• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK

E. Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan

Kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkap ke permukaan (fenomena gunung es). Bahkan, meskipun kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering sangat terlambat. Kesulitan dalam mengungkap

134

kasus kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh faktor internal maupun struktural (Suharto, 1997), yaitu : 135

1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkan kasusnya karena takut akan akibat yang kelak diterimanya baik dari si pelaku (adanya ancaman) maupu n dari kejadian itu sendiri (traumatis, aib).

2. Manipulasi dari si pelaku. Pelaku yang pada umumnya orang yang lebih besar (dewasa) sering menolak tuduhan (setidaknya di awal proses penyelidikan) bahwa ia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami “wild imagination”.

3. Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap secara umum.

4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga (hubungan orangtua-anak, suami-istri) tidak patut dicampuri oleh masyarakat.

5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas “tanda-tanda” pada diri anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus sexual abuse, karena tidak adanya tanda-tanda fisik yang terlihat jelas.

6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat luas.

Sebagai suatu kasus yang tergolong tabu dan disadari melanggar batas- batas etika, ditenggarai kasus-kasus kekerasan umumnya jarang terekspose ke

135

luar, dan kalaupun kemudian diketahui umum biasanya berkat peran dan keterlibatan mediamassa atau karena ada kejadian yang menghebohkan. Seorang ayah atau ibu yang memukul kepala anaknya atau bahkan menghajar dengan keras sekalipun sepanjang apa yang mereka tidak sampai menimbulkan luka fisik yang serius atau kematian maka kejadian itu akan lewat dan menguap begitu saja.136

Dalam banyak kasus, sekalipun tetangganya mengetahui dan mendengar jerit kesakitan dan tangisan keras anak-anak yang dihajar orangtuanya, tetapi karena persoalan itu dianggap sebagai masalah intern keluarga masing-masing, maka mereka biasanya hanya diam dan tidak berani ikut campur. Di kalangan keluarga sendiri pun biasanya mereka juga enggan mengungkap kasus-kasus kekerasan anak yang menimpa anggota keluarganya, karena dikhawatirkan dapat mempermalukan atau menimbulkan aib yang tidak diinginkan. Katakanlah, ada seorang ibu yang mengetahui anaknya ternyata diperkosa ayah kandungnya sendiri atau oleh ayah tirinya. Jangan heran, dengan dalih untuk menjaga agar aib itu tidak menjadi bahan pergunjingan tetangga dan menutup rasa malu mereka, maka sejauh memungkinkan kejadian seperti itu akan dicoba-coba ditutup-tutupi. Tidak sekali dua kali, seorang ibu lebih memlih pergi ke luar daerahnya pindah atau mengungsi sementara untuk menyembunyikan diri sambil menunggu perkembangan situasi daripada memilih melaporkan kejadian yang menimpa anaknya ke aparat kepolisian atau meminta keadilan kepada tokoh-tokoh informal didaerahnya.137

136

Ibid., hal. 51

137

Tindak kekerasan terhadap anak-anak biasanya baru memperoleh perhatian publik secara lebih serius tatkala korban-korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlah makin meluas, korban bertambah makin banyak, dan dapat menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan rakyat. Seperti halnya tindak kekerasan yang dialami perempuan, tindak kekerasan yang dialami anak-anak disinyalir terdapat pada setiap tingkat kelas, dapat dialami dan dilakukan oleh siapa saja, baik orang-orang yang secara psikologis berperilaku menyimpang atau oleh orang tua kandung sendiri yang sehari-hari terlihat begitu baik tiba-tiba berubah kalap : memaki, menampar, memukul, atau bahkan membunuh anak kandungnya sendiri.138

Pada satu tindak pidana (pebuatan pidana) terdapat 2 (dua) komponen pokok yaitu pelaku dan korban tindak pidana. Pada kenyataannya apabila ingin memahami masalah terjadinya kejahatan, terlebih dahulu harus dipahami peranan korban yang mempengaruhi terjadinya kejahatan. Pihak korban mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif dalam suatu kejahatan. Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, langsung atau tidak langsung. Peranan korban terhadap timbulnya tindak pidana sering kali tidak mendapat perhatian, namun sering kali korban ikut berpartisipasi terhadap timbulnya kejahatan, secara sadar atau tidak sadar. 139

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga faktor pemicu terjadinya kekerasan tidak dapat diperinci satu persatu, karena timbulnya tindakan kekerasan tersebut dipengaruhi dan tergantung pada faktor tertentu dan korelasi antara

138

Ibid., hal.53

139

pelaku dan korban. Pihak korban dapat berperan secara langsung atau tidak langsung, semuanya tergatung pada situasi dan kondisi. Faktor pencetus terjadinya kejahatan/tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak sama antara satu kasus dengan lainnya. Penanganan terhadap kasus tersebut juga sepenuhnya tergantung pada korban. Karena ada korban yang tidak mau melapor dan membiarkan dirinya menjadi korban, karena alasan tertentu. Namun ada juga korban yang mempunyai tekad untuk menyelesaikan masalah rumah tangga tersebut melalui jalur hukum. Oleh karena itu, meskipun kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, dimana setiap orang yang mengetahui terjadinya kekerasan bila melapor, sepenuhnya masih tergantung pada kehendak korban. Karena dalam kenyataannya masih banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang mencabut laporannya ke polisi.140

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga mempunyai sifat istimewa dan khusu. Keistimewaan perbuatan ini terletak pada hubungan antara pelaku dan korban. Pada kasus-kasus tindak pidana yang lain kadang-kadang pelaku tidak mengenal korban sama sekali dan sering kali tidak mempunyai hubungan. Tetapi pada kekerasan dalam rumah tangga pelaku dan korban mempunyai hubungan khusus yaitu hubungan perkawinan (suami istri), hubungan darah (orang tua, anak, kemenakan) atau hubungan adanya ikatan kerja misalnya pembantu rumah tangga dan tinggal dalam satu rumah dengan pelaku.141

Masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam Kongres PBB ke VII tahun 1985

140

Ibid.

141

di Milan ( tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Demikian besar perhatian dunia internasional terhadap masalah ini, sehingga Kongres ke-7 mengajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke Majelis Umum PBB. Rancangan resolusi ini kemudian menjadi Resolusi Majelis Umum PBB NO.40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power. 142

Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang- undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban.143

Perlindungan bagi korban tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, talh diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Diharapkan Undang-Undang ini dapat melindungi para korban, karena dalam undang-undang diatur tentang saksi bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Sanksi tersebut berupa pidana penjara atau pidana denda. Di samping itu, masih ditambah adanya pidana tambahan bagi

142

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 53-54

143

pelaku. Selain itu dalam undang-undang juga diatur tentang hak-hak para korban. Misalnya korban diberi perlindungan agar bebas dari ancaman pelaku, mendapat perawatan medis, penempatan “rumah” aman (rumah singgah) atau korban dapat mengahjukan gugatan ganti kerugian. Tentang ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 98-Pasal 101 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Acara Pidana (KUHAP). Selain memperhatikan korban tindak pidana yang mengalami kerugian. Secara objektif KUHAP seyogyanya dinilai, sejauh mana dapat mengungkapkan kebenaran untuk menegakkan keadilan demi ketentraman masyarakat. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mempertahankan hukum pidana materiil, untuk menjamin terpeliharanya kepentingan umum, bukan kepentingan individu. Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat proses untuk memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa, dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan ganti kerugian, yang pada hakikatnya merupaka perkara perdata.144

144

Laden Marpaung, Proses Penuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum

Pidana, Rajawali Grafindo Persada, 1997, Jakarta, hal. 80

Dasar dari penggabungan perkara gugatan ganti kerugian adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi :

“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”

Yang dimaksud dengan “orang lain” adalah pihak korban kejahatan, akibat perbuatan pelaku. Demikian pula pasal-pasal selanjutnya (Pasal 99 sampai dengan Pasal 101 KUHAP) memberikan wujud kepedulian pada nasib korban.

Dengan demikian perlindungan in abstracto bagi korban tindak kekerasan telah diberikan, hanya dalam kenyataannya (in concreto) menunggu bagaimana penerapan dan pelaksanaan hukumnya. Karena korban sebagai pihak yang dirugikan harus dibekali dengan pengetahuan akan hak-haknya di muka hukum.145

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana,

Dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat ditangani berlandaskan undang-undang yang baru tersebut. Jelasnya sejak tahun 2004 penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut.

Proses penanganan seperti pada kasus-kasus yang lain, korban atau keluarga/masyarakat melaporkan ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) tentang tindak kekerasan yang terjadi. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 15 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

“Setiap orang yang melanggar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuan untuk :

b. Memberikan perlindungan kepada korban, c. Memberikan pertolongan darurat, dan

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.” “Dalam waktu 1X24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,

145

kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.”146

“ Perlindungan sementara tersebut diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.”147

“Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.”

Surat penetapan perlindungan diberikan oleh Pengadilan atas permintaan kepolisian.

148

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh :

149

a. Korban atau keluarga korban; b. Teman korban;

c. Kepolisian;

d. Relawan pendamping, dan e. Pembimbing rohani.

“Dalam memberikan perlindungan sementara Kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.”150

Selanjutnya, kepolisian wajib segera melakukan peyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah

Kemudian kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

146

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 16 ayat (1)

147

Ibid., Pasal 16 ayat (2)

148 Ibid., Pasal 28 149 Ibid., Pasal 29 150 Ibid., Pasal 17

tangga. Untuk keperluan tersebut, Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :151

a. Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

b. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan;

c. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Adakalanya korban atau keluarganya mencabut laporan yang sudah diajukan ke Kepolisian, jumlahnya sekitar 70%. Hal ini disebakan telah terjadi perdamaian atau kesepakatan antara pelaku dan korban/keluarganya. Selain itu, masih terdapat laporan-laporan yang tidak dapat diteruskan untuk diproses karena setelah dilakukan penyelidikan ternyata adalah laporan palsu.152

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Peghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga tidak digolongkan pada tindak pidana umum lagi dan tidak lagi diproses berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 seluruh kasus yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga ditangani berdasar undang-undang tersebut.

151

Moerti Hadianti Soeroso, Op.Cit., hal.41 152

(PKDRT) adalah mengenai peran-peran Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokad dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban khususnya anak kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban (anak).153

1. Peran Kepolisian

Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani korban, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga sudah menjadi kewajiban dari Kepolisian untuk meindungi korban. Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil Kepolisian adalah :154

a. Memberikan perlindungan sementara kepada korban;

b. Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; c. Melakukan penyelidikan.

153

Ibid., hal.68

154

2. Peran advokasi

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka advokat wajib :155

a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak- hak korban dan proses peradilan;

b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan daam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

c. Melakukan koordinasi dengans esama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

3. Proses Pengadilan

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak luput mengatur bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.156

Seperti telah disebutkan, bahwa Kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari perlindungan. Maka setelah menerima permohonan itu, pengadilan harus :157

a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 26 UU No.23 Tahun 2004);

155 Ibid., 156 Ibid., hal.70 157 Ibid.

b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membututi, mengawasi atau mengintmidasi korban (Pasal 31 UU No.23 Tahun 2004).

Apabila terjadi pelanggaran perintah perindungan, maka korban dapat melaporkan hal ini ke Kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan yang ditujukan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya. 158

Sehingga dapatlah di ambil kesimpulan sebagai berikut :

Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara tegas telah diuraikan dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

159

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya

158

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga, Pasal 38

159

pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)

2. Dengan berlakunya undang-undang baru sejak 22 September 2004 yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi digolongkan pada tindak pidana umum, melainkan digolongkan pada tindak pidana khusus.

3. Kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak tahun 2004 diproses berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Di Kepolisian, Kasus-kasus KDRT ditangani oleh unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Perempuan dan Anak. Dimana polisi yang bertugas adalah para Polwan yang selain bertindak sebagai penegak hukum, juga bertindak sebagai sahabat bagi korban, bahkan kalau dibutuhkan juga bertindak sebagai konsultan. Dengan adanya undang-undang tersebut maka kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Polisi jumlahnya mengalami peningkatan.

4. Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah disosialisasikan pada masyarakat, masih saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang terlambat dilaporkan. Hal ini menyulitkan dalam pembuatan visum et repertum, karena bekas-bekas kekerasan (bukti fisik) sudah terhapus/hilang.

5. Vism et repertum yang diminta sebagai alat bukti seringkali juga menyulitkan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Karena

korban terlambat melapor, sehingga bukti-bukti fisik seperti bekas memar- memar, cakaran, dan sebagainya sudah lenyap. Hal ini akan membuat petugas (dokter) dalam membuat visum et repetum mengalami kesulitan pula.

6. Biaya pembuatan visum et repertum dibebankan pada korban atau keluarganya. Hal ini sangat memberatkan, terutama bagi korban yang kurang mampu atau terbatasnya dana dari para korban.