• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid.

B/2010/PN/Medan)

SKRIPSI

DiajukanUntuk Memenuhi Persyaratan Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

UMI ULFAH TARIGAN

NIM. 080200094

Departemen: Hukum Pidana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

(2)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid.

B/2010/PN/Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

UMI ULFAH TARIGAN

NIM. 080200094

Departemen: Hukum Pidana

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum.

NIP. 195703261 198501 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Liza Erwina, S.H., M.Hum. Dr. Marlina, S.H., M.Hum.

NIP. 19611024 198903 2 002 NIP. 19750307 200212 2 002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………...i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI………...iii

BAB I : PENDAHULUAN ………...1

A.Latar Belakang ……….…...1

B.Perumusan Masalah ……..………...7

C.Tujuan Penulisan ………...………...7

D.Manfaat Penulisan ...8

E.Keaslian Penulisan………...8

F. Tinjauan Kepustakaan ………...9

1. Tindak Pidana ...12

2. Pengertian Anak ...21

3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...24

G.Metode Penelitian………...28

H.Sistematika Penulisan………...30

BAB II : BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA...………...32

A.Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...…………...32

B.Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga ...37

C.Faktor Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga…...46

(4)

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBANKEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA………...68

A.Perlindungan Hukum Terhadap Anak ...68

B.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ...80

C.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan ...82

D.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...91

E.Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...97

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.1345/PID.B/2010/PN/MEDAN ...112

A.Kasus Posisi ...112

B.Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ...114

C.Putusan Majelis Hakim ...124

D.Analisis Kasus ...124

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………...129

A.Kesimpulan ………...129

B.Saran ………...131

(5)

ABSTRAKSI

Liza Erwina, SH, M.Hum* Dr. Marlina, SH, M.Hum**

Umi Ulfah Tarigan***

Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak dalam lingkup rumah tangga semakin meningkat dan merupakan problem sepanjang zaman, apalagi sekarang ini hampir setiap media cetak menceritakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga baik itu kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, penelantarann dan seksual.

Metode yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi, sedangkan dalam hal penelitian hukum sosiologis penulis melakukan penelitian terhadap bagaimana keefektifan instrumen hukum yang sedang berlaku dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bentuk kekerasan ada empat macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Perlindungan hukum tidak hanya pengaturan mengenai sanksi pidana kepada pelaku, melainkan juga mengatur tentang proses tuntutan hukumnya (hukum formil/acara), kompensasi, pemihan dan pengamanan diri korban yang telah di atur di dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam skripsi ini penulis menganalisis suatu kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1345/Pid. B/2010/PN/Medan yang intinya penganiayaan yang dilakukan ibu tiri kepada anak tirinya. Ibu tirinya bernama (tersangka) Rahmayani Nasution alias Ani dan anak tirinya (korban) bernama Siti Adhani. Kekerasan yang dilakukan kepada anak tirinya yaitu kekerasan fisik (luka memar pada bagian pipi dan dada dan luka bakar pada bagian betis kaki kanan dan kiri).

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT

yang telah memberikan hidayah dan taufik-Nya pada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam mudah-mudahan

Allah limpahkan keharibaan junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW yang

telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang

benderang.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi

syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat

adalah:“TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan) ”.

Skripsi ini dalam penyelesaiannya banyak tantangan dan hambatan yang

dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai

pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan

efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Penulis dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materil. Kepada

yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

(7)

2. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis dalam penulisan

skripsi ini.

3. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Humselaku Dosen Pembimbing I yang

telahmemberikan bimbingan, saran dan petunjuk kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Marlina, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

menyediakan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk serta sabar

dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

5. Terima kasih kepada Pengadilan Negeri Medan yang telah banyak

membantu dalam memberikan informasi dan data terkait skripsi penulis.

Kepada yang teristimewa khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Kepada Allah SWT, yang selalu turut campur dalam segala usaha yang

penulis lakukan demi terselesaikannya skripsi ini, sehingga penulis selalu

diberikan kesabaran dan pengetahuan dalam pengerjaan skripsi ini.

2. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Masa Tarigan, S.H (Alm) dan Ibunda

D.Nyoman Rusmawati, yang tidak pernah putus asa dalam memberikan

doa dan kasih sayangnya, serta memberikan dukungan moril maupun

materil dan pengorbanan yang sangat luar biasa bagi penulis.

3. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak tercintadr. Utami

Tariganyang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada

(8)

4. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat penulis Ka

Ranie, Alyna Saragih, Asha Furdima, Riz, Bang Kentaro, Bang Sakti, Devi

Gustina Lubis, Triana Putrie, New Yearlina, Irgayuni Sonia Anggita

Siagian, Jesie Olivia Panggabean, Yuyun Kartika Sari dan Fitri Marhana

Panjaitan, yang selama ini selalu menjadi teman terbaik bagi penulis.

Terima kasih untuk semua bantuan, dukungan, dan saran kalian.

Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini

karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu, besar harapan

penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif

guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari

segi materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.

Akhirul kalam kepada Allah jua dimohon petunjuk, karena hanya dengan

hidayah-Nya kita dapat menemukan kebenaran, dan hanya dengan karunia-Nya

pula kita mampu menegakkannya.

Billahi al-taufi’q wa al-hida-yat wa al ilayh al-marji’wa al-ma’a-b.

Medan, Maret 2012

Penulis

(9)

ABSTRAKSI

Liza Erwina, SH, M.Hum* Dr. Marlina, SH, M.Hum**

Umi Ulfah Tarigan***

Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak dalam lingkup rumah tangga semakin meningkat dan merupakan problem sepanjang zaman, apalagi sekarang ini hampir setiap media cetak menceritakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga baik itu kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, penelantarann dan seksual.

Metode yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi, sedangkan dalam hal penelitian hukum sosiologis penulis melakukan penelitian terhadap bagaimana keefektifan instrumen hukum yang sedang berlaku dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bentuk kekerasan ada empat macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Perlindungan hukum tidak hanya pengaturan mengenai sanksi pidana kepada pelaku, melainkan juga mengatur tentang proses tuntutan hukumnya (hukum formil/acara), kompensasi, pemihan dan pengamanan diri korban yang telah di atur di dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam skripsi ini penulis menganalisis suatu kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1345/Pid. B/2010/PN/Medan yang intinya penganiayaan yang dilakukan ibu tiri kepada anak tirinya. Ibu tirinya bernama (tersangka) Rahmayani Nasution alias Ani dan anak tirinya (korban) bernama Siti Adhani. Kekerasan yang dilakukan kepada anak tirinya yaitu kekerasan fisik (luka memar pada bagian pipi dan dada dan luka bakar pada bagian betis kaki kanan dan kiri).

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga

memiliki hak asasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Diakui dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental, anak membutuhkan

perawatan, perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum

maupun sesudah lahir. Patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami

bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Perkembangan kepribadian anak secara

utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih

sayang dan pengertian. Negara Indonesia sebagai negara anggota PBB yang tidak

menyatakan diri sebagai negara anggota PBB yang telah menyatakan diri sebagai

negara pihak konvensi PBB tentang Hak Anak (convention on the rights of the

chilid) sejak Agustus 1990, dengan demikian menyatakan keterkaitannya untuk

menghormati dan menjamin hak anak tanpa diskriminasi dalam wilayah hukum

Republik Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yang memperkuat perlindungan anak, namun pada kenyataannya, masih

banyak anak yang dilanggar haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk

tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi bahkan tindakan yang

tidak manusiawi terhadap anak, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa

(11)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Anak (KDRTA) bukanlah

kasus yang jarang terjadi masyarakat. Berdasarkan monitoring Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak (PKPA) di Sumatera Utara sejak 1999-2011, keluarga atau

orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling

dominan terhadap anak. Kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak

kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan,

penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal.

Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak,

mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap

sebagai hal biasa.1

Banyak masyarakat menganggap kekerasan dalam rumah tangga terhadap

anak urusan "dapur" satu keluarga. Orang tua juga, tak sedikit, beranggapan

bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya hingga ia berhak

melakukan apa saja, termasuk membantingnya karena kesal menyebabkan anak

meninggal atau atas nama mendidik, membina dan melaksanakan tugasnya

sebagai orang tua, anak sah-sah saja dihukum, dipukul, dimarahi, dicubit, dijewer

hingga disiksa. Anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat kepada orang

tua dengan cara kekerasan. Orang tua dalam menerapkan disiplin kepada anak

sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak

sering dibelenggu aturan-aturan orang tua yang tidak rasional dan tanpa

Sulaiman Zuhdi Manik, “Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah

Tangga”, 2007,

(12)

menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, seperti hak anak untuk

bermain. Hirarki sosial yang diajarkan adalah hirarki otoriter, sewenang-wenang.

Tak hanya di desa, tetapi juga di kota hal ini masih banyak terjadi. Tidak pula

hanya oleh orang tua yang katanya tak sekolahan, orang tua yang terpandang di

masyarakat ternyata juga ada sebagai aligator (pemangsa buas) atau penindas anak

di rumah.2

Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian

masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Kekerasan dalam rumah tangga

terhadap anak hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah jika berakibat

cedera parah atau meninggal. Hanya kasus dramatis dan berdarah-darah baru

dinilai kejahatan. Luka memar kena bogem ayah atau anak berkepribadian pemalu

karena di rumah selalu menghadapi tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan.

Lainnya, banyak masih menilai kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa

anak sebagai persoalan individu per individu atau melokalisir tempat kejadian.

Karena bapaknya tidak kerja, ibunya stress karena ditinggal suami, karena

bapaknya ini itu dan beragam alasan pembenaran yang sesungguhnya secara

hukum tidak bisa dibenarkan. Kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus

dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai

yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi

pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak. Masalahnya

lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi. Keluhan

anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan

2

(13)

bentakan atau pukulan. Apalagi jika pelaku kekerasan itu orang tuanya, kita yang

mendengar sering berkata: dasar kamu bandel, kamu yang salah, itu untuk

mendidik kamu, makanya kamu nurut sama orang tua. Jarang kita bertanya,

mengapa dia diperlakukan seperti itu, apalagi memberikan jalan keluar. Inilah

masalah sosial kita. 3

Pendidikan masa kecil seorang anak akan mempengaruhi perkembangan

sikap dan kepribadiannya di masa depan. Anak adalah peniru yang sangat besar.

Kekerasan terhadap anak dalam keluarga bukan saja menyalah, dilihat dari sudut

hak asasi anak tapi juga menimbulkan dampak sangat buruk terhadap masa depan

anak.4

Masalah kekerasan pada anak baik fisik maupun psikis yang terjadi di

Indonesia memang sangat memprihatinkan. Setiap kasus yang ada, mayoritas

korbannya adalah anak-anak yang berusia di bawah 8 tahun. Hal ini banyak

mengundang simpati Masyarakat Indonesia. Upaya perlindungan anak perlu

dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai

anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan

anak yang utuh, menyeluruh, dan komperhensif.

Dampak tersebut bisa berupa luka fisik dan psikis yang akan tersimpan di

memori anak yang tidak akan pernah terhapus dan sangat mempengaruhi perilaku

dan sifat anak hingga ia meranjak dewasa.

5

3

Ibid.

4

Frans van Dijk, Kekerasan Terhadap Anak Dalam Wacana dan Realita, Medan, 1999, hal. 36.

Undang-undang ini melibatkan

5

(14)

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai

berikut :

1. Nondiskriminasi;

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

4. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran

masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia

usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan

berbagai tindakan sekaligus. Di Malaysia, selain undang-undang perlindungan

anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang telah ada, dengan segera

pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan

terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal tahu

90-an telah dibentuk SCAN TEAM ( Suspected Child Abuse 90-and Neglect Team )

yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat

Rumah Tangga dan anggota teamnya terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai

kerajaan, serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani

secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya

ditanggung oleh pemerintah federal.6

6

Irwanto, “Perilaku Kekerasan Pada Anak : Apakah Hukuman Saja Cukup?”,

Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu

(15)

apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan

ketika menyaksikan peristiwa kekerasaan terhadap anak.

Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak

yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus

kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat

kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan

tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan

mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang

membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak.

Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat,

takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat

peristiwa kekerasan tehadap anak. 7

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap

pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak

diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan

emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka

masih kanak-kanak. Tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang

tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender.

Hukuman yang didasarkan atas undang-undang saja tentu tidak cukup.8

Maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak yang semakin meningkat

mendorong untuk meneliti permasalahan kekerasan yang menjadi tindak pidana

terhadap anak ini, membongkar hal-hal yang menjadi penyebab sehingga terjadi

7

Ibid.

8

(16)

kekerasan dan dampak fisik terutama psikis (psikologi anak) yang mengalami

kekerasan atau tindak pidana dalam ruang lingkup rumah tangga serta peranan

pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam perlindungan hukum terhadap

anak korban kekerasan dalam rumah tangga.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di

atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk tindak kekerasan yang sering dialami anak dalam

rumah tangga ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan

dalam rumah tangga ?

3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan

terhadap anak dalam rumah tangga pada Putusan

No.1345/Pid.B/2010/PN/Medan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan yaitu :

1. Untuk mengetahui bentuk tindak kekerasan yang sering dialami anak

dalam keluarga;

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

kekerasan dalam rumah tangga;

3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak

kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga pada Putusan

(17)

D. Manfaat Penulisan

1. Menfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana.

2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya

keluarga yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup domestik.

Sehingga mendapat perlindungan hukum dan menghilangkan

diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri.

Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalau pun ada, penulis yakin

substansi pembahasannnya berbeda. Topik yang penulis kaji dimotivasi dengan

lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak serta melihat yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini dapat

disebut “asli” dan sesuai dengan asas-asas khazanah ilmu pengetahuan yaitu jujur,

rasional, obyektif dan terbuka, jika ada yang menyinggung sedikit maka penulis

akan mencantumkan dalam bentuk referensi. Semua ini merupakan implikasi etis

dari proses menemukan kebenaran ilmiah yang ditinjau secara yuridis, sehingga

(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah “hukum” dapat diberikan defenisi menurut sudut pandangan

seseorang dari mana aspek hukum itu diperhatikan. Hukum mempunyai ciri yang

tetap, para ahli mencoba membuat defenisi menurut penggolongan hukum

menjadi defenisi hukum menurut sifatnya yang imperatif, defenisi hukum menurut

tujuannya, defenisi hukum menurut hubungannya dengan proses peradilan, dan

defenisi hukum sebagai kenyataan sosial. Tidak ada satu konsepsi rumusan

hukum yang memuaskan, akan tetapi satu prinsip yang jelas bahwa hukum

mempunyai ciri yang tetap yaitu : pertama, hukum merupakan suatu organ

peraturan-peraturan yang abstrak, dan kedua, hukum merupakan suatu proses

sosial untuk mengadakan tertib hukum dan mengatur kepentingan-kepentingan

manusia.9

Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup

seluruh isi/aspek dari pengertian hukum pidana. Karena isi dari hukum pidana itu

sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuatkan

dalam suatu batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya hanya melihatnya Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang

bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif

karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh

dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya

melaksanakannya kepatuhan pada kaedah-kaedah.

9

(19)

dari satu atau beberapa sisi saja, dan oleh karenanya selalu ada sisi atau aspek

tertentu dari hukum pidana yang lain tidak masuk, dan berada di luar.10

Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana”

berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan

kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal

yang tidak sehari-hari dilimpahkan.11

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku

disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :12

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Para sarjana hukum mengutarakan tujuan hukum pidana adalah untuk

menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara

menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-menakut-nakuti orang

tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan

10

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.67

11

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 1

12

(20)

kejahatan lagi (speciale preventie) serta untuk mendidik atau memperbaiki

orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang

yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.13

1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

Pada dasarnya hukum pidana itu berpokok kepada 2 hal, yaitu :

Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dimaksudkan perbuatan

yang dilakukan oleh orang , yang memungkinkan adanya pemberian pidana.

Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau

“perbuatan jahat”. Harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang

perbuatan “tertentu” diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan

orang yang melanggar larangan itu.

2. Pidana

Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan.

Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan

daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal

dari kata straf (Belanda), yang disebut dengan istilah hukuman. Pidana lebih tepat

didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh

negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas

perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus

larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).

KUHP sebagai sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis

pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP,

13

(21)

pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, antara pidana pokok dengan pidana

tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana

kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan (ditambah berdasarkan UU No. 20

Tahun 1946). Sedangkan pidana tambahan terdirir dari pidana pencabutan

hak-hak tertentu, pidana perampasan hak-hak-hak-hak tertentu, pidana pengumuman keputusan

hakim.

1. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs

Belanda dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada

penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu

para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.14

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran.

Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai

tingkah laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351

(penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang

dicantumkan, dan sering kali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak

dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Banyak

mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar mengenai objek kejahatan maupun

perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.15

14

Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 67 15

(22)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan

unsur tindak pidana yaitu :16

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahanuntuk dapatnya dituntut pidana

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut

“penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh

manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari

perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh dari

perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang

mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa

pada tubuh dapat menimbulkan kematian.17

Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya

sebagai berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang...” Pengertian tersebut

adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan”

atau “batiniah”.18

16

Ibid., hal. 82

17

Ismu Gunadi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2), PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya, 2011, hal. 3

18

(23)

Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu

sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam

pengertian pengaiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. “Perasaaan

tidak enak” misalnya mendorong orang jatuh ke kali sehingga basah kuyup. “Rasa

sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul. “Luka” misalnya mengiris,

memotong, menusuk dengan pisau. “Merusak Kesehatan” misalnya orang sedang

tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin.19

Kejahatan terhadap tubuh atas dasar unsur kesalahannya terdiri dari dua

macam bentuk, yaitu :20

a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang

dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan, dimuat dalam

Buku II Pasal 351 sampai dengan 358.

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 360 yang

dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat

dibedakan menjadi 5 macam yaitu :

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)

Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok

atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua

penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.

Menurut Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni :21

19

Ibid.

20

Ibid.

21

(24)

1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun

kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua

tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah

(ayat 1)

2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)

3) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun (ayat 3)

4) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)

Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni :22

1) Adanya kesengajaan

2) Adanya perbuatan

3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni ;

a) Rasa sakit pada tubuh, dan atau

b) Luka pada tubuh

4) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan

ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau

denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan pasal 353 dan 356

KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan

atau pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang

22

(25)

melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau

yang ada di bawah perintah.23

Unsur-Unsur penganiayaan ringan yaitu :

Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP yaitu suatu

penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk

melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.

24

1) Bukan berupa penganiayaan berencana

2) Bukan penganiayaan yang dilakukan :

a) Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya,

b) Terhadap pegawai negeri yangs sedang dan atau karena menjalankan

tugasnya yang sah,

c) Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan

untuk dimakan atau diminum.

3) Tidak menimbulkan ;

a) Penyakit, atau

b) Halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan, atau

4) Pencaharian

c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)

Menurut Mr.M.H Tirtaamiddjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih

dahulu” sebagai berikut :25

23

Ibid.

24

Ibid., hal. 6

25

(26)

“Bahwa ada suatu jangka betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan

memikirkan dengan tenang.”

Unsur perencanaan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu

merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau

pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu

pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang. Ini

semua tergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa.26

Ada 3 (tiga) macam penganiayaan berencana, yaitu :27

1) Penganiayaan berat yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.

Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu

sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi

penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat :28

1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam

suasana batin yang tenang.

26

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal.70

27

Ismu Gunadi, Op.Cit., hal. 7 28

(27)

2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai

dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga

dapat digunakan olehnya untuk berfikir, antara lain :

a) Resiko apa yang akan ditanggung

b) Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamana saat yang tepat

untuk melaksanakannya.

c) Bagaimana cara menghilangkan jejak.

3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dalam

suasana hati yang tenang.

d. Penganiayaan Berat

Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut

juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja

oleh orang yang menganiaya.

Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain :29

1) Kesalahannya : kesengajaan

2) Perbuatannya : melukai secara berat

3) Obyeknya : tubuh orang lain

4) Akibatnya : luka berat

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan ini harus sekaligus

ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun

terhadap akibatnya yakni luka berat.

Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut :30

29

(28)

1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan

sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut,

2) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau

pencaharian,

3) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indera,

4) Kekudung-kudungan,

5) Gangguan daya berfikir selama lebih dari empat minggu,

6) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam

kandungan.

Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu :

1) Penganiayaan berat biasa (ayat 1);

2) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2).

e. Penganiayaan Berat Berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan hubungan

antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal

353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terpenuhi baik unsur

penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam

penganiayaan berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat,

kesengajaan ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian

korban. Jika kesengajaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan

berencana.31

30

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.70 31

(29)

f. Penganiayaan Memberatkan Hukuman

Jenis tindak pidana ini merupakan tindak pidana terhadap orang-orang

berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Berdasarkan

ketentuan Pasal 356 KUHP, terdapat dua hal yang memberatnya berbagai

penganiayaan di atas, yaitu :32

1) Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkualitas

sebagai ibu, bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau

karena menjalankan tugasnya yang sah;

2) Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu

dilakukan dengan cara memberi bahan untuk dimakan untuk diminum.

Faktor-faktor yang membuat pemberat ancaman hukuman penganiayaan

didasarkan atas alasan kualitas korban yang semua orang, melainkan terhadap

orang tertentu. Maksudnya adalah untuk dapat dikenakan pasal penganiayaan ini

selain korban memiliki kualitas tertentu seperti pejabat negara, pegawai negeri

dan lain sebagainya termasuk pelakunya juga memiliki kualitas tertentu pula.

Misalnya pegawai negeri, pejabat negara atau pejabat penegak hukum. Maka jika

melakukan penganiayaan ancaman hukuman ditambah sepertiga dari ancaman

hukuman pokok.33

g. Penganiayaan Dengan Hukuman Tambahan

Jenis tindak pidana ini merupakan tambahan hukuman yang diatur dalam

Pasal 357 KUHP yang menyatakan bahwa :

32

Ibid.

33

(30)

“Pada waktu menjauhkan hukuman terhadap kejahatan yang diterangkan

dalam Pasal 353 dan 355 KUHP, dapat dijatuhkan hukuman pencabutan

hak sebagaimana Pasal 35 nomor 1 sampai 4”.

Pencabutan hak sebagaimana dimaksud dlam Pasal 35 KUHP diantaranya, yaitu

:34

1) Hak jabatan atau jabata yang ditentukan;

2) Hak sebagai anggota bersenjata (TNI dan Polri);

3) Hak memilih atau hak dipilih pada pemilihan menurut ketentuan

undang-undang;

4) Hak menjadi penasihat atau kuasa (wali yang sah oleh negara), wali

pengawas, menjadi curator, atau menjadi curator pengawas atas orang lain

dari pada anaknya.

Pasal 357 KUHP jika dicermati ketentuan ini mengatur hukuman

tambahan terhadap penganiayaan yang direncanakan sebagaimana diatur dalam

Pasal 353 KUHP dan penganiayaan berat yang direncanakan sebagaimana diatur

dalam pasal 355 KUHP. Apabila yang menjadi korban adalah pegawai atau

pejabat negara yang sedang atau dalam melaksanakan tugasnya, maka ia

memerlukan suatu perlindungan hukum yang layak agar dapat melaksanakan

tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum.35

2. Penegertian Anak

Defenisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut

hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara

34

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Lengkap

Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,1988, hal.55

35

(31)

internasional defenisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child

tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Tahun 1985 dan

Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun

1948.36

Secara nasional defenisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya

menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum

menikah. Ada yang mengatakan anak adalah seorang yang belum berusia 18

tahun, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak

adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam

kandungan, sedangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengandilan

Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun

tetapi belum mencapai usia18 tahun dan belum pernah menikah. 37

Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda deengan

defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam dan

hukum adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah

dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia

untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak

dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau

belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum

36

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal.33 37

(32)

memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan

dalam hukum islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat

memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang

dewasa yaotu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut

sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan

kehidupan keluarga sendiri.38

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian

tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya,

dalam Convention on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa

anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF

mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18

tahun. Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum

menikah. Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16

tahun.39

Secara keseluruhan dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0

sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan

berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta

pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental

seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.

38

Ibid.

39

(33)

3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan

seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan sanksi pidana yang telah

diatur dalam undang-undang. Menurut WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah

penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri

sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan

atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian

psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut PP Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan

penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara

melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan

orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah

Tangga. Di dalam UU.No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan

dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penalantaran rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 2 ayat (1) UU.No.23 Tahun 2004 menentukan ruang lingkup rumah

tangga yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, yaitu meliputi :

(34)

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,

persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah

tangga; dan/atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap selama berada

dalam rumah tangga tersebut.

Pengaturan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap

anak-anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.40

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 tersebut menyatakan

bahwa anak termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Anak rentan terhadap

kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang berada

didekatnya seperti ayah, ibu, atau saudara-saudara dan sebagainya dalam lingkup

rumah tangga dengan berbagai sebab dan faktor yang melatarbelakangi kekerasan

tersebut menimpa anak yang semestinya dilindungi.

40

(35)

Anak yang menjadi korban kejahatan disebut juga dengan istilah viktima.

Pengertian ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1960, yaitu dengan adanya

perbaikan penambahan pada pasal-pasal KUHP dengan UU Nomor 1 Tahun 1960.

Kemudian ruang lingkup viktima dikembangkan menjadi species dari bidang

kriminologi yang dituangkan dalam cabang ilmu khusus dan dinamai dengan

victimology (bahasa inggris) yang berarti ilmu yang mempelajari seluk beluk dari

suatu korban kejahatan yang fungsional dan struktural.41

Viktimologi hanya memusatkan perhatian pada si korban dalam usaha

yang bersiri sendiri, mempunyai kecenderungan pada si korban dan perbuatannya

yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana.”

Masalah korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki

aspek hukum dari kausalitis bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan

kejahatan dan pelanggaran.

Arif Gosita menyebutkan dengan, “masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara proposional dimensional dari peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan”.

42

Meletakkan anak sebagai korban kejahatan atau pelanggaran dalam

pembahasan hukum perlindungan anak, yaitu karena ketentuan rumusan delik

yang terdapat dalam KUHP dan pidana khusus seperti UU No. 9 Tahun 1976

tentang Narkotika. Dalam ketentuan KUHP, anak sebagai korban kejahatan dapat

ditemukan pada jenis-jenis kejahatan sebagai berikut :43

1. Pornografi, pasal 283 KUHP;

41

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan hukum Perlindungan Anak, Grasindo, 2000, Jakarta, hal.88

42

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1985, hal. 43-45 43

(36)

2. Persetubuhan, pasal 287,288, 291, 298 KUHP;

3. Perbuatan cabul, pasal 293, 294 KUHP;

4. Meninggalkan orang yang butuh pertolongan, pasal 308 KUHP;

5. Kemerdekaan seseorang, pasal 330, 331, dan 337 KUHP;

6. Menghilangkan jiwa anak, pasal 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349

KUHP;

7. Penganiayaan, pasal 356 ayat (1) huruf e KUHP.

Anak sebagai korban kejahatan dalam ketentuan pelanggaran dan

kejahatan UU No.9 Tahun 1976 tentang narkotika ditemukan dalam Pasal 36, 38

dan Pasal 23 UU No. 1976 tentang Narkotika. Anak sebagai korban dalam

pelaksanaan delik narkotika, dikarenakan bahwa undang-undang ini menganut

legalitas sebagai delik formal dan delik meterial yang membawa akibat yang

sangat besar terhadap pengaruh penggunaannya.44

44

Ibid.

Pada kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga mengandung

norma-norma hukum pidana, tetapi terdapat beberapa perkembangan dari delik yang

sudah ada. Perkembangan tersebut sebagai dampak atau akibat adanya suatu

kebutuhan. Karena kalau kita kaji sebetulnya tidak kekerasan yang terdapat dalam

rumah tangga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, karena yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlalu

umum dan luas, maka perlu kiranya ada undang-undang yang lebih spesifik untuk

(37)

Kekerasan dalam rumah tangga telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana

atau perbuatan pidana, mengingat bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga,

juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Karena Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana tidak sepenuhnya dapat digunakan menangani

kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan

undang-undang khusus yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah

tangga serta melindungi korban.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan.

Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian sosiologis.

Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap

perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini

yaitu “Tinjauan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid.

B/2010/PN/Medan)” sedangkan dalam hal penelitian hukum sosiologis penulis

melakukan penelitian terhadap bagaimana keefektifan instrumen hukum yang

sedang berlaku dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban

kekerasan dalam rumah tangga.

(38)

Penyelesaikan penelitian skripsi ini menggunakan metode pendekatan

yuridis sosiologis atau social-legal approach melihat permasalahan yang diteliti

adalah mengenai hubungan faktor sosiologis dengan faktor yuridis. Dalam skripsi

ini yang menjadi faktor sosiologis adalah mengenai bagaimana anak tersebut

diberlakukan secara adil tanpa ada suatu kekerasan terhadapnya baik itu fisik,

psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Sedangkan faktor yuridisnya

adalah mengenai kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak

dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap kejahatan kekerasan yang

menimpa anak dalam rumah tangga.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kota

Medan tempatnya di Pengadilan Negeri Medan. Adapun yang menjadi alasan

pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa jumlah kasus kekerasan dalam

rumah tangga cukup banyak dan rentan terjadi.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan

dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap

literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai

dasar analisis terhadap subtansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian

kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder

yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar

maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

(39)

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Akan

dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

Yang berpedoman kepada masalah pengaturan perlindungan hukum dan

penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang

menimpa anak. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berusaha

memaparkan data-data yang sebenarnya, metode deduktif artinya berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang perlindungan

hukum dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga

yang menimpa anak. Kejahatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak

yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat

khusus berdasarkan data-data yang khusus mengenai kekerasan dalam rumah

tangga terhadap anak tersebut ditarik kesimpulan umum setelah dikaitkan dengan

perlindungan dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah

tangga yang menimpa anak.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian

ini akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat

latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II: Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan

(40)

secara mendalam mengenai pengertian dari kekerasan terhadap anak

dalam ruang lingkup rumah tangga, dan membahas tentang bentuk

atau klasifikasi kekerasan yang di alami anak serta menguraikan

tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga.

Bab III: Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang perlindungan

hukum dari korban kekerasan serta realitas perlindungan hukum dan

ketentuan pidana terhadap korban (anak) serta bagaimana

penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga

yang menimpa anak.

Bab IV: Dalam bab ini diulas mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga

yang terjadi di wilayah kota Medan Kelurahan Pekan Labuhan

Kecamatan Medan Labuhan beserta analisa kasus tersebut.

Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan

(41)

BAB II

BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect

berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey

seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik

seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak

atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa mengetahui sebabnya

(unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal dengan istilah

Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan

yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu :”Setiap

keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak

oleh orang tua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan

terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau

pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik

secara fisik maupun intelektual.45

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain yang menggambarkan kasus

penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome,

dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan

emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tak memadai. Istilah Child Abuse

45

(42)

sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak di bawah usia 16 taun

yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak

secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannnya.46

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan

seperti perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh

orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana

itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan

kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami

anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjasi

luka atau goresan (scrapes/scratches). Namun demikian perlu disadari bahwa

child abuse sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik saja,

melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui, misalnya

pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang

tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian

pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan

kekerasan-kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse). 47

Mewujudkan keutuhan dalam rumah tangga adalah dambaan setiap orang.

Hal itu sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut

untuk memahami perannya, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian

diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan

rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat

dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga

46

Ibid., hal. 114 47

(43)

sehingga timbul rasa tidak aman, ketidakadilan, maupun ketidaknyamanan

terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.48

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang

wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak.

Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam

mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup,

dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004,

Pasal 1 Poin 1, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga. Menurut konteks frasa kalimat “terutama perempuan” segaimana

dimaksud Pasal 1 poin 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, kiranya dapat

dipahami bahwa pada dasarnya dalam kenyataan memang wanita dan anak lebih

banyak menjadi korban dalam kasus Kekerasan Dalam Ruamh Tangga.

49

Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah:

“Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan

seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang

mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan

48

Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2010, hal. 218

49

Kadnet, “Pengertian Kekerasan Terhadap Anak”, 2009,

(44)

anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang

dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau

kekuasaan. Sementara pengertian menurut UU Perlindungan Anak Pasal 13 yang

dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik

maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,

ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.”50

Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan

terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak

di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut

kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di

dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik

secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang

berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua

dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.

Kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua

dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang

seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan,

kesengsaraan, cacat atau kematian.

51

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang

berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses

50

Iin Sri Herlina, “Defenisi Kekerasan Terhadap Anak”, 2010,

51

Kadnet, “Pengertian Kekerasan Terhadap Anak”, 2009,

(45)

belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang

dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan

tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses

belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang

melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Bagi orangtua tindakan yang dilakukan

anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,

pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain.) yang menyebabkan atau dimaksudkan

untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga

berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan,

dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena

kebetulan. Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa

mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik,

perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan anak

Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan

fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan

buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak.

Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang

dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut

atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di

(46)

Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan

anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan

penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak.

Penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orang tua atau pengasuh

yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan

berkembang.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap

anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang

berakibat penderitaan terhadap anak. Pelanggaran terhadap hak anak dewasa ini

semakin tidak terkendali dan mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa

dan bernegara. Tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum

berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi

fakta dan tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan

terhadap anak dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang

tidak boleh diintervensi oleh masyarakat.

B. Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Tindakan kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak tersebut dapat

terwujud setidaknya dalam empat bentuk. Pertama, kekerasan fisik. Bentuk ini

paling mudah dikenali. Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah;

menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik mendorong, menggigit,

membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban

(47)

luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya

lebih berat.52

Kedua, kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini, tidak begitu mudah untuk

dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang

nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada

situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat

korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah; penggunaan

kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan

orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengankata-kata dan

sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah

diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan

(deccision making).53

Azevedo & Viviane mengklasifikasikan bentuk kekerasan psikologis pada

anak. Bentuk kekerasan ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

54

52

Bagong Suyanto dan Sri Sanituti ariadi, Op.Cit., hal. 115 53

Ibid.

Tabel 1

Klasifikasi Kekerasan Psikologis pada Anak

54

Azevedo & Viviane. Domestic Psychological Violence: Voice of Youth. 2008, dikutip dari Lufita Tria Harisa, “Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis Terhadap Anak

(Child-Psychological Violence)”, 2012, <

(48)

KLASIFIKASI CONTOH PERILAKU

Indifference (tidak peduli)

Tidak berbicara kepada anak kecuali jika perlu,

mengabaikan kebutuhan anak, tidak merawat,

tidak memberi perlindungan dan kurangnya

interaksi dengan anak.

Humiliation (penghinaan)

Menghina, mengejek, menyebut nama-nama

yang tidak pantas, membuat mereka merasa

kekanak-kanakan, menentang identitas mereka,

martabat dan harga diri anak, mempermalukan

dan sebagainya.

Isolation (mengisolasi)

Menjauhkan anak dari teman-temannya,

memutuskan kontak anak dengan orang lain,

mengurung anak sendiri dan sebagainya.

Rejection (penolakan)

Menolak atau mengabaikan kehadiran anak,

tidak menghargai gagasan dan prestasi anak,

mendiskriminasi anak.

Terror (teror)

Menimbulkan situasi yang menakutkan bagi

anak, rasa khawatir dan sebagainya.

Sumber: Azevedo & Viviane. Domestic Psychological Violence: Voice of Youth.

Gambar

Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan

Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan

1. Materiil, sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur. Formil, sifat tersebut

Sosialisasi / penyuluhan tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah ini

Dalam penegakan hukum terhadap Undang-Undang P-KDRT terdapat sejumlah kendala: Pertama, delik KDRT yang dirumuskan dalam UU P-KDRT “setengah hati” sehingga dalam pelaksanaan

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan

Menurut hukum Islam yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Semarang terhadap terdakwa termasuk dalam jarimah qishash diyat atau jarimah pembunuhan, dan menurut peneliti

Hasil Dan Pembahasan 3.1 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Menjadi Korban Penganiayaan Massa Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia selaku