan oleh manusia dalam kehidupan yang menjadikannya sebagai salah satu dari nilai moral yang diapresiasikan sebagai perilaku positif dalam diri manusia.

Kejujuran tidak selalu ada dalam diri manusia, seringkali justru kebohongan lebih menguasai pikiran, perbuatan, dan perkataan yang membuat manusia akhirnya mengesampingkan nilai kejujuran tersebut. Padahal untuk menjadi pribadi yang lebih baik kejujuran adalah nilai yang harus ditanamkan sejak dini dalam diri masing-masing.

Proses menuju kejujuran memang tidak selalu berjalan lancar seringkali pikiran buruk justru mendorong manusia untuk berlaku curang dan mengesampingkan nilai kebenaran. Namun, kembali lagi pada pribadi masing- masing dan sekuat apa pondasi keimanan seseorang yang akan menghantarkannya pada pilihan baik atau buruk, jujur atau bertindak curang (berbohong).

Syaikh Al- Utsaimin (dalam blog Dwi Handaru) mengutarakan hakikat jujur adalah selarasnya kabar dengan realita, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Dalam praktik dan penerapannya hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau yang dibicarakan dan tindakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang

sebenarnya, orang tersebut dapat dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, munafik, atau yang lainnya.

Setiap agama pasti mengajarkan kebenaran begitu pula halnya dalam tindak- tutur. Dalam agama Islam misalnya, kejujuran bagi seorang muslim bukan sekadar akhlak yang utama saja yang wajib dilakukan tanpa lainnya, akan tetapi dipandang lebih jauh daripada itu sebagai penyempurna Islam, sebab Allah yang memerintahkan demikian. Sesuai dengan firman-Nya memerintahkan kejujuran: “Hai, orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah 119).

Keutamaan berlaku jujur bukanlah untuk sekadar citra baik yang didapat dari penilaian masyarakat saja atau terlebih dari Sang Pencipta. Namun lebih dari itu, kejujuran memberikan dampak positif, selain balasan pahala yang dijanjikan Sang Pencipta, manfaat lain berupa ketenangan batin dan kepercayaan.

Novel Sepatu Dahlan memasukkan unsur kejujuran dalam rangkaian

ceritanya. Dalam novel ini kejujuran dituliskan sebagai salah satu unsur yang menguatkan kesan bahwa novel ini sarat akan pesan moral. Berikut ini beberapa penggalan paragraf dalam novel Sepatu Dahlan yang menunjukkan kejujuran:

Inilah waktu yang tepat untuk menjalankan rencana.

Dengan suara pelan, aku berkata, “Aku mimpi bertemu Kiai Mursjid...”

Belum lagi rampung kalimatku, Bapak sudah duduk bersila sambil menekur di depanku, tenggelam dalam ketakziman yang tak terbayangkan olehku. Serta merta keheningan menyelimuti kami berdua.

Tak ada yang bersuara, tak ada yang bergerak.

Bapak terkesima menatapku, lalu duduk bersila di hadapanku. “Apa pesan Kiai Mursjid, Le?”

Bapak menekur, terdiam. Lalu, “Kamu jawab apa?”

Seketika rasa bersalah memilin-milin hatiku. Tidak, aku tidak ingin mempermainkan hati lelaki pendiam yang kukagumi kesetiaannya ini.

Apakah kesunyian ini aku nikmati? Tidak, aku merasa sangat bersalah. Malah, mungkin aku telah menjadi anak durhaka, mempermainkan perasaan orang tua sendiri. Air mataku menetes, sungguh. Aku juga sedang tak berniat mengambil keuntungan apa pun dari kesungguhan Bapak di depan mataku. (Pabichara, 2012: 25)

“Aku akan sekolah di pesantren keluarga kita, Pak,” jawabku sambil menahan tangis. “Kata Kiai Mursjid, kewajiban keluarga kita yang paling utama adalah menjaga kelangsungan Pesantren Takeran.”

Sungguh, tadinya aku berniat mengatakan yang sebaliknya, bahwa sekolah dimana saja pun bisa, tapi hatiku tidak sanggup mengatakan hal itu. Aku juga yakin, sangat yakin, Bapak akan mengiyakan sandiwaraku jika aku meminta mendaftar di SMP Magetan. Hal ini terlihat dari kesungguhan Bapak mendengarkan apa saja yang kukatakan. Hanya saja, ada keperihan diam-diam mengiris hati karena kepura-puraan ini. Aku merasa bersalah, sangat bersalah. (Pabichara, 2012: 26)

Penggalan paragraf di atas memperlihatkan pergolakan batin tokoh Dahlan ketika ia berniat untuk berkata tidak jujur pada ayahnya. Dahlan memanfaatkan sosok Kiai Mursjid yang sangat disegani ayahnya agar ia diizinkan melanjutkan sekolah di SMP Magetan. Saat Dahlan mulai menjalankan rencananya, pada saat itulah kejujuran Dahlan di uji. Satu sisi Dahlan sangat ingin melanjutkan sekolah di SMP Magetan tetapi di sisi lainnya nurani Dahlan menolak untuk berbohong.

Kejujuran akan selalu membawa seseorang kepada kebaikan, ketentraman hati, serta kepuasan. Dahlan yang sempat berat hati ketika akan didaftarkan ke Pesantren Takeran akhirnya merasa senang. Di Pesantren Takeran Dahlan bahkan menjadi seorang murid yang berprestasi, seperti menjadi ketua tim bola voli, ketua pengurus Ikatan Santri Pesantren dan mempunyai banyak teman. Ini terlihat dari penggalan paragraf berikut ini:

Aku menyukai bola voli.

Dan, aku juga mulai menyukai pesantren ini. “Masih mau sekolah di SMP Magetan?”

Aku menggeleng dengan tegas. (Pabichara, 2012: 38)

Hari pertama di Pesantren Takeran memang telah mengobati kekecewaan hatiku karena gagal melanjutkan sekolah di temat impian. (Pabichara, 2012: 39)

Berita terpilihnya aku sebagai pengurus Ikatan Santri ternyata sudah di dengar Bapak. Itu kuketahui tak lama setelah tiba di rumah. Tidak seperti biasanya, bukan Zain yang menjawab salamku. Tapi, Bapak. Biasanya, siang-siang begini beliau sudah tidak ada di rumah, kecuali karena alasan khusus yang penting atau mendesak. Jawabannya aku tahu dari mata beliau yang berbinar- binar. (Pabichara, 2012: 163)

Balasan dari kebaikan mungkin tidak selalu datang secara instan, tetapi pasti

akan ada, seperti Dahlan yang mengutamakan berkata jujur setelah sebelumnya hampir mengelabui ayahnya. Jujur dan menuruti keinginan ayahnya untuk melanjutkan sekolah di Pesantren Takeran, Dahlan pun mendapat banyak berkah, mendapatkan begitu banyak hal yang membanggakan.

Selain kutipan di atas contoh lain yang juga memperlihatkan bagaimana pentingnya sebuah kejujuran adalah ketika Dahlan mencuri sebatang tebu di kebun milik pabrik. Dahlan terpaksa melakukannya karena ia kasihan melihat Zain adiknya kelaparan. Tuhan tidak berkehendak Dahlan mencuri, maka Dahlan pun tertangkap oleh mandor yang menjaga ladang tebu tersebut. Dahlan mendapat hukuman menjadi kuli tanpa upah selama seminggu di ladang tebu tersebut.

Berita Dahlan mencuri sebatang tebu karena lapar pun akhirnya menyebar, termasuk terdengar oleh Mbak Sofwati kakak Dahlan. Mbak Sofwati kemudian

memberikan nasehat kepada Dahlan agar selalu berlaku jujur sesulit apa pun keadaan yang dihadapi.

“Lapar ndak berarti harus maling, Dik. Bukan karena nama baik keluarga, tapi Mbak takut itu jadi kebiasaan. Setiap perut kalian lapar, nyuri jadi pilihan.” Perutku seperti ditonjok keras-keras dan tepat mengenai ulu hati.

Ojo wedi mlarat. Yang penting jujur!”

Aku melirik ke arah Zain Zain yang sedang menunduk. Sebenarnya aku sangat ingin membantah. Dadaku terasa sesak. Tetapi, mendengar suara Mbak Sofwati yang tiba-tiba melembut, dalam tekanan yang tenang dan sejuk, aku tidak mengatakan apapun.

.... aku tetap diam beberapa saat, menikmati kecemasan, ketakutan, dan rasa bersalah. (Pabichara, 2012: 109)

Perilaku jujur atau tidak jujur seseorang juga tergantung pada perilaku orang tua dan keluarga serta lingkungan. Emile Durkheim (1964: 67) dan Randall Collin (1975: 59-60) menyatakan sesungguhya perilaku jujur atau ketidakjujuran adalah sosial dalam artian perilaku tersebut konsekuensi dari internalisasi nilai-nilai (asumsi kedirian) dan kekangan serta fasilitas struktural (asumsi struktural).

Pernyataan di atas dapat disederhanakan pengertiannya, bahwa jujur atau ketidakjujuran dapat timbul dari diri sendiri ataupun dari lingkungan. Untuk itulah sangat penting kejujuran diajarkan pada setiap individu. Peran keluarga tentunya sangat dibutuhkan dalam pembentukan perilaku jujur, seperti Mbak Sofwati yang menasehati Dahlan ketika ia khilaf melakukan perbuatan tidak terpuji, yaitu mencuri.

Mencuri adalah salah satu perilaku menyimpang yang melanggar norma agama ataupun norma susila yang berkembang di masyarakat. Perilaku ini sama

dengan tindak curang yang mengambil hak yang bukan milik sendiri. Tindakan mencuri dapat dikategorikan pada ketidakjujuran.

Nasehat Mbak Sofwati yang terasa begitu mengena bagi Dahlan memberikan contoh nyata pada pembaca bahwa sekeras apapun hidup tetaplah berlaku jujur, sebab kejujuran memberikan ketenangan dalam hidup. Tuhan pasti berlaku adil, selalu membantu hambanya dengan cara yang terkadang tidak terpikirkan sebelumnya. Dahlan belajar dari kejadian, ia jera berlaku curang hal ini dibuktikannya ketika ia dan Zain adiknya kembali merasakan lapar. Dahlan tidak ingin mengulanginya lagi, maka disinilah Tuhan memberikan balasan atas perilaku jujurnya, membantu Dahlan melalui Komariyah teman baiknya.

Tidak, aku tidak akan mencuri lagi. Maka, kubatalkan niat menebang pohon pisang itu. Aku berlari, terus berlari. Nafas mulai ngos-ngosan, tersenggal-senggal, dan azan magrib mengentak-entak gendang telinga. Aku masih berlari dan baru berhenti setelah tiba di jalanan di depan rumah. Dengan nafas tersenggal-senggal dan tubuh lunglai, aku memasuki halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru memanggil namaku. Komariyah sedang berjalan ke arahku dengan tangan memegang sesuatu yang ditutupi dengan kain batik. (Pabichara, 2012: 95-96)

“Titipan ibuku.” “Apa itu?”

“Nasi tiwul, ikan teri, dan sambel terasi”

Aku tercekat karena rasa haru. Seketika tubuh Komariyah seperti tersaput awan putih dan sepasang sayap tumbuh di punggungnya. Dia tersenyum sangat manis bagai peri cantik yang, entah kapan, pernah kujumpai di dalam mimpi, mengangguk-angguk penuh semangat lalu bergegas pamit untuk bersiap-siap salat berjamaah di langgar. Aku bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepadanya saking haru dan bahagianya hatiku. Tuhan memang selalu punya cara rahasia untuk membahagiakan hamba- Nya. (Pabichara, 2012: 96)

Kejujuran Dahlan dibayar mahal oleh Tuhan, ketika ia menghentikan niatnya untuk mencuri maka Tuhan mengganti pisang dengan makanan lezat yang

lebih mengenyangkan. Itulah bukti bahwa Tuhan selalu memberikan balasan setimpal atas apa pun yang diperbuat hamba-Nya. Jadi, alangkah baiknya apabila setiap kehidupan selalu diisi dengan kebaikan, maka Tuhan pun akan melipatgandakan setiap kebaikan itu.

Dokumen terkait