• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mencantumkan anak dalam Konstitusinya. Hal ini merupakan tongak sejarah perjuangan untuk memajukan penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk menerjemahkan amanah konstitusi ini, pada tanggal 22 September 2002, pemerintah memberlakukan Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).108

107

Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Harmonisasi

Konvensi Hak Anak dengan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Jakarta, 2001, hal. 34

yang dikutip dari Waluyadi, Ibid., hal. 8

108

Rachmat Sentika, “ Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan Anak Indonesia yang Sehat, Cerdas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi”, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11, Hal.236 (2007)

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk di dalamnya adalah anak yang masih dalam kandungan.”109

Orang tua adalah: (a) Ayah dan/atau Ibu kandung; (b) ayah dan/atau Ibu tiri; (c) Ayah dan/atau Ibu angkat.110

“Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.”111

“Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”112

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”113

109

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1 110

Ibid., Pasal 1 angka 4

111

Ibid., Pasal 1 angka 3

112

Ibid., Pasal 1 angka 11

113

Ibid., Pasal 1 angka 9

Mencermati beberapa uraian di atas, setidak-tidaknya dapat dicatat dua hal, yaitu: (1) Perluasan makna orang tua, yang bukan hanya orang tua kandung, akan tetapi mencakup pula orang tua tiri dan juga orang tua angkat; (2) diakuinya lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum Nasional, yang sebelumnya hanya dikenal dalam sistem hukum Barat.

Perluasan pengertian orang tua dan dilegalkannya lembaga pengangkatan anak, pada awalnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, tidak dialamatkan kepada semua anak, melainkan hanya bagi anak-anak “yang tidak mampu”. Apabila dikaji, konsekuensi perluasan makna orang tua dan dilegalkannya lembaga pengangkatan anak, sesungguhnya tidak hanya bermuara pada masalah-masalah yang berkaitan dengan “kesejahteraan”, akan tetapi akan membawa konsekuensi hukum yang lain, misalnya masalah anak “perwalian” (hak menjadi wali bagi anak-anak perempuan) dan juga hak lain yang berkaitan dengan “pewarisan”. Kemungkinan yang demikian harus dicermati, oleh karena hukum yang sementara ini berlaku secara Nasional, bahwa “kedudukan anak tiri dan anak angkat”, tidak serta merta dapat memposisikan anak tersebut untuk berkedudukan sebagai pihak yang berhak menerima warisan dari orang tua tirinya atau orang tua angkatnya. Hal-hal yang demikian perlu dicermati, oleh karena apabila hal tersebut tidak menjadi perhatian, masyarakat dapat saja beranggapan, bahwa anak tiri dan anak angkat berhak mendapat warisan. Apabila kemungkinan yang demikian benar-benar terjadi, maka keberadaan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 di samping memungkinkan membawa kemanfaatan, dalam konteks “hukum waris”, akan menimbulkan problematika hukum yang harus dicermati. 114

Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip- prinsip konvensi Hak-Hak Anak, yang meliputi: (1) Non diskriminasi; (2)

114

kepentingan yang terbaik bagi anak; (3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan (4) Penghargaan terhadap pendapat anak. 115

Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah, bahwa dalam suatu tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat badan legislatif dan bada yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.116

Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Artinya, pihak-pihak tersebut, wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak berkembang).117

Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan kehidupannya.118

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak- hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.119

115

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 2 116

Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 2 117 Ibid. 118 Ibid. 119

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 3

1. Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasisecara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;

4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya;

5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jasmani sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spritual dan sosial;

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa;

7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi;

8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial;

9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : (a) diskriminasi; (b) eksploitasi, baik ekonomi atau seksual; (c) penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; (e) ketidakadilan; dan (f) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman;

10. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya;

11. Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam kekerasan sosial; (c) pelibatan dalam kekerasan sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan;

12. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir;

13. Anak yang dirampas kebebasannya berhak : (a) mendapat perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua; (b) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum; (c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objekif dan tidak memihak;

14. Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Untuk meningkatkan efektifitas berlakunya undang-undang ini, maka perlu dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Komisi Perlindungan Anak Indonesia beranggotakan unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat/dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak, yang diangkat dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tugas komisi Perlindungan Anak

Indonesia adalah: (a) melaksanakan sosialisasi selururh ketentuan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap perlindungan anak; (b) memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.120

1. Setiap orang yang melakukan diskriminasi terhadap anak dan mengakibatkan kerugian baik materiil maupun moral, sehingga menghambat fungsi sosialnya, menelantarkan dan mengakibatkan sakit atau penderitaan secara fisik, mental maupun sosial diancam dengan penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 100.000.000,-

Untuk mengefektifkan berlakunya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pembentukan undang-undang bukan hanya mengamanatkan untuk dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, akan tetapi juga melengkapi dengan ketentuan tentang pidana.

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dapat dikutip sebagai berikut :

2. Setiap orang yang membiarkan; (a) anak dalam situasi darurat; (b) anak yang berhadapan dengan hukum; (c) anak dari kelompok miorotas dan terisolasi; (d) anak yang diperdagangkan; (e) anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang menjadi korban penyalahgunaan, narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya atau napza, anak korban

120

penculikan, anak korban perdagangan atau anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 100.000.000,-

3. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,- apabila mengakibatkan luka berat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda dengan Rp 100.000.000,- apabila mengakibatkan mati, dipidana maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 200.000.000,- apabila yang melakukan adalah orang tuanya, maka hukuman ditambah sepertiga

4. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 300.000.000,- dan minimal Rp 60.000.000,-. Ketentuan berlaku apabila pelaku pula juga menggunakan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

5. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun dan denda maksimal banyak Rp 300.000.000,- dan minimal Rp 60.000.000,-

6. Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana maksimal10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 200.000.000,-

Catatan yang mendasar dari UUPA ini tentang upaya pemenuhan hak-hak anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi :

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”

Pasal 24 yang berbunyi :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agama. Sehubungan dengan itu pemerintah, negara, masyarakat, keluarga, orang tua wali harus memberikan

perlindungan. Perlindungan tersebut berupa pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak.121

Setiap anak berhak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Untuk itu, pemerintah wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang komprehensip berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Terhadap anak yang tidak mampu, hak tersebut diberikan secara cuma-cuma. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.122

“Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada untuk memperoleh pendidikan.”123

a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang optimal;

“Pendidikan yang dimaksudkan, diarah untuk :

b. Pengembangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia;

c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di tempat anak itu tinggal dan asal mula anak itu berasal dari peradaban-peradabannya yang berbeda dari peradabannya sendiri;

d. Persiapan untuk kehidupan yang bertanggung jawab,dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan.”124

Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan anak yang tidak mampu, terlantar yang bertempat tinggal di daerah terpencil.125

121

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 42 dan Pasal 43

122

Ibid., Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46

123 Ibid., Pasal 49 124 Ibid., Pasal 50 125 Ibid., Pasal 53 Anak yang

bersekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pegelola sekolah atau teman-temannya atau lembaga pendidikan lainnya 126

Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar. Kewajiban-kewajiban tersebut agar dimaksudkan : (a) anak bebas berpartisipasi; (b) anak bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; (c) bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; (d) bebas berserikat dan berkumpul; (e) bebas beristirahat, bermain, berkreasi, berkarya dan berseni budaya; (f) memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.127

“Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukuman dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban narkotika , alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan dan penelentaran.”128

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan