• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PESAN MORAL DAN MOTIVASI DALAM NOVEL SEPATU

4.1.3 Ketaatan pada Orang Tua dalam Novel Sepatu Dahlan

Bersikap patuh dan taat kepada orang tua merupakan kewajiban bagi setiap anak. Taat kepada orang tua juga merupakan bagian dari wujud ketaatan terhadap Sang Pencipta atau sama dengan ibadah. Orang tua senantiasa memberikan kasih sayang dan berusaha keras untuk menghidupi anak yang telah dianugerahkan Sang Pencipta kepada mereka dengan penuh cinta kasih, sehingga sudah sepatutnya bagi seorang anak untuk berlaku taat terhadap kedua orang tuanya selama yang diperintahkan oleh orang tua masih pada jalan yang benar.

Agama mana pun juga memberikan ajaran yang sama tentang berbakti kepada orang tua. Begitu pula dengan agama Islam, para ulama sepakat bahwa

hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua ibu bapak” (QS. An Nisa’: 36).

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada ibu bapak) merupakan perintah, dan perintah di sini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah. Kewajiban dalam berlaku baik atau taat kepada orang tua bukanlah hal yang bisa dikecilkan begitu saja. Banyak firman Allah dan juga sabda Rasulullah yang menyebutkan di dalamnya agar anak berlaku baik terhadap orang tuanya.

Salah satu sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang semakin menguatkan akan pentingnya bakti seorang anak terhadap orang tua (dalam blog Abu Hamzah) adalah: “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (Riwayat Tarmidzi dalam Jami’nya (1/346), hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah no.516).

Selain dasar yang kuat dari setiap agama taat (berbakti) pada orang tua pun termasuk pada perilaku terpuji yang sesuai dengan norma yang ada dalam masyakarat. Pernyataan ini dapat dikuatkan dengan banyaknya cerita-cerita rakyat yang berkembang di masyarakat yang bertemakan tentang ketaatan (bakti) pada orang tua. Hampir setiap daerah punya versi cerita masing-masing, sebagai contoh: Sampuraga dari daerah Sumatera Utara, Malin Kundang dari Sumatera

Barat, Legenda Batu Belah dari Gayo (Aceh), dan lain sebagainya yang keseluruhan isinya mengandung amanat agar anak berbakti pada orang tuanya karena jika sampai seorang anak menyakiti hati orang tua mereka maka Sang Pencipta akan gusar dan memberikan hukuman yang setimpal.

Sama halnya dengan novel Sepatu Dahlan, dalam novel ini beberapa

bagian ceritanya terlihat kuat dalam memberikan kesan akan ketaatan (bakti) pada orang tua. Adapun perilaku ketaatan pada orang tua yang terlihat dalam novel

Sepatu Dahlan sebagai berikut:

Maaf, Pak, Dahlan sudah mengecewakan Bapak dengan angka merah. Dahlan sudah berusaha, tapi hasilnya seperti ini, Pak. Pak, Dahlan masih boleh sekolahkan? (Pabichara, 2012: 16)

Dahlan merasa bahwa ia telah mengecewakan ayahnya dengan hadirnya dua angka merah dalam rapornya. Gejolak hati Dahlan yang kemudian dituliskannya dalam buku harian memperlihatkan ketaatan (bakti) seorang anak pada orang tuanya. Ketika rasa penyesalan atau rasa bersalah dirasakan oleh seorang anak yang merasa telah berbuat salah pada orang tuanya dapat diartikan sebagai wujud ketaatan pada orang tua. Karena dengan adanya rasa penyesalan berarti si anak masih memikirkan perasaan orang tuanya dan dengan begitu akan timbul keinginan untuk memperbaiki kesalahan agar tidak terulang kembali.

Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya. Tak ada yang boleh melanggar termasuk ibu dan anak-anak perempuannya. (Pabichara, 2012: 17-18)

Dari penggalan paragraf di atas dapat dilihat bagaiamana penghargaan seorang anak terhadap orang tuanya. Kekaguman Dahlan pada Bapaknya membuatnya menaruh hormat terhadap ayahnya. Kekaguman yang kemudian beralih pada rasa hormat merupakan rangkaian sebuah proses ketaatan (bakti) kepada orang tua. Dengan adanya rasa hormat akan menjadi “benteng” yang menghalangi seorang anak bersikap tidak pantas pada orang tuanya.

Hilangnya rasa hormat anak pada orang tua akan berakhir pada ketidakpatuhan yang mengakibatkan si anak dengan mudahnya melanggar perintah atau bahkan durhaka pada orang tuanya. Selain kutipan di atas contoh lain yang juga merupakan bentuk ketaatan terhadap orang tua yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan ini tergambar dalam kutipan paragraf berikut ini:

Selama ini aku dan Zain dilarang keras belajar bersepeda oleh Bapak, dan aku belum berniat mencoba melanggar larangan itu. Seperti aturan-aturan lain di rumahku, larangan itu pun tak boleh dilanggar. Kedisiplinan Bapak itu telah mengkristal di hatiku. Larangan bukan lagi sesuatu yang bisa membangkitkan rasa penasaran, melainkan nilai yang sudah mendarah daging. (Pabichara, 2012: 114-115)

Ketaatan tokoh Dahlan tergambar lewat kutipan di atas, ketika Maryati menawarkan sepedanya untuk dinaiki. Dahlan menolak, ia teringat akan larangan bapaknya untuk tidak memakai barang yang bukan milik sendiri. Begitu kuat nasehat bapak tertanam dalam pikirannya. Walaupun pada saat itu Bapak tidak sedang bersama Dahlan tetapi ia masih mengingat aturan yang diperintahkan.

Ketaatan tidak hanya berupa kepatuhan seorang anak terhadap aturan yang dibuat oleh orang tuanya. Selain itu, ketaatan kepada orang tua juga dapat

diwujudkan melalui kesediaan seorang untuk membantu orang tuanya, bahkan tanpa perlu diminta sekalipun. Seperti contoh berikut ini:

“Nanti sore kamu ke mana, Lan? ” “Biasa, Bu, ngangon domba.”

“Tolong antarkan kain mori ke rumah ibu-ibu, ya?” “Mending antar sekarang, Bu, sambil jalan.” “Ndak capek?”

Aku menggeleng sambil beranjak ke kamar Ibu mengambil kain-kain mori yang harus kuantar ke rumah para pembatik. (Pabichara, 2012: 46)

Malam sudah tiba. Ibu sudah siap-siap menceburkan diri dalam kebisuaan. Selembar kain mori, yang baru diterimanya tadi pagi, sudah ditaruh di atas tikar pandan. Lampu teplok sudah dipindahkan ke cantolan paku di tiang

tengah rumah. Tanpa disuruh, aku angkat gawangan—penyangga kain mori

setinggi lima puluh senti—dan meletakkannya tepat di bawah lampu teplok.

Sementara Zain mengangkat dingklik, tempat duduk ibu selama mbatik.

(Pabichara, 2012: 47-48)

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa tokoh Dahlan termasuk pada anak yang berbakti pada orang tua. Penggalan dialog yang terdapat pada halaman 46 memperlihatkan bagaimana Dahlan langsung mengiyakan permintaan ibunya untuk mengantarkan kain mori ke rumah para pembatik. Padahal saat itu Dahlan baru saja berjalan sejauh beberapa kilometer sepulang sekolah. Namun, karena itu adalah permintaan ibu, Dahlan tidak ingin mengecewakan ibunya dengan menolak permintaan tersebut. Meski lelah tanpa berat hati Dahlan tetap menjalankan permintaan ibunya.

Pada halaman selanjutnya 47 dan 48, bakti Dahlan dan adiknya Zain kembali terlihat. Tanpa diminta Dahlan dan Zain membantu pekerjaan ibu saat membatik. Anak yang berbakti adalah anak yang mau turut membantu orang tuanya,

mematuhi permintaan dan perintah orang tua selama itu masih dijalan yang benar sesuai dengan firman Allah SWT yang tertulis dalam Al-qur’an.

Dokumen terkait