BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Kekerasan Seksual pada Anak
Menurut the Minimum Age Convention nomor 138, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention on tehe Rights of
the Child yeng telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppre nomor 29 tahun1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.
Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun (Huraerah, 2012: 31).
2.3.2 Hak-Hak Anak
Hak anak menurut pasal 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembangnya dengan wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan ke mampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Huraerah, 2012: 33).
2.3.3 Pengertian Kekerasan Seksual
Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungna intim antara laki-laki dengan perempuan (Dewi, 2012: 59).
Wahid dan Irpan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Huraerah, 2012: 70).
Wignjosoebroto mendefenisikan kekerasan seksual sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) terhadap seorang korban (biasanya perempuan) dengan cara menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar (Suyanto, 2010: 235). Sedangkan pendapat lain yang dikemukakan oleh Brownmiller tentang kekerasan seksual adalah pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan itu tadi (Suyanto, 2010: 50).
Fenomena kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Hal ini terjadi disebabkan korbannya sebagian besar adalah para perempuan dan anak-anak mereka. Sehingga apabila korban melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, maka akan muncul ketakutan akibat adanya ancaman dari pelaku kekerasan seksual. Sosial ekonomi merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat. Keadaan ini mempengaruhi pula cara-cara kehidupan
seseorang. Dalam kondisi pergolakan mudah sekali terjadinya tindak kekerasan seksual karena adanya ketegangan maupun ketidakamanan pada masyarakat, misalnya: penghasilan sosial yang rendah, keadaan perumahan yang buruk, dan sebagainya. Akibatnya akan kita jumpai peningkatan kriminalitas, salah satunya adalah kekerasan seksual pada anak.
Dilihat dari segi lingkungan sosial, psikologi lingkungan memandang bahwa sebuah lingkungan fisik (dalam hal ini tempat tinggal) juga memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang, terutama sekali jika orang tersebut memiliki ikatan emosional yang erat dengan lingkungan fisiknya (Halim, 2008: xii). Tempat tinggal dapat meliputi tata ruang secara fisik yaitu kepadatan, kesesakan, ketersediaan ruang publik,
personal space, hingga menyangkut privacy pada setiap orang (Sarwono, 1992: 67). Tempat
tinggal yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Tempat tinggal yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, tempat tinggal yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang seharusnya dialami.
Sampson, morenoff, dan Erls dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam lingkungan yang buruk atau kumuh, dapat menghambat pengembangan organisasi sosial lingkungan, di mana ketiadaan organisasi sosial lingkungan ini meningkatkan risiko tindak kekerasan kepada anak (Sampson, morenoff, & Erls, dalam Halim, 2008: 199). Sedikit sekali individu yang melakukan tindak kekerasan kepada anak ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari masyarakat untuk membatu individu mengatasi stres yang disebabkan oleh kondisi sosial. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menyebabkan individu sulit untuk mengubah perilakunya sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat (Huraerah, 2012: 53).
Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Tempat tinggal yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah.
Korban kekerasan seksual yang berasal dari keluarga dengan status sosial rendah biasanya kesulitan untuk mempertahankan privacy. Tempat-tempat yang seharusnya aman dan memfasilitasi tumbuh kembang anak, menjadi area yang mengancam dan membahayakan. Pada anak-anak dengan status sosial yang rendah, privacy yang diharapkan mungkin akan lebih sulit dicapai karena setiap saat orang lain dapat mengintervensi dirinya baik secara fisik maupun sosial. Lingkungan yang padat sangat membatasi privacy anak sehingga pertumbuhan emosinya menjadi terhambat. Padahal privacy berfungsi untuk mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika
privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses ketelanjangan sosial,
yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasia diri sendiri. Selain itu, juga terjadi proses deindividuasi dimana anak merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai lagi. Hal tersebut membuat anak semakin mudah untuk menjadi korban kekerasan seksual oleh orang di sekitasnya (Sarwono, 1992: 72).
Paul A. Bell mengemukakan ransangan dari lingkungan individu akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ransangan itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan
homeostasis. Kemungkinan kedua, ransangan itu dipersepsiakan di luar toleransi yang
menimbulkan stres pada individu (Paul A. Bell, dalam Sarwon, 1992: 86). Stres yang ditimbulkan dari lingkungan individu salah satunya adalah kondisi sosial. Kondisi sosial yang tidak baik akan meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup pengangguran, penyakit, Kondisi-kondisi rumah buruk, ukuran keluarga besar dari rata-rata, kelahiran bayi, orang cacat di rumah, dan kematian seorang anggota keluarga. Sebagian besar kondisi ini terjadi karena adanya kemiskinan (Huraerah, 2012: 52-54).
Sedangkan dari segi ekonomi, salah satu hal yang berhubungan dengan masalah perekonomian antara lain urbanisasi. Di negara yang sedang berkembang ke arah negara modern, terjadi perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah urbanisasi. Urbanisasi ini dapat menimbulkan hal-hal yang positif dan negatif. Dampak negatif dari urbanisasi adalah adanya pengangguran. Dapat dipastikan bahwa timbulnya niat jahat akan lebih besar karena menganggur dibandingkan sebaliknya.
Situasi tersebut pada akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebahagian dari mereka yang tidak mampu menyalurkan hasrat seksnya tersebut pada wanita tuna susila, akan menyalurkan dalam bentuk onani, sedangkan yang lain mencari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban (anak pelaku sendiri atau orang-orang terdekat yang ada di sekitar pelaku) untuk dijadikan pelampiasan hasrat seksualnya. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya adalah pemerkosaan.
Sebaliknya golongan orang berada atau kaya tidak tertutup melakukan kejahatan susila, akibat kekayaannya sendiri. Perkosaan yang terjadi di hotel atau di tempat-tempat penginapan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan di dalam melakukan niatnya tersebut tidak
jarang si pelaku yang berasal dari golongan berada mempergunakan alat perangsang yang kesemuanya ini diperoleh dengan uang yang tidak sedikit.
2.3.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
Menurut Resta dan Darmawan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategaori yaitu perkosaan, inces, dan eksploitas. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perkosaan
Komnas Perempuan mendefiniskan perkosaan sebagai serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), ke anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Pemerkosaan seringkali terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil. Khususnya untuk anak ini dilindungi dan tidak
dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat pemerkosaan, dan pemerkosa harus dijauhkan dari anak.
2. Inces
Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.
3. Eksploitasi
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan ponografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak-anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orangtua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri (Huraerah, 2012: 71).
Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:
1. Pasal 285 KUHP disebutkan tentang pemerkosaan:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah memakai kekuasaannya yang timbul dari pergaulan atau dengan memberdayakan, dengan sengaja mengajak orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahui atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
Menurut Caeti (2009) pencabulan adalah semua perilaku atau aktivitas seksual yang ditujukan pada anak-anak, termasuk didalamnya: meraba-raba, oral sex, persetubuhan,
exhibitionisme, mengambil atau menyimpan gambar porno anak-anak, menunjukkan
memperlihatkan materi porno secara vulgar kepada anak-anak atau melakukan hubungan sexual dihadapan anak-anak. Pada umumnya di Indonesia kata “pencabulan” digunakan untuk kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur (anak-anak yang belum dewasa). Jika berdasar pasal pada UU Perkawinan 1974, maka korbannya berumur kurang dari 16 tahun (http://www.academia.Edu. Makalah_Perkosaan_ dan _ pencabulan.docx. Diakses pada tanggal 29 maret 2014 pukul 20.00).
2.3.5 Ciri-Ciri Umum Anak yang Mengalami Kekerasan Seksual
1. Tandan-tanda Perilaku
a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunitas ke penuh rahasia. b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komperatif lebih agresif atau pasif dari
teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya.
c. Gangguan tidur: takut pergi ketempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk.
d. Perilaku regresif. Kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut; seperti ngompol, mengisap jempol, dsb.
e. Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.
f. Perilaku menghindar: takut atau menghindar dari orang tertentu (orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh) lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah. g. Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau
bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.
h. Penyalahgunaan NABZA; alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.
i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.
2. Tanda-tanda Kognisi
a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan menghayal, fokus perhatian singkat atau terpecah.
b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.
c. Respon atau reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat.
3. Tandan-tanda sosial-emosional
a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga.
b. Manarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.
c. Depresi tanpa penyebab: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.
d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilangnya kepercayaan terhadap orang lain. e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau
sebagaimana dialami oleh teman sebanya. 4. Tanda-tanda fisik
a. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.
b. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri, atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.
c. Hamil (Zastrow, dalam Huraerah, 2012: 73).
2.3.6 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual
Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan anak, yaitu:
1. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
2. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukuman dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
3. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu penyebab seseorang melakukan kejahatan tindak kekerasan seksual. Keadaan ekonomi yang sulit akan membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya membawa dampak kepada baik atau tidaknya pekerjaan yang diperoleh. Keadaan yang demikan menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya. 4. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang
dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak meresa takut lagi dengan sanksi hukuman yang akan diterimanya.
5. Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
6. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya. 7. Pengaruh perkembangan sosial budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutup aurat, yang dapat meransang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
8. Gaya hidup atau metode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan (Wahid & Irfan, 2001: 72) .
Pendapat lain dari sebuah model yang disebut “The Abusive Environment
Model”,Ismail menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak
sesungguhnya dapat ditinjau dari segi aspek, yaitu: aspek kondisi sang anak sendiri, orang tua, dan lingkungan sosial.
1. Faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.
b. Perilaku menyimpang pada anak. 2. Faktor orang tua
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya :
a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris.
b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan. c. Gangguan mental.
d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun.
e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas. f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga.
g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 3. Faktor lingkungan sosial/komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan penelantaran pada anak yaitu :
a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis. b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah .
c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. d. Status wanita yang dipandang rendah.
e. Sistem keluarga patriarkal.
f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis (Suyanto, 2010: 35).
Sementara itu Richard J. Gelles juga mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat katagori utama, yaitu:
1. Pewaris kekerasan antar generasi
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwariskan (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Beberapa ahli yakin bahwa peramal tentang tindakan kekerasan di masa depan adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah untuk memperlakukan mereka dengan tindak kekerasan. 2. Stres sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan
kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindak kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindak kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.
Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orangtua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan meransang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemehan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orangtua dan meningkatkan risiko tindak kekerasan.
3. Isolasi sosial dan Leterlibatan masyarakat bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Faktor-faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggungjawab masyarakat, yaitu: tentangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak apabila orangtua tidak bersedia atau tidak sanggup. Di Amerika Serikat, orangtua sering memikul tuntutan perawatan anak oleh mereka sendiri yang mungkin berakibat pada resiko stres dan tindakan kekerasan kepada anak yang lebih tinggi.
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan