• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : HAK PILIH SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA

102/PUU- VII/ 2009

B. Kekuatan Mengikat Putusan MK No.102/PUU-VII/2009

Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang bersifat Erga Omnes Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. Dengan demikian MK merupakan peradilan pertama dan terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Setelah putusan dibacakan, MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan77.

Putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam perkara pengujian Undang-undang, berlaku secara umum dan mengikat semua pihak baik itu perorangan dan/atau lembaga negara. Putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya lebih mewakili kepantingan umum dari pada kepentinga individual, walaupun untuk

77 Pasal 49 UU No. 24 Tahun 2003

mengajukan permohonan pengajuan undang-undang disyaratkan adanya kerugian konstitusional yang diderita pihak yang berperkara. Putusan MK tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang secara langsung berperkara, tetapi juga secara keseluruhan terhadap warga negara yang tunduk terhadap konstitusi. Hal ini dikarenakan sifat norma undang-undang yang diuji dan norma yang dijadikan dasar pengujian adalah norma yang bersifat umum (abstract and impersonal).

Norma UU yang diuji bersifat umum karena disahkan berlaku untuk umum, yang mencerminkan kehendak mayoritas rakyat yang berdaulat.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi, sudah semestinya dapat berlaku secara mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia sejak putusan itu dikeluarkan. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, mempengaruhi apa yang menjadi hukum dan apa yang tidak akan menjadi hukum.

Proses pengujian terhadap kaidah atau norma umum yang ada dimasyarakat, bukan lagi dipandang sebagai uji kelayakan pasal atau ayat atau bagian tertentu dalam Undang-Undang yang dujikan. Dalam artian bahwa apabila suatu norma yang ada dalam pasal atau ayat Undang-Undang telah diujikan kepada MK maka akan menimbulkan konsekuensi hukum tertentu yang bukan hanya berdampak pada keberlakuan pasal atau ayat dalam lingkup Undang-Undang itu saja, melainkan secara keseluruhan terhadap norma umum yang berlaku dimasyarakat.

Dalam konteks Putusan Mahkamah Kostitusi No.102/PU-VII/2009, putusan tersebut merupakan putusan yang bersifat Erga Omnes (putusan yang mengikat bukan hanya para pihak yang berperkara, namun juga masyarakat umum) karena putusan MK No.102/PUU-VII/2009 menguji suatu norma Undang-Undang, yakni

Undang-Undang No.42 Tahun 2008 yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dimanapun keberadaan norma dalam UU No. 42 Tahun 2008 yaitu Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) yang di Judicaial Riview akan berlaku sah bersyarat, sepanjang tidak menghilangkan hak pilih Warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kalaupun, norma yang diujikan tersebut juga diatur dalam UU lain, maka Putusan MK tersebut juga akan akan berlaku pula pada Undang-Undang ataupun peraturan lainya. Keberlakuan norma dalam suatu UU dalam prakteknya harus sesuai putusan (sah bersyarat) yang dikeluarkan Mahkamah Konstitsi. Setelah dikeluarkannya Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 Norma yang di judicial review tersebut menjadi materi muatan dari UU No.8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan DPR,PDP dan DPRD. yang selanjutnya Norma yang diujikan tersebut menjadi materi muatan dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Terlihatlah sifat umum dari putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya umum secara subjektif mengikat masyarakat umum, namun secara objektif tidak hanya mengikat UU yang diujikan, tapi juga kepda UU lain dimana norma yang diujika itu berada. mengapa tindak lanjut dari putusan itu dilakukan oleh Undang-Undang No.42 Tahun 2009, tetapi malah dilakukan oleh Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang pemilihan anggota Legislatif.

Sebelumnya telah dijelaskan pengujian terhadap norma dalam perkara putusan Mahkamah Konstitusi terjadi oleh karena pengalaman pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Legislatif yang menghilangkan banyak hak pilih warga negara oleh karena keberlakuan norma yang dijudicial review tersebut yang terdapat dalam UU No.10 Tahun 2008.

C. Tindak Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009

Dalam perkembangan dalam pengujian Undang-Undang putusan yang diajatuhkan MK, semula hanya berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatau Undang-Undang, pasal, ayat, atau frasa bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally nul and void), sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Pada perkembanganya MK menciptakan varian putusan yakni Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional), Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional), putusan yang menunda pemberlakuan putusan (Limited Constitutional) dan putusan yang merumuskan norma baru78 . Dengan keadaan yang demikian sering kali MK dianggap mengubah dirinya dari Negative Legislature menjadi Positive Legislature . Artinya Makamah Konstitusi menjadikan dirinya sebagai kamar ketiga . MK menjadi pencipta hukum walaupun tidak melalui proses legislasi.

Secara umum putusan MK No.102/PUU-VII/2009 bersifat declaratoir dan constitutief menyatakan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Putusan yang bersifat declaratoir adalah putusan yang mengabulkan yang menyatakan apa

78 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstotusi, 2010), h.205-206

yang menjadi hukum dari suatu norma Undang-Undang, yang bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan itu meniadakan keadaan hukum berasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan hukum baru.

Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 bersifat declaratoir dan constitutief karena desakan waktu yang tinggal 2 (dua) hari untuk MK secepatnya harus mengeluarkan Putusan, dengan mana Mahkamah berani langsung membuat suatu norma baru untuk langsung dapat dieksekusi pada saat penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi harus menunggu untuk di jadikan materi muatan dalam Undang-Undang79 atau tanpa membutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Dan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan perintah kepada KPU untuk mengatur perihal tindak lanjut dari Putusan tersebut. Oleh karena hal tersebutlah Mahkamah memutuskan untuk mengeluarkan Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 sebagai putusan Konstitusional Bersyarat (conditionally constitutional), merumuskan suatu norma baru dimana putusan yang dikeluarkan adalah sah sepanjang tidak mengilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum presiden dan Wakil Presiden dengan syarat dan cara yang harus dipenuhi. Syarat yang dimaksud merupakan norma baru yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya menyatakan mengabulkan sebagian, namun juga memberi persyaratan pemaknaan. Ada yang memandang, posisi dari syarat tersebut bukan sebagai norma pengganti, namun sebagai batasan atau kualifikasi

79 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 10

tertentu untuk menentukan norma yang diuji konstitusional atau inkonstitusional80.

Untuk menyatakan apa yang akan menajdi hukum dan apa yang tidak akan menjadi hukum, maka perlu adanya suatu tindak lanjut atas putusan MK. Dasar dari Tindak Lanjut suatu putusan MK adalah Pasal 10 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Perancangan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan

“tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi” sebagai materi yang harus diatur dalam Undang-Undang. Kemudian, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi No. 8 Tahun 2011 Pasal 57 ayat (3) yang menghendaki supaya Putusan tersebut dimasukan dalam Berita Negara agar seluruh Penyelanggara Negara dan Masyarakat Umum boleh mengetahui adanya Putusan tersebut. Sebagai bentuk Tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memerintahkan KPU supaya mengatur lebih lanjut terkait teknis pelaksanaan dari pada Putusan tersebut.

Adapun tindak lanjut Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 yang pertama sesuai dengan UU Mahkamah Konstitusi No. 8 Tahun 2011 Pasal 57 ayat (3) Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 dimasukan dalam Berita Negara. Kemudian, Mahkamah memerintahkan KPU untuk segara menindak lanjutinya dengan mengeluarkan petunjuk teknis penggunaan KTP ditempat pemungutan suara (TPS) yaitu Surat Edaran Nomor 1232/KPU/VII/2009 perihal petunjuk teknis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009. Surat edaran a quo mengatur mengenai Pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan akan

80 Nurrahman Aji Utomo, “Friksi Pengujian Undang dengan Pembentukan Undang-Undang (Urgensi Membuka Pintu Alternatif dalam Pengujiain Undang-Undang-Undang-Undang) (Judicial Review Friction By Law Making), Nasioanal Human Right Indonesia, Desember 201, h.413

melaksanakan hak pilihnya harus membawa KTP asli yang masih berlaku dan juga harus membawa Kartu Keluarga (KK) asli. Surat edaran menjadikan Putusan tersebut sebagai hukum positive yang berlaku untuk pemenuhan hak warag negara untuk memilih.

Selanjutnya, berdasar Pasal 10 ayat (1) UU NO.11 Tahun 2012 Putusan MK a quo ditindak lanjuti dalam Pasal 150 Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “(1) Pemilih yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap atau Daftar Pemilih Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Paspor; (2) Untuk Pemilih yang menggunakan KTP atau Paspor sebaaimana dimaksud padad ayat (1) diberlakukan ketentuan: a. memilih diTPS yang ada di RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera didalam KTP atua Paspor; b.terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; c. dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempa; (3) Untuk Pemilih yang menggunakan Paspor dengan alamat luar negeri, diberlakukan ketentuan: a. lebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; b. dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempat.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009 telah menjadikan kuatnya hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum. Selain menjadi solusi bagi warga negara yang hendak menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009, namun juga akan tetap

dapat digunakan dalam praktik penyelenggraan Pemilu kedepannya, baik itu Pemilu Presiden dan Wakil Prsiden maupun Pemilu Legislatif.

D. Pengaturan Hak Pilih dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD serta UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Sebelumnya telah dijelaskan oleh karena sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku Umum bukan hanya kepada para pihak yang berperkara dan masyarakat umum, namun juga secara objektif putusan MK yang dikeluarkan akan mempengaruhi tidak hanya norma atau UU yang di uji, tetapi juga UU lain yang didalamnya terdapat norma yang sama yang diuji ke Mahkamah.

Norma yang dijudicial riview oleh MK dalam Perkara Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 terdapat tidak hanya dalam UU NO.42 Tahun 2008, namun juga terdapat dalam UU No.8 Tahun 2012 Perubahan atas UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5316) dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU No. 7 Tahun 2017 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 6109).

Dalam UU No.8 Tahun 2012 Norma atau Puttusan menjadi materi muatan terdapat pada Pasal 150 yang menyatakan “(1) Pemilih yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap atau Daftar Pemilih Tambahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Paspor; (2) Untuk Pemilih yang menggunakan KTP atau Paspor sebaaimana dimaksud padad ayat (1) diberlakukan ketentuan: a. memilih diTPS yang ada di RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera didalam KTP atua Paspor; b.terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; c.

dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempat; (3) Untuk Pemilih yang menggunakan Paspor dengan alamat luar negeri, diberlakukan ketentuan: a. lebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; b.

dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempat.

Selanjutnya, oleh karena dinamika politik yang terjadi terkait penyelenggaraan pemilu, maka lahirlah UU No.7 tahun 2017 dibentuk dengan dasar-dasar penyederhanaan dan menyelaraskan serta menggabungkan peraturan Pemilu yang termuat dalam tiga UU, yaitu UU No.42 Tahun 2008, UU No.15 Tahun 2011, dan UU No.8 Tahun 2012. Sesuai dengan Pasal 571 UU No.7 Tahun 2017yang menyatakan bahwa UU No.42 Tahun 2008, UU No.15 Tahun 2011 dan UU No.8 Tahun 2012 dinyatakan dicabut dan tidak lagi berlaku (UU No.7 Tahun 2017 adalah hukum positif yang berlaku saat ini. Pengaturan lanjutan putusan MK yang sebelumnya menjadi materi muatan terdapat dalam UU No.8 Tahun 2012 tidak lah hilang karena diatur pula atau dimasukan menjadi substansi atau materi muatan dalam UU No. 7 Tahun 2017.

Secara Normatif pengaturan atau norma yang diujikan dalam perkara Putusan MK NO.7 Tahun 2017 terdapat pada pasal 348 ayat 8 menyatakan Pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat

memilih di TPS menggunakan kartu tanda penduduk elektronik; ayat 9 berbunyi Penduduk yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih diTPS/TPSLN dengan menggunakan KTP; Pasal 349 (1) Pemilik KTP elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan pemilih tambahan serta penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (1) huruf c dan huruf ddiberlakukan ketentuan sebagai berikut:

a. memilih di TPS yang ada di rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP elektronik.

b. mendaftarkan diri terlebih dahulu pada KPPS setempat dan

c. dilakukan 1 (satu) jam sebelum pemungutan suara diTPS setempat selesai.

Pasal 349 ayat (2) Untuk warga negara Indonesia yang tinggal di Luar Negeri yang menggunakan paspor dengan alamt luar negeri diberlakukan;

a. lebih dahulu mendaftatrkan diri pada KPPS setempat;dan

b. dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempat.

BAB V