• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan. Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai. Gelar SARJANA HUKUM. Oleh. Yuliarta Tampubolon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan. Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai. Gelar SARJANA HUKUM. Oleh. Yuliarta Tampubolon"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PENGATURAN “HAK PILIH” SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DALAM UU PEMILIHAN UMUM DIINDONESIA ( STUDI

TERHADAP UU PEMILU SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTIUSI NO.102/PUU-VII/2009)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai

Gelar SARJANA HUKUM

Oleh

Yuliarta Tampubolon NIM : 150200203 Bagian : Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa untuk setiap kasih setianya yang selalu menyertai, hikmat, perlindungan, dan bahkan keselamatan yang Dia berikan kepada penulis, sehingga saya dapat menyelesaikan proses penyusunan Skripsi yang berjudul “DINAMIKA PENGATURAN “HAK PILIH”

SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DALAM UU PEMILIHAN UMUM DIINDONESIA (STUDI TERHADAP UU PEMILU SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTIUSI NO. 102/PUU-VII/2009)”.

Saya menyadari, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan, semangat, serta doa-doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya dengan penuh kasih dan tulus mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum,selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing Akademik ;

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Afnila, S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Armansyah, S.H.,M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meneydiakan waktu dan kesempatan, tenaga serta kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;

8. Bapak Yusrin Nazief, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan kesempatan, tenaga, serta kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan saya dalam peulisan skripsi ini;

(4)

9. Bapak, Drs. Nazarudin, S.H.,M.A, Bapak Mirza Nasution, S.H.,M.Hum, selaku dosen saya serta para staff bidang Administrasi pada Departemen Hukum Tata Negara USU, atas waktu, kesempatan, tenaga, serta pikirannya dalam mendidik saya selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Khususnya pada Departemen Hukum Tata Negara;

10. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdi maupun telah pensiun, terimaksih telah mendidik saya.

11. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Kepada kedua orang tua saya (bapa dan mama), P. Tampubolon dan M.

Br. Simanjunak yang sangat kukasihi, terimakasih untuk kasih kalian kepadaku, terimakasih untuk harap dan doanya ...

13. Terimaksih kepada Amang Pendeta Lofty Sihotang bererta Inang Pendeta, Pendeta/Bapak Gembala Meidi Saerang berserta Ibu Gembala dan Amang Aruan (PHJ GKPI Padang Bulan) serta Jemaat GPdI Parung Panjang Bogor untuk dukungan doanya.

14. Kepada saudar-saudariku, Kakakku Magda Lena Tampubolon, adikku Samuel Tampubolon, adikku Fernando Tampubolon, adikku Helma Lia Putri Tampubolon dan adikku Desi Kristin Tampubolon (si bontot kami);

15. Terimakasih untuk kawan-kawan pelayananku Pemuda Pemuda GKPI Padang Bulan Medan, terimaksih telah menjadi bagian dari cerita indah hidupku;

16. Terimakasih untuk Bang Ondy Yohan Tambunan (Amang Tambunan) yang banyak mengajarkanku tentang apa itu proses yang sesungguhnya;

17. Terimakasih untuk Kakakku Ka Juniar Br. Manik (Inang Tambunan), Kak Tiur, Kakakku Geby Anggraini, Kakakku Rosa Silaban, Kakakku Rini Dakhi, Kakakku Ria Siregar, Kakakku Pebrina Siburian dan Kakakku Mindo Sianturi dan Rosa Siboro selalu semenyemangatiku;

18. Terimakasih terkhusus untuk bang Chandra Purba, Bang Frans Sinaga, Bang Ferry Sianturi, Bang Roben Pasaribu, Bang Louisten Manalu untuk dukungan moral;

(5)

19. Terimakasih untuk kawan-kawan kampusku, Prinels Sinaga, Natalia Fransiska,Farida Hanum, Wulan Suci, Fanidia Tumanggor, Lastiar Oktavia (kawan pelayanan juga) dan Bintang Ully Pardede (kawan Pelayanan juga).

Medan, September 2019

(6)

DINAMIKA PENGATURAN “HAK PILIH” SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DALAM UU PEMILIHAN UMUM DIINDONESIA ( STUDI

TERHADAP UU PEMILU SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTIUSI NO.102/PUU-VII/2009)

ABSTRAK Armansyah1

Yusrin2

Yuliarta Tampubolon3

Hak pilih dan dipilih merupakan hak asasi warga negara yang disebut sebagai hak politik warga negara. Pemilihan Umum baik itu dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilu Legislatif adalah wadah rakyat untuk memperguanakan haknya untuk dapat dipilih baik sebagai pemimpin maupun sebagai wakil rakyat serta hak untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang sesuai dengan hati nurani rakyat.

Regulasi yang kurang kuat menjamin hak pilih dapat membuat terancamnya warag negara kehilangan hak asasinya untuk memilih, seperti yang terjadi pada pemilihan umum legislatif tahun 2008 yang menghilangkan hak warga negara oleh karena norma atau pasal dalam UU No.10 Tahun 2008 yang dianggap bertententangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena pengalaman warag negara yang merasa dirugikan oleh karena keberlakuan norma atau pasal dalam UU No.10 Tahun 2008 dan agar tidak kembali terulang kasus kehilangan hak pilih dalam Pemiihan Umum selanjutnya yaitu PemilihanUmum Presiden dan Wakil Presiden, sebahagian masyarakat membawa perkara tersebut dan menjadikan norma yang ada pada UU No. 10 Tahun 2008 sebagai substansi perkara dengan UU yang diujikan ialah UU No 42 Tahun 2008 dengan Perkara No. 102/PUU-VII/2009.

Dalam tulisan ini akan membahas bagaimana penjaminan hak pilih dalam UU Pemilihan Umum sebelum dan sesudah dikeluarkannya Putusan MK No. 102/PUU.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Hak Pilih, Pemilihan Umum, Putusan Mahkamah Konstitusi

1 Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Metode Penelitian ... 25

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II HAK PILIH SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA A. Sejarah Singkat HAM ... 30

B. Hak Pilih dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) ... 34

C. Hak Pilih dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976) 36 D. Hak Pilih dalam Yuridiksi Nasional Indonesia ... 40

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 42

2. UU NO.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 46

BAB III PENGATURAN HAK PILIH SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDNAG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DIINDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-VII/2009 A. Pengaturan Hak Pilih dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif ... 48

1. Persyaratan bagi Partai sebagai Peserta Pemilihan Umum DPR,DPRD ... 50

2. Pengaturan Hak Memilih Warga Negara untuk Memilih Anggota DPR, DPRD dan DPD ... 58

B. Pengaturan Hak Pilih dalam UU No.42 Thun 2008 tentang Peilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden... 58

1. Pegaturan Hak Pilih untuk di Pilih dalam Jabatan Presiden dan Wakil Presiden ... 58

(8)

2. Pengaturan Hak memilih untuk memilih Presiden dan Wawkil Presiden ... 62 C. Kuat tidaknya Jaminan Hak Pilih dalam Pengaturannya dalam

Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Undang-Undanf Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD .. 63 BAB IV PENGATURAN HAK PILIH SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DIINDONESIA SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR.102/PUU- VII/2009

A. Pokok Perkara Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 ... 66 B. Kekutan Mengikat Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 ... 71 C. Tindak Lanjut Atas Putusan MK NO. 102/PUU-VII/2009 ... 74 D. Pengaturan Hak Pilih dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu

DPR,DPD,dan DPRD serta UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum ... 78 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 81 B. SARAN ... 82 DAFTAR PUSTAKA ...

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak pilih adalah hak politik warga negara yang diakui sebagai bahagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap warga negara mempunyai hak pilih, yaitu hak untuk memilih dan dipilih yang diimplementasikan melalui pemilihan umum. Sejak abad ke 17 keberadaan hak politik sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sudah dijamin, saat itu hak politik mencakup hak pilih, yaitu hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be candidate), namun belum seperti yang dimaksudkan dewasa ini.

Di Sparta kono pada masa 700 SM telah dilakukan praktik dipilih dan memilih menggunakan bentuk pemungutan suara sendiri. Di Appela, penduduk Sparta memilih pemimpin dengan metode pemilihannya adalah teriakan yang pada hakekatnya adalah rentang suara. Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut serta. Aristoteles menganggap metode tersebut kekanak-kanakan atau tidak dewasa dan belum modern. Namun hal itu dinilai memiliki sisi yang positif yaitu kesederhanaan dan transparansi yang dapat mencegah adanya tindak kecurangan dipihak penghitug suara 4

Dalam perkembangan Hak Asasi Manusia, pada abad ke 20, seusai Perang Dunia II (1942-1945) yaitu ketika negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal yakni Deklarasi Universal

4 J.B.Bury, “Ancient Sparta- Description of Governmental System”, http://rangevoting.org diakses pada tanggal 31 juli 2019

(10)

Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right, 1948) yang dijabarkan kedalam dua perjanjian Internasional yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/

ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic,Social and Culture Rights / ICESCR (1966))5. Dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik lah dijamin atau diatur lebih lanjut tentang hak politik yang mencakup hak memilih dan hak dipilih. Dapat dikatakan Kovenan Hak Sipil dan Politik merupakan Undang-undang pelaksana dari DUHAM6.

Hak memilih dan dipilih secara ekspilit dalam International Covenant On Civil And Political Rights dinyatakan dalam Pasal 25, yang berbunyi

“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak politik, memilih dan di pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara7 Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh anggota PBB, maka penjaminan Hak pilih sebagai hak asasi

5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hal. 211-212

6 Institute For Criminal Justice Reform, “Deklarsi Universal Hak Asasi Manusia”, https://icjr.or.id, (5 April 2019, 16;11)

7 SA’DUDDIN, “Pengaturan Hak Politik Warga Negara”, diakses dari http://www.dakta.com/news/1949/pengaturan-hak-politik-warga-negara, pada tanggal 29 April 2019, pukul 00.20

(11)

manusia harus ditegaskan ada dalam yuridiksi nasional baik dalam Undang- Undang Dasar maupun Undang-Undang dibawah Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI Tahun 1945) hal ini ditegaskan pada Pasal 28I ayat (4) yang menyebutkan bahwa,

“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Dalam perkembangan HAM di Indonesia, sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 negara Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) sudah menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 terdiri dari beberapa hak, termasuk didalamnya hak pilih yang tidak secara ekspilit dicantumkan. Hak –hak asasi yang ada dalam UUD NRI Tahuun 1945 disebut sebagai hak konstitusional, didalamnya termasuk pula hak pilih yang disebut sebagai hak konstitusional warga negara8, yang berarti hak tersebut dijamin dan oleh konstitusi9.

Hak pilih dalam UUD NRI 1945 mencakup hak untuk memilih dan dipilih, untuk hak memilih diatur dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”; Pasal 2 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwailan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dpilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”; Pasal 6A (1) “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”;

8 Maruarar Siahaan, “Hak Konstitusional dalam UUD 1945”, http://lama.elsam.or.id 2011/12/03 (Selasa, 06 Agustus 2019)

9 Vino DevantoAnjas K, menggagas “Constitusional Complaint Dalam Memproteksi Hak

Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Jurnal Konstiusi, Vol.7 No.3 (Juni 2010),h 186

(12)

Pasal 19 ayat (1) “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”; dan Pasal 22C (1) mengatakan “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setap provinsi melalui pemilihan umum”10. Ketentuan-ketentuan tersebut menjelaskan bahwa kedaulatan yang berada ditangan rakyat dilaksanakan melalui pemilihan umum untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat.

Sementara hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya; Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de ngan lisan dan tullisan dan sebagainya ditetappkan dengan undang- undang; Pasal 28D ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; Pasal 28E ayat (3)11 Setiap orang bebas atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.12

Ketentuan UUD 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Umum DPR, DPRD, DPD dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu, Pilpres, Pemilu Legislatif dan Pilkada, khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga

10 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22C (1)

11 ibid.,

(13)

negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM13.

Secara spesifik Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan payung hukum dari semua peraturan hak asasi manusia.

Jaminan Hak pilih dalam UU NO. 39 Tahun 1999 tercantum dalam pasal 43 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan14.”

Berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 yang menghendaki supaya hak pilih agar diatur dalam peraturan perundang undangan sendiri oleh karena itu jaminan pelaksanaan hak piih diatur dalam pemilu anggota legislatif, pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pertama kalinya pengaturannya dalam UU Pemilu diatur dalam suatu UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. UU tentang pemilu selanjutnya terus mengalami perubahan hingga pada sekarang ini undang-undang pemilu yang berlaku adalah UU No. 7 Tahun 2017.

Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-Undang pemilu mengalami suatu dinamika atau pergeseran atau perubahan atau pergerakan seturut dengan perubahan Undang-Undang Pemilu, perubahan Undang-Undang terjadi tiap kali pemilu di Indonesia. menjadi sebuah pertanyaan mengapa tiap kali pemilu di

13 Op. Cit.,

14 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165

(14)

Indonesia Undang-Undang selalu berubah. Perubahan dalam regulasi pemilu ini selalu beralasan karena sebagai hasil evaluasi pemilu sebelumnya. Perubahan UU pemilu ini menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu belum sempurna15.

Alasan-alasan perubahan UU pemilu mungkin saja disebabkan keadaan tertentu seperti ketika UU pemilu tersebut bertentangan dengan norma yang ada pada UUD 1945; atau oleh karena masyarakat merasa dirugikan oleh keberlakuan suatu pasal atau ayat baik beberapa atau bahkan keseluruhan UU pemilu tersebut;dan oleh karena ketika produk hukum buatan legislatif menyimpang dari kehendak publik16; atau oleh karena tuntutan keadaan politik yang mendesak diubahanya UU Pemilu. Oleh karena hal-hal tersebut jaminan dari pada hak pilih itu sendiri tidak memperkuat hak asasi manusia.

Dalam bebarapa keadaan sebagai contoh kurang kuatnya jaminan dari pada hak pilih dalam pengaturannya dalam UU pemilu yang pada akhirnya terlihat memang pengaturan hak pilih itu adalah hasil dari evaluasi. Contohnya masalah keterwakilan perempuan dalam menduduki jabatan atau persoalan hak perempuan untuk dapat dipilih baru dijamin secara konkrit dalam UU Pemilu Tahun 2004 kesempatan perempuan untuk dipilih untuk menduduki 30% kursi wakil rakyat17.

Kemudian dalam praktik pengisian jabatan anggota DPR dan DPRD melalui pengangkatan pernah dipraktikan pada Era Orde Lama maupun Orde Baru, sehingga mengurangi hak rakyat untuk menentukan siapa yang akan memerintah

15 Marulak Pardede, “Implikasi Sistem Pemilihan Umum di Indonesia”, Jurnal RechtsVinding, Vol.

3 No. 1, April 2014,hlm 87

16 Ferri Amsasri, S.H..,M.H, Perubahan UUD 1945 ( Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011),hlm vi.

17 Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hlm258.

(15)

dan hak rakyat untuk turut berkontestasi merebut kekuasaan melalui pemilu. Oleh karenanya UUD 1945 memberikan suatu batas demarkasi yang jelas sehingga tidak lagi tersedia ruang untuk mengurangi hak rakyat untuk dipilih dan untuk memilih18.

Persoalan lain hilangnya hak pilih oleh sebab kelalaian penyelenggara negara yang tidak melaksanakan kewajiban /tugasnya untuk mendaftarkan warga negara dalam daftar pemilih. Masalah DPT itu sendiri muncul pada saat dilaksanakannya Pemilu Legislatif sebelum pelaksanaan Pilpres 2009, beberapa pimpinan partai politik mengemukakan adanya 49 juta warga yang tidak masuk dalam DPT19. Masyarakat merasa dirugikan oleh sebab persoalan DPT yang dikehandaki oleh pasal 27 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menjadi syarat untuk warga negara terdaftar dalam DPT atau terdaftar menjadi pemilih agar dapat melakukan pemungutan suara padahal penyelenggara negara lalai dengan tidak mendaftar warga negara sebagi pemilih sehingga membuat Hak Pilihnya untuk memilih Anggota Legislatif dalam Pemilu 2009 hilang.

Sampai akhirnya belajar dari pada pengalaman dipemilu legilatif tersebut dan agar hak warga negara tidak dihilangkan lagi oleh sebab persoalan DPT tersebut sebagian masyarakat Indonesia yang menjadi pemohon menggugat persolan ke MK karena sebab UU No.42 Tahun 2008 Pasal 28 yang berbunyi, “Untuk menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebgai pemilih”. dan Pasal 111 ayat (1)

18 Khairul Fahmi, “Pergeseran Pembatasan Hak Pilih dalam Regulasi Pemilu dan Pilkada” , Jurnal Konstitusi Vol. 3 No.5, 2016, Hal759.

19 “Pansus DPR Temukan 49 Juta Pemilih Tak Masuk DPT”. http:// www.jakartapress.com/

www.php/ news/ id/ 7509/ Pansus-DPR-Temukan-49-Juta-Pemilih-Tak-Masuk-DPT. Diakses Maret 2010

(16)

menyatakan, Memilih yang berhak melakukan pemungutan suara di TPS meliputi:

a. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada TPS yang bersangkutan; dan b. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan.

Dinilai dengan adanya pasal 28 dan pasal 111 ayat (1) tersebut menghilangkan hak konstitusioanal para Pemohon yaitu hak memilih (the right to vote) yang berpotensi merugikan. Para pemohon terancam tidak dapat memilih dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009 bila tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)20 akhirnya MK mengeluarkan Putusan NO. 102/PUU-VII/2009 yang berisi mengabulkan permohonan para pemohon sebahagian yang menyatakan pasal 28 dan pasal 111 Undang-Undang NO.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT .

Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan utama dalam menyelesaikan perkara ini dengan memndang bahwa DPT sebagai sebuah prosedur tidaklah seharusnya dapat menegasikan hak memilih warga sebagai hak konstitusional yang bersifat substansial. Sehingga hak memilih warga tidak menjadi hilang dengan tidak dipenuhi ketentuan yang bersifat prosedural tersebut (DPT),

20 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2009 tentang pengujian UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 28 dan Pasasl 111 ayat (1).

(17)

sehingga perlu diupayakan solusi/cara dalam kaitanya dengan penjaminan terhadap hak-hak warga dalam proses pemilu21.

Demikin karena persoalan hak pilih dengan dinamika yang ada itu menurut saya perlu untuk ditulis lebih lanjut bagaimana dinamika hak pilih ini sebenarnya, bagaimana dinamika pengaturn hak pilih dalam Undang-undang Pemilihan umum yang akan difokuskan pada UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum Legislatif dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum adanya putusan MK No.102/PUU-VII/2009 apakah cukup menjamin atau memperkuat hak asasi manusia, bagaimana hak pilih setelah dikeluarkanya Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 bagaimana kesesuaianya dengan pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu No. 42 Tahun 2008 dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, didalamnya akan dibahas bagaimana implikasi dari putusan MK tersebut terhadap pengaturan hak pilih dalam UU pemilu dengan melihat pada sifat Putusan MK yang memiliki sifat tidak hanya mengikat yang berperkara saja namun juga mengikat seluruh masyarakat (umum).

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang dengan setiap hal yang telah diuraikan terkait bagaimana Hak Pilih merupakan pengejewataan dari HAM ditinjau dari pengaturan Pemilu sebelum dan sesudah Putusan MK No. 102/PUU- VII/2009. Adapun perumusan masalah dapat dikemukakan berikut:

21 Pusat Kajian Konstitusi FH-Universitas Brawijaya, “Implikasi Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Studi di Kabuapten Malang dan Kota

Pasuruan)”, Jurnal Konstitusi Vol. 8No. 1, 2011, Hal 147,

(18)

1. Bagaimana Kedudukan Hak Pilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia ?

2. Bagaimana pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu sebelum dikeluarkannya Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 sebagai jaminan terhadap HAM ?

3. Bagaimana pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 sebagai jaminan terhadap HAM ?

A. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan bagaimana hak pilih sebagai pengejewataan dari Hak Asasi Manusia dalam UU Pemilu

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana Hak Pilih sebagai pengejewataan dari Hak Asasi Manusia

b. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu sebelum dikeluarkannya Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 sebagai jaminan terhadap HAM, mengapa demikian diajukan gugatan terhadap MK, apakah karena belum kuatnya jaminan hak pilih itu sendiri. Maka dalam bagian ini nantikan akan disimpulkan apakah jaminan pilih itu sudah cukup atau belum kuatkah menjamin hak asasi manusia, yaitu hak pilih.

(19)

c. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 sebagai jaminan terhadap HAM, bagaimakah konsekuensi atau akibat hukum yang timbul terhadap pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu, dengan melihat bagaimana kesesuaianya dengan pengaturan hak pilih dalam UU Pemilu, didalamnya akan dibahas bagaimana implikasi dari putusan MK tersebut terhadap pengaturan hak pilih dalam UU pemilu dengan melihat pada sifat Putusan MK yang memiliki sifat tidak hanya mengikat yang berperkara saja namun juga mengikat seluruh masyarakat (umum).

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritik

Secara teoritki manfaat dari pada penulisan ini adalah untuk untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang Hak Pilih sebagai HAM dalam pengaturannya dalam UU Pemilu sebelum dan sesudah Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009.

b. Secara Praktis

Harapan penulis melalui tulisan ini diharapkan boleh bermanfaat bagi semua orang yang mebacanya, boleh kiranya memberi sumbangsih pemikiran bagi pembaca. Dan diharap penulis boleh mengasilkan pemikiran terkait Hak Pilih sebagi HAM.

(20)

B. Keaslian Penulisan

Adapun terkait judul skripsi ini “ DINAMIKA PENGATURAN HAK PILIH SEBAGAI DALAM UU PEMILU SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO. 102/PUU-VII/2009” penulis menjamin bahwa judul skripsi ini belum ada pernah ada yang menulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Topik permasalahan ini dipilih karena menarik untuk dibahas karena melihat pembahasan terkait HAM adalah hal yang selalu penting untuk dibahas dan tak henti-hentinya menjadi topik pembahasan. Tulisan skripsi ini merupakan asli kerangka pemikiran dari penulis sendiri dangan menggunakan referensi-referensi yang mengacu kepada Pola/Ketentuan penulisan ilmiah (skrips/tesis).

Demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

D. Tinjauan Pustaka

1. Perkembangan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia.

Istilah “hak asasi manusia” merupakan terjemahan dari Droit de L’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menseijke rechten (Belanda). Di Indonesia hak asasi manusia juga disebut sebagai hak asasi atau hak dasar. Hak asasi adalah hak fundamental yang diargumentasikan sebagai hak yang diperoleh secara kodrati sejak seorang manusia lahir di muka bumi22 atau hak yang dimiliki,

22 Bisariyadi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, NO. 1 Maret 2017, hlm. 19

(21)

diperoleh , dan dibawa bersama dengan kelahiran atau kehadiran didalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, atau kelamin dan kerena itu bersifat asasi serta universal23. Namun, tidak semua hak kodrati tersebut dilindungi oleh konstitusi yang berlaku di sebuah negara tertentu. Oleh karenanya, hak konstitusional pastilah hak asasi bagi warga negara akan tetapi hak asasi belum tentu termasuk sebagai hak konstitusional.

Dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptual Hak Asasi Manusia di Indonesia telah mengalami proses dialektia yang serius dan panjang perlindungan HAM diupayakan untuk mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks pribadi, keluarga , masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 beberapa hak asasi manusia telah dijamin dalam Kontitusi. Pengaturan HAM dalam Konstiusi (UUD NRI Tahun 1945) memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam ketatanegaraan Indoensia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen.

Pembicaraan Hak Asasi Manusia cukup panjang dilakukan menjelang dirumuskannya Undang-undang Dasar 1945,1949,1950, pada sidang kontituante (1956-1959), pada masa awal penegakan Orde Baru menjelang sidang MPRS 1968, pada masa reformasi (sejak 1998). Masalah Hak Asasi Manusia dimasa

23 Mirriam Budiadjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 212

(22)

Perjuangan Kemerdekaan dan awal Demokrasi Parlemen tidak banyak didiskusikan mengingat keadaan Indonesia kala itu masih belum konsdusif untuk merumuskan hak asasi manusia secara lengkap. Pada saat dirumuskannya UUD NRI Tahun 1945 terjadi perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi manusia dalam negara demokratis. Banyak kalangan termasuk Ir. Soekarno berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia berdasar pada individualisme dan liberalisme dan dinyatakan bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.

Dipihak lain Drs. Moh. Hatta mengatakan bahwa walaupun yanng dibentuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machstaat). Karena desakan waktu maka disepakati untuk memasukan Hak Asasi Manusia sebagai substansi UUD NRI Tahun 1945 kala itu. UUD 1949 merupakan Undang-Undang Dasar yang paling lengkap perummusannya. Sekalipun UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen terbilang pendek perumusannya, namun diantara hak yang dirumuskan terdapat hak yang bahkan tidak disebutkan dalam DUHAM (1948), yaitu hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri.

Yang diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen ini sebenarnya adalah lebih kepada Hak dan Kewajiban warga negara, bukan Hak asasi warga negara.

Padahal keduanya adalah konsep yang berbeda, yang satu mendasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia itu, dimana pun memilki hak-hak bawaan yang tidak dapat dipindahkan, diambil dan dialihkan, sedangkan yang terakhir hanya mungkin dimiliki oleh kerena seseorang yng memiliki status warga negara.

(23)

Mahfud MD menyebut kedua hak tersebut sebagi ahk partikularistik, hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 26-2924.

Jika kita bandingkan, UU 1945 dengan UUD Sementara Republik 1950, dan juga dengan Konstitusi Sementara Indonesia Serikat 1949, maka ternyata UUD Sementara RI 1950, dan Konstitusi Sementara RI Serikat 1949 memuat perincian tentang hak- hak asasi manusia lebih lengkap dari pada Undang-undang Dasar 194525. Dalam konstitusi Sementara RI Serikat 1949 disamping hak-hak dan kebebasan dasar manusia, yaitu dimuat dalam Bagian V yang meliputi pasal 7 sampai dengan pasal 33, juga masih memuat lagi asas-asas dasar yang dimuat dalam bagianVI yang meliputi pasasl 34 sampai dengan pasasl 41 . eksistensi manusia secara ditegaskan pada pasasl 7 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang diakui sebagai manusia”.Sedangkan dalam UUDS RI 1950 disamping hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yaitu dimuat dalam bagian V meliputi pasal 7 sampai 34, juga masih memuat lagi asas-asas dasar yang dimuat dalam bagian VI meliputi 35 sampai dengan pasal 43.

Kembali ke UUD NRI Tahun 1945, pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 praktis hukum mengalami suasana setback. Dekrit Presiden tersebut menjadi dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkadung dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Meskipun UUD NRI Tahun 1945 memuat sedikit saja ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia bukan berarti bahwa hak asasi manusia tidak mendapat tempat yang sewajarnya dalam UUD NRI Tahun 194526.

24 Mahfud MD, 1957 Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan”, Ed.1, Cet 1, Yogyakarta:Liberty,1993

25 Soehino, Hukum Tata Negara (Yogjakarta: Liberty, Yogjakarta, 1985), hlm 87.

26 Soehino, Op.Cit, hlm 87

(24)

Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar termuat dalam beberapa pasal terutama pasal 27-31, dan mencakup baik bidang politik maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalam jumlah yang dan dirumuskan secara singkat.

Dalam UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen jaminan Hak asasi manusia adalah salah satu dari tiga pokok meteri mutan UUD 1945,selain dari susunan ketatangeraan suatu negara yang bersifat fundamemtal dan pembagian dan pembatasan kekuasaan yang juga besifat fundamental. Adanya jaminan HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 menghendaki supaya penguasa negara tidak boleh bertindak ksewenang-wenang kepada warga negaranya. Bahkan hak-hak dasar itu mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, antar kekuasaan dengan rakyat.

Dalam konstitusi setelah amandemen jaminan hak pilih semakin ekspilit lagi, sebagaimana ditegaskan pada pasal 28A yan berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemajuan lainnya terlihat pada pasal 28I yaitu

“Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebgai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

2. Pemilihan umum (Pemilu) sebagai Pelaksana Hak Asasi Manusia a. Pemilu sebagai Pelaksana Hak Asasi Manusia

Pengertian Pemilihan Umum menurut Matori Abdul Djalill adalah memberikan kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (tranfer leader

(25)

and power), secara konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang legitimatif:

pemilu adalah wujud dari kedulatan rakyat (Sovereignty).

Konstitusi menjamin hak asasi warga negara salah satunya yaitu hak politik, hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be candidate). Setiap warga negara mempunyai hak pilih yang di implementasikan melalui pemilihan umum yang terdiri dari hak pilih aktif (hak memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih). Hak pilih aktif ialah hak warga negara untuk memilih wakilnya di dalam suatu pemilihan umum. Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Hak pilih Pasif ialah hak warga negara untuk dipilih menjadi anggota Badan Permusyawartan Rakyat maupun dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

UUD NRI Tahun 1945 mengatur pemilu sebagai mekanisme melaksanakan kedaulatan rakyat UUD NRI Tahun 1945 menempatkan pemilu sebagai ukuran shahih menentukan berjalan atau tidaknya pelaksanaan demokrasi27 sebagai pengejewataan hak setiap warga negara untuk diberi kesempatan yang sama dan efektif dalam memilih28 dan untuk dipilih.

Sebagai sarana sekaligus ukuran dilaksanakannya kedaulatan rakyat, hakikat pemilihan umum adalah pengakuan atas keberadaan hak memilih dan hak untuk dipilih setiap warga negara. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama (adil) untuk berpartisipasi mengajukan diri sebagai anggota DPR, DPD,

27 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal 36

28 Robert Dahl, Prihal Pemilu, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara Singkat, diterjemahkan oleh A Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, hal 132

(26)

Presiden dan Wakil Presiden, DPRD dan kepala daerah. Selain itu juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan pilihannya secara bebas dalam proses pemilihan.

Himawan Estu Bagijo mengatakan makna dari kedaulatan berada ditangan rakyat dalam hal ini bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tangung jawab, hak dan kewajiban untuk memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi rakyat, membuat undang-undang, serta merumuskan anggran pendapatan dan belanja negara29.

Pemilihan umum yang berdasar kedaulatan rakyat dapat dicapai dengan paradigma penghormatan hak asasi warga negara untuk memilih dan dipilih oleh pihak- pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sehingga menjadi kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara. Negara wajib memastikan bahwa semua prasyarat dan pelaksanaan hak politik warga negara dilindungi dan dipenuhi. Menjadi kewajiban bagi penyelenggara pemilihan umum, yang meliputi Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik itu Pusat, Provinsi maupun Kabbupaten/ Kota dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), untuk mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia dalam membuat kebijakan,

29 Himawan Estu Bagijo, Daftar Pemilih Tetap dan Perlindungan Hak pIlih ( Kaijian Perundang- Undangan dan Keptusan Mahkamah Konstitusi), Jurnal Perspektif Volume XV No. 4 Tahun 2010 edisi Oktober

(27)

keputusan, hingga setiap kegiatan teknis dan perilaku praktis dalam rangka melindungi hak politik warga negara.

Adapun piha-pihak lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum ialah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih ( pemilih dan peserta pemilihan umum) yang dikehendaki untuk saling memberi penghormatan atas hak yang dimiliki masing- masing individu. Kemudian partai politik, negara harus memastikan agar partai politk juga memberikan penghormatan terhadap hak politik warga negara. Dan bahkan lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi), yang berwenang dalam hal memutus sengketa perselisihan pemilihan umum, jika memang dalam penyelengggaraan pemilu terjadi sengketa yang sampai dirasa menghilangkan hak politik, yakni hak rakyat dalam memilih dan dipilih dalam pemilu.

Bentuk penjaminan hak asasi manusia yaitu hak pilih warga negara sebagaina yang dimaksud dalam UU No. 39 Tahun 1999 ayat (1) Undang – Undang NO. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut dinyatakan”.

Dengan asasnya yang langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,tanpa perantaraan. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku bagi semua warga negara, tanpa dikriminasi berdasarkan suku, agama, ras golongan, jenis kelamin kedaerahan, pekerjaan dan status sosial30. Umum dengan kata lain universal, sebagai hak asasi manusia, hak

30 Ibid

(28)

pilih atau hak politik warga negara yang bersifat universal berarti semua warga negara memilki kesempatan yang sama tanpa pembatasan yang tidak wajar apalagi oleh karena perbedaan. Sama halnya yang dikatakan oleh Miriam Budiardjo universal, artinya dimiliki oleh semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama atau jender31. Kemudian dalam memberikan suaranya pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahuhi oleh pihak mana pun, pemilih saat memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain.

Pengaturan pemilu UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E ayat (6) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tenang pemilihan umum diatur dengan undang- undang”32 menghendaki supaya pemilihan diatur dalam undang-undang. Secara yuridis undang-undang pemilu berkaitan dengan 3 (tiga) aspek penting yaitu, Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah. Pemilu Legilatif pengaturannya dalam UU No. 7 Tahun 201733 Tentang Pemilihan Umum, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 (UU No.7 Tahun 201734) dan Pemilu Kepala Daerah yaitu UU No. 10 Tahun 2016 (UU NO.7 Tahun 201735).

b. Sistem Pemilihan Umum

Karena Pemilihan Umum merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil- wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, dengan sendirnya

31 Mirriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm 212.

32 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22E

33 UU No.7 Tahun 2017 Pasal, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182

(29)

terdapat berbagai sitem pemilihan umum36. Sistem Pemilihan Umum dapat dibedakan, yaitu

1). Singgle-member Constituncy (salah satu daerah pemilihan mewakili satu wakil; biasanya disebut sistem Distrik)

2). Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional)

Dalam Sistem Distrik, yaitu satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (singgle member contituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem distrik, wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperukan untuk dipilih.

Misalnya, jumlah anggota DPR, ditentukan 500 orang. Maka, wilayah negara dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau constituencies.

Artinya setiap distrik atua daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di DPR. Sebagian sarjana juga menyebut sistem ini sebagia sistem mayoritas karena yang dipilih seabgai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak atu suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak). Misalnya, didaerh pemilihan 1, valon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi

36 Jimmly Asshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, (Jakarta,Rajawali Pers,2014), hlm 421

(30)

anggota lembaga perwakilan rakyat adalah C, sebab setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara paling banyak37.

Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi member constituency). Persentase kursi tiap-tiap lembaga perwakilan rakyat dibai kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu daerah pemilihan umum tercatat 1.000.000 (satu juta)orang.

Misalnya jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat diperlukan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perawakilan Rakyat tergantung kepada berapa jumlah yang didapatsetiap partai politik yang ikut pemilihan umum38.

Perbedaan pokok antar kedua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaaan dalam komposisi perwakilan parlemen bagi masing-masing partai politik.

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Legal Standing para pihak dalam Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009

Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 junto Pasal 10 UU No. 24 Tahun 20004 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutanya disingkat UU Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengeta kewenangan

37 Ibid, hlm 424

38 ibid, hlm 425

(31)

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam perkara pemilihan umum (pemilu) MK memiliki wewenang untuk memutus perselisihan sengketa hasil pemilu dan menguji undang- undang pemilu terhadap Undang-Undang Dasar, jika memang terjadi perselisihan atau jika terjadi kasus hilangnya hak politik atau hak pilih rakyat untu dipilih dan untuk memilih dalam pemilihan umum hilang.

Terkait dengan kewenangan MK Menguji Undang-Undang tehadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam tulisan ini akan membahas bagaimanakah kewenangan MK dalam hal menanganai perkara NO. 102/PUU-VII/2009 terkait pengujian Undang – undang NO. 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang mana para pemohon mendalikan bahwa pasal 28 dan pasal 111 ayat (1) telah setidaknya bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945.

Dalam putusan MK tersebut dijelaskan bagaimana kewenangan hakim dalam telah sesuai dengan pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 junto pasal 10 UU No. 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terrakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, dan memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan

(32)

umum. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara pengujian UU No. 42 tahun 2008.

Kemudian dilain sisi untuk dapat Mahkamah Konstitusi menguji UU No.

42 tahun 2008 tersebut maka harus dilihat bagaimana kedudukan hukum para pemohon atau legal standing para pemohon. Legal standing atau kedudukan hukum para pemohon agar didapat dianggap sebagai pihak yang mengganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan oleh berlakunya undang – undang, harus memenuhi syarat atau unsur – unsur sebagai berikut:

1. Perorangan warga negara Indonesia;

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang- undang;

3. Badan hukum publik atau privat;

4. Lembaga negara.

Dalam Perkara MK No. 102/PUU-VII/2009 MK menimbang bahwa para pemohon memenuhi unsur legal standing atau memilki kedudukan hukum.

Menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa yang dianggap melanggar konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan konstitusi, kehendak rakyat. Mahkamah Konstitusi berperan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Secara konseptual, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan dengan melakukan penafsiran terhadap konstitusi serta pengujian Undang-Undang

(33)

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945, jika ternyata dalam pengujian ditemui suatu Undang- Undang yang terbukti tidak sesuai dengan norma dalam Undang-Undang Dasar Tahun1945 yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi atau melanggar hak-hak warga negara, Undang- undang itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Adapun wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Negara RI 1945 adalah sebagai berikut:

(1) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar.

Wewenang yang dimiliki Mahkamah konstitusi untuk menguji undang- undang terhadap UUD sering disebut dengan istilah judicial review.

(2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

(3) Memutus pembubaran Partai Politik.Implikasi dari wewenang ini berkaitan erat dengan eksistensi dan keabsahan suatu partai politik.

(4) Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Esensi dari kewenangan ini adalah uji kesahihan atas penghitungan suara pemilihan umum secara nasional.

(5). Mahkamah Konstitusi memilki kewajiban memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini dapat menjadi dasar hukum bagi DPR dalam mengundang MPR untuk mengadakan rapat paripurna guna meminta pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden39.

E. Metode Penelitian

Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodelogi penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7 )

39Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945

(34)

Pengertian sederhana metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian. Metode penelitian berbicara menegnai tata cara pelaksanaan penelitian.

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif karena yang akan dianalisis dalam tulisan skripsi ini adalah berupa pengkaijian terhadap norma-norma hukum / undang-undang atau peraturan yang berlaku serta mengakaji suatau putusan pengadilan ynag berkenanan dengan penelitian.

Adapun norma atau peraturan yang dikaji dalam tulisan ini adalah peraturan pemilu atau UU pemilu serta putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU- VII/2009.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam tulisan ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan bersumber dari peraturan – peraturan, buku – buku ( literatur) , dokumen-dokumen resmi, jurnal, artikel dan suatu hasil penelitian, seperti skripsi.

3. Sumber data dan Jenis data

Dalam penulisan penelitian ini data bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

(35)

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang terdiri atas perundang – undangan serta putusan pengadilan yang mengikat para pihak yang berkepentingan. Dalam penelitian ini putusan yang hendak dikaji adalah putusan MK, yang mana suatu putusan mahkamah konstitusi adalah bersifat umum artinya sama seperti undang – undang putusan MK adalah bersifat mengikat secara umum dengan tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara saja, seperti halnya yang dikemukakan oleh Jimmly Assidique..

Selain dari pada putusan MK tersebut adapun peraturan – peraturan seperti UU Pemilu Presiden No. 42 Tahun 2008, UU Pemilu legilatif No. 10 Tahun 2008 dan UU Pemilu No. 7 Tahun 2017.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang berupa buku – buku, tesis, makalah, jurnal, artikel, surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menunjang dengan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

F. Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini penulis mensistematikan bagian – bagian yang akan dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih

(36)

Republik Indonesia sistematis, terarah dan mudah dimengaerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : HAK PILIH SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA

Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana pengakuan dan pengaturan hak pilih sebagai HAM dalam kovensi internasional dan dalam yuridisi nasional tiap negara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)

BAB III : PENGATURAN HAK PILIH DALAM UNDANG- UNDANG PEMILU SEBELUM DIKELUARKANNYA PUTUSAN MK NO.102/PUU-VII/2009 SEBAGAI JAMINAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

Bab ini membahas tentang hak pilih yang diatur dalam UU Pemilu sebelum adanya putusan MK No. 102/PUU- VII/2009.

BAB IV : PENGATURAN HAK PILIH DALAM UNDANG- UNDANG PEMILU SETALAH DIKELUARKANNYA

(37)

PUTUSAN MK N0. 102/PUU-VII/2009 SEBAGAI JAMINAN TERHADAP HAM

Dalam bab ini mencoba mempelajari bagaimana pengaturan hak pilih sesudah putusan MK No.102/PUU-VII/2009, bagaimana akibat hukum putusan MK terhadap pengauturan dan pelaksanan/penyelenggraan pemilu.

BAB V : KESIMPULAN

Dalam bab ini akan dituliskan atau diuraikan kesimpulan dari berbagai hal penting yang telah dibahas pada bab – bab sebelumnya, serta pula terdapat saran sebagai masukan terhadap masalah yang dibahas dalam tulisan ini.

(38)

BAB II

KEDUDUKAN HAK PILH SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA

A. Sejarah Singkat Hak Asasi Manusia

Secara umum Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki seseorang karena semata mata kedudukannya sebagai manusia. HAM bersifat universal (berlaku dimana-mana) dan egaliter (berlaku untuk semua orang). HAM diperoleh secara alamiah (otomatis) sejak manusia lahir tanpa harus meminta atau diberikan. Konsep awal HAM berasal dari ide tentang hak alamiah yang berasal dari konsep hukum alam40. Secara khusus Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak kodrati).

Sebenarnya sudah dari zaman dulu masalah hak dikenal dibanyak kawasan dunia41. HAM (pengakuan/pengaturan terhadap HAM) lahir dari pada sifat absoloutisme penguasa atau Raja terhadap rakyatnya. Tinjauan histori perjuangan HAM serta menurut para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dari lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Magna Charta mencanangkan bahwa Raja John yang sebelumnya memiliki kekuasaan yang absolute (Raja menciptakan hukum, tetapi ia tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggung jawabannya dimuka

40 Triyanto, “Regulasi Perlindungan Hak Asasi Manusia di Tingkat Internasional”, Jurnal PPKn, Vol.1. No.1, Januari 2013,hlm 1

41 Miriam budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hal.211

(39)

umum. Sejak saat itu, apabila raja melanggar hukum, ia harus diadili dan harus mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya terhadap parlemen.

Pada intinya Magna Charta memaksa Raja untuk tidak melakukan pengambilan hasil bumi begitu saja tanpa persetujuan mereka (bangsawan), untuk tidak menuduh, menangkap menahan seseorang tanpa pengadilan yang dapat dipercaya, apabila seseorang telah ditahan atau dirampas miliknya akan segera mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi, rumusan ini bertujuan untuk membatasi tindakan kesewenang-wenang dari Raja42.

Jadi dapat dikatakan Raja bertanggug jawab terhadap rakyat. Lahirnya Magna Charta dengan hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak diperiksa dimuka hakim. Sampai sekarang Magna Charta dianggap sebagai tonggak sejarah Hak asasi manusia, walaupun hak asasi yang dimaksud bukanlah hak asasi yang dikenal dewasa ini. Magna Charta tak lebih dari jaminan perlindungan terhadap kaum bangsawan dan Raja. Magna Charta menjadi suatu awal bangkitnya semangat memperjuangkan hak asasi manusia . Sekalipun hanya berlaku untuk bangsawan dan tidak begitu berarti bagi penduduk umum, namun hak-hak itu menjadi bagian dari sistem konstitusioal Inggris Bill of Rights yang berlaku bagi semua warga negara43. Bill of Rights lahir pada masa kepemimpinan Raja William tahun 168944 , yang berisi ketentuan bahwa Raja harus memrintah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Parlemen hak individu diakui

42 Baher Johan Nasution, “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia”, (Bandung, CV: Mandar Maju) hlm 134

43 Ibid

44 ibid

(40)

seperti hak mengajukan petisi, hak untuk berdebat bebas dalam parlemen, dan larangan terhadap hukuman yang berlebihan.

Perkembangan yang terjadi di Inggris kemudian diikuti oleh bangsa Amerika dengan merumuskan Viginia Bill Of Rights dan Declaration Of Independent pada tahun 1776. Dalam perkembangannya gerakan dan pemikiran HAM memperoleh inspirasi yang sangat kuat karena semangat Hak Asasi dan perlindungannya dinyatakan dengan jelas dalam Viginia Bill Of Rights dan Declaration Of Independent pada tahun 1776. Deklarasi ini memuat antar lain:

.... Kami percaya bahwa semua kebenaran ini adalah bukti nyata, bahwa semua orang diciptakan sama, dikaruniai oleh Pecipta mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat diganggu gugat, bahwa diantaranya ialah hak hidup, kebebasan dan pengejaran kebahagiaan. Bahwa untuk menjamin hak-hak ini,dibentuk pemerintahan diantara orang-orang, yang memperoleh kekuasaan mereka yang adil dengan izin mereka dari pemerintah

Declartiaon of Independent lahir sebagai akibat dari perjuangan HAM dari rakyat Amerika Serikat yang kala itu berstatus sebagai Imigran dari Eropa yang merasa tertindas oleh penjajahan pemerintahan Inggris melahirkan Declaration of Independent.

Perkembangan selanjutnya pada di Perancis berkembang pemerintahan raja absolute yang melahirkan Declaration Des Droit De I’homme Et Du Citoyen ( 26 Agustus 1789) yang pada pokoknya berisi penghapusan pemerintahan feodal dan penindasan terhadap hak asasi manusia. Proses selanjutnya setelah berakhir perang dunia ke-II negara-negara yang menang secara bersama-sama mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperjuangkan apa yang dimaksud sebagai Hak Asasi Manusia dan hak kebebasan dasar “respect for human rigaht and for fundamental freedom” yang harus dimiliki oleh setiap Iindividu dan harus

(41)

dihormati oleh individu lainnya dan serta dilindungi oleh negara. Lahirnya PBB menjadi tonggak sejarah atau puncak dari perjuangan HAM sedunia yang melahirkan “The Universal Declaration of Human Rights” yaitu pernyataan tentang hak asasi manusia sedunia yang sifatnya Universal dan diterima secara aklamasi oleh negara-negara anggota dalam persidangan Majelsi Umum PBB paa tahun 1948.

Hak- hak yang dirumuskan dalam abad 17 dan 18, sangat dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (Natural Law) oleh John Locke (1632-1714) dan J.J Rosseau (1712-1778), yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya45.

Dalam perkembangan selanjutnya Hak Asasi Manusia pada abad ke 20-21 ini terjadi pergeseran pemikiran terhadap HAM. HAM yang diperjuangkan ialah hak- hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan. Perkembangan pada abad ini, disebut oleh Mirriam Budiardjo sebagai perjuanagn HAM oleh Generasi Kedua dan Generasi Ketiga. Dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik Miriam Budiardjo, membedakan tiga generasi hak asasi. Generasi yang pertama adalah hak sipil dan politik yang sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran negara-negara Barat. Generasi ini adalah generasi pada abad ke 17-18. Generasi kedua adalah hak ekonomi, sosial dan budaya yang gigih diperjuangakan oleh negara-negara komunis dalam masa Perang Dingin (1945-awal tahun 1970-an) sering dinamakan Dunia Kedua.

Kemudian hak ini didukung negara-negara yang baru membebaskan diri dari

45 Dwi Suliswor dan Tri Wahyu Ningsih dan Dikdik Baehaqi Arif, “Hak Azazi Manusia”, http://eprints.uad.ac.id (Selasa, 06 Agustus 2019)

(42)

penjajahan kolonial, dan yang sering disebut Dunia Ketiga. Generasi Ketiga adalah hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan (development), yang tertama diperjuangkan oleh negara Dunia Ketiga46, dewasa ini

B. Hak Pilih dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) merupakan piagam terhadap Hak Asasi Manusia47 berisikan deklarasi atau pernyataan umum tentang Hak-hak asasi manusia48. DUHAM adalah dokumen Internasional yang menyatakan hak-hak dasar dan kebebasan mendasar yang menjadi hak semua manusia yang diproklamasikan pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat dikatakan sebagai puncak dari pada peradaban manusia setelah malapetaka akibat kekejaman yang dilakukan negara-negara fasis dan Nazi Jerman pada Perang Dunia II.

DUHAM mengandung makna ganda, baik keluar (antar negara-negara) maupun kedalam (antarnegara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan negaranya masing-masing. Makna keluar adalah komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antara negara agar terhindar dan tidak terjerumus dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Adapun makna kedalam mengandung pengertian bahwa DUHAM sedunia harus senantiasa menjadi

46 Miriam Budiardjo, Op. Cit

47 Ibid

48 United Nation Human Rights, Office of The High Comissioner, “Universal Declaration of Human Rights”, https://www.ohchr.org, diakses pada 06 April 2019

(43)

kriteria objektif oleh rakyat masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.

DUHAM sebagai standar universal bagi perilaku manusia seperti yang dinyatakan dalam Mukadimah DUHAM menyatakan bahwa “Deklarasi hak-hak asasi manusia ini sebagai ukuran umum dari prestasi semua rakyat dan semua bangsa, dengan tujuan bahwa setiap orang dan setiap alat masyarakat dengan memperhatikan terus deklarasi ini akan berusaha melalui pengajaran pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini, dan melalui cara-cara progresif baik nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan pematuhannya yang efektif, baik diantara rakyat dari negara anggota sendiri maupun diantara rakyat dari daerah dibawah kekuasaannya49”.

Hakikat universal HAM yang termaktub dalam DUHAM adalah nilai standar kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, baik dari kelas sosial dan latar belakang primodial apa pun yang bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.

Jalan pikir yang tertuang dalam pembukaan DUHAM tersebut menggambarkan alasan dan tujuan luhur yang menjiwai masyarakat dunia agar tidak ada lagi pelanggaran terhadap HAM. Dengan dijaminnya HAM, rakyat berdaulat penuh untuk menentukan nasib dengan tiada lagi kekuasaan yang bersifat absolute maupun totaliter. Adapun hak- hak yang diatur didalamnya meliputi hak Pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam negara dinyatakan dalam pasal 21 ayat (3) yang berbunyi “Kemauan rakyat adalah dasar dari

49 Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, OJK dapat menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada badan

Sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun pasal 73 ayat (2) UNCLOS 1982 negara pantai dapat proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang

2 Tahun 2012 yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 yang pada intinya menyatakan bahwa perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh terdakwa dikatakan perbuatan pidana yang

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

- Berdasarkan seluruh hal-hal tersebut diatas, Majelis Hakim Berpendapat bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik Objek sengketa adalah

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui hak-hak bagi pencipta lagu dan musik dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 terhadap suatu ciptaannya,