• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan sanksi pidana yang telah diatur dalam undang-undang. Menurut WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut PP Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur di dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga. Di dalam UU.No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penalantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 2 ayat (1) UU.No.23 Tahun 2004 menentukan ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, yaitu meliputi :

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap selama berada dalam rumah tangga tersebut.

Pengaturan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap anak-anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.40

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa anak termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Anak rentan terhadap kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang berada didekatnya seperti ayah, ibu, atau saudara-saudara dan sebagainya dalam lingkup rumah tangga dengan berbagai sebab dan faktor yang melatarbelakangi kekerasan tersebut menimpa anak yang semestinya dilindungi.

40

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 107

Anak yang menjadi korban kejahatan disebut juga dengan istilah viktima. Pengertian ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1960, yaitu dengan adanya perbaikan penambahan pada pasal-pasal KUHP dengan UU Nomor 1 Tahun 1960. Kemudian ruang lingkup viktima dikembangkan menjadi species dari bidang kriminologi yang dituangkan dalam cabang ilmu khusus dan dinamai dengan victimology (bahasa inggris) yang berarti ilmu yang mempelajari seluk beluk dari suatu korban kejahatan yang fungsional dan struktural.41

Viktimologi hanya memusatkan perhatian pada si korban dalam usaha yang bersiri sendiri, mempunyai kecenderungan pada si korban dan perbuatannya yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana.”

Masalah korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki aspek hukum dari kausalitis bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan kejahatan dan pelanggaran.

Arif Gosita menyebutkan dengan, “masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara proposional dimensional dari peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan”.

42

Meletakkan anak sebagai korban kejahatan atau pelanggaran dalam pembahasan hukum perlindungan anak, yaitu karena ketentuan rumusan delik yang terdapat dalam KUHP dan pidana khusus seperti UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam ketentuan KUHP, anak sebagai korban kejahatan dapat ditemukan pada jenis-jenis kejahatan sebagai berikut :43

1. Pornografi, pasal 283 KUHP;

41

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan hukum Perlindungan Anak, Grasindo, 2000, Jakarta, hal.88

42

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1985, hal. 43-45 43

2. Persetubuhan, pasal 287,288, 291, 298 KUHP; 3. Perbuatan cabul, pasal 293, 294 KUHP;

4. Meninggalkan orang yang butuh pertolongan, pasal 308 KUHP; 5. Kemerdekaan seseorang, pasal 330, 331, dan 337 KUHP;

6. Menghilangkan jiwa anak, pasal 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 KUHP;

7. Penganiayaan, pasal 356 ayat (1) huruf e KUHP.

Anak sebagai korban kejahatan dalam ketentuan pelanggaran dan kejahatan UU No.9 Tahun 1976 tentang narkotika ditemukan dalam Pasal 36, 38 dan Pasal 23 UU No. 1976 tentang Narkotika. Anak sebagai korban dalam pelaksanaan delik narkotika, dikarenakan bahwa undang-undang ini menganut legalitas sebagai delik formal dan delik meterial yang membawa akibat yang sangat besar terhadap pengaruh penggunaannya.44

44

Ibid.

Pada kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga mengandung norma- norma hukum pidana, tetapi terdapat beberapa perkembangan dari delik yang sudah ada. Perkembangan tersebut sebagai dampak atau akibat adanya suatu kebutuhan. Karena kalau kita kaji sebetulnya tidak kekerasan yang terdapat dalam rumah tangga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, karena yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlalu umum dan luas, maka perlu kiranya ada undang-undang yang lebih spesifik untuk mengaturnya.

Kekerasan dalam rumah tangga telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau perbuatan pidana, mengingat bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak sepenuhnya dapat digunakan menangani kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga serta melindungi korban.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang- undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu “Tinjauan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)” sedangkan dalam hal penelitian hukum sosiologis penulis melakukan penelitian terhadap bagaimana keefektifan instrumen hukum yang sedang berlaku dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga.

Penyelesaikan penelitian skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau social-legal approach melihat permasalahan yang diteliti adalah mengenai hubungan faktor sosiologis dengan faktor yuridis. Dalam skripsi ini yang menjadi faktor sosiologis adalah mengenai bagaimana anak tersebut diberlakukan secara adil tanpa ada suatu kekerasan terhadapnya baik itu fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Sedangkan faktor yuridisnya adalah mengenai kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap kejahatan kekerasan yang menimpa anak dalam rumah tangga.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kota Medan tempatnya di Pengadilan Negeri Medan. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga cukup banyak dan rentan terjadi.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap literatur- literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap subtansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Yang berpedoman kepada masalah pengaturan perlindungan hukum dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berusaha memaparkan data-data yang sebenarnya, metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang perlindungan hukum dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. Kejahatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data-data yang khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak tersebut ditarik kesimpulan umum setelah dikaitkan dengan perlindungan dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan

secara mendalam mengenai pengertian dari kekerasan terhadap anak dalam ruang lingkup rumah tangga, dan membahas tentang bentuk atau klasifikasi kekerasan yang di alami anak serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Bab III: Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang perlindungan hukum dari korban kekerasan serta realitas perlindungan hukum dan ketentuan pidana terhadap korban (anak) serta bagaimana penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak.

Bab IV: Dalam bab ini diulas mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah kota Medan Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan beserta analisa kasus tersebut.

Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan kesimpulan dan saran.

BAB II

BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu :”Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual.45

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain yang menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tak memadai. Istilah Child Abuse

45

Bagong Suyanto dan Sri sanituti, Krisis & Child Abuse, Airlangga University, Surabaya, 2002, hal. 114

sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak di bawah usia 16 taun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannnya.46

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan seperti perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang- orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak- anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjasi luka atau goresan (scrapes/scratches). Namun demikian perlu disadari bahwa child abuse sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik saja, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui, misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan kekerasan- kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse). 47

Mewujudkan keutuhan dalam rumah tangga adalah dambaan setiap orang. Hal itu sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut untuk memahami perannya, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga

46

Ibid., hal. 114 47

sehingga timbul rasa tidak aman, ketidakadilan, maupun ketidaknyamanan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.48

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 1 Poin 1, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut konteks frasa kalimat “terutama perempuan” segaimana dimaksud Pasal 1 poin 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, kiranya dapat dipahami bahwa pada dasarnya dalam kenyataan memang wanita dan anak lebih banyak menjadi korban dalam kasus Kekerasan Dalam Ruamh Tangga.

49

Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah: “Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan

48

Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2010, hal. 218

49

Kadnet, “Pengertian Kekerasan Terhadap Anak”, 2009,

anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Sementara pengertian menurut UU Perlindungan Anak Pasal 13 yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.”50

Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.

Kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian.

51

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses

50

Iin Sri Herlina, “Defenisi Kekerasan Terhadap Anak”, 2010,

51

Kadnet, “Pengertian Kekerasan Terhadap Anak”, 2009,

belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan. Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan anak Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orang tua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Pelanggaran terhadap hak anak dewasa ini semakin tidak terkendali dan mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta dan tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan terhadap anak dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat.