• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: BELMONDO SCORPIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: BELMONDO SCORPIO"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA TAHUN 2019 DI PERBATASAN LAUT TERITORIAL INDONESIA DAN

SINGAPURA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

BELMONDO SCORPIO 170200428

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul: “PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA TAHUN 2019 DI PERBATASAN LAUT TERITORIAL INDONESIA DAN SINGAPURA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL”.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta tidak lupa untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda H. Abror Azmi dan Ibunda Hj. Andria Siska, yang telah memberikan semangat, kasih sayang, selalu mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya dan mengiringi setiap langkah penulis dengan doa restunya yang tulus setiap harinya. Thanks for your sacrifice, You’re the best part of my life.

Dalam penulisan skripsi ini juga saya mendapat dukungan dan bantuandari banyak pihak. Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih pada kesempatan yang berbahagia ini dengan kerendahan hati, Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi:

(5)

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan Dosen Pembimbing Akademik penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis.

Terima kasih banyak kepada Bapak atas arahan, bimbingan dan waktu yang diberikan pada penulis demi terciptanya penelitian yang baik oleh penulis.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas

(6)

Sumatera Utara.

10. Seluruh staf administrasi yang turut serta membantu saya dalam proses administrasi selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Teristimewakan kepada orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Abror Azmi dan Ibunda Hj. Andria Siska, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan juga doa dan motivasi dalam keseharian hidup penulis.

12. Keluarga Besar yang selalu memberikan perhatian dan semangat dalam mendukung tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi tetapi juga untuk banyak hal dalam hidup saya, terutama untuk Calon dr. Tiara Fika Fardila, Nurul Natrisa dan Adik-adik Lainnya selaku Adik penulis.

13. Abang dan Kakak Semud dari penulis yaitu Winelda Mahfud Zaidan Haris dan Grace Cyntia Papayosa Barus, Triwiliyana Casuba, Anggita Salsabila, Alex, Danu, Ihya, yang juga telah membantu penulis memberikan semangat serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Teman- teman Ramundu dan Neturad yang telah menemani penulis sejak awal bisnis dan hingga saat ini dalam suka maupun duka selama di dunia kampus yakni Sabrina, Ramadhani Ansyah, Rina Fahlevi, Iqbal Hareva, terima kasih atas dukungan dan doanya.

15. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis. Terima kasih banyak kepada Bapak atas segala arahan, masukan, bimbingan serta waktu yang diluangkan untuk penulis selama penulisan

(7)
(8)

ABSTRAK

Belmondo Scorpio*

Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H.,**

Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.,***

Laut merupakan ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya. Laut yang sangat luas dan garis pantai yang panjang membuat Indonesia menyimpan hasil laut yang berlimpah. Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dibagi menjadi zona di mana negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya dan zona di mana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura dan tidak jarang Indonesia dihinggapi konflik perbatasan. Konflik perbatasan antara Indonesia dan Singapura telah dimulai dan terjadi sejak tahun 1966, hal tersebut ditandai dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Changi. Peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura ditinjau dari hukum laut internasional. Adapun permasalahan yang perlu dibahas ialah pertama bagaimana peraturan mengenai batas laut teritorial menurut hukum laut internasional? Kedua, bagaimana penyebab terjadinya penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura? Serta ketiga bagaimana penyelesaian masalah penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura?

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yakni penelitian yang mengacu pada hukum laut internasional. Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprodensi, dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku tentang batas laut, tentang perjanjian internasional, hubungan diplomatik dan jurnal hukum. Bahan hukum tersier adalah KBBI, website dan ensiklopedia.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah penangkapan Kapal MT Afra Oak berbendera Liberia di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura dikarenakan nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar dan tidak mematuhi ketentuan tata cara berlalu lintas. Menurut peraturan hukum laut internasional, Kapal MT Afra Oak berbendera Liberia telah memasuki wilayah laut teritorial Indonesia dan lingkar jangkar selama 3 hari sehingga ditangkap oleh BAKAMLA yang sedang bertugas di perbatasan Pulau Bintan dan termasuk ke dalam hukum pidana pelayaran.

Penyelesaian masalah penangkapan kapal MT Afra Oak berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Kata Kunci: Laut teritorial, Kapal MT Afra Oak, Hukum laut internasional

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGATURAN MENGENAI BATAS LAUT TERITORIAL MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL ... 18

A. Sejarah Hukum Laut Internasional ... 18

B. Kedaulatan Indonesia Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 ... 37

C. Perjanjian Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 54

BAB III PENYEBAB TERJADINYA PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA DI PERBATASAN LAUT TERITORIAL INDONESIA DAN SINGAPUR ... 62

A. Kedudukan Batas Wilayah Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 62

B. Faktor-Faktor Terjadinya Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 66

C. Pihak yang Berwenang Melakukan Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 71

(10)

BAB IV PENYELESAIAN MASALAH PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA DI PERBATASAN LAUT

TERITORIAL INDONESIA DAN SINGAPURA ... 76

A. Konsepsi Penegakan Hukum Laut Internasional di Batas Laut Teritorial ………...76

B. Mekanisme Penyelesaian Masalah Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 83

C. Dampak Dari Penyelesaian Masalah Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura ... 87

BAB V PENUTUP ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. SARAN ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(11)

DAFTAR TABEL

Ilustrasi Zona-zona Maritim ... 39 Konvensi Hukum Laut Internasional Setelah Ratifikasi UU No. 17 Tahun 1985... 45 Batas Maritim Indonesia-Singapura di Selat Singapura ... 63 Jarak titik batas maritim perjanjian 1973 ke titik pangkal Indonesia dan Singapura ... 64 Jarak Titik Batas Maritim Perjanjian 2009 ke Titik Pangkal Indonesia dan Singapura ... 65 Titik Dasar dalam Perjanjian 2014 ... 66

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Laut merupakan ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya. Kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, sebagai suatu sistem yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan nasional maupun internasional yang bertujuan untuk menjadikannya gatra dinamis ekonomis yang memerlukan pengusahaan.

Oleh karena itu, kekayaan laut tersebut berubah menjadi sumber daya alam, dan selanjutnya dari sumber daya alam yang diusahakan tersebut menjadi salah satu modal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta untuk pembangunan bangsa dalam mewujudkan cita-cita nasional.1

Laut yang sangat luas dan garis pantai yang panjang membuat Indonesia menyimpan hasil laut yang berlimpah. Kekayaan laut NKRI sangat besar dan beraneka ragam, baik berupa sumber daya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk farmasi bioteknologi); sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, biji besi, bauksit dan mineral lainnya); energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.2

1 Abdul Qodir Jaelani, “Politik Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-

2 Sri Puryono, Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016, h. 5.

(13)

Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dibagi menjadi zona di mana negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya dan zona di mana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Zona Maritim dibagi menjadi Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi. Wilayah perairan meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Sedangkan Wilayah Yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen sedangkan pada Zona Tambahan negara hanya mempunyai Yurisdiksi tertentu, pada ZEE dan Landas Kontinen hanya tempat berdaulat.

Dalam Zona di mana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh negara dapat menerapkan aturan hukum nasionalnya sama seperti yang ditetapkan di wilayah daratnya kepada orang, benda, ataupun peristiwa yang terjadi di zona tersebut.3

Melalui perjuangan panjang di forum Internasional, akhirnya Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke III Tahun 1982 menerima “The United Nation Convention on the Law of the sea” disingkat UNCLOS, yang kemudian ditandatangani pada 10 November 1982 di Montego Bay, Jamaica oleh 119 negara. Pemerintah dan DPR kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 5 tentang ZEE, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS.4 Indonesia merupakan salah satu negara yang berpihak pada UNCLOS 1982. Oleh karena itu Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan UNCLOS 1982 ke dalam hukum nasionalnya, termasuk diantaranya mengenai

3 Ibid.

4 Marthin Simangungsong, 2015, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas HKBP Nommensen Press, Medan, h. 113.

(14)

negara kepulauan, pengaturan perbatasan negara dengan negara-negara tetangga, dan batas wilayah yurisdiksi dengan laut bebas.5

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang diapit oleh sepuluh negara yaitu, Singapura, Australia, Timor Leste, Papua Nugini, Palau, Fhilipina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan India.6 Indonesia berbatasan laut dan darat dengan negara tetangganya. Indonesia hanya berbatasan darat dengan tiga negara tetangga yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste, sedangkan perbatasan laut dengan kesepuluh negara yang sudah disebutkan di atas.

Perbatasan merupakan hal yang penting bagi setiap negara. Perbatasan selalu dikaitkan dengan pertahanan, keamanan dan kedaulatan negara. Karena memang, jika dilihat perbatasan merupakan batas teritorial yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan dan keamanan negara. Pertahanan dan keamanan akan berdampak terhadap kedaulatan negara.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Sebagai negara yang berbatasan langsung, tidak jarang Indonesia dihinggapi konflik dengan negara- negara tetangga tersebut, salah satunya adalah konflik perbatasan. Konflik perbatasan antara Indonesia dan Singapura sebenarnya telah dimulai dan terjadi

5 Tri Patmasari, Dkk. 2016 Perkembangan Terakhir Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga, h. 3-21.

6 Hasanuddin Z. Abidin. Dkk. Datum Geodetik Batas Maritim Indonesia – Singapura:

Status dan Permasalahannya, Bandung: PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 37 A, No. 1, 2005, h. 23.

(15)

sejak tahun 1966, hal tersebut ditandai dengan telah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Changi.7

Indonesia dan Singapura sudah memiliki perjanjian bilateral terkait dengan perbatasan wilayah laut kedua negara. Terdapat tiga perjanjian bilateral antara Singapura dan Indonesia terkait perbatasan. Pada bagian selat Singapura, barat dan timur sudah ada perjanjian perbatasan antara Singapura dan Indonesia namun yang akan dikhawatirkan ialah pada bagian Selatan yang sampai saat ini belum ada perjanjian yang mengatur perbatasan kedua negara tersebut.

Berdasarkan letak geostrategis Indonesia memiliki 4 selat strategis di dunia, di antaranya selat Sunda, selat Lombok, selat Makassar, dan selat Malaka.

Selat strategis tersebut dinamakan major strait. Dikatakan strategis sebab perairan tersebut dilalui oleh kapal-kapal perniagaan yang mengangkut barang, minyak, dan gas dengan jumlah yang besar. Selat Malaka adalah salah satu selat tersibuk di dunia dengan arus lalu lintas kapal mencapai lebih dari 90.000 kapal tiap tahunnya. Selat Malaka merupakan jalur laut yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudera Hindia. Pada tahun 2013, EIA memperkirakan 15,2 juta barel minyak per hari melewati selat Malaka dari Timur Tengah terutama menuju Korea, Bangkok, China, dan Jepang, bahkan 1/3 barang perdagangan dan ½ poskan minyak dunia melewati selat yang sering kita dengar sebagai Chock Points.8

7 Wisnu Yudha AR, ”Reklamasi Singapura Sebagai Konflik Delimitasi Perbatasan Wilayah IndonesiaSingapura, ”Skripsi, Program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, h. 1.

8https://madeandi.com/2016/04/04/bolehkah-kapal-negara-asing-masuk-ke-laut- indonesia/ >. Diakses pada 22 Februari 2021, Pukul 16:27 WIB

(16)

Berdasarkan ketentuan pasal 73 UNCLOS 1982 negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulat dapat menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak. Namun pada saat ini terjadi permasalahan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di luar kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan sumber daya hayati. Terutama penangkapan secara tidak sah yang terorganisir dan internasional. Selain itu yang dapat dikategorikan suatu kejahatan atau tindak pidana termasuk dalam kejahatan internasional untuk menentukan hal tersebut dengan menganalisa tempat kejadian, kewarganegaraan pelaku dan korban, keadilan dan kesadaran hukum umat manusia sehingga dengan demikian pelaku kejahatan tersebut setiap negara berhak dan berkewajiban untuk menangkap, menahan, menuntut serta mengadili pelaku kejahatan tersebut.9

Adapun pasal 73 ayat (2) UNCLOS 1982 negara pantai dapat proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan atau denda yang layak. Setelah berlakunya UNCLOS 1982, Indonesia telah memiliki beberapa kesepakatan batas maritim dengan negara tetangganya seperti pada tahun 2009-2014 terdapat 3 (tiga)

9 https://media.neliti.com/media/publications/35677-ID-tinjauan-tentang-penegakan- hukum-tindak-pidana-penangkapan-ikan-secara-illegal-i.pdf Diakses pada 23 Februari 2021, Pukul 22:20 WIB

(17)

kesepakatan batas maritim yaitu pada tahun 2009, Indonesia dan Singapura menandatangani Perjanjian Batas Laut Teritorial antara Indonesia dan Singapura di segmen barat Selat Singapura dan telah meratifikasi perjanjian tersebut dengan UU No. 4 tahun 2010. Pada tahun 2014 Indonesia dan Singapura kembali menyepakati batas laut wilayah di segmen timur Selat Singapura pada tanggal 3 September 2014.

Dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pelanggaran Kapal Asing dalam Hukum Laut Internasional yang terjadi di perbatasan laut teritorial Negara Indonesia dan Singapura, serta peranan negara dalam menghadapinya ke dalam sebuah judul skripsi “Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 Di Perbatasan Laut Teritorial Indonesia Dan Singapura Ditinjau Dari Hukum Laut Internasional”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan yang diuraikan pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan mengenai batas laut teritorial menurut hukum laut internasional?

2. Bagaimana penyebab terjadinya penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia Tahun 2019 di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura?

3. Bagaimana penyelesaian masalah penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia Tahun 2019 di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan utama dari penelitian skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan permasalahan di atas tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan menjelaskan peraturan mengenai batas laut teritorial menurut hukum laut internasional

2. Untuk menganalisis dan menjelaskan penyebab terjadinya penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia Tahun 2019 di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura

3. Untuk menganalisis dan menjelaskan penyelesaian masalah penangkapan kapal MT Afra Oak berbendera Liberia Tahun 2019 di perbatasan laut teritorial Indonesia dan Singapura

Adapun manfaat penulisan yang dapat diambil dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan tentang batas laut Teritorial antar negara, khususnya bagi negara Indonesia dan Singapura yang memiliki beberapa permasalahan terkait kapal asing yang melewati batas laut teritorialnya. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.

(19)

2. Secara Praktis

Penulisan ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat agar mempunyai pandangan dan pemahaman mengenai aspek Batas Laut Internasional yang berkaitan dengan penangkapan kapal asing kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penelitian yang berjudul “Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 Di Perbatasan Laut Teritorial Indonesia dan Singapura Ditinjau dari Hukum Laut Internasional” pada dasarnya belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, meskipun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan tersebut sebagai berikut:

1. Withri Ramdahani, Tahun 2015, Mahasiswa Universitas Andalas dengan judul “Illegal Transhipment Hasil Penangkapan Ikan oleh Kapal Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pokok masalah penelitian:

a) Bagaimana pengaturan mengenai kapal asing di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia?

b) Bagaimana alternatif penyelesaian penangkapan kapal asing yang melakukan illegal fishing di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia?

2. Lia Rizki Arisandy Harahap, Tahun 2011, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul “Pengaturan Batas Wilayah Laut

(20)

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Relevansinya dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

Pokok masalah penelitian:

a) Bagaimana pengaturan tentang batas wilayah laut berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan?

b) Bagaimana relevansi Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang kelautan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982?

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti tersebut di atas tidak sama dengan penelitian ini, baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang dibahas dan berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 03 Maret 2021, judul yang diangkat menjadi skripsi ini belum pernah ditulis sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, jurnal-jurnal, dan informasi dari internet. Untuk menghindari penafsiran ganda, maka penulis memberikan penegasan batasan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari sudut ilmu hukum, penafsiran secara etimologis, maupun pendapat dari para sarjana terhadap beberapa pokok pembahasan maupun materi yang akan dijabarkan dalam skripsi ini antara lain, yaitu:

(21)

Menurut Geoffrey Till, definisi dari keamanan maritim sendiri dapat dikatakan situasional tergantung kepada bagaimana suatu perspektif digunakan untuk melihatnya dan tidak dapat dikatakan sebagai suatu sektor isu yang independen.

“Maritime Security has been defined broadly by scholars and governments officials to include in any and all of the following: security of shipping and seafarers; protection of facilities related to maritime affairs; port security;

resource security; environmental security; protection against piracy and armed crimes at sea; protection of fisheries; safety and freedom of navigation and over flight; regulation of maritime affairs; and maintenance of law and good order at the sea.”

Poin-poin utama yang dapat diambil dan digunakan sebagai kacamata dalam menelaah di ALKI adalah:

1. Security of Shipping & Seafarers

2. Protection of facilities related to Maritime Affairs 3. Protection against Piracy and Armed Crimes at sea 4. Safety and Freedom of Navigation and over Flight 5. Regulation of Maritime Affairs

6. Maintenance of Law and Order

Dari poin-poin tersebut Thayer menekankan kepada keadaan aman dalam wilayah perairan terhadap mereka para pengguna perairan teritorial. Penulis melihat bahwa dalam menjaga keamanan di laut tuntutan utama dari keberadaan maritime security adalah untuk menciptakan suatu kondisi yang aman di perairan

(22)

dunia, baik bagi sang pemilik perairan ataupun pengguna perairan sehingga dinamika yang ada di dalam perairan mulai dari berbagai bentuk interaksi yang berhubungan dengan ekonomi, militer, transportasi serta lainnya dapat berjalan dengan tujuan utama menjaga kebebasan untuk berlayar atau Mare Liberum dalam istilah Hugo Grotius. Melalui pandangan maritime security penulis di sini bisa memposisikan diri untuk melihat bagaimana keadaan dalam perairan Indonesia itu sendiri, sehingga nantinya dalam penelitian yang akan dilakukan, penulis bisa melihat bentuk ancaman apa saja yang ada dalam perairan Indonesia dan tindakan pengamanan apa saja yang harus diambil oleh Indonesia khususnya dalam pengamanan ALKI sebagai suatu lintas yang dipergunakan dalam pelayaran internasional, apakah badan-badan keamanan di dalamnya sudah bekerja secara maksimal dan apakah sarana dan prasarana ataupun segala penunjangnya sudah bekerja secara maksimal atau masih banyak kekurangan.

F. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu proses atau cara sistematis yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dengan efisiensi, biasanya dalam urutan langkah- langkah tetap yang teratur. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk

(23)

kemudian mengusahakan suatu atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.10

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam membahas permasalahan skripsi yaitu dengan metode penelitian yuridis normatif (yuridical normative) yaitu mengkaji peraturan-peraturan, konvensi- konvensi, serta literatur-literatur yang terkait dengan penangkapan kapal MT Afra Oak Tahun 2019 di perbatasan laut teritorial negara Indonesia dan Singapura yang ditinjau dari hukum laut internasional yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung di lapangan (data primer) dan dari bahan-bahan kepustakaan (data sekunder).11 Adapun penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari bahan pustaka (library research) yang terdiri dari:

a) Bahan hukum primer (primary research/authoritative records) merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI press, 1986), h. 43.

11 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat.(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 13.

(24)

norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi dan traktat.12 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini, yaitu:

1) Bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan dasar dan yurisprudensi tentang hukum laut internasional 2) United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 3) Undang–Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 4) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri 5) dan lain-lain

b) Bahan hukum sekunder (secondary research/ not authoritative records), yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah bahan kepustakaan yang menjelaskan bahan hukum primer, termasuk di dalamnya seperti buku-buku, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, media internet yang memuat artikel tentang judul skripsi, dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder terdiri dari:

1) Buku-buku tentang batas laut

2) Buku-buku tentang perjanjian internasional 3) Buku-buku tentang hubungan diplomatik

4) Buku-buku tentang penyelesaian sengketa internasional 5) Jurnal hukum internasional

6) dan lain-lain

12 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op.cit

(25)

c) Bahan hukum tersier (tertiaty research) merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder13 seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, dan bahan kuliah yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan pasal-pasal, kaidah- kaidah yang mengatur tentang ekstradisi.

4. Analisa Data

Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat bukan angka seperti halnya pendekatan kuantitatif. Selain itu pendekatan kualitatif lebih mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data.

Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan menjabarkan secara mendalam konsep yang diperlukan dan kemudian diuraikan secara komprehensif untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini serta penarikan kesimpulan dengan pendekatan atau metode berikut:

a) Metode induktif, di mana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam

13 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Loc. cit

(26)

hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.

b) Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi ini yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II: PENGATURAN MENGENAI BATAS LAUT

TERITORIAL MENURUT HUKUM LAUT

INTERNASIONAL

Pada bab II ini terdapat tiga sub bab pembahasan, yang pertama membahas tentang Sejarah Hukum Laut Internasional. Kedua membahas tentang Kedaulatan

(27)

Indonesia Berdasarkan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982. Ketiga membahas tentang Perjanjian Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura.

BAB III: PENYEBAB TERJADINYA PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA TAHUN 2019 DI PERBATASAN LAUT TERITORIAL INDONESIA DAN SINGAPURA

Pada bab III ini terdiri dari 3 sub bab pembahasan, yang pertama membahas tentang Kedudukan Batas Wilayah Laut Teritorial Indonesia dan Singapura, yang kedua membahas Faktor-faktor Terjadinya Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura, yang ketiga membahas tentang Pihak yang Berwenang Melakukan Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura.

BAB IV: PENYELESAIAN MASALAH PENANGKAPAN KAPAL MT AFRA OAK BERBENDERA LIBERIA TAHUN 2019 DI PERBATASAN LAUT TERITORIAL INDONESIA DAN SINGAPURA

Pada bab ini penulis memaparkan tiga sub bab, yaitu yang pertama membahas tentang Konsepsi Penegakan Hukum Laut Internasional di Batas Laut Teritorial, yang kedua

(28)

membahas tentang Mekanisme Penyelesaian Masalah Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura, yang ketiga membahas tentang Dampak dari Penyelesaian Masalah Penangkapan Kapal MT Afra Oak Berbendera Liberia Tahun 2019 di Batas Laut Teritorial Indonesia dan Singapura.

BAB V: PENUTUP

Pada bab V ini memaparkan Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian penulis.

(29)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI BATAS LAUT TERITORIAL MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Sejarah Hukum Laut Internasional

Hukum dan ketertiban internasional laut di dunia telah diminta untuk mengatur kepentingan beragam semua bangsa. Hukum laut di salah satu cabang tertua hukum internasional, bagaimanapun, sumber kodifikasi dan perkembangan progresif undang-undang ini adalah tiga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1958, 1960 dan 1973-1982. Perkembangan hukum laut telah memiliki sejarah yang panjang dan membingungkan, karena dipengaruhi oleh pendapat penulis, praktik negara, dan persidangan konferensi dan Konvensi konsekuen mereka.14

Hukum Laut Internasional mula-mula timbul dan tumbuh di Benua Eropa.15 Imperium Roma, sebelum berada dalam masa puncak kejayaannya menguasai seluruh tepi Lautan Tengah, kerajaan-kerajaan Yunani, Phoenicia dan Rhodes mengaitkan kekuasaan atas laut dengan kepemilikan kerajaan atas laut, kecuali hukum laut dari Rhodes yang mengatur hukum laut perdata (dagang) yang berpengaruh atas perkembangan hukum laut perdata (dagang) yang tumbuh di Eropa. Pengaruh pemikiran atas pertumbuhan hukum laut publik tidak terlalu besar dan tenggelam dalam perkembangan hukum laut yang didasarkan atas hukum Romawi dalam abad pertengahan. Hukum Laut Internasional mengalami

14 Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea, United Nations-Nippon Foundation Fellow 2008 – 2009, Division For Ocean Affairs and The Law of the Sea, Office of Legal Affairs, The United Nation, New York, 2009, h. 7..

15 Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Hukum Laut Internasional, Angkasa Offset, Bandung, h. 1.

(30)

perkembangan yang terus-menerus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui aturan-aturan yang berlaku untuk setiap negara. Pemikiran-pemikiran para ahli dan konferensi-konferensi tentang hukum laut internasional turut mewarnai proses perkembangan Hukum Laut Internasional saat ini.

1. Zaman Romawai

Pada zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang berkaitan dengan laut. Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara 2 konsepsi, yaitu:

a) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua orang, jadi laut adalah milik bersama masyarakat internasional, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;

b) Res Nulius, yang menyatakan bahwa tidak ada yang memiliki laut, dan karena itu laut dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut.16

16 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1.

(31)

Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.

Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan para bajak laut, sehingga semua orang dapat menggunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.17

Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium di atas, dalam sejarah hukum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya. Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut dapat dimiliki, dan hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.18 Kepemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan atas konsepsi res nulius.

17 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, h. 12.

18 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h.12.

(32)

Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya.

Pendudukan ini dalam hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi

“occupatio” (occupation). Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.19

2. Masa Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma di sekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam- macam.20

a) Teori Bartolus dan Baldus

Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara atas laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazimnya disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi- konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini

19 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4.

20 Ibid., h. 5.

(33)

antara lain menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan.21

1) Bartolus

Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar pembagian dua atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.

2) Baldus

Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni Pemilikan atas laut; Pemakaian laut; Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.22 3. Pada tahun 1493

Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik)

21 Ibid., h. 6.

22 Ibid., h. 7.

(34)

menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Portugal,23 yang dilakukan oleh Paus Alexander VI ditahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.

Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constantinopel (sekarang Istanbul) ke tangan Turki di tahun 1453.24

Dalam perkembangannya terjadi “Battle of the Books” dimana para ahli hukum saling berargumen. Para ahli hukum berpendapat bahwa laut bebas (mare liberum) lawan laut tertutup (mare calusum).

a) Mare Liberum

Azas kebebasan laut (Freedom of the Sea) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberum yang terbit di tahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle)

“on the right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk mengarungi lautan.

23 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 4.

24 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 8.

(35)

Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya di tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “pertempuran buku- buku” (battle of the books).

Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula dibentangkan dalam buku “Mare Liberum” dikembangkannya kemudian dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac Paccis” yang meliputi tiga jilid. Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal dan Spanyol melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang memilikinya.

Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum”

semula sebenarnya dimaksudkan sebagai bab ke-12 dari buku “De Jure Praedae” yang ditulis untuk menyerang politik Portugal dan Spanyol yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari

(36)

laut dan samudera yang mereka anggap hanya boleh dilayari kapal- kapal mereka. Keputusan untuk menerbitkan bab ini sebagai suatu buku tersendiri didorong oleh keinginan dan harapan untuk meyakinkan pihak Spanyol dengan alasan-alasan yang termuat didalamnya. Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal kebebasan untuk menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut yang tak ada batasnya.25

b) Mare Clausum

Ajaran Grotius mengenai “Mare Liberum” sebagaimana disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori “Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.

Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon.

25 Ibid., h. 12-14.

(37)

Penentangnya ini mengemukakan dalam bukunya “Mare Clausum:

the Right and Dominion in the Sea (1636)”.

Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa negara- negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut bukan merupakan “Mare Liberium” melainkan “Mare Clausum”.

Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena sungai dan perairan di sepanjang pantai yang sifatnya cair diakui dapat dimiliki.26

Selden kembali mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang mengemukakan bahwa: Kedaulatan suatu negara (souvereignty) atas laut mencakup di dalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga wewenang untuk melarang melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi dikaitkan dengan pemilikan (dominium) atas laut. Dengan demikian dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi yang merupakan salah satu titik kelemahan dalam argumentasi Grotius.27

26 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 6.

27 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 19.

(38)

Selama kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum” seorang ahli hukum terkemuka bangsa Belanda lainnya Cornelis van Bynkershoek menulis sebuah buku berjudul “De Dominio Maris Dissertatio”. Dalam tulisan ini dia menolak dalil John Selden, yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan negara pantai dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar.

Menurut dalil ini jalur laut teritorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah (territori) daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku” antara doktrin “Mare Liberum” dan “Mare Clausum”.28 Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut teritorial 3 (tiga) mil sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa fakta yang membantah anggapan sebelumnya.29

28 Ibid., h. 20.

29 Ibid.

(39)

Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (teritorial) yang berada di bawah kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang berstatus bebas. Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata, dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum.

Di antara tiga ukuran yang telah disebutkan, ukuran yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula dari kaidah laut teritorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut. Karenanya menarik kiranya kita ikuti sejarah perkembangan ukuran tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.

4. Zaman Modern

Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut

(40)

internasional pada masa ini lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam perumusan hukum laut.

a) Den Haag Convention 1930

Di dalam tahun 1930 Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi 3 masalah yakni:

1) Kewarganegaraan (Nationality);

2) Perairan Teritorial (Teritorial Waters);

3) Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing (Responsibility of State).

Dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial. Konferensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Dasar perbincangan konferensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut teritorial.30

Konferensi kodifikasi yang diadakan oleh Liga Bangsa- Bangsa di dalam sejarah hukum internasional dapat dianggap sebagai usaha lanjutan atas usaha kodifikasi hukum internasional dari masyarakat bangsa-bangsa yang pertama kali diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya konferensi perdamaian di kota yang

30 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 7.

(41)

sama. Tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan Konferensi Perdamaian di Den Haag yang merupakan usaha pertama dari masyarakat bangsa-bangsa untuk melakukan perumusan kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan antara negara dalam bentuk tertulis. Konferensi-Konferensi Perdamaian Den Haag ini kemudian disusun dengan Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi tentang Perang dan Netralitas.31

Liga Bangsa-Bangsa setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan melanjutkan usaha ini menunjukkan optimisme dan kepercayaan anggota-anggota akan kemampuan badan ini untuk paling tidak mengusahakan terpeliharanya perdamaian melalui kodifikasi atas ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut Teritorial sebagai salah satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan menggambarkan keinginan masyarakat bangsa-bangsa waktu itu untuk memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang telah berkembang sejak beberapa abad.

b) Truman Proclamation 28 September 1945

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi yang di dalam paragraph-paragrap pokoknya menyatakan sebagai berikut:32

31 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.

32 Proclamation No. 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”, 28 Sept. 1945, 10 Fed. Reg.

12,305 (1945); 3 CFR, 1943-1948 Compt., p.67.

(42)

“Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United States of America, do hereby proclaim the following policy of United States of America with respect to the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the Government of the United States regards the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts of the United States are appertaining to the United States, subject to its jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extends to the shores of another State, or is shared with an adjacent State, the boundary shall be determined by the United States and the State concerned in accordance with equitable principles. The character as high seas of the waters above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected.”

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi “continental shelf” atau dataran kontinen.

Tindakan Presiden Amerika Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan

(43)

rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi.

Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya. Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang telah tercapai sudah dapat dieksploitasikan. Dengan demikian maka demi keamanan pengusahaan sumber alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.33

c) Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 (UNCLOS I)

Dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958 di kota Jenewa, Switzerland telah diselenggarakan suatu konferensi internasional tentang hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara peserta memperlihatkan perubahan yang telah terjadi dalam keanggotaan masyarakat bangsa dengan telah masuknya negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya

33 Ibid.

(44)

setelah akhir Perang Dunia ke-II.34 Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 diadakan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB No.

1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957. Paragraf operatif (operative paragraph) yang mengandung pokok isi resolusi berbunyi sebagai berikut:35

"The General Assembly, (2) Decides ... that an international conference of plenipotentiaries should be convoked to examine the law of the sea, taking account not only of the legal but also of the technical, biological, economic and political aspects of the problem, and to embody the results of its work in one or more international conventions or such other instrument as it may deem appropriate."

Hasil Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 menghasilkan 4 (empat) Konvensi antara lain:36

1) Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention on the Teritorial Sea and Contigous Zone);

2) Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Seas);

3) Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas);

34 7 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 109.

35 UN General Assembly, Official Records, 11th session, plenary meeting 658th, February 21, 1957. Res. 1105 (XI), p. 54.

36 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 128.

(45)

4) Konvensi mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).

d) Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1960 (UNCLOS II)

Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam klaim terhadap laut teritorial. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960. Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan.

Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil (Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil zona perikanan (Amerika Serikat), namun semuanya mengalami kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial.

Kelemahan lainnya ialah pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas.37 Dengan demikian jelas, diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas masalah laut teritorial dan masalah perikanan.

e) Komisi PBB mengenai Seabed (United Nations Seabed Committee) 18 Desember 1967

Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2750 (XXV) tertanggal 17 Desember 1970. Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah

37 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional”

(Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 5.

(46)

diberikan kepada The Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the Limits of National Jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama aslinya UN Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun 1967. UN Seabed Committe ditetapkan menjadi Panitia Persiapan bagi suatu Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973.38

f) United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10 Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.

Konvensi Hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama dibuka untuk penandatanganan dan diberi nama julukan sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut PBB III. Terdiri dari 17 Bagian dan 9 Annex, konvensi ini antara lain terdiri dari ketentuan- ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi lainnya dari sumber-sumber nonhayati dan ketentuan- ketentuan tentang penyelesaian perselisihan.

38 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,

(47)

Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar batas-batas yurisdiksi nasional, yang diberi nama Sea-Bed Committee untuk menentukan ide dan konsep baru mengenai hal tersebut.32 Sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi maka dibentuk Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC), dan International Sea-bed Authority (ISBA). Di samping itu, juga telah dicapai beberapa perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi, yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention tahun 1994.39

Adapun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif, pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.40

Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan

39 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional”

(Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 7.

40 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 13.

(48)

disebut sebagai CCRF) dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai IPOA-IUU). CCRF merupakan aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, sementara IPOA- IUU merupakan rencana aksi global untuk memberantas kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak 41 dilaporkan.41

B. Kedaulatan Indonesia Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

Penentuan wilayah laut Indonesia seperti garis batas laut wilayah, batas ZEE dan batas LK antara Indonesia dengan Negara tetangga didasarkan pada hukum internasional salah satunya adalah UNCLOS 1982. Selain berpegang pada UNCLOS 1982, delimitasi garis batas Indonesia dengan negara tetangga juga berpegang pada prinsip-prinsip penarikan garis batas maritim yang berkembang di dalam hukum internasional, seperti di dalam berbagai yurisprudensi mahkamah internasional dan praktek negara-negara, ditambah dengan prinsip teknis penarikan batas yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan. Selain hukum internasional seperti UNCLOS 1982, praktek negara-negara dan yurisprudensi mahkamah, beberapa hukum nasional yang menjadi dasar delimitasi batas maritim dengan negara tetangga antara lain adalah UU no. 17 Tahun 1985 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, UU No. 43 Tahun

41 Ibid., h. 14.

(49)

2008 tentang Wilayah Negara, UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE, UU NO. 1 tahun 1973 tentang LKI.

Secara garis besar beberapa pasal dalam UNCLOS 82 terkait dengan delimitasi batas maritim Indonesia negara tetangga antara lain adalah:

1. Bab II (Part II) memuat 33 Pasal (Pasal 2 sampai dengan Pasal 33) yang didalamnya memuat definisi territorial sea, contiguous zone, berbagai jenis garis pangkal, syarat-syarat penutupan teluk dan muara sungai (estuaries).

2. Bab III (Part III) yang memuat 12 Pasal (Pasal 34 sampai dengan Pasal 45) terdapat ketentuanketentuan yang memerlukan pengetahuan tentang riset ilmiah, survei hidrografi, navigasi, penentuan posisi, batas-batas wilayah, dan lain sebagainya.

3. Bab IV (Part IV)tentang Negara kepulauan memuat 9 pasal (Pasal 46 sampai dengan Pasal 55) yang sangat penting terkait dengan status Negara kepulauan.

4. Bab V (Part V) tentang ZEE memuat 21 Pasal (Pasal 55 sampai dengan Pasal 75) yang memuat tentang hak berdaulat Negara pantai dan berbagai ketentuan terkait pengelolaan sumber kekayaan di ZEE serta penegakan peraturan perundang-undangan Negara pantai di ZEE.

5. Bab VI (Part VI) tentang Landas Kontinen memuat 10 pasal (Pasal 76 sampai dengan Pasal 85) diperlukan pemahaman teknis terkait penentuan batasan landas kontinen dan batas landas kontinen di luar 200 mil laut.

Dalam Bab ini juga terdapat ketentuan mengenai pekerjaan pemasangan kabel dan pipa di landas kontinen.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan yang disampaikan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya, yang mana sebagimana pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas dimana

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu